Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT SKULL


DEFECT DI RUANG INSTALANSI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh
Eka Mei Dianita, S.Kep
NIM 192311101023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang dibuat oleh:

Nama : Eka Mei Dianita

NIM : 192311101023

Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Skull Defect di


Ruang Instalansi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari :

Tanggal : November 2019

Jember, November 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

Ns. Siswoyo.,M.Kep Ns. Muhamad Syafari.,S.Kep


NIP. 198004122006041002 NIP 197802122005011010

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
1.2 Definisi Skull defect .............................................................................................. 7
1.3 Epidemiologi .......................................................................................................... 7
1.4 Etiologi ................................................................................................................... 8
1.5 Komplikasi ............................................................................................................. 8
1.6 Patofisiologi/Patologi .......................................................................................... 10
1.7 Manifestasi Klinis................................................................................................ 11
1.8 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................... 12
1.10 Clinical Pathway...................................................................................................... 18
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .......................................................... 19
2.1 Pengkajian ............................................................................................................... 19
2.2 Diagnosa ..................................................................................................................... 22
2.3 Intervensi ................................................................................................................. 23
2.4 Discharge Planning ................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 31

............................................................................
.............

iii
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1 Anatomi tengkorak

Tengkorak adalah merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak,
terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan:
lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang
kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam
membentuk rongga/fosa; fosa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah
berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum (Pearce, 2008)
1. Meningen
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi struktur
saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan,
yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput
meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan

1
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa
mengantukyang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5)
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea
terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural.
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
media fosa temporalis.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

2
a. Anatomi Fisiologi Otak
Berat otak manusia berisar 1200-1400 gram dan merupakan 2% dari berat
total manusia, dalam keadaan istirahat otak memerlukan oksigen sebanyak 20%
dari seluruh kebutuhan oksigen dan memerlukan 70% glukosa tubuh. Otak
merupakan organ penting dikarenakan otak mengendalikan semua fungsi tubuh
manusia, otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak (Yueniwati,
2017)

Gambar 1.2 Anatomi Otak


Menurut Yueniwati (2017) otak terdiri dari :
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian otak terbesar dan otak yang terdiri dari atas dua
hemisfer, hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol tubuh bagian kiri dan
hemosfer kirim berfungsi untuk mengontrol tubuh bagian kanan. Masing-
masing hemisfer terdiri dari empat lobus, bagian lobus yang meonjol disebut
gyrus dan bagian lekukan disebut sulkus. Ke empat lobus terdiri dari lobus
frontal fungsinyauntuk mengatur gerakan otot-otot, gerakan bola mata,
sebagai pusat bicara, dan mongontrol area aktivitas intelektual, lobus parietal
yang fungsinya untuk menerima impuls yang berkaitan dengan segala bentuk

3
sensasi somatik, lobus oksipital yang memiliki fungsi rangsangan visual dan
lobus temporal yang memiliki fungsi dalam kemampuan pendengarah
pemaknaan informasi dalam bentuk suara.
2. Serebelum
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua orak, serebelum
terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan
dibawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum
juga mengontol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengatur keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh,
misalnya gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerkan
mengunci pintu dan laniya.
3. Batang Otak
Batang Otak terdiri berada didalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak berfungsi
untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, esadaran serta
pola makan dan tidur.
4. Mesensefalon
Mesensefalon atau otak tengah merupakan bagian teratas dari batang otak
yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Otak tengah berfungsi untuk
mengontrol respon penglihatan, pembesaran pupil mata mengatur gerakan
tubuh.
5. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis.

Otak diberi nutrisi oleh darah. Darah mengangkut zat asam, makanan dan
substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Suplai
darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang

4
bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat
menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel (Yueniwati 2017).

1. Peredaran Darah Arteri


Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan
arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk
circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis
komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di
dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri
communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri
posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri
communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria
subklavia sisi yang sama.

2. Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu
saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-
sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk
triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang
utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam
sinus transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari
basal ganglia.

