Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

Fraktur Terbuka Tibia Fibula

Oleh:

Eko Setiawan 1840312465

Preseptor :
dr. Erinaldi, Sp.OT., M.Kes

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah case
report session ini dengan judul “Fraktur Terbuka Tibia Fibula”.
Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah case report session ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat
kepada dunia ilmu pengetahuan.

Padang, 1 September 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
Daftar Istilah 4
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Batasan Masalah 6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 6
1.4 Matode Penulisan 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang Tibia dan Fibula 7
2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi 9
2.2.2 Epidemiologi 9
2.2.3 Klasifikasi 10
2.2.4 Etiologi dan Patofisiologi 11
2.2.5 Proses Penyembuhan Tulang 12
2.2.6 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis 14
2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik 15
2.2.6.3 Pemeriksaan Neurologis 16
2.2.6.4 Pemeriksaan Penunjang 16
2.2.7 Tata Laksana 17
2.2.8 Komplikasi
2.2.8.1 Komplikasi Dini 19
2.2.8.2 Komplikasi Lanjut 19
BAB 3. LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien 21
3.2 Anamnesis 21
3.3 Pemeriksaan Fisik 22
3.4 Pemeriksaan Penunjang 23
3.5 Diagnosis 24
3.6 Tata Laksana 24
BAB 4. DISKUSI 26
Daftar Pustaka 28

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Anatomi Tulang Tibia dan Fibula


Gambar 2.2 : Anatomi Nervus Ischiadicus
Gambar 2.3 : Anatomi Vaskularisasi Tibia dan Fibula
Gambar 2.4 : Jenis-Jenis Fraktur
Gambar 2.5 : Mekanisme cedera: twisting, compressing, bending, dan tension
Gambar 2.6 : Proses Penyembuhan Tulang

3
DAFTAR ISTILAH
ATLS : Advanced Trauma Life Support
WHO : World Health Organization

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur adalah terputusnya/ hilangnya kontinuitas struktur jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik bersifat total maupun parsial,
umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung.
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari
tenaga tersebut.1 Berdasarkan jenisnya, fraktur dibagi dua, yaitu fraktur tertutup
dan fraktur terbuka. Sebuah fraktur dikatakan tertutup apabila jaringan kulit di
atasnya masih utuh, sehingga tidak ada kontak antara fragmen tulang yang patah
dengan lingkungan luar. Namun bila fragmen tulang yang mengalami fraktur
terekspos ke luar, maka disebut fraktur terbuka. Fraktur terbuka lebih yang
cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi daripada fraktur tertutup.2
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2005
tedapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu akibat insiden
kecelakaan yang cukup tinggi yaitu fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari
insiden kecelakaan. Fraktur sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan
berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot, dan saraf. Fraktur yang
sering terjadi adalah fraktur pada tulang panjang, salah satunya fraktur pada tibia
dan fibula.3
Regio cruris terdiri dari dua tulang yaitu tulang tibia dan tulang fibula.
Fraktur pada regio ini dapat mengenai tulang tibia atau tulang fibula atau
keduanya. Fraktur ini merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering
terjadi. Bila terjadi fraktur pada salah satu tulang, misalnya tibia tibia, tenaga
kesehatan juga akan mengevaluasi tulang fibula karena keduanya saling
berhubungan. Seringkali pasien yang datang dengan fraktur ini mempunyai
riwayat trauma langsung akibat benturan yang keras.4
Prinsip penanganan fraktur tidak terlepas dari primary survey untuk
menemukan dan mengatasi kondisi life threatening yang ada pada pasien,
terutama pada layanan primer. Penatalaksaan yang tepat pada pasien fraktur

