Anda di halaman 1dari 10

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

DENGAN TEMA “PEMETAAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DAN


SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) DESA TONGAS KULON, PROBOLINGGO,
JAWA TIMUR”

Waktu Pelaksanaan : Probolinggo, 30 November 2018

Lokasi : Rumah Bapak Ja’i – Tongas Kulon

Narasumber :

 Perangkat Desa Tongas


 Warga Desa Tongas Kulon, Probolinggo (Masyarakat Nelayan)
 Warga anggota Lestari Desaku

Tujuan dilaksanakannya kegiatan FGD di Desa Tongas Kulon – Probolinggo yaitu :

1. Mengetahui sejarah atau asal usul desa Tongas Kulon – Probolinggo.


2. Mengenali dan menggali potensi-potensi dan permasalahan yang ada di desa Tongas
Kulon – Probolinggo.
3. Stakeholder masyarakat untuk membangun desa Tongas Kulon – Probolinggo agar
bisa lebih maju dan berkembang, baik dibidang perikanan, pertanian maupun bidang-
bidang lainnya.
Sejarah Desa Tongas Kulon – Probolinggo

Mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya telah melaksanakan praktik
kuliah lapangan dengan mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Kegiatan tersebut
berlangsung selama 3 (tiga) hari yaitu mulai tanggal 30 November s/d 02 Desember 2018
yang bertempat di Dusun Renak, Desa Tongas Kulon, Kecamatan Tongas, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Pada hari pertama, tepatnya pada Hari Jum’at tanggal 30
Desember 2018 pukul 19.00 WIB (setelah ba’dha sholat isya) telah dilaksanakan salah satu
kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir yaitu Focus Group Disscusion (FGD) yang
bertempat di salah satu rumah warga Dusun Renak, Desa Tongas Kulon yaitu rumah bapak
Ja’i. Kegiatan FGD ini telah dihadiri oleh sesepuh/tokoh masyarakat seperti ketua RT, Kepala
Desa, Masyarakat Desa Tongas Kulon (Masyarakat Nelayan) yang mayoritas adalah anggota
aktif Lestari Desaku, Dosen Pembimbing mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir serta
seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tujuan diadakannya kegiatan FGD ini yaitu untuk mengetahui sejarah atau asal usul
desa Tongas Kulon, serta mengenali dan menggali potensi-potensi dan permasalahan yang
ada di desa Tongas Kulon. Sehingga setelah diadakannya kegiatan FGD ini diharapkan
mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya beserta seluruh masyarakat desa
Tongas Kulon dapat saling gotong-royong dalam membangun desa Tongas Kulon agar bisa
lebih maju dan lebih berkembang, baik disektor perikanan, pertanian maupun bidang-bidang
lainnya.

Kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) ini dipimpin oleh dua orang moderator
yang memiliki tugas untuk memimpin dan mengatur jalannya kegiatan tersebut. Semua
informasi yang didapatkan dari masyarakat selama kegiatan FGD berangsung telah dicatat
oleh notulen sehingga informasi tersebut dapat membantu dalam menggali potensi serta
mengetetahui permasalahan yang sedang terjadi di desa Tongas Kulon sehingga nantinya
dapat mempermudah untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang
terjadi di desa tersebut. Selain itu, seluruh mahasiwa Ilmu Kelautan juga turut andil dalam
mencari serta menggali informasi dari masyarakat dengan berbaur langsung bersama
masyarakat (peserta FGD) sehingga diharapkan dengan informasi yang telah didapatkan
tersebut dapat membantu dalam mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang
sedang terjadi di desa Tongas Kulon.
Kegiatan FGD ini dimulai dengan sambutan dari moderator untuk membuka acara
FGD dan selanjutnya sambutan dari beberapa tokoh masyarakat seperti bapak ketua RT,
Perwakilan Kepala Desa, perwakilan dari masyarakat Desa Tongas serta sambutan dari ibu
Kaprodi Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya selaku dosen pembimbing kegiatan
kuliah lapangan ini. Point pertama yang dibahas dalam kegiatan Focus Group Disscusion
(FGD) adalah sejarah atau asal usul desa Tongas Kulon. Disini moderator berkesempatan
untuk memberikan pertanyaan kepada masyarakat desa Tongas Kulon agar masyarakat dapat
mengenang atau mengingat kembali masa-masa kejayaan desa Tongas Kulon.

