Anda di halaman 1dari 11

PNEUMONIA

Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat


disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia
menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi serta menjadi penyebab
penyakit umum terbanyak. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat
melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada pasien dengan usia
sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis.
1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
1.1 TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam,
tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari jumlah
maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk
pisau, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada sebelah kanan
pada saat bernafas.
Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus, mycoplasma,
chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak dijumpai pada pasien
immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus yang menginfeksi adalah virus
saluran napas seperti RSV, Influenza type A, parainfluenza, adenovirus 28.
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang berbeda
penatalaksanaannya.
1. Community acquired pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen
umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H. influenzae, bakteri
atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak patogen
yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasmapneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
2. Nosokomial Pneumonia
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit.
Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap
antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram
negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih
dulu mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik
yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp.. Pseudomonas
aeruginosa merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai
pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten
terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
3. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal dan
cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental
terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang
menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi
dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci anaerob.
Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri yang lazim dijumpai
campuran antara Gram negatif batang + S. aureus+ anaerob
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada. Gambaran adanya infiltrate
dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis. Hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan “shift to the left”. Sedangkan
evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur sputum (hati-hati
menginterpretasikan hasil kultur, karena ada kemungkinan terkontaminasi dengan
koloni saluran pernapasan bagian atas). Pemeriksaan mikrobiologis lainnya yang
lazim dipakai adalah kultur darah, khususnya pada pasien dengan pneumonia yang
fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri (Blood Gas Arterial) yang akan
menentukan keparahan dari pneumonia dan apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU.
1.2. FAKTOR RISIKO
•Usia tua atau anak-anak
• Merokok
• Adanya penyakit paru yang menyertai
•Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
• Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
• Obstruksi Bronkhial
• Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti - kortikosteroid
• Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)
1.3 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dihasilkan dari pneumonia antara lain atelektasis yang dapat
terjadi selama fase akut maupun resolusi (penyembuhan). Area yang terinfeksi
biasanya bersih dengan batuk dan nafas dalam, namun akan berubah menjadi fibrotik
bila atelektasi menetap untuk jangka waktu yang panjang. Abses paru juga merupakan
salah satu komplikasi pneumonia khususnya pada pneumonia aspirasi. Selain itu efusi
pleura juga dapat terjadi akibat perubahan permeabilitas selaput paru tersebut (pleura).
Infiltrasi bakteri ke dalam pleura menyebabkan infeksi sulit diatasi, sehingga
memerlukan bantuan aspirasi. Komplikasi berikutnya adalah bakterimia akibat tidak
teratasinya infeksi. Hal ini dapat terjadi pada 20-30% dari kasus.
2. RESISTENSI
Resistensi dijumpai pada pneumococcal semakin meningkat sepuluh tahun
terakhir, khususnya terhadap penicillin. Meningkatnya resistensi terhadap penicillin
juga diramalkan akan berdampak terhadap meningkatnya resistensi terhadap beberapa
kelas antibiotika seperti cefalosporin, makrolida, tetrasiklin serta kotrimoksazol.
Antibiotika yang kurang terpengaruh terhadap resistensi tersebut adalah vankomisin,
fluoroquinolon, klindamisin, kloramfenikol dan rifampisin.
3. TERAPI
3.1. OUTCOME
Eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia, penyembuhan klinis yang
paripurna.
3.2. TERAPI POKOK
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi
pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris
dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri
pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit
sesuai patogen.
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat
pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral.
Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan makrolida
atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru.1,19 Namun untuk dewasa muda yang
berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup
mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus
pneumoniae yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih
ke derivat fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh
aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat.
Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin serta
azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus
diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya
diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien.
Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat
menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.

Antibiotika pada terapi Pneumonia


Kondisi Klinik Patogen Terapi Dosis Ped Dosis Dws
(mg/kg/hari) (dosis
total/hari)
Sebelumnya Pneumococcus, Eritromisin 30-50 1-2g
sehat Mycoplasma Klaritromisin 15 0,5-1g
Pneumoniae Azitromisin 10 pada hari
1,diikuti 5mg
selama 4 hari
Komorbiditas S. pneumoniae, Cefuroksim
(manula,DM, Hemophilus influenzae, Cefotaksim
gagal ginjal, Moraxella catarrhalis, Ceftriakson 50-75 1-2g
gagal jantung, Mycoplasma, Chlamydia
keganasan) pneumoniaedan
Legionella
Aspirasi Anaerob mulut Anaerob Ampi/Amox 100-200 2-6g
Community mulut, S. aureus, gram(-) Klindamisin 8-20 1,2-1,8g
Hospital enterik Klindamisin s.d.a. s.d.a.
+aminoglikosida
Nosokomial
Pneumonia K. pneumoniae, P. Cefuroksim s.d.a. s.d.a.
Ringan, Onset <5 aeruginosa, Enterobacter Cefotaksim s.d.a. s.d.a.
hari, Risiko spp. S. aureus, Ceftriakson s.d.a. s.d.a.
rendah Ampicilin-Sulba 100-200 4-8g
ktam 200-300 12g
Tikarcilin-klav - 0,4g
Gatifloksasin - 0,5-0,75g
Levofloksasin
Klinda+azitro
Pneumonia K. pneumoniae, P. (Gentamicin/To 7,5 4-6 mg/kg
berat**, Onset > aeruginosa, Enterobacter bramicin atau -
5 hari, Risiko spp. S. aureus, Ciprofloksasin )
Tinggi * + Ceftazidime 150 0,5-1,5g
atau Cefepime 100-150 2-6g
atau 2-4g
Tikarcilin-klav/
Meronem/Aztre
onam
Ket : *) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu
antibiotika yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,
gagal ginjal
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan pasien,
maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih luas.
Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya terhadap derivat
penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia. Sebagai contoh,
pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup
oleh penicillin.
Beberapa pneumonia masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran
x-ray dada karena telah terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun
abses paru yang kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi.
Pneumonia Nosokomial Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial
memerlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in
vitromaupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak
heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun secara
umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel
3.3. TERAPI PENDUKUNG
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :
• Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak,
hipoksemia.
• Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
• Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
• Nutrisi
• Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
• Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
• Nutrisi yang memadai.
DIABETES MELITUS TIPE II

Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai
oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap
dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah
satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas
dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM
Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai “Resistensi Insulin”.Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup
kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana
yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi
sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β
menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan
sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4
kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma
puasa > 140 mg/dl).
Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2
Riwayat Diabetes dalam keluarga
Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired
glucose tolerance)

Obesitas >120% berat badan ideal

Umur 20-59 tahun : 8,7%


> 65 tahun : 18%

Etnik/Ras

Hipertensi >140/90mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl


Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl

Faktor-faktor Lain Kurang olah raga


Pola makan rendah serat

GEJALA KLINIK
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe
2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita
DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai salah satunya adalah
Hipoglikemia.
HIPOGLIKEMIA
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing,
lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap),
keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila
tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di diperkirakan
2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan
hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang
terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.
Insulin disuntikan pada pasien DM tipe 2 secara subkutan. Penyuntikan dapat
dilakukan dilengan, diperut, paha bagian atas, dan bagian bokong. Kenyataanya,
pasien DM tipe 2 ditemukan masih mengalami kebingungan bahkan tidak tahu cara
melakukan penyuntikan insulin secara tepat. Tindakan tersebut berdampak pada
penggunaan dosis yang kurang atau berlebihan dan waktu penyuntikan yang tidak
sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh klinisi. Kondisi ini cenderung
menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
ƒ Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
ƒ Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi
ƒ Berolah raga terlalu berat
ƒ Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
ƒ Minum alkohol
ƒ Stress
ƒ Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita
mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemi. Efek samping
lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin
atau resistensi insulin. Guna menghindari efek samping hipoglikemi, maka kepada
setiap penderita DMT2 yang akan diberikan insulin harus dilakukan edukasi tentang
tanda dan gejala hipoglikemi. Bila seorang pasien mengalami tanda atau gejala
hipoglikemia setelah mendapat suntikan insulin, maka yang bersangkutan harus
segera memeriksa kadar glukosa darahnya secara mandiri dan bila kadar glukosa
darahnya < 70 mg/dl, maka pasien harus segera meminum air gula dan menurunkan
dosis insulin pada pemberian insulin berikutnya.
Penggolongan obat hipoglikemik oral
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di kelenjar
Glipizida pankreas, sehingga hanya
Glikazida efektif pada penderita diabetes yang
Glimepirida sel-sel β pankreasnya masih
Glikuidon berfungsi dengan baik

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di


kelenjar pankreas

Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis


fenilalanin insulin oleh pankreas

Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar),


menurunkan produksi glukosa hati.
Tidak merangsang sekresi insulin
oleh kelenjar pankreas.

Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap


Troglitazone insulin. Berikatan dengan PPARγ
Pioglitazone (peroxisome proliferator activated
receptor-gamma) di otot, jaringan lemak,
dan hati untuk menurunkan resistensi
insulin

Pemacu Sekresi Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim


Insulin(Insulin Miglitol pencenaan yang mencerna karbohidrat,
Secretagogue) sehingga memperlambat absorpsi glukosa
Sulfonilurea ke dalam darah
Inhibitor α-
glukosidase

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya,obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi insulin oleh sel beta
pankreas.Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.
a. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73
m2).Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanyagangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dariPeroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah proteinpengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa dijaringanperifer.Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati,dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
b. Penghambat Absorpsi Glukosadi saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.Efek samping yang mungkin
terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan
flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
c. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk
aktif. Aktivitas GLP-1untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan
ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
d. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembaliglukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambatkinerjatransporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letterdari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
2. Obat Anti hiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin danagonisGLP-1.
A. Insulin
B. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin,mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat
badanpada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide)telah beredar di Indonesia
sejak April 2015,tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml.Dosis awal 0.6 mg perhari yang
dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik
yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari
1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan
sekali sehari secara subkutan.
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian
obatantihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral,baik secara terpisah ataupun fixed
dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja
yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabilasasaran kadar glukosa darah belum
tercapaidengan kombinasi dua macam obat, dapatdiberikan kombinasi duaobat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapidapat diberikan kombinasi
tiga obat anti-hiperglikemia oral. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DMT2)
Kombinasi obat antihiperglikemia oral denganinsulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin
kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.Pendekatanterapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasiadalah 6-10
unit.kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukurkadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat
insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
sedangkanpemberian obat antihiperglikemia oral dihentikandengan hati-hati.
Daftar pustaka

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.2015. PB. PERKENI:Jakarta.

Indonesian Journal Of Clinical Pathology and Medical Laboratory.2009. Vol. 15, No.
3, Juli 2009: 95-97. Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia.

Decroli, Eva., 2019. Diabeter Mellitus Tipe 2 ed. Pertama. Pusat Penerbitan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas :Padang

Zahratih, Dewi SE, Wahyuni DT. Pendidikan Kesehatan dan Penurunan Kejadian
Hipoglikemia pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Pendidikan Kesehatan.
Poltekes Kemenkes Malang. 2014; 3(1): 2301- 4024

Anda mungkin juga menyukai