5
menentukan outcome-nya. Bila dalam penatalaksanaan dan perawatan tepat,
tulang yang patah dapat menyatu kembali dengan sempurna (union). Namun bila
penatalaksanaan tidak tepat, maka fraktur dapat menyatu tidak sempurna
(malunion), terlambat menyatu (delayed union), ataupun tidak menyatu (non
union). Perawatan yang baik juga perlu untuk mencegah terjadinya komplikasi
pada pasien fraktur.1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi dan
patofisiologi, diagnosis, tata laksana, komplikasi serta telaah kasus dari fraktur
terbuka tibia fibula.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Makalah ini bertujuan sebagai bahan bacaan dan telaah kasus tentang
definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi dan patofisiologi, diagnosis, tata
laksana, dan komplikasi dari fraktur tertutup tibia fibula.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini yaitu tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang Tibia dan Fibula
Tulang tibia merupakan tulang panjang, mempunyai corpus, ujung
proximal dan ujung distal berada di sisi medial dan anterior dari cruris. Pada
posisi berdiri, tibia meneruskan berat badan menuju pedis. Ujung proximal lebar
sehingga membentuk gaya persendian dengan femur yaitu condylus medialis.
Fibula lebih luar dan lebih tipis dari tibia. Ujung atas fibula tidak
mencapai lutut, tetapi ujung bawah turun di bawah tibia dan membentuk bagian
dari pergelangan kaki. Pada fibula bagian ujung bawah disebut malleolus lateralis.
Regio kruris dibentuk oleh tulang tibia dan fibula, dimana terdiri dari
kruris proksimal dan distal. Pada bagian proksimal membentuk knee joint bersama
dengan patella dan femur, sedangkan pada bagian distal membentuk ankle joint
bersama dengan tulang tarsal. Anatomi tulang tibia dan fibula ditampilkan dalam
gambar berikut.5

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Tibia dan Fibula

7
Nervus ischiadicus merupakan nervus yang mempersarafi kulit regio
kruris dan pedis serta otot-otot di bagian dorsal regio femoris, seluruh otot pada
regio kruris dan pedis, serta seluruh persendian pada ekstremitas inferior. Nervus
ini berasal dari medula spinalis L4-S3, berjalan melalui foramen infra piriformis,
berada di sebelah lateral nervus cutaneus femoris posterior, berjalan descenden di
sebelah dorsal muskulus rotator triceps, di sebelah dorsal terdapat muskulus
quadratus femoris, di sebelah ventral terdapat kaput longum muskulus biceps
femoris, selanjutnya berada di antara muskulus biceps femoris dan muskulus
semimembranosus, masuk ke dalam fossa popliteal, lalu saraf ini bercabang dua
menjadi nervus tibialis dan nervus fibularis comunis. Anatomi nervus ischiadicus
tulang tibia dan fibula ditampilkan dalam gambar berikut.5

Gambar 2.2 Anatomi Nervus Ischiadicus

8
Vaskularisasi tulang tibia dan fibula terdiri dari arteri tibialis anterior,
arteri tibialis posterior, dan arteri fibularis. Vaskularisasi tulang tibia dan fibula
ditampilkan dalam gambar berikut.5

Gambar 2.3 Anatomi Vaskularisasi Tibia dan Fibula


2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi
Fraktur merupakan suatu patahan pada struktur jaringan tulang atau rawan
yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung maupun tidak langsung.
Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi bergantung pada jenis,
kekuatan dan arah trauma. Bila kulit di atasnya masih utuh, keadaan ini disebut
fraktur tertutup, namun bila kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus
disebut fraktur terbuka yang cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi.6
Tulang tibia dan fibula adalah tulang yang sering mengalami fraktur
dibandingkan tulang panjang lainnya. Hal ini disebabkan karena jaringan lunak di
atasnya relatif lebih tipis sehingga lebih mudah mengalami fraktur.7
2.2.2 Epidemiologi
Fraktur tibia merupakan jenis fraktur yang sering terjadi pada tulang
panjang. Insiden fraktur tulang panjang adalah 11,5 per 100.000 penduduk dan 40
persennya merupakan kasus fraktur ekstremitas bawah. Fraktur terbanyak yang
terjadi pada ekstremitas bawah adalah pada diafisis tibia. Fraktur tibia umumnya
disertai fraktur fibula, karena energi ditransmisikan melalui membran interosseous
ke fibula.8

