Oleh
Eka Mei Dianita, S.Kep
NIM 192311101023
i
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 192311101023
Hari :
TIM PEMBIMBING
ii
DAFTAR ISI
............................................................................
.............
iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT
Tengkorak adalah merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak,
terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan:
lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang
kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga/fosa; fosa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum (Pearce, 2008)
1. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi struktur
saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan,
yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
1
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa
mengantukyang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5)
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea
terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural.
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
media fosa temporalis.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
2
a. Anatomi Fisiologi Otak
Berat otak manusia berisar 1200-1400 gram dan merupakan 2% dari berat
total manusia, dalam keadaan istirahat otak memerlukan oksigen sebanyak 20%
dari seluruh kebutuhan oksigen dan memerlukan 70% glukosa tubuh. Otak
merupakan organ penting dikarenakan otak mengendalikan semua fungsi tubuh
manusia, otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak (Yueniwati,
2017)
3
sensasi somatik, lobus oksipital yang memiliki fungsi rangsangan visual dan
lobus temporal yang memiliki fungsi dalam kemampuan pendengarah
pemaknaan informasi dalam bentuk suara.
2. Serebelum
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua orak, serebelum
terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan
dibawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum
juga mengontol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengatur keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh,
misalnya gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerkan
mengunci pintu dan laniya.
3. Batang Otak
Batang Otak terdiri berada didalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak berfungsi
untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, esadaran serta
pola makan dan tidur.
4. Mesensefalon
Mesensefalon atau otak tengah merupakan bagian teratas dari batang otak
yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Otak tengah berfungsi untuk
mengontrol respon penglihatan, pembesaran pupil mata mengatur gerakan
tubuh.
5. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis.
Otak diberi nutrisi oleh darah. Darah mengangkut zat asam, makanan dan
substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Suplai
darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang
4
bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat
menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel (Yueniwati 2017).
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu
saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-
sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk
triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang
utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam
sinus transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari
basal ganglia.
5
b. Saraf pada Otak
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis (buta sesaat)
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan kembar),
pupil; akomodasi ptosis; midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah; kelemahan
kepala, dan gigi; gerak otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan mengecap
pada platum dan telinga pada dua pertiga anterior lidah;
luar; sekresi kelenjar mulut kering; hilangnya lakrimasi;
lakrimalis, submandibula paralisis otot wajah
dan sublingual; ekspresi
wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklearis keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
(gerakan bola mata yg cepat di luar
kemampuan)
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya pengecapan pada
pada faring dan telinga; sepertiga posterior lidah; anestesi
mengangkat palatum; pada farings; mulut kering
sekresi kelenjar parotis sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan menelan) suara
pada farings, laring dan parau; paralisis palatum
telinga; menelan; fonasi;
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan otot
Spinal leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
6
1.2 Definisi Skull defect
1.3 Epidemiologi
Menurut data dari Metropolitan Atlanta Congenital Defects Programme (Siffel et
al., 2003), sebagian besar kematian anak-anak dengan encephalocele terjadi selama
hari pertama kehidupan dan perkiraan kemungkinan bertahan hidup hingga usia 20
tahun adalah 67,3%, Selain itu , faktor-faktor yang terkait dengan peningkatan
mortalitas adalah berat lahir rendah, adanya cacat ganda, bukan cacat tunggal, dan
keturunan kulit hitam atau Afrika-Amerika. Sebagian besar pendaftar dan studi
epidemiologi mengklasifikasikan ensefalokel menggunakan kategori luas seperti
frontal, parietal, oksipital, dan sphenoidal Ensefalokel juga dapat terjadi di dekat
sinus, dahi dan hidung atau di dekat pangkal tengkorak. Gejala yang dapat
7
berkembang termasuk keterlambatan dalam mencapai tonggak perkembangan,
kecacatan intelektual, ketidakmampuan belajar, keterlambatan pertumbuhan, kejang,
gangguan penglihatan, gerakan sukarela yang tidak terkoordinasi (ataksia), dan
hidrosefalus, suatu kondisi di mana kelebihan cairan serebrospinal di tengkorak
menyebabkan tekanan pada otak (NORD, 2012).
