Anda di halaman 1dari 3

Penegakan Hukum di Indonesia yang Masih Jauh dari Kata Adil

Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang sedang dalam kondisi yang sangat buruk dan
begitu memprihatinkan. Bahkan tuaian kritik untuk penegak hukum lebih banyak dilontarkan
dibandingkan dengan pujian atas prestasi mereka. Bagaimana tidak berbagai kritik yang
dilontarkan untuk para penegak hukum tersebut dikarenakan prinsipnya yang tak sesuai dengan
keadilan. Tak sedikit juga yang beranggapan bahwa hukum yang ada di Indonesia saat ini bisa
dibeli. Bila seseorang berhadapan dengan hukum namun orang tersebut mempunyai uang, nama,
dan jabatan pastilah mereka yang akan menang dan yang lolos dari jeratan hukum walaupun
aturan yang sudah tertulis mereka langgar. Istilah yang tepat untuk menggambarkan hukum yang
ada di Indonesia saat ini ialah“Runcing Kebawah Tumpul Ke Atas”. Diharapkan para penegak
hukum dapat melakukan penegakan hukum secara adil dan bijaksana guna menghilangkan cap
negatif terhadap kondisi hukum yang ada di Indonesia.

Sampai saat ini hukum yang berlaku tidak dijalankan sebagai alat untuk menegakkan
suatu keadilan melainkan hanyalah sebuah permainan barang dagangan belaka. Hukum yang
sebenarnya berfungsi sebagai sebuah alat pelindung masyarakat kini telah berubah bentuk
menjadi sebuah alat pembunuh dikarenakan perangkat hukum yang carut marut. Bebagai praktik
hukum yang tidak sesuai dengan kaidah hukum itu sendiri melenggang bebas di masyarakat dan
merupakan sebuah realita yang sering dijumpai di negeri ini.

Banyak sekali contoh kasus hukum di Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah
penyelesaian masalah. Salah satu contohnya ialah suatu kasus yang dialami oleh nenek Asyani.
Kasus yang dialami oleh nenek Asyani benar-benar menggambarkan kondisi hukum yang ada di
Indonesia ialah hukum yang “Runcing kebawah tumpul keatas”. Bagaimana tidak seorang nenek
yang sudah berusia lanjut dituduh mencuri 38 papan kayu di lahan perhutani dan mendapat
hukuman kurungan penjara 5 tahun. Beratnya hukuman yang dialami oleh nenek Asyani karena
tidak sesuai dengan prinsip keadilan sampai-sampai membuatnya duduk lemas dan menangis di
depan para majelis hakim agar majelis hakim dapat mengampuni apa yang tellah dilakukan oleh
nenek Asyani. Pepatah “Runcing kebawah tumpul keatas” juga tidak dialami oleh nenek Asyani
saja. Banyak sekali contoh yang bisa kita ambil, Hamdani yang melakukan tindak pidana
pencurian sandal milik perusahaan di mana ia bekerja, Nenek Minah yang mengambil pohon
kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang kebetulan sedang mengecas handphone
miliknya di sebuah rumah susun di Jakarta Pusat serta apa yang dilakukan oleh Kholil dan Basari
di Kediri, Jawa Timur yang mencuri semangka langsung ditangkap tanpa segan-segan dan diadili
seberat-beratnya. Namun berbeda halnya bilamana seorang pejabat negara yang melakukan
tindak korupsi uang milyaran bahkan triliunan rupiah milik negara hanya dihukum ringan bahkan
beberapa dari mereka dapat berkeliaran dengan sebebas-bebasnya. Seakan-akan hal tersebut
menyuguhkan tontonan menyayat hati bagi masyarakat akan tingkah yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh Negara tersebut.
Untuk menghindari hal tersebut agar tidak semakin parah UUD pasal 28 D ayat 1 harus
kita tegakkan bersama. Karena jika kita terus diam dan tidak berbuat sesuatu maka hal pelik
tersebut akan terus terulang kembali dan hak diperlakukan sama didepan hukum seperti yang
sudah dijelaskan secara gambling di undang-undang maka tidak akan berlaku lagi. Jika Hak Asasi
Manusia (HAM) untuk diperlakukan sama di depan hukum ini benar-benar di jalankan maka
hukum yang berlaku di Indonesia tidak akan tajam di salah satu sisi.

Penegak hukum yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan melakukan praktik
jual beli hukum sama saja ia telah mencederai keadilan. Dalam kondisi tertentu, saat keadilan
terus menerus untuk dihindari bukan tidak mungkin stabilitas keamanan bangsa Indonesia
menjadi taruhannya. Ketidakadilan yang dialami oleh penduduk akan memicu berbagai ragam
tindakan berupa perlawanan-perlawanan terhadap para pemegang kekuasaan yang bisa saja
terwujud ke dalam berbagai aksi anarkis atau kekerasan.

Perlahan demi perlahan praktik hukum yang buruk pun mulai menjamur dan seolah-olah
itu merupakan suatu hal yang sudah biasa. Itu bisa kita lihat dari beberapa kasus antara lain
penjara kasus pidana korupsi yang melibatkan penjabat namun dalam sel tersebut terlihat seperti
hotel berbintang, selain itu mafia-mafia terselubungpun juga mulai bisa kita lihat dalam berbagai
kasus di peradilan. Kasus tersebut menunjukan begitu banyaknya kejanggalan-kejanggalan dan
ketidakberesan para penegak hukum yang ada di Indonesa saat ini. Oleh karena itu tak heran
munculnya rasa cemas dan kecewa terhadap stigma rakyat terhadap hukum yang ada di
Indonesia ini. Tak hanya itu bahkan kekecewaan masyarakat juga terkadang mereka luapkan
dalam bentuk demonstrasi yang terjadi di beberapa daerah sebagai bentuk ketidakpuasan atas
para penegak hukum tersebut.

Rakyat Indonesia benar-benar membutuhkan seorang penegak hukum yang adil. Namun
entah sampai kapan hal baik itu dapat terjadi walaupun pembenahan dan penataan system hukum
kerap sekali dilakukan guna membentuk suatu system yang lebih baik lagi. Negeri ini sangat
butuh seorang penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan adil dan tegas dimana
tidak ada tindakan diskriminasi yang dapat mencederai hukum itu sendiri.

Banyak sekali faktor yang membuat hukum yang ada di Indonesia ini menjadi carut
marut, salah satunya ialah lemahnya political action dan political will para pemimpin-pemimpin
Indonesia dalam membuat hukum sebagi suatu hal yang dapat dipegang teguh oleh seseorang
ketika ia akan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya.

Faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia yaitu lemahnya political will
dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan
jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat, rendahnya
integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim,
Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum, minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang
mendukung kelancaran proses penegakan hukum, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat
yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.

Anda mungkin juga menyukai