5
b. Saraf pada Otak
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis (buta sesaat)
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan kembar),
pupil; akomodasi ptosis; midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah; kelemahan
kepala, dan gigi; gerak otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan mengecap
pada platum dan telinga pada dua pertiga anterior lidah;
luar; sekresi kelenjar mulut kering; hilangnya lakrimasi;
lakrimalis, submandibula paralisis otot wajah
dan sublingual; ekspresi
wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklearis keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
(gerakan bola mata yg cepat di luar
kemampuan)
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya pengecapan pada
pada faring dan telinga; sepertiga posterior lidah; anestesi
mengangkat palatum; pada farings; mulut kering
sekresi kelenjar parotis sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan menelan) suara
pada farings, laring dan parau; paralisis palatum
telinga; menelan; fonasi;
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan otot
Spinal leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

6
1.2 Definisi Skull defect

Gambar 1.2 Skull Defect


Skull defect adalah kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang
cranium/tulang tengkorak. Skull deffect adalah adanya pengikisan pada tulang
cranium yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam. Skull defect dapat
terjadi dari lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan
anenchephaly dan juga skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu
pengeluaran cairan atau pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak
(Honeybul, 2017)

1.3 Epidemiologi
Menurut data dari Metropolitan Atlanta Congenital Defects Programme (Siffel et
al., 2003), sebagian besar kematian anak-anak dengan encephalocele terjadi selama
hari pertama kehidupan dan perkiraan kemungkinan bertahan hidup hingga usia 20
tahun adalah 67,3%, Selain itu , faktor-faktor yang terkait dengan peningkatan
mortalitas adalah berat lahir rendah, adanya cacat ganda, bukan cacat tunggal, dan
keturunan kulit hitam atau Afrika-Amerika. Sebagian besar pendaftar dan studi
epidemiologi mengklasifikasikan ensefalokel menggunakan kategori luas seperti
frontal, parietal, oksipital, dan sphenoidal Ensefalokel juga dapat terjadi di dekat
sinus, dahi dan hidung atau di dekat pangkal tengkorak. Gejala yang dapat

7
berkembang termasuk keterlambatan dalam mencapai tonggak perkembangan,
kecacatan intelektual, ketidakmampuan belajar, keterlambatan pertumbuhan, kejang,
gangguan penglihatan, gerakan sukarela yang tidak terkoordinasi (ataksia), dan
hidrosefalus, suatu kondisi di mana kelebihan cairan serebrospinal di tengkorak
menyebabkan tekanan pada otak (NORD, 2012).

1.4 Etiologi
Menurut (Ramamurthi, et al, 2007) Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

1.5 Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
1) Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.

8
2) Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
3) Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.
4) Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
5) Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.
6) Edema serebral
7) Perdarahan
8) Syok hipovolemik
9) Hydrocephalus
10) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
11) Kerusakan integritas kulit
12) Kerusakan syaraf

9
1.6 Patofisiologi/Patologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh (Tabler, Rice, Liu,
& Wallingford, 2016)
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila
trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan
yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnyapeningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan mobil
atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu luka tusuk
dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu

10
atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas,
cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan
pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari
pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakus
perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi
yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian (Smeltzer,
2001).

1.7 Manifestasi Klinis


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1) Bentuk kepala asimetris
2) Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
3) Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau
fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala yaitu berupa:
1) Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
2) Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan
dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
4) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.

11
1.8 Pemeriksaan Penunjang

Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
1) CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:

Gambar CT scan skull defect


2) Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan.
Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Hasil yang diperoleh pada foto kepala pasien dengan skull defect
adalahsebagai berikut:

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging)


Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 4) EEG

12
(Elektroensepalogram) digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang
patologis.
4) EEG(Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis

13
1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk klien dengan skull defect yaitu:
a. Observasi
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Observasi GCS
3. Observasi nyeri
4. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
b. Nursing Treatment
1. Posisikan pasien senyaman mungkin
2. Menjaga lingkungan dari resiko benturan
3. Berikan teknik relaksasi
4. Bantu memenuhi kebutuhan personal hygiene
c. Edukasi
1. Edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien
2. Edukasi pasien dan keluargauntuk tidak menekan bagian yang terkena
skull defestI
3. Edukasi keluarga untuk menghindari benturan di kepala
d. Kolaborasi
1. Berikan terapi oksigen
2. Berikan terapi intravena
3. Pemberian obat-obatan vaskulasisasi dan analgesik
4. Pembedahan bila ada indikasi