1.4 Etiologi
Menurut (Ramamurthi, et al, 2007) Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)
1.5 Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
1) Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.
8
2) Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3) Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
4) Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
5) Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.
6) Edema serebral
7) Perdarahan
8) Syok hipovolemik
9) Hydrocephalus
10) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
11) Kerusakan integritas kulit
12) Kerusakan syaraf
9
1.6 Patofisiologi/Patologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh (Tabler, Rice, Liu,
& Wallingford, 2016)
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila
trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan
yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnyapeningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan mobil
atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu luka tusuk
dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu
10
atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas,
cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan
pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari
pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakus
perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi
yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian (Smeltzer,
2001).
11
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
1) CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:
12
(Elektroensepalogram) digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang
patologis.
4) EEG(Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis
13
1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk klien dengan skull defect yaitu:
a. Observasi
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Observasi GCS
3. Observasi nyeri
4. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
b. Nursing Treatment
1. Posisikan pasien senyaman mungkin
2. Menjaga lingkungan dari resiko benturan
3. Berikan teknik relaksasi
4. Bantu memenuhi kebutuhan personal hygiene
c. Edukasi
1. Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien
2. Edukasi pasien dan keluargauntuk tidak menekan bagian yang terkena
skull defestI
3. Edukasi keluarga untuk menghindari benturan di kepala
d. Kolaborasi
1. Berikan terapi oksigen
2. Berikan terapi intravena
3. Pemberian obat-obatan vaskulasisasi dan analgesik
4. Pembedahan bila ada indikasi
14
Cara Mengukur Tingkat Kesadaran
15
c. Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi kekuatannya
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, (4)
d. Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa,
e. Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan
otot terhadap tahanan yang ringan,
f. Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun, dkk, 2008).
16
b. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai
oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena
kedalaman kanul hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien
dengan obstruksi nasal. Kecepatan aliran lebih dari 4 liter/menit jarang
digunakan, sebab pemberian flow rate yang lebih dari 4 liter tidak akan
menambah FiO2, bahkan hanya pemborosan oksigen dan menyebabkan
mukosa kering dan mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan
kerusakan kulit diatas telinga dan di hidung akibat pemasangan yang
terlalu ketat.
2. Simple mask
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang. Merupakan
alat pemberian oksigen jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran
5 – 8 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%. Masker ini kontra
indikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida karena akan
memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit
untuk mendorong CO2 keluar dari masker.
Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlubang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien
mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit dapat
menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.
17
3. Rebreathing mask
Rebreathing mask
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 – 60%
dengan aliran 6 – 12 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2.
Udara ekspirasi sebagian tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan
aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi dan hampir menguncup waktu
inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan
cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian
kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan
sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit.
Keuntungan
Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, kantong oksigen
bisa terlipat atau terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan aliran
yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup sejumlah besar
karbondioksida. Pasien tidak memungkinkan makan minum atau batuk
dan menyekap, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat.
4. Non Rebreathing mask
Non rebreathing mask
Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang tinggi
mencapai 90 % dengan aliran 6 – 15 liter/mnt. Pada prinsipnya udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi, udara ekspirasi
dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih katup, sehingga
dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi. Sebelum dipasang ke
pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara
kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir.
Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali
pengikat untuk mencegah iritasi kulit. Kantong tidak akan pernah kempes
18
dengan total. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet harus
pada tempatnya dan tanpa tongkat.
Keuntungan :
Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 90%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian :
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah. Kantong oksigen
bisa terlipat atau terputar, menyekap, perlu segel pengikat, dan tidak
memungkinkan makan, minum atau batuk, bisa terjadi aspirasi bila pasien
muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak.
