Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh, nama daerah, nama asing, morfologi

tumbuhan, sistematika tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan.

2.1.1 Habitat

Kitolod (Hippobroma longiflora (L.) G. Don) merupakan tanaman yang

berasal dari Hindia Barat tumbuh liar di pinggir saluran air atau sungai, serta tempat

yang lembab dan terbuka (Yohana, et. al., 2005).

2.1.2 Nama daerah

Menurut Hariana (2007) kitolod (Hippobroma longiflora (L.) G. Don) memiliki

nama daerah:

Sunda : Daun tolod

Jawa : Daun kendali

Melayu : Lidah payau

2.1.3 Nama asing

Belanda : ster ven bethlehem (Hariana, 2007),

Inggris : star of bethelem (Ali, 2003).

China : Ma zui cao

Hawaiian : pua hōkū

Prancis : etoile de Bethléem

2.1.4 Morfologi tumbuhan

Kitolod merupakan tumbuhan liar yang dapat ditemukan di dataran rendah

sampai ketinggian 1.100m dari permukaan laut. Terna tegak berbatang basah tumbuh

5
di tempat terbuka dengan tinggi dapat mencapai 50 cm, bercabang dari pangkal

batang, batangnya bulat, helaian daun berwarna hijau, bergerigi sampai melekuk,

merupakan daun tunggal, lebar daun 2 - 3 cm, panjang 5 - 15 cm, bunga tunggal,

tegak, bertangkai panjang, keluar dari ketiak daun, mahkota bunga menyerupai

bintang, berwarna putih, buah berbentuk lonceng,berwarna hijau dan merunduk, biji

bulat telur, berukuran kecil, berwarna putih, akar tanaman merupakan akar tunggang

(Nuraini, 2014).

2.1.5 Sistematika tumbuhan

Menurut Plantamor (2008) kitolod (Hippobroma longiflora (L.) G. Don)

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Asterales

Suku : Campanulaceae

Marga : Hippobroma

Jenis : Hippobroma longiflora (L.) G. Don

2.1.6 Kandungan kimia

Kitolod (Hippobroma longiflora (L.) G. Don) mengandung senyawa kimia

seperti alkaloida, saponin, flavonoida dan polifenol (Murtie, 2013).

2.1.7 Kegunaan

Bagian dari tanaman ini yang digunakan sebagai pengobatan beberapa

penyakit sebagai berikut: obat anti radang (Suparni, 2012), obat gangguan mata

6
seperti mata berair, mata plus, minus, katarak, glaukoma (Nuraini, 2014), epilepsi

(Ira, et. al., 2009).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan

2.2.1 Alkaloida

Alkaloida adalah suatu golongan senyawa sekunder yang terbanyak

ditemukan di dalam dunia tumbuhan. Alkaloida tersebar luas dalam berbagai familia

tumbuhan. Semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom nitrogen sehingga

bersifat basa dan pada sebagian besar alkaloida atom nitrogen ini merupakan bagian

dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006). Menurut Harborne, alkaloida adalah senyawa

bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam

sistem siklik. Di samping itu alkaloida dapat didefinisikan sebagai suatu senyawa

yang mengandung nitrogen, dan bersifat basa, terdapat pada tumbuhan dalam jumlah

yang relatif kecil dan mempunyai aktivitas farmakologi. Selain unsur nitrogen,

alkaloida juga mengandung oksigen dan sulfur (Hanafi, 2012).

Sifat alkaloida yang paling umum adalah bersifat basa, kebasaan dari

alkaloida ini bergantung pada ketersediaan pasangan elektron sunyi dari atom N

untuk disumbangkan membentuk ikatan kovalen koordinasi (Cordell, 1981). Bila

gugus fungsi yang berdekatan dengan nitrogen bersifat sebagai penolak elektron,

seperti gugus alkil, maka ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan bertambah,

mengakibatkan alkaloida bersifat lebih basa, sebaliknya bila gugus fungsi yang

melekat pada nitrogen bersifat sebagai penarik elektron, seperti gugus karbonil maka

ketersediaan elektron disekitar nitrogen akan berkurang, mengakibatkan alkaloida

bersifat netral bahkan sedikit bersifat asam (Lenny, 2006).

Sifat kebasaan dari alkaloida sangat berpengaruh terhadap kestabilannya

7
sehingga alkaloida dapat terurai oleh pengaruh oksigen, panas, cahaya dan terhadap

metode yang sesuai dipakai untuk isolasi. Penguraian alkaloida selama atau setelah

isolasi dapat menjadi masalah yang serius jika disimpan dalam waktu lama.

