Anda di halaman 1dari 4

Artikel : aqidah Islam - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits - ,

Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan


oleh :

Sebagian orang salah memahami perkara tawakal, mereka menyangka


bahwa tawakal adalah berpaling dari sebab dan tidak mau berusaha. Ada
yang berlebih-lebihan, sehingga dia berpijak secara total kepada sebab tanpa
menoleh kepada peletaknya. Kedua kubu sama-sama tercela. Berikut ini
adalah pemaparannya.

Pertama: kaidah teoritis bagi perkara sebab akibat

Sebab adalah sesuatu yang menyampaikan kepada suatu perkara. Secara


istilah: sesuatu yang keberadaannya menuntut keberadaan sesuatu dan
ketiadaannya menuntut ketiadaan sesuatu.

Definisi terminologi hanya berkisar pada sebab-sebab yang lahir, karena dari
sisi lain sebuah sebab bukan merupakan sebab yang melahirkan musababnya
kecuali bila ia memiliki faktor pendukung dan penghalang-perhalangnya
disingkirkan darinya. Di antara makhluk tidak ada yang bisa menjadi sebab
yang bersifat independen yang mampu mewujudkan tuntutannya, sebaliknya
ia tetap memerlukan faktor penunjang, di samping penghalangnya harus
diminggirkan.

Bila kita telah mengetahui hal ini maka selain Allah tidak berhak untuk
diminta, tidak berhak untuk disembah, tidak berhak untuk ditawakali, tidak
berhak untuk diharapkan, karena selain Allah hanyalah sebab yang tidak
mampu mewujudkan akibatnya secara independen, lalu bagaimana seorang
hamba menghadapkan dirinya kepada selain Allah dan berpaling dari Allah?

Allah Subhanahu wa Taala menetapkan sebab-sebab untuk makhluk sebagai


rahmat kepada mereka, Dia menegakkan petunjuk-petunjuk atas sebab-
sebab tersebut, maka apa yang Allah syariatkan merupakan sebab,
sebaliknya apa yang tidak Allah syariatkan maka ia bukan merupakan sebab,
terkadang petunjuk kepada suatu sebab sangat jelas, dan terkadang samar
bagi sebagian orang sehingga ia memerlukan pembuktian melalui beberapa
percobaan ilmiah seperti sebab-sebab suatu penyakit. Ilmu pengobatan
disyariatkan secara umum, akan tetapi menetapkan bahwa penyakit anu
disebabkan oleh anu memerlukan kajian.

Di antara sebab paling besar yang Allah syariatkan untuk kita adalah doa,
lebih-lebih doa al-Fatihah, “Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.” Allah
dengan rahmatNya kepada hamba-hambaNya menjadikan doa ini sebagai
sebab untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah keburukan, oleh karena
itu mentauhidkan Allah, bertawakal kepadaNya dan memohon ampunan dari
dosa kepadaNya merupakan kewajiban.
Oleh karena itu kaum muslimin diperintahkan untuk mengucapkan doa ini di
setiap shalat, karena mereka sangat membutuhkannya, tidak ada sesuatu
yang lebih mereka butuhkan daripada doa ini, maka wajib diketahui bahwa
Allah dengan karunia dan rahmatNya menjadikan doa ini termasuk sebab
paling besar yang mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Al-
Qur`an menjelaskan bahwa keburukan datang dari dalam jiwa sekalipun ia
tetap dengan takdir Allah dan bahwa seluruh kebaikan adalah dari Allah
Ta'ala.

Bila perkaranya memang demikian, maka tiada yang patut disyukuri kecuali
Allah, hendaknya seorang hamba bertaubat dari dosanya, hendaknya tidak
bertawakal kecuali hanya kepada Allah semata, karena tidak ada yang
mendatangkan kebaikan kecuali Allah, hal ini menuntut seorang hamba
untuk mentauhidkanNya, bertawakal kepadaNya semata, bersykur
kepadaNya semata dan memohon ampunan hanya kepadaNya dari dosa-
dosanya.

Nabi shallallohu 'alaihi wasallam menyatukan perkara-perkara ini dalam


shalat, sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau dalam ash-Shahih bahwa
beliau mendengar seseorang mengangkat kepalanya dari ruku’ dengan
mengucapkan,

‫ار ًكا فِ ْي ِه‬ َ ‫َربَّنَا لَكَ ْال َح ْمد ُ َح ْمدًا َكثِي ًْرا‬
َ ‫ط ِِّيبًا ُم َب‬

“Rabbana, bagiMu segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh
keberkahan.” Lalu beliau bersabda, “Sungguh aku melihat tiga puluh lebih
malaikat berlomba-lomba untuk menulisnya pertama kali.” Diriwayatkan oleh
al-Bukhari.

Ini adalah realisasi dari keesaan Allah, untuk Tauhid Rububiyah yang
mencakup penciptaan, penetapan takdir, awal mula makhluk dan
hidayahnya, Dialah yang memberi dan menahan, tidak ada penahan bagi apa
yang Dia berikan dan tidak ada pemberi bagi apa yang Dia tahan, juga untuk
Tauhid Ilahiyah yang mencakup peletakan syariat, penetapan perintah dan
larangan, yakni sekalipun para hamba diberi kedudukan, kerajaan,
kehormatan, kemuliaan dan kepemimpinan

Perkataan di atas mengandung realisasi dari tauhid dan realisasi dari firman
Allah Ta'ala,
َ‫الفاتحة[ نسْت ِعينَُ وإِيََّاكَ ن ْعبُ َُد إِيَّاك‬/5]
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepadaMu-lah kami
meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5).