5. Jackson Rees
Dengan flow oksigen > 10 liter/menit konsentrasi 100%. Alat ini terdiri
dari kantong karet elastiss yang dikembangkan dengan aliran oksigen 10 –
12 lpm . Setelah dipijat untuk memberikan gas inhalasi , kantong akan
diisi oleh aliranoksigen lagi . Alat ini mutlak tergantung dari oksigen.
Keuntungannya adalah kadar oksigen inspirasi dapat diberikan sampai
100% . Sistem Jackson Rees tidak menggunakan katub. "ada dasarnya
semua alat anestesi inhalasi dapat dignakan untuk memberikannapas
buatan. Jackson Rees berfungsi untuk memonitor nafas spontan atau
memudahkan melakukan nafas kendali
19
1.10 Clinical Pathway
Tumor, pendarahan dikepala
Operasi trepanasi/Craniotomi
Skull defect
18
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
a) Identitas pasien
Meliputi nama, jenis jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan,
golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis
medis.
b) Riwayat penyakit sekarang
Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir
(enchephalocele) tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect
akibat trauma, tumor atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan
nyeri bagian kepala hingga diikuti penurunan kesadaran.
c) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah
mengalami craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
d) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan
tingkat kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang,
gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan
untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati
nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.
19
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
e) Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi
yang pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti
kanker.
1) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
a) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya
pasien tidak sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri
di bagian kepalanya.
b) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
1) Respon membuka mata (E)
Membuka mata dengan spontan (4)
Membuka mata dengan perintah (3)
Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
Tidak reaksi reaksi apapun (1)
2) Respon motorik (M)
Mengikuti perintah (6)
Melokalisir nyeri (5)
Menghindar nyeri (4)
Fleksi abnormal (3)
Ekstensi abnormal (2)
Tidak ada reaksi apapun (1)
3) Respon verbal (V)
Orientasi baik dan sesuai (5)
Disorienasi tempat dan waktu (4)
20
Bicara kacau (3)
Mengerang (2)
Tidak ada reaksi apapaun (1)
Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
2) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh
tulang teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut
bisa berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/
cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan
bisa terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada
papil, rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
h) Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,
21
perubahan bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat
trauma bisa terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada
pasien dengan skull defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan
jalan nafas oleh sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar
suara ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian
perut, biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull
defect
2.2 Diagnosa
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2) Resiko jatuh berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3) Ansietas berhubungan dengan kematian
4) Resiko ketidakefektifan perfungsi jaringan otak
b. Intra Operasi
1) Resiko infeksi pembedahan berhubungan pertahanan tubuh primer
tidak adekuat
2) Resiko hipotermi
c. Post Operasi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus
berlebiha
22
2) Nyeri berhubungan dengan prosedur bedah
3) Aspirasi
4) Resiko cedera akibat posisi perioperative
2.3 Intervensi
Diagnosa Rasional
No Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Pre Operasi
1 Nyeri akut NOC : Perilaku Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Meminimalkan rasa
berhubungan Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan Intervensi : nyeri yang dirasakan
dengan Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau 1. Berikan pereda nyeri pasien
peningkatan TIK mengalami nyeri atau nyeri minimalnya bukti-bukti dengan manipulasi 2. Mengurangi rasa nyeri
menurun sampai tingkat ketidaknyamanan lingkungan (misal lampu 3. Mengurangi rasa nyeri
yang dapat diterima pasien b. TIK dalam batas normal ruangan redup, tidak ada 4. Pasien bisa mimilih
c. Tidak menunjukkan kebisingan, tidak ada teknik yang tepat untuk
bukti-bukti peningkatan gerakan tiba-tiba). mengurangi nyeri
TIK 2. Berikan analgesia sesuai 5. Dukungan keluarga
d. Belajar dan ketentuan, observasi dapat memotivasi
mengimplementasikan adanya efek samping. pasien
strategi koping yang 3. Lakukan strategi sesuai 6. Mengantisipasi nyeri
efektif. non farmakologi untuk yang berulang
membantu mengatasi
nyeri.