1.9.1 Glasgow Coma Scale atau GCS


Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala yang dipakai untuk mengetahui
tingkat kesadaran seseorang. Dahulu, GCS hanya dipakai untuk mengetahui
tingkat kesadaran orang yang mengalami cedera kepala. Namun, saat ini
GCS juga digunakan untuk menilai tingkat kesadaran saat
memberikan pertolongan darurat medis. Tingkat kesadaran seseorang dapat
dinilai dari tiga aspek yaitu mata, suara (kemampuan bicara), dan gerakan
tubuh

14
Cara Mengukur Tingkat Kesadaran

1.9.2 Pengukuran kekuatan otot


Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan serabut
otot, atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot
yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain
mengakibatkan efek negative. Efek tersebut dalah penurunan kekuatan, penurun
fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional
(Pudjiastuti & Utomo,2008).
Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai
untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa
status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang
diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi perburukan
pada penderita. Penilaian tersebut meliputi :
a. Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot,
b. Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus
otot,dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi,

15
c. Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi kekuatannya
tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, (4)
d. Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa,
e. Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan
otot terhadap tahanan yang ringan,
f. Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun, dkk, 2008).

1.9.3 Terapi Oksigen (O2)


Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya
pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki
hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat
dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi,
meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan
pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.
Jenis-jenis Terapi oksigen:.
1. Kanul Nasal/ Binasa/ Nasal Prong
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen kontinyu
dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan
kateter nasal yaitu 24 % - 44 %. Persentase O2 pasti tergantung ventilasi
per menit pasien. Pada pemberian oksigen dengan nasal kanula jalan nafas
harus paten, dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut.
Keuntungan
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur,
pemasangannya mudah dibandingkan kateter nasal, murah, disposibel,
klien bebas makan, minum, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir
klien dan terasa nyaman. Dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan
mulut, bila pasien bernapas melalui mulut, menyebabkan udara masuk
pada waktu inhalasi dan akan mempunyai efek venturi pada bagian
belakang faring sehingga menyebabkan oksigen yang diberikan melalui
kanula hidung terhirup melalui hidung.

16
b. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai
oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena
kedalaman kanul hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien
dengan obstruksi nasal. Kecepatan aliran lebih dari 4 liter/menit jarang
digunakan, sebab pemberian flow rate yang lebih dari 4 liter tidak akan
menambah FiO2, bahkan hanya pemborosan oksigen dan menyebabkan
mukosa kering dan mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan
kerusakan kulit diatas telinga dan di hidung akibat pemasangan yang
terlalu ketat.
2. Simple mask
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang. Merupakan
alat pemberian oksigen jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran
5 – 8 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%. Masker ini kontra
indikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida karena akan
memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit
untuk mendorong CO2 keluar dari masker.
Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula
nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
berlubang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien
mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit dapat
menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.

17
3. Rebreathing mask
Rebreathing mask
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 – 60%
dengan aliran 6 – 12 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2.
Udara ekspirasi sebagian tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan
aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi dan hampir menguncup waktu
inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan
cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian
kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan
sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit.
Keuntungan
Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, kantong oksigen
bisa terlipat atau terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan aliran
yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup sejumlah besar
karbondioksida. Pasien tidak memungkinkan makan minum atau batuk
dan menyekap, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat.
4. Non Rebreathing mask
Non rebreathing mask
Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang tinggi
mencapai 90 % dengan aliran 6 – 15 liter/mnt. Pada prinsipnya udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi, udara ekspirasi
dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih katup, sehingga
dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi. Sebelum dipasang ke
pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara
kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir.
Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali
pengikat untuk mencegah iritasi kulit. Kantong tidak akan pernah kempes