Dari hasil kegiatan FGD tersebut dapat diketahui bahwa Tongas Kulon adalah
sebuah desa yang berada di Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa
Timur, Indonesia. Tongas Kulon merupakan salah satu desa di Kecamatan Tongas yang
terletak di pantai Selat Madura. Desa Tongas Kulon terletak sekitar 30 km dari objek wisata
gunung bromo, dengan batas-batas desa sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Pesisir, Laut


 Sebelah Timur : Desa Curah Dringu, Desa Dungun
 Sebelah Selatan : Alas
 Sebelah Barat : Dusun Kelampok

Sebagian besar masyarakat desa Tongas Kulon juga menggunakan bahasa Madura
untuk berkomunikasi sehari-harinya. Renak merupakan salah satu dusun yang terletak di
Tongas Kulon. selain itu, dusun Renak juga terkenal sebagai pelaut ulung, dimana sebagian
besar masyarakat dusun Renak bermata pencaharian sebagai nelayan.

Desa tongas kulon sendiri telah berdiri sejak tahun 1970 dengan diawalinya babat alas
oleh H. Moh Asyari. Hingga saat ini masih terdapat bukti-bukti sejarah yang menceritakan
terbentuknya desa Tongas Kulon. Salah satu peninggalan sejarah yang masih ada hingga saat
ini yaitu berdirinya masjid Ar-Royan, di belakang masjid Ar-Royan terdapat sebuah makam,
makam tersebut adalah makam KH Syeikh Moh. Ashari yang merupakan pendiri dari masjid
Ar-Royan. Menurut masyarakat Tongas Kulon, dahulu banyak orang yang suka berkelana
dan tinggal/menetap sampai akhirnya meninggal di desa Tongas Kulon, masyarakat sering
menyebutnya dengan istilah “bacar acir”. Hal ini dibuktikan terdapat beberapa peninggalan
makam-makam (pesarean) dari para ulama tersebut. Seperti adanya pesarean (makam)
leluhur terdahulu yang diberi nama “Buyut Pendem” yang sampai sekarang pesarean tersebut
masih terawat. Sedangkan di desa Tongas Wetan terdapat pesarean umum yang diberi nama
pesarean “Buyut Purut”.

Kata Tongas berasal dari dua gabungan kata, yaitu “Tong” dan “Angas”, kata Tong
memiliki arti sebuah drum besi, sedangkan “Angas” yang merupakan sejenis pohon yang
mirip pohon waru namun memiliki perbedaan pada daunnya atau biasa disebut sebagai pohon
angas dan hanya terdapat di Tongas saja. Makna dari tong menunjukkan bagian desa yang
terletak di tongas dan pohon angas bermakna sebagai pemisah/ pembatas dari desa tersebut.
Terdapat dua tong (drum besi) yang ada di desa Tongas yang mengibaratkan nama dua desa
yang berada di Tongas Kulon. Dimana tong yang terletak di sebelah Timur merupakan Desa
Tongas Wetan dan tong sebelah Barat sebagai DesaTongas Kulon. Diantara dua tong tersebut
terdapat sebuah pohon angas yang mengibaratkan sebagai pembatas antara kedua Desa
tersebut.

Menurut sejarah, kedua desa tersebut juga dibatasi oleh sungai Klemprit sepanjang
2.750 meter. Dibagian hulu sungai Klemprit tersebut terdapat sumber air yang mana airnya
keluar dari sebuah tebing yang diatasnya ditumbuhi pohon bambu. Dari situlah asal mula
nama Tongas berasal. Dahulu sumber air tersebut digunakan masyarakat untuk kebutuhan
sehari-sehari seperti mandi dan juga diminum. Menurut cerita sumber air tersebut selalu
keluar dan tidak pernah habis meskipun pada saat musim kemarau, bahkan dahulu drum yang
berisi air penuh meskipun digunakan oleh 100 orang tidak akan pernah habis. Kondisi airnya
pun sangat jernih dan dingin, dahulu warga sering membersihkan tong tersebut apabila sudah
kotor. Namun, nasib tong tersebut kini sudah terbengkalai dan sudah tidak terurus lagi,
dikarenakan sudah tercukupinya kebutuhan air bersih di rumah-rumah warga. Letak tong
tersebut juga berada diantara persawahan dan jauh dari jangkauan masyarakat.