9
2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan arah garis fraktur, fraktur dapat dibedakan sebagai berikut:
1. fraktur transversal, yaitu fraktur yang arah garis patahnya melintang,
2. fraktur oblik, yaitu fraktur yang arah garis patahnya miring,
3. fraktur spiral, yaitu fraktur yang arah garis patahnya melingkar,
4. fraktur impaksi, terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada di antaranya, dan
5. fraktur avulsi, terjadi pemisahan fragmen tulang di area perlekatan
ligament atau tendon.
Berdasarkan jumlah fragmen tulang, fraktur dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. fraktur segmental, yaitu dua fraktur komplit yang terpisah, sehingga
tulang akan terbagi menjadi tiga fragmen,
2. fraktur komunitif, yaitu serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan
tulang dengan lebih dari dua fragmen tulang, dan
3. fraktur multipel, yaitu fraktur tulang yang terjadi pada beberapa bagian
tulang yang berlainan.
Berdasarkan hubungan fragmen tulang dengan dunia luar, fraktur dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. fraktur tertutup (closed fracture), yaitu fraktur dimana kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit, dan
2. fraktur terbuka (compound fracture), yaitu fraktur dengan adanya
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya luka
pada kulit.
Berdasarkan kedudukan pergeseran tulang, fraktur dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. perubahan alignment, yaitu perubahan kesegarisan antara fragmen distal
dengan proksimal tulang di sepanjang axis tulang. Perubahan alignment
sering disertai beberapa derajat angulasi, rotasi, atau perubahan panjang
tulang,
2. pemendekkan tulang (shortening), yaitu pergeseran tulang distal ke arah
proximal menyebabkan pemendekkan pada tulang panjang,

10
3. angulasi, yaitu perugahan arah tulang distal terhadap tulang proximal.
Angulasi pada bagian medial dikenal sebagai ‘varus’ dan angulasi pada
pada lateral dikenal sebagai ‘valgus’, dan
4. distraksi, yaitu pemisahan pada axis longitudinal tulang yang ditandai
dengan gangguan alignment tulang.9
Jenis fraktur ditampilkan pada gambar berikut.

Gambar 2.4 Jenis-Jenis Fraktur


2.2.4 Etiologi dan Patofisiologi
Fraktur umumnya terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan akibat
trauma. Trauma tersebut dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Trauma
langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif ataupun
transversal dan jaringan lunak juga mengalami kerusakan. Sementara itu, pada
trauma tidak langsung, trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur dan biasanya jaringan lunak tetap utuh.10
Fraktur juga dapat terjadi karena kelelahan tulang atau tekanan. Keadaan
ini paling sering ditemukan pada tibia, fibula atau metatarsal, terutama pada atlet,
penari, dan calon tentara. Fraktur juga dapat terjadi pada keadaan patologis, yaitu
fraktur dengan tekanan yang normal tetapi tulang dalam keadaan rapuh.11
Meskipun sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi beberapa
gaya (memutar, membengkok, kompresi, atau tegangan), pola garis fraktur pada
hasil pemeriksaan sinar X akan menunjukkan mekanisme yang dominan. Tekanan
pada tulang dapat berupa:
1. berputar (twisting), menyebabkan fraktur bersifat spiral,
2. kompresi (compressing), menyebabkan fraktur oblik pendek,

11
3. membengkok (bending), menyebabkan fraktur dengan fragmen segitiga
‘butterfly’, dan
4. regangan (tension), cenderung menyebabkan patah tulang transversal;
di beberapa situasi dapat menyebabkan avulsi sebuah fragmen kecil
pada titik insersi ligamen atau tendon.
Mekanisme cedera dan pola garis fraktur yang dihasilkan ditampilkan pada
gambar berikut.

Gambar 2.5: Mekanisme Cedera: Twisting, Compressing, Bending, dan


Tension

Setelah terjadinya fraktur komplit, fragmen yang patah biasanya akan


mengalami perpindahan akibat kekuatan cedera, gravitasi, ataupun otot yang
melekat pada tulang tersebut. Perpindahan yang terjadi yaitu sebagai berikut:
1. translasi (shift), yaitu fragmen bergeser ke samping, ke depan, atau ke
belakang,
2. angulasi (tilt), yaitu fragmen mengalami angulasi dalam hubungannya
dengan fragmen lain,
3. rotasi (twist), yaitu satu fragmen mungkin berputar pada aksis
longitudinal; tulang terlihat lurus, dan
4. pemendekan (shorten), yaitu fragmen dapat terpisah atau mengalami
overlap.10
2.2.5 Proses Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan
terjadi pada setiap fraktur. Berikut adalah fase penyembuhan tulang.