18
dengan total. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet harus
pada tempatnya dan tanpa tongkat.
Keuntungan :
Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 90%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian :
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah. Kantong oksigen
bisa terlipat atau terputar, menyekap, perlu segel pengikat, dan tidak
memungkinkan makan, minum atau batuk, bisa terjadi aspirasi bila pasien
muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak.
5. Jackson Rees
Dengan flow oksigen > 10 liter/menit konsentrasi 100%. Alat ini terdiri
dari kantong karet elastiss yang dikembangkan dengan aliran oksigen 10 –
12 lpm . Setelah dipijat untuk memberikan gas inhalasi , kantong akan
diisi oleh aliranoksigen lagi . Alat ini mutlak tergantung dari oksigen.
Keuntungannya adalah kadar oksigen inspirasi dapat diberikan sampai
100% . Sistem Jackson Rees tidak menggunakan katub. "ada dasarnya
semua alat anestesi inhalasi dapat dignakan untuk memberikannapas
buatan. Jackson Rees berfungsi untuk memonitor nafas spontan atau
memudahkan melakukan nafas kendali

19
1.10 Clinical Pathway
Tumor, pendarahan dikepala

Operasi trepanasi/Craniotomi

Skull defect

Kerusakan kontinuitas jaringan


Resiko perdarahan
Tulang, jaringan kulit, otot dan Nyeri akut

Laserasi pembuluh darah akut

Perdarahan atau Jaringan otak rusak Jalannya masuk Gangguan suplai


hematoma bakteri virus darah
Rangsangan simpatis meningkat
Perubahan atau hematoma Pertahanan iskemi
Tahanan vaskuler sistemik dan tubuh inadekuat
tekanan
Perubahan sirkulasi CSS hipoksia

Menurunkan tekanan pembuluh Resiko infeksi


peningkatan tik Resiko
darah pulmonal
ketidakefektifan
Penurunan kesadaran perfusi jaringan otak
Tekanan hidrostatik
Penumpukan skret meningkat

Batuk tidak efektif Kbocoran cairan


kapiler
Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas Odem paru
Imobilisasi

Bed rest total Difusi oksigen


terhambat

Hambatan mobilitas fisik Ketidakefektifan pola nafas

18
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
a) Identitas pasien
Meliputi nama, jenis jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi kesehatan,
golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis
medis.
b) Riwayat penyakit sekarang
Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir
(enchephalocele) tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect
akibat trauma, tumor atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan
nyeri bagian kepala hingga diikuti penurunan kesadaran.
c) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah
mengalami craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
d) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan
tingkat kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang,
gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan
untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati
nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.

19
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
e) Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi
yang pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti
kanker.

1) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
a) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya
pasien tidak sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri
di bagian kepalanya.
b) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
1) Respon membuka mata (E)
Membuka mata dengan spontan (4)
Membuka mata dengan perintah (3)
Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
Tidak reaksi reaksi apapun (1)
2) Respon motorik (M)
Mengikuti perintah (6)
Melokalisir nyeri (5)
Menghindar nyeri (4)
Fleksi abnormal (3)
Ekstensi abnormal (2)
Tidak ada reaksi apapun (1)
3) Respon verbal (V)
Orientasi baik dan sesuai (5)
Disorienasi tempat dan waktu (4)

20
Bicara kacau (3)
Mengerang (2)
Tidak ada reaksi apapaun (1)
Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
2) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh
tulang teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut
bisa berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/
cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan
bisa terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada
papil, rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
h) Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban,

21
perubahan bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat
trauma bisa terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi,
kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada
pasien dengan skull defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan
jalan nafas oleh sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar
suara ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian
perut, biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull
defect
2.2 Diagnosa
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2) Resiko jatuh berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3) Ansietas berhubungan dengan kematian
4) Resiko ketidakefektifan perfungsi jaringan otak
b. Intra Operasi
1) Resiko infeksi pembedahan berhubungan pertahanan tubuh primer
tidak adekuat
2) Resiko hipotermi
c. Post Operasi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mukus
berlebiha

