Anda di halaman 1dari 15

BAB 4

METODE DAN KRITERIA PERENCANAAN

4.1. Prinsip dasar Drainase

Sistem drainase perkotaan pada dasarnya merupakan bagian dari “Sistem


Pengelolaan Sumber Daya Air Perkotaan”. Sistem drainase tidak dapat dipandang
hanya dari aspek pembebasan kawasan dari genangan, tapi terkait erat dengan
komponen prasarana perkotaan lainnya, khususnya yang berkaitan dengan
sanitasi. Gambar 4.1 memperlihatkan keterkaitan antara penyediaan air bersih,
pengelolaan air hujan, dan pengelolaan air limbah perkotaan. Disamping ketiga
komponen tersebut di atas, sistem drainase juga terkait erat dengan sistem
persampahan.

Gambar 4.1. sistem pengelola sumber daya air


4.2. Standar metode dan kriteria perencanaan drainase dan DED drainase

Standar, metoda dan kriteria perencanaan yang dipergunakan dalam


pelaksanaan pekerjaan pada dasarnya adalah yang berlaku relevan di Indonesia dan
internasional yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengairan yang sudah umum
berlaku antara lain:

1. Standar Nasional Indonesia No. M 18.F Tentang Metode Perhitungan Banjir,


2. Standar Tentang Penjaminan Mutu,
3. Standar dari United States Bureau of Reclamation,
4. SNI 03‐2406‐1991 tentang Drainase Perkotaan, Tata Cara Perencanaan
Umum,
5. Kriteria Perencanaan (KP), Perencanaan Teknis (PT) yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 1986,
6. RTRW Kabupaten dan RDTRK Kota.
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 48‐49/Prt/1990 tentang
pengelolaan atas air dan atau sumber air pada wilayah sungai.
8. Buku Panduan Sistem Drainase Perkotaan, Direktorat PPLP, Dirjen Cipta
Karya, Kementrian PU, 2012

4.3. Perencanaan sistem drainase

4.3.1. Konsep dasar master plan


Perencanaan sistem drainase dipertimbangkan atas dasar adanya dua
sistem drainase yang berbeda.Kedua sistem yang dimaksud adalah
sistem/saluran drainase awal (minor) yang berfungsi kwarter atau tersier
atau sekunder, dan sistem/saluran drainasi utama (major) yang berfungsi
primer.
Sistem drainase awal (minor) adalah bagian dari sistem drainase secara
keseluruhan yang menimbulkan aliran maksimum yang berasal dari
limpasan hujan. Termasuk dalam sistem ini adalah parit, selokan tepi jalan,
gorong‐gorong serta semua bentuk saluran yang direncanakan untuk
mengalirkan air limpasan. Limpasan hujan dapat direncanakan untuk
periode ulang 2 tahun atau 10 tahun tergantung dari tata guna tanah
sekitarnya. Sistem drainase utama (major) harus dirancang untuk dapat
menampung aliran banjir dengan periode ulang 20 tahun. Sistem drainase
utama ini dapat terdiri dari saluran alam, sungai‐sungai, dan banjir kanal.
Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pekerjaan Penyusunan
Master Plan Drainase Kota Wates ini adalah pengumpulan data prasarana
dan sarana drainase, untuk selanjutnya disusun sebagai suatu sistem
struktur database prasarana dan sarana sistem drainase.
Manajemen data mempunyai peranan yang sangat penting untuk
perencanaan, implementasi maupun evaluasi suatu kegiatan. Kualitas hasil
kajian tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas data yang dikumpulkan.
Manajemen data meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan serta
menyajikan data menjadi informasi yang berguna. Proses manajemen data
meliputi lima kegiatan utama, yaitu pengumpulan data, pengelompokan,
evaluasi, pemprosesan data dan analisis.

