Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN YANG TELAH

MENANDATANGANI INFORMED CONSENT PADA TRANSAKSI TERAPEUTIK


DALAM HAL TERJADINYA KELALAIAN TINDAKAN MEDIS OLEH DOKTER

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang semakin maju dengan pesat telah
membawa manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan, sehingga
secara bersamaan para pelaku kesehatan, terutama dokter, menghadapi masalah hukum yang
timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kemampuan menjalankan profesi kesehatan.1

Suatu perangkat hukum yang memadai sangat diperlukan untuk mengimbangi adanya
perkembangan tersebut. Perangkat hukum inilah yang diharapkan dapat melindungi bagi kedua
belah pihak yaitu masyarakat dan profesi kedokteran. Oleh karena demikian, bagi seorang
dokter, kemampuan memahami perangkat hukum yang berisi kaidah-kaidah ataupun prosedur
yang berlaku di bidang kesehatan sangat diperlukan sehingga dapat mengantisipasi terjadinya
tuntutan-tuntutan hukum oleh pasien yang merasa haknya dirugikan baik secara pidana maupun
perdata. Begitu juga dengan pasien, dengan memahami perangkat hukum yang ada di bidang
kesehatan diharapkan dapat menjamin perlindungan hukum terhadap hak-haknya ketika
dilakukan tindakan medis terhadap dirinya.

Hubungan dokter dan pasien berawal saat pasien datang ke dokter untuk meminta
bantuan atas permasalahannya di bidang kesehatan, sehingga dengan adanya hal tersebut sudah
terdapat suatu kontrak atau perjanjian antara dokter dan pasien yang disebut kontrak atau
transaksi terapeutik.2

1
Bahdar Johan Nasution, Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,
hlm. 5
2
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, Keni
Media, Bandung, 2013,hlm. 15
Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan, yang mana artinya adalah hubungan timbal
balik antara dua pihak yang bersepakat dalam suatu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari
therapeutic yang artinya dalam bidang pengobatan. Istilah therapeutic tidak sama dengan
therapy atau terapi yang artinya pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien
bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas mencakup bidang diagnostik, preventif,
rehabilitatif, maupun promotif sehingga persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau
transaksi terapeutik.3 Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien berupa
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.4

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata, dikenal dengan adanya 2 macam perjanjian, yaitu:

1. Inspaning verbintenis ,yang artinya perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang berjanji
berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.
2. Resultaatverbintenis ,yang artinya transaksi pihak yang berjanji akan memberikan suatu
resultaat yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.5

Perjanjian antara dokter dengan pasien tidak bisa disamakan dengan perjanjian pada
umumnya. Hal yang membuatnya berbeda yaitu terletak pada objek perjanjiannya, dimana bukan
hasil yang menjadi tujuan utama dalam suatu perjanjian (resultaatverbintenis), namun pada
upaya untuk kesembuhan pasien (inspaning verbintenis.). Dari sini kita dapat melihat bahwa
dalam suatu upaya pengobatan yang dilakukan dokter, maka dokter tidak bisa menjamin atau
berjanji 100% atas kesembuhan pasien, namun berikhtiar melakukan yang terbaik dan pasien
diharapkan mengerti akan hal ini. 6

Seorang dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap pasien walaupun itu
sesuai keilmuan dan kepentingan pasien, karena yang membedakan seorang dokter dengan

3
M.Jusuf Hanafiah, dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4, EGC, Jakarta,
2013.hlm.43.
4
Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban dokter, PT Rineka Jaya, Jakarta, 2005,
hlm. 11.

5
Ibid. hlm. 13.
6
Ibid. hlm. 11.
pelanggaran tindak pidana umum misalnya penganiayaan adalah adanya informed consent yang
harus ditandatangani oleh pasien. Untuk itu dokter harus berpedoman pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang memuat
bagaimana caranya melakukan informed consent yang benar.7

Untuk terjadinya transaksi terapeutik, setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasiennya, harus mendapat
persetujuan dari pasien (informed consent). Selain itu, persetujuan tersebut diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya mencakup:

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.8

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesepakatan dalam kontrak terapeutik terjadi pada saat
pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan terhadap tindakan media yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi ditanda tangani. Logika hukumnya adalah dokter atau
dokter gigi yang membuka praktik dianggap telah melakukan penawaran umum untuk
memberikan pelayanan medis sebagai syarat pertama terjadinya kesepakatan. Pasien yang datang
untuk dilayani pada dasarnya dianggap menerima penawaran dari dokter atau dokter gigi yang
bersangkutan. Namun, karena ada kewajiban hukum bagi dokter atau dokter gigi untuk
memberikan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien, maka penjelasan tersebut dipandang sebagai satu rangkaian dengan penawaran. Ketika
pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan menanda tangani informed consent,
maka terjadilah kesepakatan diantara dokter dan pasien. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata
kesepakatan tersebut merupakan sumber hukum perikatan.9

7
Desriza, R. 2013. Op.cit. hlm.39.
8
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
9
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/231, Fungsi Informed Consent dalam Perjanjian
Terapeutik, diakses pada tanggal 7 Agustus 2019
Informed consent yang berisikan persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan
dilakukan oleh dokter menjadi dasar hukum bagi dokter untuk melakukan tindakan medis
terhadap pasien. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua dokter melakukan penjelasan
kepada pasien atau keluarga pasien sebelum menandatangani informed consent yang benar sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran. Hal inilah yang menjadi sumber masalah di kemudian hari. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya gugatan baik secara pidana maupun perdata yang diajukan oleh pasien terhadap
dokter akibat merasa haknya dirugikan. Namun, sayangnya keberadaan informed consent seakan
menjadikan dokter kebal hukum sekalipun adanya dugaan terjadinya kelalaian tindakan medis
yang dilakukan oleh dokter. Tidak sedikit dokter yang digugat namun dibebaskan dari
pertanggungjawaban akibat adanya informed consent yang berisi tanda tangan pasien yang
termasuk di dalamnya pasien menyetujui segala resiko yang terjadi akibat tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter.