22
2) Nyeri berhubungan dengan prosedur bedah
3) Aspirasi
4) Resiko cedera akibat posisi perioperative
2.3 Intervensi
Diagnosa Rasional
No Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Pre Operasi

1 Nyeri akut NOC : Perilaku Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Meminimalkan rasa
berhubungan Mengendalikan Nyeri a. Tidak menunjukkan Intervensi : nyeri yang dirasakan
dengan Tujuan : Pasien tidak adanya nyeri atau 1. Berikan pereda nyeri pasien
peningkatan TIK mengalami nyeri atau nyeri minimalnya bukti-bukti dengan manipulasi 2. Mengurangi rasa nyeri
menurun sampai tingkat ketidaknyamanan lingkungan (misal lampu 3. Mengurangi rasa nyeri
yang dapat diterima pasien b. TIK dalam batas normal ruangan redup, tidak ada 4. Pasien bisa mimilih
c. Tidak menunjukkan kebisingan, tidak ada teknik yang tepat untuk
bukti-bukti peningkatan gerakan tiba-tiba). mengurangi nyeri
TIK 2. Berikan analgesia sesuai 5. Dukungan keluarga
d. Belajar dan ketentuan, observasi dapat memotivasi
mengimplementasikan adanya efek samping. pasien
strategi koping yang 3. Lakukan strategi sesuai 6. Mengantisipasi nyeri
efektif. non farmakologi untuk yang berulang
membantu mengatasi
nyeri.
4. Gunakan strategi yang

23
dikenal pasien atau
gambarkan beberapa
strategi dan biarkan
pasien memilih.
5. Libatkan keluarga dalam
pemilihan strategi
6. Ajarkan pasien untuk
menggunakan strategi
non farmakologi
sebelum terjadi nyeri
atau sebelum menjadi
lebih berat.
2 Resiko jatuh NOC : Keamanan Sosial Kriteria hasil : NIC : Mencegah Jatuh 1. Pasien mengetahui
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Bebas dari cedera 1. Tekankan pentingnya tujuan perawatan
dengan mengalami cedera b. Pasien dan keluarga mematuhi program 2. Memberikan dukungan
perubahan menyetujui aktivitas atau terapeutik 3. Mencegah terjadi
fungsi modifikasi aktivitas yang 2. Dampingi pasien selama cedera
neurologis tepat aktivitas yang diijinkan 4. Mencegah terjadinya
3. Jaga agar penghalang dekubitus
tempat tidur tetap
terpasang
4. Bantu ambulasi dan
aktivitas hidup sehari-
hari dengan tepat
3 Ansieras NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
kematian diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa

24
hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
4. Risiko NOC : Kriteria hasil: NIC
ketidakefektifan Status Neurologi (0909) 1. Kesadaran membaik Monitor Neurologi (2620)
Perfusi Jaringan 2. Mampu mengontrol 1. Monitor tingkat
Setelah dilakukan tindakan
otak motorik sentral kesadaran
keperawatan selama 3 x 24
jam perfusi jaringan otak 3. mampu melakukan 2. Monitor tanda-tanda
membaik fungsi sensorik dan vital : suhu, tekanan
motorik kranial darah, denyut nadi, dan
4. Komunkasi yang tepat respirasi
dengan situasi 3. Monitor kesimetrisan
wajah
4. Monitor karakteristik
berbicara : kelancaran,
adaya aphasia, atau
kesulitan menemukan

25
kata
5. Monitor respon terhadap
stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia :
mati rasa dan kesemutan
Intra Operasi
Resiko infeksi NOC : Kontrol Infeksi Kriteria hasil : NIC : Kontrol Infeksi 1. Agar ruangan selalu
pembedahan intraoperatif intraoperatif bersih
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Bersihkan debu dan 2. Mencegah invasi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi permukaan mendatar mikroorganisme
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda dengan pencahayaan di 3. Mencegah invasi
adekuat infeksi pada pasien. ruang operasi mikroorganisme
2. Monitor dan jaga suhu 4. Mencegah invasi
ruangan antara 20o dan mikroorganisme dan
24 o C udara tetap bersih
3. Monitor dan jaga 5. Mencegah inos
kelembaban relatif antara 6. Mencegah terjadinya
20% dan 60 % infeksi
4. Monitor dan jaga aliran 7. Mencegah terjadinya
udara yang berlapis infeksi
5. Batasa dan kontrol lalu 8. Mencegah inos
lalang pengunjung 9. Mencegah inos
6. Verifikasi bahwa Mencegah ino
antibiotik profilaksis
telah diberikan dengan