Berdasarkan cara pengumpulannya, Data dapat dikategorikan menjadi


dua, yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Yang dimaksud Data Sekunder
adalah segala informasi yang berkaitan dengan studi yang sedang
dilaksanakan, yang diperoleh secara tidak langsung atau dilakukan oleh
pihak lain. Data data sekunder dapat berupa catatan, hasil pengukuran,
hasil analisis yang diperoleh oleh suatu instansi atau tim studi, juga buku‐
buku laporan proyek dan peraturan kebijaksanaan daerah. Sedangkan Data
Primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung pada studi ini, yang
meliputi hasil pengamatan, pencatatan, pengukuran, dan wawancara
langsung pada sumber yang relevan. Realisasi untuk mendapatkan data
tersebut adalah melalui survei lapangan.
beberapa pertimbangan di atas dalam perencanaan jaringan drainase,
dalam hal ini menyangkut dasar perencanaan sebagai pedoman, yaitu:
a. Setiap pembangunan baru saluran drainase, perlu dikaitkan dengan
masalah kelestarian lingkungan, topografi wilayah, saluran alam
yang ada, dan aspek estetika.
b. Perencanaan drainase air hujan harus sejalan dengan perkembangan
kotamen datang. Dalam perkembangan kota yang menyangkut
saluran air limbah harus dipisahkan dengan saluran air hujan.
c. Pengelolaan air limbah diperlukan untuk menghindari pencemaran
lingkungan.
d. Debit aliran permukaan prediksi sebaiknya data curah hujan dalam
rentang waktu 10 tahun yang lalu dan perlu dievaluasi ulang
e. Kajian ulang terhadap studi‐studi terdahulu perlu dilakukan, dalam
rangka evaluasi terhadap hasil kajian.
4.3.2. Penataan sistem Drainase
Ada beberapa kriteria perencanaan drainase kota, yang akan diuraikan
sebagai berikut:
a. Air hujan harus segera mengalir ke badan saluran penerima air.
b. Saluran drainasediusahakan sependek mungkin.
c. Kecepatan aliran air sedemikian sehingga tidak terjadi kerusakan
saluran dan sedimentasi.
d. Kapasitas saluran harus direncanakan untuk menampung debit
aliran maksimum.
e. Tambahan air hujan yang mengalir dalam saluran, tidak
menimbulkan banjir diwilayah penerima atau wilayah yang
dipengaruhi oleh sungai penerima.

Arah aliran air dirancang dengan pola memanfaatkan kelandaian


alam, saluran alam, mengurangi jumlah gorong‐gorong, dan waktu
konsentrasi pada pertemuan dua arus air tidak boleh sama.

4.3.3. Konsep dasar sistem Drainanse


Topografi Kota pada umunya secara umum terbagi menjadi dua
bagian, yaitu bagian yang berupa dataran tinggi dan perbukitan dengan
kemiringan sedang sampai terjal dan elevasi bervariasi. Sedangkan bagian
dataran rendah atau kawasan pantai berupa dataran rendah dengan
kemiringan sangat landai, elevasi bervariasi dari 0 m sampai 25 m dpl,
bahkan di beberapa titik berada di bawah muka air laut, terutama pada saat
air laut pasang.
Berdasarkan kondisi topografi tersebut, maka sistem drainase kota di
wilayah studi tidak bisa lagi mengandalkan sistem gravitasi murni, tetapi
sistem kombinasi antara sistem drainase gravitasi, polder, dan tanggul,
seperti diperlihatkan dalam gambar berikut. Disamping itu, beban drainase
dari kawasan hulu perlu dikendalikan dengan fasilitas pemanenan air
hujan.
gambar 4.2. konsep dasar sistem drainase

4.3.4. Konsep ecodrainase


Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase yang bertujuan agar
tidak terjadi banjir di suatu kawasan, ternyata air juga merupakan sumber
kehidupan. Bertolak dari hal tesebut, maka konsep dasar pengembangan
sistem drainase yang berwawasan lingkungan adalah meningkatkan daya
guna air, meminimalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi
lingkungan. Untuk itu diperlukan usaha‐ usaha yang komprehensif dan
integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural
maupun non struktural, untuk mencapai tujuan tersebut (Suripin, 2004).
Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air
secepatnya mengalir dan seminimal mungkin menggenangi daerah
layanan. Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air (pemakaian
dan ketersedian) maka diperlukan suatu perancangan drainase yang
berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas
pada konservasi air.
Dengan menerapkan konsep Ecodrain akan didapatkan manfaat
sebagai berikut:
1. Terlakasananya Konservasi air dan tanah.
2. Menahan laju run‐off (limpasan permukaan) sehingga
mengurangi erosi.
3. Mengurangi debit banjir
4. Mereduksi dimensi saluran drainase.
5. Menahan intrusi air laut.
Konsep Sistem Drainase yang Berwawasan Lingkungan prioritas
utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan
dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan.
Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe
peresapan