Kondisi Mangrove di Tongas Kulon

Berdasarkan informasi pada saat diskusi, dapat diketahui bahwa desa Tongas Kulon
dahulu terdapat sebuah pantai yang sangat indah dan memiliki pasir putih tepatnya sekitar
tahun 1980- an. Pada saat itu mangrove masih banyak ditemukan disepanjang pantai bahkan
dahulu ada beberapa jenis mangrove yang sudah dikonsumsi oleh sebagian masyarakat
Tongas Kulon yaitu dijadikan urap – urap, pelengkap makanan bahkan juga dijadikan sebagai
obat. Dahulu juga masyarakat Tongas Kulon masih memanfaatkan ranting – ranting tanaman
mangrove sebagai kayu bakar.
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki ekosistem
yang seimbang, profosional dan adaptif yang berbeda dengan tipe hutan lainnya. Hutan
mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis,
seperti indonesia hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang bermanfaat
bagi manusia. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan
(spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) sebagai jenis ikan, udang,
karang-karangan dan spesis lainnya. Selain itu adalah seresah mangrove (berupa dedaunan,
ranting, dan biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi sumber pakan biota perairan
dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan.

Hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptelia,
mamalia, dan jenis-jenis kehidupan lainnya, adapun Fungsi ekonomi dari mangrove yaitu
sumber penghasil kayu bangunan, dan kapal, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan
arang, alat tangkap ikan dan bahan pewarna selain itu fungsi dari mangrove yaitu sebagai
penaggulangan abrasi (Madjid, 2012). Salah satunya yaitu ekosistem mangrove yang terdapat
di Tongas Kulon, Probolinggo.

Menurut Haryani (2013), luas area mangrove salah satunya di Kabupaten Probolinggo
pada tahun 2001 sebesar 209,32 hektar, sedangkan luas area mangrove pada tahun 2011
seluas 295,20 hektar. Hasil pengolahan tersebut bahwa area mangrove selama kurun waktu
sebelas tahun tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 terlihat adanya peningkatan atau
penambahan luas area hutan mangrove seluas 95,08 hektar yang terjadi di 36 desa. Selain
adanya penambahan luas area mangrove juga terjadi penurunan luas areal hutan mangrove
dari tahun 2001 hingga tahun 2011 seluas 10,66 % terjadi di 8 desa, yaitu Desa Bayeman,
Dungun, Karangpranti, Klaseman, Mayangan, Pesisir, Randumerak, dan Sumberanyar.
Adanya penambahan atau peningkatan luas hutan mangrove dan adanya penurunan atau
berkurangnya luasan hutan mangrove tersebut dapat diperhitungkan bahwa di Kabupaten
Probolinggo selama kurun waktu sebelas tahun masih adanya peningkatan luas area hutan
mangrove seluas 85,88 hektar.
Kondisi hutan mangrove di Tongas Kulon pada tahun 1970-an memulai penanaman
mangrove di Wilayah Tongas Kulon, 1980-an kondisinya masih terlihat sangat lebat, dan
jenis-jenis mangrove yang ada di Tongas Kulon pun bermacam-macam yaitu seperti
Rizhopora, Avicennia, Bruguiera, Nypa, Jeruju dan banyak biota laut maupun biota lainnya
yang ada di sekitar hutan mangrove yaitu seperti kepiting, burung, dan ikan, namun pada
tahun 1988-1992 datang juragan China untuk menyewa lahan untuk dijadikan sebagai tambak
udang Vanname dan mengakibatkan banyak mangrove yang ditebang sebagai lahan
pertambakan, selain itu dampak dari pengalihan fungsi lahan mangrove di Tongas Kulon ini
mengakibatkan semakin kurangnya habitat kepiting, hilangnya pantai berpasir putih karena
adanya pengerukan orang China dan pegaruh sedimentasi dari proyek-proyek yang didirikan
oleh orang China.