26
tepat
7. Lakukan tindakan-
tindakan pencegahan
universal/ universal
precautions
8. Pastikan bahwa personil
yang akan melakukan
tindakan operasai
mengenakan pakaian
yang sesuai
9. Lakukan rancangan
tindakan isolasi yang
sesuai
10. Monitor teknik isolasi
yang sesuai

2 Resiko NOC kriteria hasil: NIC


hipotermi
Termoregulasi (0800) 1. Penurunan suhu kulit Monitor Elektrolit/Cairan
meningkat dari skala 1 (4130)
Perfusi Jaringan : Perifer menjadi skala 4
Setelah dilakukan tindakan 2. Menggigil saat dingin 1. Tentukan faktor-faktor
meningkat dari skala 1 resiko yang mungkin
keperawatan selama 1x24
jam hipotermi pada pasien menjadi skala 4 menyebabkan
dapat dicegah, 3. Denyut jantung apikal ketidaksimbangan
meningkat dari skala 1 cairan
menjadi skala 4 2. Monitor tekanan darah,

27
4. Denyut nadi radial denyut jantung dan
meningkat dari skala 1 status pernafasan
menjadi skala 4 3. Monitor membran
5. Perubahan warna kulit mukosa, turgor kulit
meningkat dari skala 1 4. Monitor distensi vena
menjadi skala 4 leher, ronki di paru-
6. Pengisian kapiler jari paru
kaki meningkat dari 5. Berikan cairan dengan
skala 1 menjadi skala 4 tepat
7. Suhu kulit ujung kaki Manajemen
dan tangan meningkat Elektrolit/Cairan
dari skala 1 menjadi
skala 4 1. Jaga infus intravena
8. Muka pucat meningkat yang tepat dan tranfusi
dari skala 1 menjadi darah
skala 4 2. Monitor status
hemodinamik
3. Pantau adanya tanda
dan gejala retensi cairan
4. Batasi cairan yang
sesuai
5. Monitor tanda-tanda
vital yang sesuai
6. Monitor kehilangan
cairan

28
Post Operasi

1 Ketidakefektifan NOC: dengan kriteria hasil : 1. Pastikan kebutuhan oral /


Bersihan Jalan tracheal suctioning.
nafas - Respiratory status : a. Mendemonstrasikan 2. Berikan O2 ……l/mnt,
berhubungan Ventilation (NOC: 434b) batuk efektif dan suara metode………
dengan mukus - Respiratory status : nafas yang bersih, tidak 3.
yang berlebih Anjurkan pasien untuk
Airway patency(NOC: ada sianosis dan dyspneu istirahat dan napas dalam
432-433b) (mampu mengeluarkan 4. Posisikan pasien untuk
- Aspiration Control sputum, bernafas dengan memaksimalkan ventilasi
Setelah dilakukan tindakan mudah, tidak ada pursed 5. Lakukan fisioterapi dada
keperawatan selama 1 x24 lips)
jampasien menunjukkan b. Menunjukkan jalan nafas jika perlu
keefektifan jalan nafas 6. Keluarkan sekret dengan
yang paten (klien tidak batuk atau suction
merasa tercekik, irama 7. Auskultasi suara nafas,
nafas, frekuensi catat adanya suara
pernafasan dalam tambahan
rentang normal, tidak 6. Berikan bronkodilator :
ada suara nafas 7. Monitor status
abnormal) hemodinamik
c. Mampu 8. Berikan pelembab udara
mengidentifikasikan dan Kassa basah NaCl
mencegah faktor yang

29
penyebab. Lembab
d. Saturasi O2 dalam batas 9. Berikan antibiotik :
normal 10. Atur intake untuk
e. Foto thorak dalam batas cairan mengoptimalkan
normal keseimbangan.
11. Monitor respirasi
dan status O2
12. Pertahankan hidrasi
yang adekuat untuk
mengencerkan sekret
13. Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
penggunaan peralatan :
O2, Suction, Inhalasi.