12
1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom
Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar fragmen tulang
yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan
periosteum, yaitu fase hematom (2-8 jam sesudah trauma).
2. Inflamasi dan proliferasi seluler
Setelah 8 jam terjadinya fraktur, terjadi reaksi inflamasi akut yaitu
dengan adanya migrasi sel-sel inflamasi dan inisiasi proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung
fragmen tulang dikelilingi oleh jaringan seluler yang menghubungkan
lokasi fraktur. Hematom yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi
kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan
kapiler baru yang halus di dalamnya. Jaringan ini menyebabkan
fragmen tulang saling menempel yang dinamakan kalus fibrosa.
3. Pembentukan kalus
Di dalam jaringan fibrosis kemudian tumbuh sel jaringan
mesenkim yang bersifat osteogenik dan kondrogenik. Sel ini berubah
menjadi sel kondroblas dan akan membentuk kondrosit yang
merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh
dari fraktur yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah
menjadi osteoblas dan akan membentuk osteosit yang merupakan bahan
dasar tulang. kondrosit dan osteosit ini pada awalnya tidak mengandung
kalsium sehingga tidak terlihat pada foto polos. Pada fase ini juga
terbentuk osteoklas yang akan membersihkan tulang yang mati. Pada
tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Proses ini
menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang yang lebih
padat dan fraktur menyatu setelah 4 minggu cedera. Pada foto polos,
proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis
fraktur masih terlihat. Fase ini disebut fase penyatuan klinis.
4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoblas dan osteoklas berlanjut, sel tulang ini
mengatur diri secara lamellar seperti sel tulang normal. Selanjutnya,

13
terjadi pergantian sel tulang secara bertahap oleh sel tulang yang
mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja
pada tulang. Akhirnya kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang
biasa yang cukup kaku sehingga tidak memungkinkan osteoklas
menerobos melalui garis fraktur, dan osteoblas mengisi celah fragmen
tulang yang baru. Proses ini berjalan cukup lambat dan mungkin butuh
beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban
normal (sekitar 6-12 minggu).
5. Remodeling
Pada fase ini fraktur telah dijembatani oleh tulang yang solid.
Selama beberapa bulan bahkan tahun, tulang yang baru terbentuk
tersebut akan kembali diubah oleh proses pembentukan dan resorpsi
tulang, lamela yang lebih tebal pada tempat yang tekanannya tinggi,
dinding-dinding yang tak perlu dibuang, rongga sumsum dibentuk
sehingga tidak akan tampak lagi garis fraktur, terutama pada anak- anak
dapat memperoleh bentuk yang mirip dengan normalnya.
Proses penyembuhan tulang ditampilkan pada gambar berikut.10, 12

Gambar 2.6: Proses Penyembuhan Tulang


2.2.6 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma dengan keluhan
bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi
pasien atau ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak.
Sebaliknya, patah tulang mungkin tidak disadari oleh pasien dan mereka
datang dengan keluhan terkilir, terutama patah yang disertai dengan
dislokasi fragmen yang minimal ataupun dengan keluhan lain seperti
nyeri, bengkok, atau bengkak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat
karena fraktur tidak selalu terjadi di tempat trauma dan mungkin terjadi di

14
tempat lain. Setelah mengetahui keluhan utama pasien, harus ditanyakan
mekanisme trauma dan seberapa kuat trauma tersebut. Trauma dapat
terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau jatuh di
kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat,
kecelakaan pada kerja, atau trauma olahraga. 1, 12
2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik secara holistik dan
sistematis, maka dilakukan primary survey. Penanganan awal dalam
Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang
mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
Airway (A), pemeliharaan airway dengan proteksi servikal; Breathing (B),
pernapasan dengan ventilasi: Circulation (C), sirkulasi dan kontrol
perdarahan; Disability (D), status neurologis; Exposure/ Environmental
control (E), membuka seluruh baju pasien, dengan tetap mencegah
hipotermia.
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. syok, anemia, atau perdarahan,
b. kerusakan organ lain, seperti: otak, sumsum tulang belakang,
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, atau abdomen,
dan
c. fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pada pemeriksaan lokal, perlu dilakukan pemeriksaan secara ”look,
feel, and movement”.
a. Look
1) bandingkan bagian yang sakit dengan bagian yang sehat,
2) perhatikan posisi anggota gerak,
3) perhatikan keadaan umum secara keseluruhan,
4) perhatikan ekspresi wajah karena nyeri,
5) perhatikan adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan,
6) perhatikan luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup dengan fraktur terbuka,