Desa Tongas Kulon sejatinya memiliki kondisi alam pesisir yang eksotis dengan
gugusan ekosistem Mangrove dan lahan pantai pasir putih sebagai komponen utama
penyusun pesisir Desa Tongas Kulon. Menurut informasi dari para warga pada saat
berlangsungnya kegiatan FGD, pada tahun 1980-an pantai di Desa Tongas kulon terkenal
dengan keindahan alamnya meskipun tidak secara resmi dijadikan sebagai destinasi wisata
namun sudah banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan pantai Tongas
Kulon. Keindahan pantai Tongas Kulon bukan hanya memikat wisatawan lokal saja bahkan
wisatawan asing juga pernah menginjakkan kaki di pantai Tongas Kulon demi untuk
menikmati keindahan pantainya. Kondisi keindahan pantai Tongas Kulon setidaknya masih
terlihat hingga tahun 1986 dan ditahun itu pula mulai ada proyek tambak udang yang digagas
oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak diantara pohon mangrove yang ditebangi untuk
digunakan sebagai lahan tambak udang milik pemerintah. Hal inilah yang dapat meyebabkan
terjadinya perubahan struktur penyusun pantai, diman dulunya memiliki pemandangan yang
indah dengan pasir putih dan sekarang pantai tersebut telah beruah menjadi kawasan
berlumpur. Salah satu narasumber mengatakan bahwa perubahan struktur penyusun pantai
Tongas dari pasir menjadi lumpur adalah perubahan lingkungan. Struktur sedimen pasir
adalah struktur sedimen awal pantai Tongas. Perubahan sedimen pantai Tongas disebabkan
oleh menyusutnya luasan mangrove, sehingga pasir yang berada di sekitar pantai mengalami
abrasi.

Alih fungsi kawasan hutan mangrove saat ini sangat mencuat dikalangan masyarakat
yang telah banyak dijadikan lahan usaha pertambakan. Salah satu penyebabnya kurangnya
peran serta pemahaman dari individu maupun kelompok masyarakat untuk merehabilitasi
hutan mangrove. Padahal, dengan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak positif
dalam peningkatan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang perikanan, industri,
pemukiman, rekreasi dan lain-lain. (Madjid, 2012). Adanya alih fungsi kawasan mangrove
Alih fungsi secara besar-besaran di kawasan hutan mangrove juga terjadi di kawasan cagar
alam dan hutan lindung. Padahal secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang alih fungsi hutan alih fungsi adalah perubahan peruntukan tambak maupun reklamasi
(Ervina, 2017) Pada faktanya kawasan hutan mangrove Tongas Kulon beralih fungsi menjadi
lahan usaha tambak. Perubahan fungsi lahan mangrove yang terjadi di pesisir pantai Tongas
tersebut telah melanggar Undang-Undang (UU) No. 41/1999 Tentang Kehutanan menetapkan
hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu: (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung, dan (3)
Hutan Produksi, dapat diketahui bahwa hutan mangrove termasuk hutan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Pasal 1 angka 9).

Sejak pemerintah merencanakan proyek tambak udang pada tahun 1986 di wilayah
pesisir pantai Tongas Kulon, dua tahun setelahnya yakni pada tahun 1988 keberadaan tambak
udang tersebut semakin meningkat dengan gencar – gencarnya para investor swasta asal
China yang ingin membuka lahan tambak udang diarea pesisir pantai Tongas Kulon. Para
investor terebut dapat mempengaruhi masyarakat dengan perjanjian kerjasama bagi hasil
sampai kemudian perjanjian tersebut dapat diterima oleh para desa Tongas Kulon. Pengadaan
tambak oleh investor pun tidak dalam jumlah sedikit, bahkan jauh lebih banyak dari pada
jumlah tambak milik pemerintah. Banyaknya tambak tersebut secara otomatis juga dapat
membuat kawasan hutan mangrove di desa Tongas Kulon menjadi semakin habis karena
ditebangi untuk pengadaan tambak tersebut.