4. Gunakan strategi yang
23
dikenal pasien atau
gambarkan beberapa
strategi dan biarkan
pasien memilih.
5. Libatkan keluarga dalam
pemilihan strategi
6. Ajarkan pasien untuk
menggunakan strategi
non farmakologi
sebelum terjadi nyeri
atau sebelum menjadi
lebih berat.
2 Resiko jatuh NOC : Keamanan Sosial Kriteria hasil : NIC : Mencegah Jatuh 1. Pasien mengetahui
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Bebas dari cedera 1. Tekankan pentingnya tujuan perawatan
dengan mengalami cedera b. Pasien dan keluarga mematuhi program 2. Memberikan dukungan
perubahan menyetujui aktivitas atau terapeutik 3. Mencegah terjadi
fungsi modifikasi aktivitas yang 2. Dampingi pasien selama cedera
neurologis tepat aktivitas yang diijinkan 4. Mencegah terjadinya
3. Jaga agar penghalang dekubitus
tempat tidur tetap
terpasang
4. Bantu ambulasi dan
aktivitas hidup sehari-
hari dengan tepat
3 Ansieras NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
kematian diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa
24
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
4. Risiko NOC : Kriteria hasil: NIC
ketidakefektifan Status Neurologi (0909) 1. Kesadaran membaik Monitor Neurologi (2620)
Perfusi Jaringan 2. Mampu mengontrol 1. Monitor tingkat
Setelah dilakukan tindakan
otak motorik sentral kesadaran
keperawatan selama 3 x 24
jam perfusi jaringan otak 3. mampu melakukan 2. Monitor tanda-tanda
membaik fungsi sensorik dan vital : suhu, tekanan
motorik kranial darah, denyut nadi, dan
4. Komunkasi yang tepat respirasi
dengan situasi 3. Monitor kesimetrisan
wajah
4. Monitor karakteristik
berbicara : kelancaran,
adaya aphasia, atau
kesulitan menemukan
25
kata
5. Monitor respon terhadap
stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia :
mati rasa dan kesemutan
Intra Operasi
Resiko infeksi NOC : Kontrol Infeksi Kriteria hasil : NIC : Kontrol Infeksi 1. Agar ruangan selalu
pembedahan intraoperatif intraoperatif bersih
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Bersihkan debu dan 2. Mencegah invasi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi permukaan mendatar mikroorganisme
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda dengan pencahayaan di 3. Mencegah invasi
adekuat infeksi pada pasien. ruang operasi mikroorganisme
2. Monitor dan jaga suhu 4. Mencegah invasi
ruangan antara 20o dan mikroorganisme dan
24 o C udara tetap bersih
3. Monitor dan jaga 5. Mencegah inos
kelembaban relatif antara 6. Mencegah terjadinya
20% dan 60 % infeksi
4. Monitor dan jaga aliran 7. Mencegah terjadinya
udara yang berlapis infeksi
5. Batasa dan kontrol lalu 8. Mencegah inos
lalang pengunjung 9. Mencegah inos
6. Verifikasi bahwa Mencegah ino
antibiotik profilaksis
telah diberikan dengan
26
tepat
7. Lakukan tindakan-
tindakan pencegahan
universal/ universal
precautions
8. Pastikan bahwa personil
yang akan melakukan
tindakan operasai
mengenakan pakaian
yang sesuai
9. Lakukan rancangan
tindakan isolasi yang
sesuai
10. Monitor teknik isolasi
yang sesuai
27
4. Denyut nadi radial denyut jantung dan
meningkat dari skala 1 status pernafasan
menjadi skala 4 3. Monitor membran
5. Perubahan warna kulit mukosa, turgor kulit
meningkat dari skala 1 4. Monitor distensi vena
menjadi skala 4 leher, ronki di paru-
6. Pengisian kapiler jari paru
kaki meningkat dari 5. Berikan cairan dengan
skala 1 menjadi skala 4 tepat
7. Suhu kulit ujung kaki Manajemen
dan tangan meningkat Elektrolit/Cairan
dari skala 1 menjadi
skala 4 1. Jaga infus intravena
8. Muka pucat meningkat yang tepat dan tranfusi
dari skala 1 menjadi darah
skala 4 2. Monitor status
hemodinamik
3. Pantau adanya tanda
dan gejala retensi cairan
4. Batasi cairan yang
sesuai
5. Monitor tanda-tanda
vital yang sesuai
6. Monitor kehilangan
cairan
28
Post Operasi
29
penyebab. Lembab
d. Saturasi O2 dalam batas 9. Berikan antibiotik :
normal 10. Atur intake untuk
e. Foto thorak dalam batas cairan mengoptimalkan
normal keseimbangan.