Contoh kasus pasien datang dengan keluhan nyeri pada lutut kiri setelah melakukan
olahraga Volley Ball ketika melompat dan terkilir. Pasien dirujuk oleh dokter perusahaan ke RS
Mitra Kasih lalu menjalani rawat inap selama 1 minggu lebih. Setelah dirontgen hasilnya
terbilang baik tidak ada patah pada tulang, namun dokter spesialis di rumah sakit tersebut
merujuk pasien ke Rumah Sakit untuk dilakukan Magnetic Resonance Imaging dan terlihat hasil
Suspect Intrasubstance Tear Meniscus Lateral, Anterior Cruciate Ligament tear disertai Medial
Collateral Ligament tear, hemarthrose. Dokter spesialis bedah tulang akhirnya melakukan
operasi pada pasien, kemudian dilakukan rontgen ulang namun pasien terkejut terhadap hasil
rontgen terdapat 2 pen screw pada kaki kirinya dan tentu saja akan menolak operasi.

Hal ini yang menjadi akar suatu perselisihan hingga sampai ke pengadilan, dimana
menurut pasien dokter tidak menjelaskan akan hal ini, namun tentu saja dokter sudah
menjelaskan dan menyampaikan ke pasien dengan dibuktikan oleh informed consent yang
ditandatangani pasien. Kasus tersebut terus menjalar menjadi banyak berbagai masalah post
operasi seperti nyeri yang terus menerus, pasien tidak bisa menekuk kakinya secara leluasa, tidak
dapat bekerja bahkan beribadah, tidak bisa berjalan dengan baik, dan lain sebagainya.

Pada contoh kasus perselisihan antara pihak rumah sakit swasta di Bandung dengan
pasien yang ditangani oleh dokter spesialis bedah, disana kita dapat melihat betapa pentingnya
informed consent dalam bentuk tertulis yang dilakukan oleh dokter tersebut terutama berkaitan
dengan tindakan medis yang berisiko tinggi misalnya luka, cacat, atau kematian, sesuai Pasal 45
ayat (5) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.10 Pasien tersebut menuntut dokter
suatu ganti rugi dengan alasan dokter tidak melakukan penjelasan dalam hal pemasangan pen
pada kaki pasien yang terkilir, namun dokter sudah menjelaskan secara rinci mengenai hal
tersebut dan salah satu persyaratan penting dilakukannya operasi pada suatu rumah sakit, tidak
mungkin melakukan operasi dan memasang pen tanpa persetujuan pasien. Dalam hal ini
informed consent bertindak juga sebagai barang bukti yang dapat membantah dalil pasien
tersebut.

Pada kasus tersebut dapat diketahui permasalahan terdapat pada pasien yang merasa tidak
dijelaskan oleh dokter namun dokter sudah menjelaskan semua prosedur operasi sesuai dengan
UU No. 29 Tahun 2004 dan pasien sudah memberikan persetujuan sah berupa tanda tangan.
Walaupun pasien telah menuntut kerugian ke pengadilan, namun tuntutan tersebut tidak
dikabulkan oleh hakim karena pasien sudah memberikan persetujuan informed consent dan
dianggap sudah mengerti seluruh prosedur dan risiko operasi (sesuai putusan Mahkamah Agung
Nomor : 225/PDT.G./2014/ PN.BDG).

Berdasarkan permasalahan di atas dan dalam upaya untuk memberikan perlindungan


seadil-adilnya bagi pasien, maka perlu dilakukan penelitian tentang Analisis Perlindungan
Hukum Terhadap Pasien yang Telah Menandatangani Informed Consent pada Transaksi
Terapeutik dalam Hal Terjadinya Kelalaian Tindakan Medis yang Dilakukan Oleh
Dokter.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat permasalahan pada latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Apa akibat hukum yang ditimbulkan ketika pasien menandatangani informed consent
dalam transaksi terapeutik?

10
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 33.
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien yang telah menandatangani
informed consent pada transaksi terapeutik dalam hal terjadinya kelalaian tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter?
3. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pasien yang telah menandatangani
informed consent pada transaksi terapeutik dalam hal terjadinya kelalaian tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk menganalisis dan memahami akibat hukum yang ditimbulkan ketika pasien
menandatangani informed consent dalam transaksi terapeutik.
2. Untuk menganalisis dan memahami perlindungan hukum terhadap pasien yang telah
menandatangani informed consent pada transaksi terapeutik dalam hal terjadinya
kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
3. Untuk menganalisis dan memahami upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien
yang telah menandatangani informed consent pada transaksi terapeutik dalam hal
terjadinya kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia,
umumnya dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta memberikan gambaran
yang nyata kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai perlindungan hukum
terhadap pasien yang telah menandatangani informed consent pada transaksi
terapeutik dalam hal terjadinya kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
2. Manfaat Praktis
Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan mahasiswa, praktisi hukum
pihak ketiga terutama bagi advokat dan para hakim, pemerintah, serta masyarakat
yang bersengketa sebagai pedoman dan bahan rujukan dalam rangka menyelesaikan
sengketa perdata mengenai kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien yang telah menandatangani informed consent dalam perjanjian
terapeutik.

Anda mungkin juga menyukai