15
7) perhatikan ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam
sampai beberapa hari,
8) perhatikan adanya pembengkakkan, deformitas berupa
angulasi, rotasi dan pemendekkan, dan gerakan abnormal,
9) lakukan survei pada seluruh tubuh untuk menilai trauma pada
organ lain,
10) perhatikan kondisi mental, dan
11) perhatikan vaskularisasi pasien.
b. Feel
Palpasi dilakukan secara hati-hati karena pasien biasanya
mengeluh sangat nyeri. Pada saat palpasi diperhatikan:
1) temperatur setempat yang meningkat,
2) nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang,
3) krepitasi, dapat diketahui dengan perabaan,
4) pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa
palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior, sesuai dengan anggota gerak yang terkena,
5) refilling kapiler, pada kuku, warna kulit pada bagian distal
trauma, temperatur kulit, dan
6) pengukuran tungkai, terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Movement
Penilaian pergerakan dengan mengajak pasien untuk
menggerakkan sendi proksimal dan distal pada tempat yang
mengalami trauma secara aktif dan pasif untuk menilai apakah
terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan. Selain itu juga
dilakukan penilaian Range of Movement (ROM). Pada pasien
dengan fraktur, penilaian pergerakan harus dilakukan secara hati-
hati karena setiap gerakan akan menyebabkan nyeri, kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.12

16
2.2.6.3 Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis, atau neurotmesis.
2.2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Digunakan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi sementara dengan tujuan menghindari nyeri serta
kerusakan jaringan lunak selanjutnya sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Syarat pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah:
a. Two View
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film foto
polos tunggal, sehingga minimal dilakukan dua sudut pandang.
b. Two Joint
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami
fraktur dan angulasi. Sendi di atas dan di bawah fraktur harus
disertakan pada foto polos.
c. Two limbs
Epifisis yang normal pada foto polos tulang anak-anak dapat
mengacaukan diagnosis fraktur, sehingga foto pada tungkai yang
tidak cedera akan bermanfaat.
d. Two injuries
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera lebih dari satu
tingkat. Karena itu, bila ada fraktur femur, perlu juga diambil foto
polos pada pelvis dan tulang belakang.13

17
2.2.7 Tata Laksana
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada suatu fraktur, maka
diperlukan tata laksana kondisi umum pasien. Berdasarkan protokol Advanced
Trauma Life Support (ATLS), prinsip penanganan trauma dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Primary Survey
Penilaian cepat dan tatalaksana cedera yang mengancam nyawa.
Tahap ini terdiri dari Airway dengan proteksi vertebra servikal,
Breathing, Circulation dengan kontrol perdarahan, Disability dan status
neurologis, serta Exposure (paparan) dan Environment (lingkungan).
2. Secondary Survey
Evaluasi detail dari kepala hingga ke jari kaki untuk
mengidentifikasi cedera lainnya. Tahap ini terdiri dari: anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, uji diagnostik lebih jauh,
dan evaluasi ulang.
3. Tatalaksana Definitif
Tatalaksana khusus dari cedera yang telah diidentifikasi.10
Tujuan utama terapi pada fraktur adalah mempertahankan fungsi dengan
komplikasi minimal. Prinsip penanganan fraktur ada empat, yaitu rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi
Rekognisi yaitu mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis. Perlu diperhatikan lokasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik pengobatan yang sesuai,
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2. Reduksi
Reduksi yaitu tindakan mengembalikan posisi fraktur secara optimal ke
keadaan semula, mengembalikan fungsi normal, dan mencegah komplikasi
seperti kekakuan dan deformitas.
Reduksi dapat dilakukan secara tertutup atau terbuka. Terdapat dua
komponen pada reduksi, yaitu memindahkan fragmen dan menilai apakah
posisi yang diinginkan telah tercapai. Setelah fraktur direduksi, seringkali