Pembentukan garam dengan asam organik seperti tartrat, sitrat atau asam anorganik

seperti asam klorida, asam sulfat dapat mengurangi penguraian alkaloida (Cordell,

1981). Fungsi alkaloida dalam tumbuhan belum diketahui secara pasti, kemungkinan

berfungsi sebagai penarik atau penghalau serangga, ataupun dapat bersifat sebagai

zat pengatur tumbuh. (Harborne, 1987). Klasifikassi alkaloida menurut Hegnauer

(Farnsworth, 1966) adalah sebagai berikut:

1. Alkaloida Sejati

Alkaloida ini dibentuk atau berasal dari asam amino yang umumnya

mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan kebanyakan

bersifat basa seperti vinkristin dan reserpin, kecuali kolkisin yang tidak mempunyai

cincin heterosiklik dan tidak bersifat basa.

2. Protoalkaloida

Alkaloida ini dibentuk dari asam amino, tetapi unsur nitrogennya tidak terikat

pada cincin heterosiklik dan bersifat basa. Contohnya meskalin dan efedrin.

3. Pseudoalkaloida

Alkaloid ini merupakan alkaloida bukan turunan asam amino, pada umumnya

mempunyai unsur nitrogen yang terikat pada cincin heterosiklik dan biasanya

bersifat basa. Alkaloida yang penting dari golongan ini adalah alkaloida golongan

purina seperti kafein.

Menurut Evans (2009), pembagian alkaloida berdasarkan letak atom nitrogen

adalah:

8
A. Non heterosiklik atau atipikal alkaloida, disebut juga protoalkaloida atau amin

biologis misalnya efedrin yang terdapat dalam Ephedra distachya.

B. Heterosiklik atau tipikal alkaloida yang dibagi ke dalam 12 grup berdasarkan

struktur cincinnya, yaitu:

1. Alkaloida golongan pirol dan pirolidin:

Contohnya, golongan pirol yaitu stakidrin pada tumbuhan Stachys tuberifera dan

golongan pirolidin yaitu higrin pada tumbuhan Erythroxylon coca.

H
N

Gambar 2.1 Struktur pirol

H
N

Gambar 2.2 Struktur pirolidin

Gambar 2.3 Struktur stakidrin

CH3

N
H2
C C CH3

Gambar 2.4 Struktur higrin

9
2. Alkaloida golongan pirolizidin:

Contohnya, retronesin pada Crotalaria retus.

Gambar 2.5 Struktur pirolizidin

HO

OH
N

Gambar 2.6 Struktur retronesin

3. Alkaloida golongan piridin dan piperidin:

Contohnya, golongan piridin yaitu nikotin pada tumbuhan Nicotiana tobacum

dan golongan piperidin yaitu koniin pada tumbuhan Coninum maculatum.

Gambar 2.7 Struktur piridin

H
N

Gambar 2.8 Struktur piperidin

10
Gambar 2.9 Struktur nikotin

H2
C
N C CH3
H H2

Gambar 2.10 Struktur koniin

4. Alkaloida golongan tropan:

Contohnya, atropin pada tumbuhan Atropa belladonna.

Gambar 2.11 Struktur tropan

Gambar 2.12 Struktur atropin

5. Alkaloida isokuinolin:

Contohnya, papaverin pada tumbuhan Papaver somniferum.

Gambar 2.13 Struktur isokuinolin

11
H3CO

N
H3CO

OCH3

OCH3
Gambar 2.14 Struktur papaverin

6. Alkaloida golongan kuinolizidin:

Contohnya, sitisin pada tumbuhan Cytisus scoparius.

Gambar 2.15 Struktur kuinolizidin

NH

H
O

Gambar 2.16 Struktur sitisin

7. Alkaloida golongan kuinolin:

Contohnya, kinin pada tumbuhan Cinchona ledgeriana.

Gambar 2.17 Struktur kuinolin

12
Gambar 2.18 Struktur kinin

8. Alkaloida golongan aporfin:

Contohnya, morfin pada tumbuhan Papaver somniferum

Gambar 2.19 Struktur aporfin

Gambar 2.20 Struktur morfin


9. Alkaloida golongan indol:

Contohnya, reserpin pada tumbuhan Rauwolfia serpentin.

H
N

Gambar 2.21 Struktur indol

13
N O OCH3
H3CO H

N
H H
O
OCH3
H

COOCH3 OCH3
OCH3

Gambar 2.22 Struktur reserpin


10. Alkaloida golongan imidazol:
Contohnya, pilokarpin pada tumbuhan Pilocarpus jaborandi.

H
N

Gambar 2.23 Struktur imidazol

CH3

CH3
N O

Gambar 2.24 Struktur pilokarpin


11. Alkaloida golongan purin:

Contohnya, kafein pada tumbuhan Coffea Arabica.