Pada awal berjalannya sistem kerjasama tambak dengan investor China tersebut,
masyarakat tidak merasa dirugikan karena dari masyarakat sendiri juga merasa diuntungkan.
Berkat adanya tambak tersebut masyarakat Desa Tongas Kulon memiliki lapangan kerja baru
yakni sebagai buruh tambak. Dengan adanya perkerjaan tersebut, masyarakat desa Tongas
Kulon selain mendapat penghasilan dari kerjasama bagi hasil tambak, mereka juga
mendapatkan penghasilan tambahan dengan bekerja sebagai buruh tambak tersebut.
Masyarakat desa Tongas Kulon baru merasakan kerugian dari adanya kegiatan pertambakan
setelah mereka merasa bahwa hasil tangkapan ikan terutama ikan yang hidup pada ekosistem
hutan mangrove menjada sulit untuk ditemukan dan ditangkap tidak seperti dulu dimana
mereka lebih mudah untuk mendapatkan kepiting dan ikan di area mangrove yang dulu masih
sangat rapat dan kini ekosistem mangrove tersebut hanya tersisa pada beberapa lahan saja.
Setelah masyarakat merasakan hal tersebut barulah mereka sadar terhadap pentingnya
keberadaan ekosistem mangrove yang dalam dunia perikanan memiliki peran penting yaitu
sebagai sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery
ground) sebagai jenis ikan, udang, karang-karangan dan spesis lainnya. Selain itu seresah
mangrove (berupa dedaunan, ranting, dan biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi
sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan.
Dengan fungsi mangrove tersebut, apabila ekosistem mangrove mengalami kerusakan maka
akan terjadinya ketidakseimbangan dan mengganggu aktifitas biota yang hidup di ekosistem
tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat desa Tongas Kulon juga
tidak bisa berbuat banyak dikarenakan mereka juga sudah terikat kontrak dengan para
investor China tersebut.

Keberadaan proyek tambak udang oleh investor berlangsung dalam kurun waktu yang
cukup lama, menurut masyarakat desa Tongas Kulon, kontrak kerjasama antara investor
dengan masyarakat desa Tongas yang telah disetujui oleh kedua belah pihak yakni selama 15
tahun, namun tambak udang tersebut terakhir terlihat benar-benar masih aktif sekitar tahun
1992 dan pada tahun-tahun selanjutnya tambak udang tersebut mulai kurang beroperasi. Pada
tahun 1994 tambak udang milik investor China tersebut benar-benar telah berhenti beroperasi
dikarenakan mengalami kerugian akibat adanya virus yang menyerang pada sebagian besar
udang yang berada dalam tambak budidaya tersebut. Virus yang menyerang pada tambak
udang tersebut juga dapat menyebar atau menularkan pada udang – udang lainnya yang mana
nantinya dapat menimbulkan kematian pada udang di semua tambak yang ada. Hal inilah
yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian pada kegiatan budidaya udang sehingga
penghasilan yang diperoleh dari hasil panen udang tidak setimpal dengan pengeluaran yang
harus dikeluarkan selama perkembangbiakan udang. Setelah kejadian tersebut, para investor
lebih memilih untuk meninggalkan petak-petak atau kolam budidaya udang. Hingga saat ini,
petak atau kolam budidaya udang tersebut masih berada dalam kondisi utuh dan terbengkalai
di desa Tongas Kulon.

Kegagalan dalam budidaya udang oleh para investor tersebut juga akan berdampak
pada masyarakat desa Tongas Kulon dimana mereka telah kehilangan kawasan mangrove
yang telah menjadi tempat mereka mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan sehari-
harinya. Selain itu, hilangnya lahan mangrove juga dapat berdampak pada masyarakat desa
Tongas Kulon, diantaranya yaitu hilangnya tempat – tempat sumber telur kepiting dan ikan-
ikan kecil yang dulu banyak ditemukan di ekosistem mangrove. Saat ini masyarakat sulit
mencari kepiting padahal sebelum adanya pengalihan lahan mangrove menjadi tambak,
kepiting sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove tersebut. Selain sulit ditemukannya
kepiting dampak lainnya yaitu semakin sedikitnya populasi ikan yang terdapat diperairan
Tongas Kulon. Dimana keadaan ini sangat memberikan dampak pada masyarakat Tongas
yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan dan tergantung terhadap hasil tangkapan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada tahun 1990-an juga, masyarakat desa Tongas Kulon mulai kembali lagi
melakukan penanaman pohon mangrove di daerah Tongas Kulon oleh pemerintah dan sampai
sekarang mangrove di Tongas Kulon tumbuh lebat di sekitar rumah warga. Penanaman yang
di lakukan pemerintah kurang tertata karena dapat dilihat dari hasil pertumbuhannya sekarang
yang terlalu rapat dan tidak tersusun rapi. Hal ini sangat disayangkan, karena yang
seharusnya mangrove bisa tumbuh lebat tetapi jarak antara mangrove satu dan lainnya terlalu
berdekatan mengakibatkan mangrove tidak bisa tumbuh maksimal. Penataan antara jenis-
jenis mangrove pun tidak beraturan.