Gambar 4.3. Klasifikasi fasilitas penahan air hujan


4.3.5. Tipe penyimpanan
Tipe penyimpanan yang dimaksud adalah menahan air hujan yang
jatuh terutama dibagian hulu ditampung pada kolam‐kolam penampungan,
situ atupun waduk, sehingga air ditahan dan tidak langsung melimpas ke
bagian hilir. Kolam penyimpanan/penampungan biasa dibuat di luar lokasi
kawasan/perkotaan yaitu dibagian hulu/atas ataupun di dalam kawasan
seperti di lahan terbuka, halaman/pekarangan seperti disajikan pada
Gambar 4.5. Tindakan lain yaitu dengan pemeliharaan vegetasi dan
modifikasi landscape seperti disajikan.

Gambar 4.4. ecodrainase tipe penyimpanan

Gambar 4.5. ecodrainase dengan pemeliharaan vegetasi


gambar 4.6. ecodrainase dengan modifikasi landscape

4.3.6. Tipe peresapan


Menurut Sunjoto, 1987 konsepsi perancangan drainase air hujan yang
berasaskan pada konservasi air tanah pada hakekatnya adalah perancangan
suatu sistem drainase yang mana air hujan jatuh di atap/perkerasan,
ditampung pada suatu sistem resapan air, sedangkan hanya air dari
halaman bukan perkerasan yang perlu ditampung oleh sistem jaringan
drainase.
Pada pengertian ini langkah struktural tipe peresapan adalah dengan
menggunakan Sumur Resapan Air Hujan (SRAH) dan Lubang Biopori.
1. Sunur resapan air hujan
Salah satu langkah struktural dalam konsep sistem drainase yang
berwawasan lingkungan adalah pembuatan Sumur Resapan Air Hujan
(SRAH)

Gambar 4.7. Contoh sumur resapan air hujan


Meningkatnya limpasan permukaan, disamping akan menambah beban
sistem drainase di bagian hilir, juga menurunkan pengisian air tanah,
sehingga memberi kontribusi terhadap keseimbangan siklus hidrologi.
Oleh karena itu, salah satu solusi adalah mengembalikan fungsi resapan
secara artifisial. Hal ini akan memberi manfaat ganda, yaitu menurunkan
limpasan permukaan sekaligus meningkatkan mengisian air tanah.
Perhitungan SRAH menurut Sunjoto dalam Suripin ( 2004 ), dengan
persamaan sebagai barikut:

dengan:
H = tinggi muka air dalam sumur (m)
F = faktor geometrik (m)
Q = debit air masuk (m³/detik)
T = waktu pengaliran (detik)
K = koefisien permeabilitas tanah (m/detik)
R = jari‐jari sumur (m)

Sedangkan berdasarkan Metode PU ( 1990 ), perhitungan SRAH


tertuang dalam SK SNI T‐06‐1990‐F, tentang standar tata cara
perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan,
dengan persamaan:

dengan:
H = tinggi muka air dalam sumur (m)
D = durasi hujan (jam)
I = intensitas hujan (m/jam)
At = luas tadah hujan (m²)
K = permeabilitas tanah (m/jam)
P = keliling penampang sumur (m²)
As = luas penampang sumur (m²)
2. Lubang biopori
Lubang biopori adalah salah tindakan struktural tipe resapan
yang paling mudah dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu dengan
membuat lubang dengan diameter 10 cm dan kedalaman rata‐rata 100
cm, kemudian lubang tersebut diisi dengan sampah organik.

gambar 4.8. konsep lubang biopori

4.4. Tahapan pelaksanaan pekerjaan

a. Persiapan dan Mobilisasi


Mobilisasi personil dan alat
b. Studi Pendahuluan
o Inventarisasi data & studi terdahulu
o Penyusunan rencana kerja
o Survai Pendahuluan
o Penyusunan laporan pendahuluan