18
perlu distabilisasi selama masa penyembuhan berlangsung. Terdapat
beberapa metode untuk stabilisasi, yaitu penggunaan gips, spalk, traksi,
plates and screws, intramedullary nailing, atau fiksator eksternal.
3. Retensi
Retensi yaitu imobilisasi fraktur sehingga dapat mempertahankan
kondisi reduksi selama penyembuhan.
4. Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi untuk mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal
mungkin.1
2.2.8 Komplikasi
2.2.8.1 Komplikasi Dini
1. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena respon sistem imun tubuh terhadap
implan berupa internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien.
Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril, sehingga
debridement harus dilakukan sebelum luka ditutup.
2. Cedera Vaskular
Fraktur bagian proksimal tibia dapat merusak arteri poplitea dan
dapat menimbulkan kerusakan tulang akibat adanya defisiensi
suplai darah.
3. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
penekanan terhadap saraf, vaskular dan otot di dalam kompartemen
osteofascial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya
peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen akibat
penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.
Sindroma kompartemen ditandai dengan gejala pain, paresthesia,
pallor, pulselessness.
2.2.8.2 Komplikasi Lanjut
1. Delayed union, merupakan suatu kondisi dimana terjadi
penyambungan tulang tetapi terhambat yang disebabkan oleh

19
adanya infeksi dan vaskularisasi ke fragmen tulang tidak
adekuat.
2. Non union, merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu
setelah 5 bulan, mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia,
kesehatan umum, dan pergerakan pada tempat fraktur.
3. Mal union, penyambungan tulang tetapi menyambung secara
tidak sempurna seperti adanya angulasi, pemendekan,
deformitas, atau kecacatan.
4. Trauma saraf, terutama pada nervus peroneal komunis.
5. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki, biasanya
disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.13

20
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitias Pasien


nama : R, Ny
umur : 71 tahun
jenis kelamin : perempuan
pekerjaan : ibu rumah tangga
nomor rekam medis : 52.63.03
tanggal pemeriksaan : 23 Agustus 2019
status perkawinan : menikah
negeri asal : Kabupaten Limapuluh Kota
alamat : Kabupaten Limapuluh Kota
agama : Islam
suku : Minangkabau
3.2 Anamnesis
- Keluhan utama: Nyeri pada tungkai bawah kanan sejak sekitar 7 jam
sebelum masuk rumah sakit
- Riwayat penyakit sekarang:
• Nyeri pada tungkai bawah kanan sejak sekitar 7 jam sebelum masuk
rumah sakit,
• Pasien post kecelakaan lalu lintas, dimana pasien sedang menyeberang
jalan dan dihantam sepeda motor dari arah kanan,
• Nyeri dan luka robek pada tungkai bawah kanan,
• Pasien tidak ingat mekanisme trauma,
• Pingsan tidak ada,
• Mual dan muntah tidak ada,
• Keluar darah atau cairan dari telinga tidak ada, keluar darah dari hidung
dan mulut tidak ada,
• Sesak napas tidak ada,
• Demam tidak ada,
• BAK dan BAB tidak ada keluhan.

21
- Riwayat penyakit dahulu:
• Hipertensi ada,
• DM tidak ada,
• Stroke tidak ada,
• Fraktur tidak ada,
• Alergi tidak ada,
• Asma tidak ada.
- Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, tidak ada riwayat kebiasaan
merokok, mengkonsumsi alkohol, dan penyalahgunaan NAPZA.
3.3 Pemeriksaan Fisik
- keadaan umum : sakit sedang,
- kesadaran : composmentis,
- tekanan darah : 110/70 mmHg,
- nadi : 65 kali/menit,
- nafas : 21 kali/menit
- suhu : 37,00C
- VAS : 7,
- Primary Survey :
• airway : clear, stridor tidak ada, gurgling tidak ada,
• breathing : spontan, pergerakan dinding dada simetris, frekuensi
napas 21 kali/menit,
• circulation : akral hangat, CRT < 2 detik, tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 65 kali/menit,
• disability : GCS 15 (E4M6V5), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
diameter 3mm,
- Secondary Survey:
• kepala : normosefal, bentuk bulat dan simetris, rambut hitam
dan tidak mudah rontok, tidak ada injury,
• mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, RC
(+/+), pupil isokor diameter 3mm, tidak ada injury,