N H
N

N
N

Gambar 2.25 Struktur purin

14
O

N
N

N
O N

Gambar 2.26 Struktur kafein

12. Alkaloida golongan steroid:

Contohnya, solanidin pada tumbuhan Solanum tuberosum.

Gambar 2.27 Struktur steroid

H3C

CH3

N
CH3
CH3

HO

Gambar 2.28 Struktur solanidin

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang

terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak

15
atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Diketahuinya senyawa aktif yang

dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan dalam pelarut dan cara ekstraksi

yang tepat, metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI, 2000).

A. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman

menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi

yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik,

sedangkan dilakukan pengulangan penambahan pelarut telah dilakukan penyaringan

terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru

sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur

kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaban bahan, tahap perendaman

antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus

sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 - 5 kali jumlah bahan yang diekstraksi.

B. Cara panas

1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu, jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur

lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur

16
40-50oC.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu

baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air yang

padapada temperatur 90oC selama 15 menit. Hasilnya disebut infus (infusum).

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90oC selama 30 menit. Hasilnya disebut dekok (dekoktum).

2.4 Metode Pengocokan Asam Basa

Diketahui bahwa beberapa golongan senyawa tertentu, seperti asam dan

basa, yang terdapat di dalam suatu sampel dapat diekstraksi menggunakan cara yang

telah disesuaikan. Golongan bahan alam yang diekstraksi dengan cara ini adalah

alkaloida, yang banyak terdapat dalam tumbuhan sebagai garam. Uraian mengenai

cara ekstraksi senyawa pokok ini adalah sebagai berikut.

a. Alkaloida dapat diperoleh dari garamnya dengan cara membasakan serbuk

kering bahan tanaman dengan menggunakan amonia encer. Alkaloida akan terdapat

dalam bentuk basa bebas yang tak lagi berupa garam ionik dan lebih larut dalam

pelarut organik seperti kloroform.

b. Kelarutan yang meningkat dalam pelarut organik memungkinkan akan

terjadinya partisi basa bebas ke dalam kloroform, lalu dapat dipisahkan dari lapisan

amonia encer dalam corong pemisah karena pelarut-pelarut ini membentuk lapisan

17
yang tak bercampur (immiscible).

c. Larutan kloroform akan mengandung basa bebas, yang kemudian diekstraksi

dengan asam encer, misalnya diekstraksi tiga kali dengan asam klorida 2N dan

alkaloida ini akan pindah dari fase organik ke fase berair sebagai garam klorida.

Lapisan kloroform yang tersisa dapat diuji dengan reaksi warna khusus untuk

alkaloida (reagen Dragendorff) untuk memastikan bahwa semua alkaloida telah

ditransfer kelapisan cairan asam.

d. Lapisan asam dibasakan kembali dengan ammonia menghasilkan pengendapan

alkaloida, kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut organik (Heinrich et

al.,2005).

2.5 Cara Umum Isolasi Senyawa Kimia dari Tumbuhan

Isolasi senyawa kimia dari bahan alam adalah suatu usaha untuk memisahkan

senyawa yang bercampur sehingga diperoleh senyawa tunggal. Isolasi senyawa

kimia ini banyak dilakukan dengan kromatografi (Robinson, 1995).

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan proses migrasi

dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa

zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Fase gerak

membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang

terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media

pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase

diam dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam

dan fase gerak. Proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert berfungsi

sebagai fase diam (Depkes RI, 1995).

Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase

18
diam yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Fase diam berupa zat padat maka cara

tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, sedangkan yang berupa zat cair maka

dikenal sebagai kromatografi partisi (Depkes RI, 1995; Sastrohamidjojo, 1985).

Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan terutama dilakukan

dengan menggunakan salah satu dari lima teknik kromatografi atau gabungan teknik

tersebut. Kelima teknik kromatografi itu adalah: kromatografi kolom (KK),

kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair

(KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Pemilihan teknik kromatografi

bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan dipisah (Harborne, 1987).

2.5.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit

dengan mengembangkan analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat

komponen atau analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pewarnaan (Gandjar

dan Rohman, 2012).

Fase diam yang terdiri atas bahan berbutir-butir dilapiskan pada penyangga

berupa plat, gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah,

berupa larutan ditotolkan berupa bercak ataupun pita, setelah itu plat atau lapisan

dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang

cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama pengembangan, selanjutnya senyawa

yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara.

Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan

pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik berfluorosensi jika

disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang

19
panjang (366 nm). Senyawa tidak dapat dideteksi maka harus disemprot dengan

pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan,

kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985).

Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan yaitu:

1. Metode untuk mencapai hasil kualitatif (analitik) dan kuantitatif (preparatif).

2. Mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom (Gritter, et

al., 1991; Stahl, 1985).

a. Fase diam (lapisan penyerap)

Pada kromatografi lapis tipis pada fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri

bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat

dari kaca atau logam. Lapisan fase diam melekat pada permukaan dengan bantuan

bahan pengikat. Beberapa contoh fase diam yang digunakan untuk pemisahan dalam

kromatografi lapis tipis yaitu silika gel, alumina, kieselguhr dan selulosa.

Kromatografi lapis tipis lapisan fase diam harus sesedikit mungkin mengandung air,

karena air akan menempati semua titik penyerapan sehingga tidak akan ada senyawa

yang melekat, maka sebelum digunakan plat kromatografi lapis tipis perlu diaktifkan

dengan pemanasan pada 110oC selama 30 menit (Gritter, et al., 1991).

b. Fase gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri dari satu atau campuran pelarut,

jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran

sesederhana mungkin yang terdiri atas tiga komponen (Stahl, 1985).

Pemisahan pada KLT dikendalikan oleh rasio distribusi komponen dalam

sistem fase diam atau penyerap dan fase gerak tertentu. Pemisahan pada KLT dapat

dimodifikasi dengan mengubah rasio distribusi komposisinya pada fase gerak dengan

20
memperhatikan polaritasnya (Gandjar dan Rohman, 2012).

Hal ini sepasang pelarut atau lebih yang dapat saling melarutkan akan

memisah menjadi menjadi dua lapisan. Hal ini lazim terjadi pada dua pelarut yang

sangat berbeda kepolarannya dicampur sehingga dapat dilihat berupa bercak

berbentuk bulan setengah, bukan bentuk yang bundar atau lonjong ((Gritter, et al.,

1991).

c. Harga Rf

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan

dengan harga Rf (Retardation Factor = faktor penghambatan) (Stahl, 1985).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal


Rf =
Jarak garis depan pelarut dari titik awal

Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat

bercak. Harga Rf berada antara 0,00 – 1,00. Harga Rf ini sangat berguna untuk

mengidentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut

(Sastrohamidjojo, 1985):

a. struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

b. bersifat penyerap

c. tebal dan kerataan lapisan penyerap

d. jenis pelarut dan derajat kemurniannya

e. derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana

f. teknik percobaan

21
g. jumlah cuplikan yang digunakan

h. suhu

i. kesetimbangan

2.5.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Metode pemisahan senyawa bahan alam yang memakai peralatan yang paling

dasar merupakan kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif. Ketebalan penyerap yang

sering dipakai adalah 0,5 - 2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm

atau 20 x 40 cm. Ketebalan lapisan yang terbatas dan ukuran plat sudah tentu

mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. KLT

preparatif dapat memisahkan bahan alam dalam jumlah gram, sebagian besar

pemakaian hanya dalam jumlah milligram. Penjerap yang paling umum digunakan

adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan senyawa lipofil maupun campuran

senyawa hidrofil. Pemilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemeriksaan

pendahuluan memakai KLT analitik (Hostettmann, et al., 1995).

Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit

pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan lebar pita sesempit mungkin karena

pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi

lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan

dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh

dengan uap pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang tercelup ke

dalam pengembang. Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator

fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita hasil pemisahan yang menyerap

sinar ultraviolet. Mendeteksi senyawa yang tidak menyerap dari sinar ada beberapa

pilihan (Hostettmann, et al., 1995):

22
a. menyemprot dengan air (misalnya saponin).

b. menutup plat dengan sepotong kaca,lalu menyemprot salah satu sisi menggunakan

pereaksi semprot.

c. menambahkan senyawa pembanding

2.5.3 Kromatografi lapis tipis dua arah (two-dimensional TLC)

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan

resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia

yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Dua sistem fase gerak yang

berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga

memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat

polaritas yang hampir sama maka KLT dua dimensi dapat dipakai untuk memeriksa

kemurnian isolat. KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel

di salah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa

dengan fase gerak pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dikeluarkan dari

chamber pengembang dan fase gerak dibiarkan menguap dari lempeng. Lempeng

dimasukkan ke dalam chamber yang menggunakan fase gerak kedua sehingga

pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah

pengembangan yang pertama. Pemisahan tergantung pada kemampuan untuk

memodifikasi selektifitas eluen pertama (Rohman, 2009).