2 Nyeri akut NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan

30
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
3 Resiko Aspirasi Setelah dilaukan perawatan Kriteria hasil: Pencegahan Aspirasi:
selama 1 x 24 jam pasien Status pernafasan: 1. Monitor tingkat
tidak mengalami sekresi Kepatenan jalan nafas kesadaran
gastrointestinal, benda cair 1.Frekuensi pernafasan 2. Pertahankan kepatenan
atau padat ke dalam saluran dalam batas normal jalan nafas
trakeobronkial yang dapat 2.Irama pernafsan dalam 3. monitos status pernafasan
menganggu kesehatan batas normal 4. Posisikan kepala tegak
3. Kedalaman inspirasi lurus, sama dengan atau
4.Mampu untuk lebih tinggi dari 30 sampai
mengeluarkan secret 90 derajat
5. jaga kepala tempat tidur
ditinggikan 30 sampai 45
menit setelah pemberian
makan
4 Resiko Cedera Setelah dilakukan perawatan dengan kriteria hasil : Pengaturan posisi:
akibat posisi selama 3x 24 jam pasien 1. tempatkan pasien diats
perioperatif tidak mengalami perubahan 1. Lecet pada kulit matras atau tempat tidur
anatomis dan fisik yang meningkat dari skala 1 terapeutik
tidak disengaja menjadi skala 4 2. Monitor status oksigenasi
2. Memar meningkat dari pasien sebelum dan setelah
perubahan posisi
skala 1 menjadi skala 4
3. Tempatkan pasien posisi
3. Perdarahan meningkat terapeutik yang sudah
dari skala 1 menjadi dirancang
skala 4 4. Jangan menempatkan

31
4. Integritas kulit bagain tubuh pasien pada
meningkat dari skala 1 posisi yang bisa
menjadi skala 4 meningkatkan nyeri
5. Balikkan tubuh pasien
5. Lesi pada kulit
dengan menggunakan
meningkat dari skala 1 teknik gelindingkan dan
menjadi skala 4 gulung/log roll technique
6. Pigmentasi abnormal
meningkat dari skala 1
menjadi skala 4

32
2.4 Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan
di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus sudah
dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
1) Pengertian dari penyakit Skull Defect
2) Penjelasan tentang penyebab Skull Defect
3) Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
4) Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila
ada gejala yang memberatkan penyakitnya
5) Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam
menaati program pemulihan kesehatan
6) Menjaga lingkungan di rumah untuk mencaegah benturan

30
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., dkk. 2015. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth


Edition. United States of America: Elsevier Mosby.Gibson. 2002.
Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New
York: Thieme.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Ester, M. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015 - 2017.
Jakarta: EGC
Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition &
Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley-Blackwell.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
SistemPersyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nanda.2020. Diagnosis Keperawatan : Defnisi dan Klasifikasi 2018-
2020.Jakarta:EGC
Nurarif dan Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis, Nanda dan NIC& NOC. Jakarta: Medication
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta:
EGC.
Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi:
BI Publications.

Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Honeybul, S. (2017). Neurological dysfunction due to large skull defect:


implications for physiotherapists. Journal Rehabilitation Medicine, (2), 204–
207. https://doi.org/10.2340/16501977-2209

NORD. (2012). Encephalocele.

Tabler, J. M., Rice, C. P., Liu, K. J., & Wallingford, J. B. (2016). A novel
ciliopathic skull defect arising from excess neural crest. Developmental
Biology, 417(1), 4–10. https://doi.org/10.1016/j.ydbio.2016.07.001

Yueniwati, Y. (2017). Pencitraan pada Tumor Otak : Modalitas dan


Intrepetasinya. Malang: UB Press.

31
32

Anda mungkin juga menyukai