22
• telinga : pendengaran berkurang tidak ada, telinga berdenging
tidak ada, tidak ada keluar cairan atau darah dari telinga, tidak ada
injury,
• oral : caries dentis tidak ada, oral hygiene cukup baik, tidak
ada injury,
• leher : pembesaran KGB tidak ada, JVP 5+1 cmH2O, tidak
ada injury,
• tenggorok : deviasi trakea tidak ada,
• thoraks
 pulmo : simetris statis dan dinamis, fremitus simetris, suara
napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada,
 jantung : irama S1S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada,
• abdomen : supel, distensi tidak ada, nyeri tekan tidak ada, nyeri
lepas tidak ada, bising usus positif normal,
• punggung : skoliosis, kifosis, dan lordosis tidak ada, gibbus tidak
ada,
• genitalia : tidak ada injury pada regio pelvic, tidak ada deformitas,
tidak ada nyeri tekan,
• anal : tidak ada injury pada regio anal,
• ekstremitas : status lokalis.
- Status Lokalis :
- kruris dextra : udema ada, eritem ada, deformitas ada, vulnus
laceratum ada sebanyak 2 buah dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm,
bone expose ada, nyeri ada, nyeri tekan ada, akral hangat, CRT < 2
detik, pulsasi arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis teraba,
sensibilitas distal baik, ROM terbatas karena nyeri, pergerakan jari kaki
baik.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium:
• Hb : 11,1 g/dL
• HT : 35,0%
• leukosit : 13.670/uL

23
• trombosit : 120.000/ul
• PT : 9,7 detik
• APTT : 31,6 detik
• Na : 138,2 mEq/L
• K : 3,47 mEq/L
• Cl : 107,1 mEq/L
• SGOT : 34 u/L
• SGPT : 24 u/L
• Cr : 0,58 mg/dL
• Ur : 24,2 mg/dL
• GDS :154 mg/dL
kesan : anemia ringan, leukositosis, trombositopenia, hipokalemia
- Foto Polos :

kesan : tampak fraktur tulang tibia dextra 1/3 proximal dengan


dengan garis fraktur berbentuk oblique dan fraktur tulang fibula dextra 1/3
proximal dengan dengan garis fraktur berbentuk oblique.
3.5 Diagnosis
Fraktur terbuka tibia fibula dextra 1/3 proximal.
3.6 Tata Laksana
- balut tekan
- bidai

24
- IVFD RL 20 tpm
- ceftriaxone IV 2 x 1 g
- ketorolac IV 3 x 30 mg
- ranitidine IV 2 x 50 mg
- ATS IM 1 x 250 mg
- konsul bagian anestesiologi dan ortopedi
- rawat inap
- rencana terapi definitif: debridement + ORIF tibia fibula dextra

25
BAB 4
DISKUSI
Seorang perempuan berusia 71 tahun datang dengan keluhan nyeri pada
tungkai bawah kanan sejak sekitar 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien post
kecelakaan lalu lintas, dimana pasien sedang menyeberang jalan dan dihantam
sepeda motor dari arah kanan, terdapat nyeri dan luka robek pada tungkai bawah
kanan. Pasien tidak ingat mekanisme trauma. Mekanisme trauma penting untuk
ditanyakan agar dapat diperkirakan kerusakan tulang dan jaringan penyangganya.
Trauma kepala, pingsan, dan penurunan kesadaran tidak ada, sehingga dapat
diperkirakan tidak terdapat kerusakan pada sistem saraf pusat. Mual dan muntah
tidak ada, sehingga dapat diperkirakan tidak terdapat peningkatan tekanan
intrakranial atau gangguang pada saluran pencernaan. Keluar darah atau cairan
dari telinga tidak ada, keluar darah dari hidung dan mulut tidak ada, sehingga
dapat diperkirakan tidak terdapat fraktur basis kranii, trauma pada daerah hidung
dan sinonasal, serta trauma pada kavum oral. Sesak napas tidak ada, sehingga
dapat diperkirakan tidak terdapat fraktur pada tulang kosta atau adanya
pneumothoraks. demam tidak ada, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Setelah dilakukan primary survey, pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS
pasien 15 dimana pasien dapat membuka mata dengan spontan (E4), dapat
menggerakkan extremitas yang tidak sakit sesuai perintah (M6), dan berbicara
normal (V5). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keadaan gawat dan darurat
yang dapat mengancam nyawa pasien. Didapatkan skor VAS 7 yang menunjukkan
bahwa pasien merasakan nyeri derajat berat.
Pada pemeriksaan status lokalis regio kruris dextra didapatkan: udema ada,
eritem ada, deformitas ada, vulnus laceratum ada sebanyak 2 buah dengan ukuran
1 cm x 1 cm x 1 cm, bone expose ada, nyeri ada, nyeri tekan ada, akral hangat,
CRT < 2 detik, pulsasi arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis teraba,
sensibilitas distal baik, ROM terbatas karena nyeri, pergerakan jari kaki baik. Hal
ini menunjukkan bahwa fraktur yang terjadi adalah fraktur terbuka pada regio
kruris dextra tanpa adanya gangguan pada vaskular, nervus, dan tendon.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil anemia ringan,
leukositosis, trombositopenia, hipokalemia. Anemia pada luka terbuka dapat