Instalasi Kincir Air

Menurut informasi dari masyarakat desa Tongas Kulon, dapat diketahui bahwa sekitar
tahun 1978 – 1981 desa Tongas Kulon kedatangan mahasiswa dari Universitas Dr. Soetomo
(UNITOMO) untuk melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah satu program
kerja yang di lakukan oleh mahasiswa UNITOMO pada saat itu adalah membangun sebuah
kincir air. Kincir air tersebut dibangun bersama-sama antara warga desa Tongas Kulon dan
mahasiswa UNITOMO. Tujuan dibangunnya kincir air tersebut salah satunya yaitu untuk
mempermudah warga dalam mendapatkan sumber air dimana sampai saat ini kincir air
tersebut masih berfungsi untuk menyalurkan air ke rumah – rumah masyarakat Tongas
Kulon.

Kondisi Nelayan Tongas Kulon

Nelayan Tongas Kulon mulai banyak mempunyai kapal sendiri pada tahun 2000 an
namun hasil tangkapan nelayan tidak sebanyak pada tahun 90-an, dimana bisa mendapatkan
tangkapan ±8-10 kg/ hari. Sedangkan penghasilan sekarang hanya mendapat 1 pick-up dan
itupun harus dibagi dengan banyak nelayan. Alat bantu tangkap tradisional sudah ditemukan
pada tahun 1970 yaitu suling henpon. Suling henpon di adopsi dari nelayan tuban, yaitu
terbuat dari kayu pohon waru yang tingginya sekitar 150 cm dengan diameter 40 cm di
bagian bawahnya dan 20-30 cm bagian atas. Penggunaan alat bantu tangkap suling henpon
masih digunakan sampai saat ini. suling henpon digunakan untuk mendengar suara ikan yang
berada dilaut, kemudian ikan dapat di jaring menggunakan jaring ikan.
Penggunaan Suling henpon untuk mendengar suara ikan sangat membantu nelayan
untuk mencari ikan. Suara yang di dapat dari suling henpon dapat menentukan ikan apa dan
jumlah ikan yang akan di dapat. Hal ini menjadi keunikan Desa Tongas Kulon yang
menjadikan kayu pohon waru menjadi alat bantu tangkap ikan dan alat bantu tangkap suling
henpon juga berpotensi untuk dijadikan wisata. Banyaknya masyarakat awam yang penasaran
akan suara ikan yang di tangkap suling henpon dapat menjadi peluang masyarakat Tongas
Kulon untuk mengembalikan wisata di desa tersebut.

Adapun suatu kelompok yang terdiri dari beberapa masyarakat dan nelayan Tongas
Kulon berdiri mulai tahun 2013 sampai sekarang. Lestari Desaku merupakan suatu kelompok
masyarakat yang memiliki tujuan yang sama yaitu melestarikan Desa Tongas yang di
pelopori oleh Dr. Arif. Pada tahun didirikannya Lestari Desaku banyak kelompok nelayan
yang ikut bergabung dalam kelompok Lestari Desaku. Antusiasme warga dan anggota Lestari
Desaku yang hadir dalam FGD (Focus Group Disscussion) menceritakan Tongas Kulon pada
masa jayanya dan didapatkan beberapa permasalahan yang dikeluhkan warga yaitu sebagai
berikut :

 Akses jalan menuju laut susah karena substrat berlumpur


Sejak substrat pantai tongas bukan lagi pasir putih, nelayan kesusahan untuk
menjangkau kapal di laut. Jarak antara pesisir dengan kapal lumayan jauh dan
terhalang lumpur. Terbuntunya saluran air mengakibatkan jalan yang digunakan
menuju laut menjadi susah dan berlumpur.
 Pembersihan Tong
Setelah kebutuhan air bersih di rumah-rumah warga sangat mudah di dapatkan
Kini kondisi tong sumber air sudah mulai tidak terurus dan terbengkalai. Letak
tong yang juga berada diantara persawahan dan jauh dari jangkauan masyarakat
menjadikan warga sudah tidak membersihkan tong lagi.
 Pompa Air Sumur
Warga masih sangat membutuhkan aliran air bersih kerumah-rumah, tambak
dan membuka jalan untuk jalaran menuju laut. Karena tertutupnya akses jalan
menuju kapal yang berada di laut oleh lumpur, dan harus dialiri air agar
memudahkan terbukanya jalan menuju laut.

Anda mungkin juga menyukai