2.6 Spektrofotometri
2.6.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan di

antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan. Sinar

ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm. Serapan cahaya oleh

23
molekul dalam daerah spektrum ultraviolet sangat tergantung pada struktur

elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Penyerapan radiasi UV terjadi melalui eksitasi elektron dalam suatu molekul

obat ke level energi yang lebih tinggi. Transisi ini terjadi dari tingkat elektronik dasar

suatu molekul ke salah satu level dalam keadaan elektronik tereksitasi (Gandjar dan

Rohman, 2012). Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang yang diserap

cahaya. Gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya sinar ultraviolet disebut gugus

kromofor (Dachriyanus, 2004).

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri sinar UV adalah

etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut dan

etanol tidak menyerap sinar UV. Pelarut lain yang digunakan adalah air, metanol,

n-heksana, eter minyak bumi dan eter. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa

ditentukan dengan cara mengukur absorbansi pada panjang gelombang tertentu

dengan menggunakan hukum Lambert - Beer (Gandjar dan Rohman, 2007;

Harborne, 1987).

Spektrofotometer UV pada umumnya digunakan untuk:

1. menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan ausokrom dari

suatu senyawa organik.

2. menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombangnya.

(Dachriyanus, 2004).

2.6.2 Spektrofotometri sinar inframerah

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:

1. menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik.

2. mengetahui informasi senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jari.

24
Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya

inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5 - 50 𝜇𝜇m atau

bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah

sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi

(Dachriyanus, 2004).

Hanya frekuensi (energi) dari radiasi inframerah tertentu yang dapat diserap

oleh suatu molekul. Agar molekul dapat menyerap radiasi inframerah, maka molekul

harus mempunyai gambaran, yakni momen dipol pada molekul harus berubah selama

vibrasi (Gandjar dan Rohman, 2012).

Daerah inframerah terletak antara spektrum elektromagnetik cahaya tampak

dan spektrum radio, yakni antara bilangan gelombang 4000 - 400 cm-1. Penggunaan

spektrofotometri inframerah lebih banyak ditujukan untuk identifikasi suatu senyawa

melalui gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas,

artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula

(Noerdin, 1985).

Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui

ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya gugus fungsional utama seperti C=O, O-

H, N-H, C-O, C=C, C≡C, C=N, C≡N, dan NO2. Langkah-langkah yang dilakukan

untuk memeriksa pita - pita yang terpenting pada hasil dari

spektrum inframerah (Pavia, et al., 1988):

1. Gugus karbonil

Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah 1820-1660 cm-1.

2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut ( jika C=O tidak ada maka

25
langsung ke nomor 3).

Asam : lihat gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah 3300-

2500 cm-1.

Amida : lihat gugus N-H, merupakan serapan medium di daerah 3500 cm-1,

kadang-kadang dengan puncak rangkap.

Ester : lihat gugus C-O, merupakan serapan medium di daerah 1300- 1000

cm-1.

Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1.

Aldehida : lihat gugus C-H, merupakan dua serapan lemah di daerah 2850

dan 2750 cm-1 yaitu disebelah kanan serapan C-H.

Keton : kemungkinan bila kelima senyawa di atas tidak ada.

3. Bila gugus C=O tidak ada

Alkohol atau fenol : lihat gugus O-H, serapan melebar di daerah 3600-3300

cm-1 yang diikuti adanya serapan C- O di daerah 1300-

1000 cm-1.

Amina : lihat gugus N-H, yaitu serapan medium di daerah

3500 cm-1.

Eter : lihat gugus C-O (dan tidak adanya O-H), yaitu serapan

medium di daerah 1300-1000 cm-1.

4. Ikatan rangkap dua atau cincin aromatik

− Serapan lemah C=C di daerah 1650 cm-1.

− Serapan medium sampai kuat pada daerah 1650-1450 cm-1 menunjukkan dari

adanya cincin aromatik.

26
− cocokkan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah

C-H aromatik di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di

sebelah kanan daerah tersebut.

5. Ikatan rangkap tiga

− Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah bilangan gelombang 2250

cm-1.

− Serapan medium dan tajam dari C≡C di daerah bilangan gelombang 2150

cm-1.

6. Gugus nitro

− Dua serapan yang kuat di daerah 1600-1500 cm-1 dan 1390-1300 cm-1.

7. Hidrokarbon

− Apabila keenam serapan di atas tidak ada.

− Serapan C-H alifatis di daerah sebelah kanan 3000 cm-1.

− Serapan yang sangat sederhana di daerah 1450 cm-1 (CH2) dan 1375 cm-1

(CH3).

27

Anda mungkin juga menyukai