26
terjadi karena kehilangan darah dan leukositosis dapat terjadi sebagai respon
sistem imun terhadap mikroorganisme patogen yang masuk melalui bagian tubuh
yang terluka.
Pada pemeriksaan foto polos regio kruris dextra tampak fraktur tulang tibia
dextra 1/3 proximal dengan dengan garis fraktur berbentuk oblique dan fraktur
tulang fibula dextra 1/3 proximal dengan dengan garis fraktur berbentuk oblique.
Sehingga dapat ditegakkan diagnosis fraktur terbuka tibia fibula dextra 1/3
proximal.
Terapi yang diberikan meliputi balut tekan, bidai, IVFD RL 20 tpm,
ceftriaxone IV 2 x 1 g, ketorolac IV 3 x 30 mg, ranitidine IV 2 x 50 mg, ATS IM
1 x 250 mg, konsul bagian anestesiologi dan ortopedi, rawat inap, rencana terapi
definitif debridement + ORIF tibia fibula dextra. Balut tekan dilakukan sebagai
upaya menghentikan pendarahan. Bidai dilakukan sebagai upaya immobilisasi dan
stabilisasi tulang yang fraktur. IVFD RL dibeikan sebagai upaya menggantikan
cairan tubuh yang hilang karena pendarahan dan sebagai upaya memenuhi
kebutuhan cairan. Ceftriaxone diberikan sebagai antibiotik untuk menangani
infeksi. Ketorolac diberikan sebagai analgetik untuk mengurangi nyeri. Ranitidine
diberikan untuk mencegah stress ulcer. ATS diberikan sebagai upaya mencegah
tetanus. Terapi definitif berupa debridement untuk membersihkan daerah luka dari
debris, kuman, dan clotting. ORIF dilakukan untuk menyatukan dan sebagai
upaya stabilisasi fragmen tulang yang terpisah.

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad C.Trauma. Dalam pengantar Ilmu Bedah Ortopedi – Edisi 2.
Makassar : Bintang Lamumpatue, 2003.hal370-1;455-62.
2. Bailey and Love’s short practice of surgery 26th edition. CRC Press 2013.
3. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures 9th edition. London: Hodder Arnold. 2010. 687-9, 897-904, 916-
8.
4. Murtala B. Radiologi Trauma & Emergensi. Bogor: Hasanuddin
University Press; 2013.
5. Ramdass, Michael J, Naraynsingh Vijay, Maharaj, Dale : Fractured Tibia
& Fibula Due to Erotic Dancing, Internet Journal of Orthopedic Surgery
2002, Vol1, Issue 1.
6. Thomas M. S., Jason H.C. Open Fractures. Mescape Reference (update
2012, May 21). Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#aw2aab6b3.
7. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and
Green. Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. p. 2081-93.
8. Norvell JG. Tibia and Fibula Fracture in The ED. Mescape Reference
(update 2016, Sep 09). Available from http://emedicine.medscape.com/
9. Christos Garnavos, Nikolaos K. Kanakaris, New Classification System For
Long-bone Fractures Supplementing the OA/OTA Classification Volume
35, 2012.
10. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures.
Available from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.
11. Holmes EJ, Misra RR. A-Z of Emergency Radiology. New York:
Greenwich Medical Media Ltd; 2004.
12. Sjamsuhidajat dan Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 2. Jakarta: EGC.
2004.
13. Apley AG, Solomon Luis. Apley’s System of Orthopaedics and
fracture.7thEdition. Jakarta: Widya Medika.

28

Anda mungkin juga menyukai