Bila diasumsikan ada sebab tertentu yang bisa merealisasikan tuntutannya


secara independen tanpa kehendak dan kemudahan dari Allah, niscaya tidak
wajib berharap hanya kepadaNya, tidak wajib bertawakal hanya kepadaNya,
tidak wajib meminta hanya kepadaNya, tidak wajib beristighatsah hanya
kepadaNya dan tidak wajib memohon pertolongan hanya kepadaNya, padahal
bagiNya segala puji, Dialah tempat mengadu, tempat memohon pertolongan
dan bantuan dalam kesulitan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali
denganNya. Bagaimana tidak demikian sementara tidak ada satu sebab pun
yang secara independen mampu mewujudkan tuntutannya, akan tetapi ia
membutuhkan sebab-sebab yang lainnya, di samping itu segala penghalang
dan rintangan harus disishkan darinya sehingga tuntutannya terwujud, setiap
sebab memiliki patner, sebagaimana ia juga memiliki lawan, bila patnernya
tidak membantunya dan lawannya tidak memberinya jalan maka akibatnya
tidak terwujud.

Hujan semata tidak menumbuhkan pohon kecuali dengan faktor-faktor


pendukung lainnya seperti udara, tanah dan lainnya, kemudian tanaman itu
sendiri tidak tumbuh dengan baik sehingga faktor perusaknya dijauhkan
darinya, makanan dan minuman tidak berguna kecuali dengan dukungan
faktor-faktor penunjang dalam tubuh, dan semua itu tidak bermanfaat
kecuali bila perusaknya disingkirkan darinya.

Makhluk yang memberi atau menolongmu, di samping Allah memberinya


keinginan, kekuatan dan kemampuan untuk berbuat, sekalipun demikian apa
yang dilakukannya tidak terwujud kecuali dengan sebab-sebab yang banyak
di luar kodratnya yang membantunya mewujudkan apa yang dikehendakinya,
sekalipun yang bersangkutan adalah raja yang ditaati, faktor-faktor perintang
dan penghalang bagi sebab-sebab yang saling menunjang harus disisihkan,
sehingga sesuatu harapan tidak akan terwujud kecuali bila sebabnya
terwujud dan penghalangnya terangkat.

Setiap sebab yang tertentu hanyalah bagian dari penentu, di alam ini tidak
ada sesuatu yang satu yang merupakan penentu secara sempurna, sekalipun
ia disebut dengan penentu sedangkan selainnya yang menunjangnya disebut
syarat, maka hal ini hanyalah perselisihan lafzhi semata. Adapun anggapan
bahwa di antara makhluk-makhluk terdapat illat yang sempurna yang
menuntut akibatnya maka ia adalah batil.

Barangsiapa mengetahui hal ini dengan benar maka terbukalah baginya pintu
tauhid kepada Allah, dia mengetahui bahwa tidak ada yang berhak untuk
dimintai kecuali Allah, alih-alih diibadahi, ditawakali dan diharapkan kecuali
Allah Ta'ala semata.

Di antara perkara yang patut diketahui adalah apa yang dikatakan oleh
sebagian ulama, bahwa bersandar kepada sebab merupakan kesyirikan
dalam tauhid, sedangkan menghapus sebab untuk menjadi sebab merupakan
kekurangan pada akal serta berpaling dari sebab secara total menciderai
syariat. Dan makna tawakal dan berharap tersusun dari tuntutan tauhid, akal
dan syariat.

Keterangannya begini, bahwa bersandar kepada sebab adalah berpijaknya


hati kepadanya, harapan hati kepadanya dan tumpuannya kepadanya,
padahal di antara makhluk tidak ada yang berhak mendapatkannya, karena
makhluk tidak independen, dia membutuhkan sekutu, dia memiliki lawan, di
samping semua ini, bila peletak sebab tidak memudahkannya maka ia tidak
mudah.

Nabi shallallohu 'alaihi wasallam mengambil sebab namun tidak


bersandar kepadanya

Sebagian orang mengira bahwa tawakal menafikan usaha dan mengikuti


sebab, dan bahwa bila segala perkara telah ditakdirkan maka sebab tidak lagi
dibutuhkan. Ini adalah anggapan yang rusak, karena di antara usaha ada
yang wajib, ada yang mustahab, ada yang mubah, ada yang makruh dan ada
pula yang haram, sebagaimana hal itu diketahi di tempatnya.

Nabi shallallohu 'alaihi wasallam adalah orang yang bertawakal paling utama,
namun begitu beliau tetap memakai baju perang, berjalan masuk ke pasar
untuk mendapatkan rizki sehingga orang-orang kafir berkata,
َِ ‫ل هذا ما‬
‫ل‬ َِ ‫سو‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ل‬َُ ‫طعامَ يأ ْ ُك‬
َّ ‫ق فِي وي ْم ِشي ال‬
َِ ‫الفرقان[ ْاْلسْوا‬/7]
“Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (Al-
Furqan: 7).

Kamu melihat banyak orang yang berpandangan bahwa berusaha menafikan


tawakal mendapatkan rizki melalui tangan orang-orang yang memberi
mereka, bisa dalam bentuk sedekah, bisa dalam bentuk hadiah, dan hal itu
bisa berasal dari pungli atau pengawal penguasa atau selainnya dan itu
adalah kerendahan.

Syarah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz al-Hanafi.

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php


Versi Online : index.php/?pilih=indexaqidah&id=1§ion=aq001

Anda mungkin juga menyukai