11. Monitor respirasi
dan status O2
12. Pertahankan hidrasi
yang adekuat untuk
mengencerkan sekret
13. Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
penggunaan peralatan :
O2, Suction, Inhalasi.
2 Nyeri akut NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
30
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
3 Resiko Aspirasi Setelah dilaukan perawatan Kriteria hasil: Pencegahan Aspirasi:
selama 1 x 24 jam pasien Status pernafasan: 1. Monitor tingkat
tidak mengalami sekresi Kepatenan jalan nafas kesadaran
gastrointestinal, benda cair 1.Frekuensi pernafasan 2. Pertahankan kepatenan
atau padat ke dalam saluran dalam batas normal jalan nafas
trakeobronkial yang dapat 2.Irama pernafsan dalam 3. monitos status pernafasan
menganggu kesehatan batas normal 4. Posisikan kepala tegak
3. Kedalaman inspirasi lurus, sama dengan atau
4.Mampu untuk lebih tinggi dari 30 sampai
mengeluarkan secret 90 derajat
5. jaga kepala tempat tidur
ditinggikan 30 sampai 45
menit setelah pemberian
makan
4 Resiko Cedera Setelah dilakukan perawatan dengan kriteria hasil : Pengaturan posisi:
akibat posisi selama 3x 24 jam pasien 1. tempatkan pasien diats
perioperatif tidak mengalami perubahan 1. Lecet pada kulit matras atau tempat tidur
anatomis dan fisik yang meningkat dari skala 1 terapeutik
tidak disengaja menjadi skala 4 2. Monitor status oksigenasi
2. Memar meningkat dari pasien sebelum dan setelah
perubahan posisi
skala 1 menjadi skala 4
3. Tempatkan pasien posisi
3. Perdarahan meningkat terapeutik yang sudah
dari skala 1 menjadi dirancang
skala 4 4. Jangan menempatkan
31
4. Integritas kulit bagain tubuh pasien pada
meningkat dari skala 1 posisi yang bisa
menjadi skala 4 meningkatkan nyeri
5. Balikkan tubuh pasien
5. Lesi pada kulit
dengan menggunakan
meningkat dari skala 1 teknik gelindingkan dan
menjadi skala 4 gulung/log roll technique
6. Pigmentasi abnormal
meningkat dari skala 1
menjadi skala 4
32
2.4 Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus sudah
dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
1) Pengertian dari penyakit Skull Defect
2) Penjelasan tentang penyebab Skull Defect
3) Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
4) Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila
ada gejala yang memberatkan penyakitnya
5) Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam
menaati program pemulihan kesehatan
6) Menjaga lingkungan di rumah untuk mencaegah benturan
30
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Tabler, J. M., Rice, C. P., Liu, K. J., & Wallingford, J. B. (2016). A novel
ciliopathic skull defect arising from excess neural crest. Developmental
Biology, 417(1), 4–10. https://doi.org/10.1016/j.ydbio.2016.07.001
31
32