1. Survey dan peyelidikan lapangan


o Survai topografi
o Survai hidrologi dan hidrolika
o Penyusunan laporan-laporan survei
2. Analisa data
o Analisa data dan pemetaan topografi
o Analisa sumber material
o Analisa hidrologi
o Penyusunan laporan antara
3. Perencanaan teknis
o Perencanaan Dimensi Saluran
o Perencanaan Volume Limpasan
o Perencanaan Drainase
o Penyusunan laporan struktur
4. Gambar perencanaan akhir
o Plan dan Profil
o Potongan Melintang
o Detail Saluran Air
o Detail Struktur Drainase
o Umum
o Standar
5. Perkiraan kuantitas dan biaya
o Perhitungan volume pekerjaan fisik
o Analisa harga satuan pekerjaan
o Penyusunan laporan Engineer Estimate
6. Laporan akhir
o Penyusunan laporan dokumen lelang
o Penyusunan laporan akhir

4.5. Detail Engineering Design (DED)

DED adalah studi lanjutan pada lokasi yang dianggap segera membutuhkan
penanganan guna mengatasi permasalahan yang timbul pada sistem drainase
terutama pada lokasi yang terpilih/ prioritas utama yaitu pada lokasi rawan
genganan dan rawan banjir. Kegiatan DED meliputi:

1. Pengukuran topografi lokasi yang tepilih.


2. Penyelidikan tanah.
3. Studi dan analisis Hidrologi.
4. Studi dan analisis Hidrolika.
5. Analisis struktur bangunan.
6. Penggambaran.

4.5.1. Survei Topografi


Lingkup Pekerjaan
Lingkup Pekerjaan Pengukuran Topografi untuk dan Drainase terdiri
dari beberapa bagian pekerjaan yaitu :
1. Persiapan
2. Pemasangan Patok, Bench mark (BM) dan Control Point (CP).
3. Pekerjaan perintisan untuk pengukuran
4. Pekerjaan pengukuran yang terdiri dari :
o Pengukuran titik kontrol horizontal (Polygon) dan vertikal
(Waterpass)
o Pengukuran situasi/detail
o Pengukuran penampang memanjang dan melintang
o Pengukuran-pengukuran khusus

Pengukuran Titik Kontrol Horizontal

Metodologi Pengukuran Titik Kontrol Horizontal dilaksanakan sebagai


berikut :

 Pengukuran titik kontrol dilakukan dalam bentuk poligon


 Sisi poligon atau jarak antar titik poligon maksimal 100m, diukur
dengan pegas ukur (meteran) atau alat ukur jarak elektronis
 Patok-patok untuk titik-titik poligon adalah patok kayu, sedang
patok-patok untuk titik ikat adalah patok dari beton
 Sudut-sudut poligon diukur dengan alat ukur Theodolith dengan
ketelitian dalam secon (yang mudah/umum dipakai adalah
Theodolith jenis T2 Wild Zeis atau yang setingkatan)
 Ketelitian untuk poligon adalah sebagai berikut :
 Kesalahan sudut yang diperbolehkan adalah 10” akar jumlah titik
poligon
 Kesalahan azimuth pengontrol tidak lebih dari 5”
 Pengamatan matahari dilakukan pada titik awal proyek pada setiap
jarak 5 Km (kurang lebih 60 titik poligon) serta pada titik akhir
pengukuran.
 Setiap pengamatan matahari dilakukan dalam 4 seri rangkap (4
biasa dan 4 luar biasa)

Pengukuran Titik Kontrol Vertikal

Metodologi Pengukuran Titik Kontrol Vertikal dilaksanakan sebagai


berikut :

 Jenis alat yang dipergunakan untuk pengukuran ketinggian adalah


Waterpass Orde II
 Untuk pengukuran ketinggian dilakukan dengan double stand
dilakukan 2 kali berdiri alat
 Batas ketelitian tidak boleh lebih besar dari 10 akar D mm. Dimana
D adalah panjang pengukuran (Km) dalam 1 (satu) hari
 Rambu ukur yang dipakai harus dalam keadaan baik dalam arti
pembagian skala jelas dan sama
 Setiap pengukuran dilakukan pembacaan rangkap 3 (tiga) benang
dalam satuan milimeter
 Benang Atas (BA), Benang Tengah (BT) dan Benang Bawah (BB),
Kontol pembacaan : 2BT = BA + BB
 Referensi levelling menggunakan referensi lokal

Pengukuran Situasi

Metodologi Pengukuran Situasi dilaksanakan sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai