Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN KESEHATAN PADA PSIKOLOGI

PERKEMBANGAN TERHADAP KEJADIAN POST POWER


SYNDROME PADA PENSIUNAN GURU

(Studi Kasus Di BTPN Sinaya Kudus )

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana


Keperawatan (S-1)

Oleh

Nurida Wulandani

NIM : 820163082

PEMBIMBING :

1. Anny Rosiana, M.M.Kep.Ns.Sp.Kep.J


2. Ahmad Nor Syafiq, M.Pd

Jurusan S-1 Ilmu Keperawatan


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara kepulauan dengan jumlah populasi


keempat terbesar di dunia menurut World Population Prospect 2017
Revision oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pertumbuhan penduduk
Indonesia sangat berpengaruh terhadap komposisi penduduk dunia. Bahkan,
dari tahun 2017 hingga 2050 diperkirakan bahwa separuh dari pertumbuhan
penduduk dunia akan terkonsentrasi pada sembilan negara saja, salah
satunya adalah Indonesia. Populasi dunia saat ini berada pada era
penduduk menua (ageing population) dengan jumlah penduduk yang berusia
60 tahun ke atas melebihi 7 persen populasi. Seiring dengan pertumbuhan
tersebut, jumlah penduduk lanjut usia (lansia) semakin lama juga semakin
meningkat dan berkontribusi cukup tinggi terhadap pertumbuhan penduduk
secara keseluruhan. Populasi lansia mencapai 962 juta orang pada tahun
2017, lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 1980 yaitu hanya 382 juta
lansia di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat pada
tahun 2050 yang prediksinya akan mencapai sekitar 2,1 miliar lansia di
seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejalan dengan hal tersebut,
persentase lansia di Indonesia juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2018, terdapat 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta lansia dari
seluruh penduduk. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya
yang hanya terdapat 8,97 persen (sekitar 23,4 juta) lansia di Indonesia.
Kenaikan ini diperkirakan akan terus terjadi untuk beberapa tahun ke depan,
walaupun jumlah serta komposisi penduduk sebenarnya sangat dinamis dan
tergantung pada tiga proses demografi yang tidak dapat diprediksi secara
pasti yaitu kelahiran, kematian, dan migrasi. Perubahan ini juga tentu akan
berdampak pada pergeseran struktur umur penduduk dan akan
mempengaruhi berbagai lini kehidupan negara. (BPS, 2018)
Data Susenas Maret 2018 menunjukkan bahwa provinsi dengan
persentase penduduk lansia terbanyak pada tahun 2018 adalah DI
Yogyakarta (12,37 persen), Jawa Tengah (12,34 persen), Jawa Timur (11,66
persen), Sulawesi Utara (10,26 persen), dan Bali (9,68 persen).
Panjangnya masa hidup pada lansia tak akan berarti tanpa disertai
kesehatan prima dan produktivitas. Berdasarkan laporan dari World Health
Organization (WHO), Angka Harapan Hidup Sehat (AHHS) Indonesia pada
tahun 2016 adalah 12,7 tahun yang menandakan bahwa lansia Indonesia
dapat menjalani hidup mereka dalam kondisi sehat sampai usia 72-73 tahun.
Angka ini masih jauh di bawah AHHS negara maju yang besarannya
mencapai 20 tahunan. Berangkat dari kondisi ini, pemerintah Indonesia telah
menyiapkan PMK No. 25 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN)
kesehatan lansia Indonesia tahun 2016-2019 sebagai bagian dari
perwujudan RPJMN 2015-2019. Dokumen tersebut memuat perhatian
pemerintah terhadap masalah utama lansia terkait pemenuhan kebutuhan
akan pelayanan kesehatan, diantaranya dengan cara mengembangkan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan upaya peningkatan,
pencegahan, dan pemeliharaan kesehatan di samping upaya penyembuhan
dan pemulihan. Hal ini juga menjawab isu kesehatan dalam SDGs
diintegrasikan dalam satu tujuan yakni tujuan nomor 3, yaitu menjamin
kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di
segala usia, tidak terkecuali lansia.
Kondisi Kesehatan Lansia seiring dengan bertambahnya usia,
maka menurunnya fungsi organ tubuh karena proses degeneratif tidak dapat
dihindari, khususnya pada lansia. Hal ini akan menyebabkan tubuh mereka
lebih rentan terhadap penyakit tertentu, baik menular maupun tidak menular
yang terdeteksi melalui keluhan kesehatan. Keluhan kesehatan adalah
keadaan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan,
baik karena gangguan/penyakit yang sering dialami penduduk seperti panas,
pilek, diare, pusing, sakit kepala, maupun karena penyakit akut, penyakit
kronis, kecelakaan, kriminalitas atau keluhan lainnya. Keluhan kesehatan
tidak selalu mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Sementara itu, sakit adalah keluhan kesehatan yang mengganggu
kegiatan sehari-hari sehingga tidak dapat melakukan kegiatan secara normal
sebagaimana biasanya. Persentase lansia yang sakit disebut juga morbidity
rate/angka kesakitan lansia. Angka kesakitan merupakan salah satu
indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan. Angka
kesakitan lansia tahun 2018 sebesar 25,99 persen. Artinya, dari 100 lansia
terdapat 25 sampai 26 lansia yang sakit. Dalam empat tahun terakhir, angka
kesakitan lansia terus menurun. Akan tetapi, penurunannya relatif tidak
terlalu besar. Dibandingkan tahun 2015, angka kesakitan lansia turun tidak
lebih dari tiga persen. (BPS, 2018)
Perilaku pencarian pengobatan lansia dari segala bentuk keluhan
kesehatan, baik yang mengganggu aktivitas sehari-hari maupun tidak,
seyogyanya diobati sehingga tidak berlarut-larut. Hal ini tercermin melalui
perilaku kesehatan yang ditempuh lansia. Perilaku tersebut dapat dilakukan
secara mandiri (mengobati sendiri) atau dengan mengunjungi tempat
pengobatan (berobat jalan). Mengobati sendiri adalah melakukan
pengobatan dengan menentukan sendiri jenis obatnya tanpa saran/resep
dari tenaga kesehatan/batra. Adapun berobat jalan adalah memeriksakan
diri dan mendapatkan pengobatan dengan mendatangi tempat-tempat
pelayanan kesehatan modern atau tradisional tanpa menginap, termasuk
mendatangkan petugas kesehatan ke rumah. Sebagian besar lansia
Indonesia sudah memiliki respon aktif yang baik terhadap keluhan kesehatan
yang mereka alami, baik dengan cara mengobati sendiri, berobat jalan,
maupun keduanya (95,85 persen). Meskipun demikian, masih ada empat
dari 100 orang lansia yang enggan untuk mengobati keluhan kesehatan
yang mereka alami. Dengan melakukan pembenahan terhadap sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia, maka diharapkan beberapa tahun ke
depan persentase lansia yang tidak melakukan tindakan apapun terhadap
keluhan kesehatan yang dirasa akan mengalami penurunan. Hal ini
mengingat bahwa lansia perlu mempertahankan kesehatan tubuh mereka
agar tetap prima dalam menikmati masa tua demi mewujudkan active
ageing, sehingga tetap sejahtera sepanjang hidup dan berpartisipasi dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. (BPS,
2018)
Sejalan dengan perkembangan jaman, masalah kesehatan terus
mendapatkan perhatian. Tidak hanya mengenai kesehatan fisik, kesehatan
jiwa pun kini juga mendapat banyak sorotan. Salah satu yang mendapat
perhatian adalah kesehatan lansia (Soewadi dan Pramono, 2010).
Kesehatan merupakan sesuatu yang penting dan hak setiap
manusia. Menurut badan kesehatan dunia WHO, kesehatan adalah suatu
keadaan sejahtera meliputi fisik, mental social yang tidak hanya bebas dari
penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan
hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih baik kepada perasaan
sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran,
perasaan, perilaku dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar
kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari
(WHO, 2009).
Pada lansia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan
yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fungsi
degeneratif (Depkes, 2008). Searah dengan pertambahan usia mereka akan
mengalami degeneratif baik dari segi fisik maupun psikologi. Secara fisik
orang yang lanjut usia yang disebut lansia, mengalami kemunduran fungsi
alat tubuh atau disebut juga dengan proses degeneratif. Orang lansia akan
terlihat dari kulit yang mulai keriput, berkurangnya fungsi telinga dan mata,
tidak dapat bergerak cepat lagi, cepat merasa lelah, rambut menipis dan
memutih, mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh berkurang.
Secara psikologis orang lansia menjadi mudah lupa, serta berkurangnya
kegiatan dan interaksi (baik dengan anak-anak, saudara atau teman),
mengalami rasa kesepian, kebosanan dan sebagainya. Apalagi jika ia
kehilangan pekerjaan, menderita post power syndrome, berkurangnya
peranan dalam keluarga atau masyarakat, atau kondisi ekonominya buruk
(darmojo dan mariono, 2010).
Bekerja mencerminkan kondisi manusia yang sehat lahir dan batin
sedangkan tidak bekerja sama sekali mengindikasikan kondisi “macet” atau
“sakit” atau adanya suatu hambatan dalam aktifitas manusia. Bagi hampir
semua orang yang normal dan sehat, bekerja menyajikan kehidupan sosial
yang menghasikan dan persahabatan (Jacintga F.R. 2016)
Oleh karena itu jawatan atau tempat bekerja adalah sentra sosial
yang memberikan makna tersendiri bagi kehidupan individu. Di samping
menjamin kesehatan mental, lembaga atau jawatan tempat bekerja
memberikan ganjaran materil berupa uang, fasilitas, gaji dan materi lain,
maupun ganjaran non materil berupa penghargaan, status sosial dan
prestise yang sangat berarti bagi harkat diri individu. Namun berbagai hal
yang didapat selama bekerja tersebut pada akhirnya akan hilang atau
berkurang setelah pensiun datang. Pegawai pensiun pada umur 60 tahun,
dimana mereka telah menjalani masa kerja selama 30 sampai 40 tahun,
dengan masa kerja yang begitu lama maka telah terjalin berbagai hubungan
baik interpersonal maupun interpersonal seperti: kecintaan individu pada
pekerjaan, aktifitas kerja, hubungan dengan murid-murid, lingkungan kerja
dan masyarakat. Hal tersebut membuat individu sedih, melankoni dan
perasaan negative lainnya jika berbagai hubungan yang terjalin selama ia
bekerja harus ditinggalkan karena datangnya pensiun (Jacintga F.R. 2016).
Masa pensiun di daerah perkotaan, pada umumnya menurut
pandangan masyarakat, pengertian pensiun adalah berhenti bekerja formal
setelah cukup usia, di mana yang bersangkutan masih menerima gaji
pensiunan selaku imbalan di hari tua (dari pekerjaan formalnya tersebut).
Walaupun demikian, usia lanjut dengan berbagai masalahnya memerlukan
bermacam tindakan preventif. Memasuki masa pensiun sering disertai
beraneka ragam problematika antara lain disimpulkan bahwa keadaan
kesehatan jiwanya menjadi terancam. (S. Tamher,Noorkasiani, 2009).
Berbagai fasilitas dalam bentuk materi seperti: gaji pokok yang
berkurang 25% setelah pensiun, tunjangan fungsional, dan kesejahteraan
personal aka hilang setelah pensiun. Hal itu membuat banyak orang
menghadapi pensiun dengan perasaan negative atau tidak senang Bahkan
mereka yang belum siap mentalnya akan mengalami shock mental yang
hebat, sebab kejadian tersebut dianggap sebagai kerugian, keaiban,
degradasi sosial, sebagai hal yang memalukan dan sebagainya. Timbulnya
perasaan-perasaan negative tersebut menyebabkan pegawai yang akan
menghadapi masa pensiun cenderung dihinggapi perasaan cemas, takut
dan khawatir dengan berbagai dampak psikologis dan manifestasi yang
menyertainya (M.W.Nasrun, 2016).
Pensiun merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki, dimana
mereka belum siap seperti pada penelitian Setiabudi (dalam Rasimin, 1989),
bahwa pada umumnya para pensiunan di Indonesia belum siap untuk
memasuki masa pensiun, hanya 20 persen dari mereka yang benar-benar
menginginkan pensiun dan 80 persen lainnya masih ingin bekerja. Orang
yang tidak mempersiapkan dirinya secara ekonomik maupun psikologik
dalam menghadapi pensiun, sering menganggap pensiun sebagai
pengalaman yang traumatis.
Fenomena lain yang kita lihat adalah kebanyakan dari para lanjut
usia terbenam dalam kesibukan kerja pada masa mudanya, sehingga
mereka tidak mencoba mengembangkan minat pada hal lain. Akibatnya
ketika harus meninggalkan pekerjaan karena berbagai sebab, tidak tahu apa
yang harus dilakukan sebagai pengganti kesibukan. Keadaan ini diperburuk
dengan masih berkembangnya stereotip masyarakat yang menganggap
bahwa para lanjut usia se-84 baiknya tidak perlu melakukan apa-apa lagi.
Semua kebutuhan mereka sehari-hari telah tersedia, sehingga membuat
para lanjut usia menjadi betul-betul tidak dapat melakukan apapun karena
tidak terlatih. Pada era industrialisasi sekarang ini keluarga para lanjut usia
kewalahan dituntut untuk berpacu dengan waktu selain mencari nafkah
mereka masih harus disibukkan dengan kegiatan melayani orangtua mereka
yang telah berusia lanjut. Ketidaksiapan para lanjut usia untuk mengelola diri
mereka sendiri serta perlakuan keluarga dan masyarakat yang menganggap
bahwa mereka sudah tidak layak dan tidak mampu memenuhi kebutuhan
mereka sendiri inilah yang juga menyebabkan para lanjut usia tidak lagi
melakukan aktivitas pada masa usia lanjut mereka.
Individu (lansia) yang bermantal lemah dan belum siap secara jiwa
menghadapi pensiun biasanya akan mengalami simptom-simptom seperti
perasaan sedih, takut, cemas, rasa inferiori / rendah diri, tidak berguna,
putus asa, bingung, yang semuanya jelas mengganggu fungsi-fungsi
kejiwaan dan organiknya. Simptom itu akan berkembang menjadi satu
kumpulan penyakit dan kerusakan kerusakan fungsional. Individu yang
bersangkutan menjadi sakit secara berkepanjangan dengan macam-macam
komplikasi yaitu menderita penyakit post power syndrome (sindrome purna
kuasa atau sindrome pensiun). (Idris.dkk., 2004)
Teori yang diverifikasi melalui berbagai studi akan menjadi dasar
bagi langkah-langkah praktis penerapannya. Teori dalam ranah psikologi
perkembangan membantu untuk dapat memahami dengan baik segala
sesuatu yang terkait dengan proses perkembangan individu, sekaligus
menjadi dasar bagi para praktisi untuk membantu individu mencapai
optimalisasi hidupnya, seperti melalui berbagai stimulasi, perlakuan atau
intervensi, dan sebagainya (Hendriani, 2013).
Syndrome artinya kumpulan gejala sedangkan power adalah
kekuasaan, jika diartikan maka post power syndrome adalah gejala-gejala
pasca kekuasaan yang muncul berupa gejala gejala kejiwaan atau emosi
yang kurang stabil dan gejala itu biasanya bersifat negative. (Setiati dkk.,
2006:18)
Post power syndrome atau sindrom purna kuasa ialah reaksi
somatisasi dalam bentuk sekumpulan simptom penyakit, luka luka dan
kerusakan fungsi fungsi jasmaniah dan rohaniah yang progresif sifatnya,
disebabkan oleh karena pasien sudah pensiun, atau sudah tidak mempunyai
jabatan dan kekuasaan lagi.
Menurut Semium,2006 post power yndrome adalah reaksi somatis
dalam bentuk sekumpulan simptom penyakit, luka luka, serta kerusakan
fungsi fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif dan
penyebabnya ialah pensiun atau karena sudah tidak mempunyai jabatan dan
kekuasaan lagi. Individu yang mengalami gangguanp post power syndrome
berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja itu merupakan kebutuhan
dasar dan merupakan bagian yang sangat penting dari kehidupan manusia.
Dari hasil penelitian di Negara maju, diyakini bahwa selain
kekurangan penghasilan, lansia juga umumnya mengalami kehilangan peran
dan identitas, kedudukan, volume, dan jenis kegiatan sehari-hari, status,
wibawa, dan otoritas, serta kehilangan hubungan dengan kelompok,
bahakan harga diri. Adapun kehilangan didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana individu terpisahkan (untuk sebagian atau seluruhnya) dari suatu
yang sebelumnya ada atau dimilikinya. Sesuatu yang hilang tersebut dapat
berupa orang yang bermakna, harta milik pribadi, kesehatan, serta
pekerjaan, (Stokes Gordon, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Pengaruh Dukungan Sosial
Terhadap Kondisi Kecemasan Dalam Menghadapi Pensiun (Post Power
Syndrome) di Daerah Istimewa Yogyakata oleh Ikawati dan Tri Gutomo pada
tahun 2014 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan
sosial terhadap kondisi kecemasan dalam menghadapi pensiun (Post Power
syndrom). Tipe penelitian bersifat korelasional studies. Lokasi penelitian
ditentukan secara purposive dengan alasan merupakan daerah yang jumlah
lansia cukup banyak (BPS, 2010). Atas dasar tersebut ditentukan Daerah
Istimewa Yogyakata. Subyek penelitian juga ditentukan secara purposif,
dengan pertimbangan subyek sudah pensiun, usia lebih dari 60 th, laki-laki
atau perempuan, masih mempunyai pasangan hidup dan keluarga dan
mempunyai pendidikan lebih dari SMA dan mempunyai tunjangan pensiun
dua juta sampai dengan tiga juta rupiah perbulan. Berdasarkan pertim-
bangan tersebut, dipilih 30 responden. Obyek penelitian ini adalah dukungan
sosial dan kecemasan menghadapi pensiun (Post Power Syndrom). Teknik
pengumpulan data dipergunakan pedoman wawancara dan observasi.
Teknik analisis data menggunakan teknik regresi. Hasil penelitian
menunjukkan, ada pengaruh dukungan sosial terhadap kondisi kecemasan,
dalam menghadapi pensiun (Post Power Syndrom). Pengaruh tersebut
dapat dilihat dalam besarnya sumbangan efektif yaitu variabel dukungan
sosial terhadap variabel kondisi kecemasan dalam menghadapi pensiun
(Post Power Syndrom) yaitu sebesar 72 persen, artinya masih ada variabel
lain atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi ada sebesar 28 persen.
Pengaruh lainnya dapat dilihat dari besarnya sumbangan relaitf untuk
masing-masing variabel yaitu variabel dukungan emosi (8,881 persen),
variabel dukungan informasi (17,464 persen), variabel dukungan
instrumental (8,358 persen) dan variabel dukungan penilaian (73,297
persen).
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 19
November 2019 di BTPN Sinaya Kudus dengan melakukan observasi
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul hubungan kesehatan pada psikologi
perkembangan terhadap kejadian post power syndrome pada pensiunan
guru di BTPN dalam rangka kebijakan meningkatkan kesehatan serta
kesejahteraan sosial lanjut usia terutama bagi orang yang akan atau sedang
menghadapi pensiun, perlu program-program agar para lanjut usia dilibatkan
atau diberdayakan melalui ide, pemikiran, nasehatnya dan program yang
dapat mencegah terjadinya penurunan kesehatan pada psikologi
perkembangan dalam menghadapi pensiun (Post Power Syndrom) melalui
pembinaan karir baru melalui pengembangan minat dan hobi yang
bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah adakah hubungan kesehatan pada psikologi
perkembangan terhadap kejadian post power syndrome pada pensiunan
guru di BTPN.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui kesehatan pada psikologi perkembangan terhadap
kejadian post power syndrome pada pensiunan guru di BTPN.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi kesehatan pada psikologi perkembangan pada
pensiunan guru di BTPN.
b. Mengidentifikasi kejadian post power syndrome pada pensiunan guru
di BTPN.
c. Menganalisa hubungan kesehatan pada psikologi perkembangan
terhadap kejadian post power syndrome pada pensiunan guru di
BTPN.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang karya
ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan hubungan hubungan
kesehatan pada psikologi perkembangan terhadap kejadian post
power syndrome pada pensiunan guru di BTPN.
b. Bagi Universitas Muhammadiyah Kudus
Sebagai tambahan referensi dan kajian pustaka dan bahan masukan
serta hubungan hubungan kesehatan pada psikologi perkembangan
terhadap kejadian post power syndrome
c. Bagi Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi
tambahan dalam memperluas pengetahuan dan pelayanan perawat
terhadap lansia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi penelitian
lebih lanjut yang berkaitan dengan hubungan kesehatan pada
psikologi perkembangan terhadap kejadian post power syndrome
pada lansia.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan sehubungan dengan
penelitian ini adalah :
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Judul Peneliti Variabel Variabel Hasil
Bebas Terikat
Pengaruh Ikawati dan Dukungan Kecemasan Penelitian ini
Dukungan Tri Gutomo sosial dalam bertujuan untuk
Sosial (2014) menghadapi mengetahui
Terhadap post power pengaruh
Kondisi syndrome dukungan sosial
Kecemasan terhadap kondisi
Dalam kecemasan dalam
Menghadapi menghadapi
Pensiun (Post pensiun (Post
Power Power syndrom).
Syndrome) di Tipe penelitian
Daerah bersifat
Istimewa korelasional
Yogyakata studies. Lokasi
penelitian
ditentukan secara
purposive dengan
alasan
merupakan
daerah yang
jumlah lansia
cukup banyak
(BPS, 2010). Atas
dasar tersebut
ditentukan
Daerah Istimewa
Yogyakata.
Subyek penelitian
juga ditentukan
secara purposif,
dengan
pertimbangan
subyek sudah
pensiun, usia
lebih dari 60 th,
laki-laki atau
perempuan,
masih mempunyai
pasangan hidup
dan keluarga dan
mempunyai
pendidikan lebih
dari SMA dan
mempunyai
tunjangan
pensiun dua juta
sampai dengan
tiga juta rupiah
perbulan.
Berdasarkan
pertim- bangan
tersebut, dipilih 30
responden.
Obyek penelitian
ini adalah
dukungan sosial
dan kecemasan
menghadapi
pensiun (Post
Power Syndrom).
Teknik
pengumpulan
data
dipergunakan
pedoman
wawancara dan
observasi. Teknik
analisis data
menggunakan
teknik regresi.
Hasil penelitian
menunjukkan,
ada pengaruh
dukungan sosial
terhadap kondisi
kecemasan,
dalam
menghadapi
pensiun (Post
Power Syndrom).
Pengaruh
tersebut dapat
dilihat dalam
besarnya
sumbangan
efektif yaitu
variabel
dukungan sosial
terhadap variabel
kondisi
kecemasan dalam
menghadapi
pensiun (Post
Power Syndrom)
yaitu sebesar 72
persen, artinya
masih ada
variabel lain atau
faktor-faktor lain
yang
mempengaruhi
ada sebesar 28
persen. Pengaruh
lainnya dapat
dilihat dari
besarnya
sumbangan relaitf
untuk masing-
masing variable
yaitu variabel
dukungan emosi
(8,881 persen),
variabel
dukungan
informasi (17,464
persen), variabel
dukungan
instrumental
(8,358 persen)
dan variabel
dukungan
penilaian (73,297
persen).
Berdasarkan hasil
temuan tersebut,
direkomendasikan
kepada
Kementrian Sosial
RI melalui
Direktorat
Pelayanan Lanjut
Usia, dalam
rangka kebijakan
meningkatkan
kesejahteraan
sosial lanjut usia
terutama bagi
orang yang akan
atau sedang
menghadapi
pensiun, perlu
program-program
agar para lanjut
usia dilibatkan
atau
diberdayakan
melalui ide,
pemikiran,
nasehatnya dan
program yang
dapat mencegah
terjadinya
kecemasan dalam
menghadapi
pensiun (Post
Power Syndrom)
melalui
pembinaan karir
baru melalui
pengembangan
minat dan hobi
yang bermanfaat.
Hubungan Firdausy Strategi Post Power Penelitian ini
Antara Strategi Asmi Coping Syndrome dilakukan pada 41
Coping Dengan Ramadhani, partisipan PNS
Kecenderungan (2018) menjelang pensiu
Post Power 1-2 tahun.
Syndrome Pengumpulan
Pada Pegawai data
Negeri Sipil menggunakan
(PNS) kuesioner. Alat
Menjelang ukur yang
Pensiun digunakan adalah
BRIEF Cope oleh
Carver dan post-
power syndrome
oleh Ahmad
(2013) yang telah
menyusun dan
menguji reabilitas
sebesar 0.945.
Analisis data yang
digunakan untuk
menguji
hubungan antara
strategi coping
dan
kecendurungan
post-power
syndrome dalam
penelitian ini
adalah
Spearman’s Rho.
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa terdapat
hubungan negatif
yang signifikan
antara strategi
coping dan
kecenderungan
post-power
syndrome,
dengan nilai
signifikansi
problem focused
coping dengan
koefisien korelasi
sebesar –0,471
serta signifikansi
sebesar 0,0002
dan emotion
focused coping
dengan koefisien
korelasi sebesar -
0,335 serta
signifikansi 0,032.

F. Ruang Lingkup Penelitian


1. Ruang Lingkup Materi
Penelitian membahas tentang kesehatan pada psikologi perkembangan
dan post power syndrome
2. Ruang Lingkup Waktu
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2019
3. Ruang Lingkup Sasaran
Sasaran atau responden dalam penelitian ini adalah pensiunan lansia
4. Ruang Lingkup Tempat
Tempat penelitian ini adalah di BTPN Sinaya Kudus
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain:
1. Penyusunan hanya dilakukan sampai proposal, tidak sampai penelitian.
2. Penelitian tidak melakukan control terhadap variable perancu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANSIA
1. Pengertian
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang tealh melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki usia berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
yang memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang
tidak proporsional.
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
kehidupan manusia. Dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah orang
yang telah berumur 65 tahun keatas. Namun, di Indonesia, batasan
lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat
2. (Maryam dkk, 2008)

2. Batasan Usia Lanjut Usia


1. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO, ada 4 tahap yaitu :
a. Usia pertengahan (middle age) (45-59 tahun)
b. Lanjut usia (edderly) (60-74 tahun)
c. Lanjut usia tua (old) (75-90 tahun)
d. Usia sangat tua (very old) (di atas 90 tahun)
2. Menurut Prof DR.Ny. Sumiati A M (alm.), Guru Besar Universitas
Gajah Mada Fakultas Kedokteran, periodisasi biologis perkembangan
manusia dibagi sebagai berikut :
a. Usia 0-1 tahun (masa bayi)
b. Usia 1-6 tahun (masa prasekolah)
c. Usia 6-10 tahun (masa sekolah)
d. Usia 10-20 tahun (masa pubertas)
e. Usia 40-65 tahun (masa setengah umur, prasenium)
f. Usia 65 tahun ke atas (masa lanjut usia, senium)
3. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (psikolog dari Universitas Indonesia),
lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat
dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
a. Fase iuventus, antara usia 25-40 tahun
b. Fase verilitas, antara 40-50 tahun
c. Fase prasenium, antara usia 55-65 tahun
d. Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia
4. Menurut Prof. DR. Koesmanto Setyonegoro, SpKJ, lanjut usia
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) (usia 18/20-25 tahun)
b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia 25-60/65
tahun)
c. Lanjut usia (geriatric age) (usia lebih dari 65/70 tahun),terbagi :

 Usia 70-75 tahun (young old)

 Usia 75-80 tahun (old)

 Usia lebih dari 80 tahun (very old)


5. Menurut Bee (1996), tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut :
a. Usia 18-25 tahun (masa dewasa muda)
b. Usia 25-40 tahun (masa dewasa awal)
c. Usia 40-65 tahun (masa dewasa tengah)
d. Usia 65-75 tahun (masa dewasa lanjut)
e. Usia >75 tahun (masa dewasa sangat lanjut)
6. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia terbagi dalam dua
tahap, yakni :
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advanced old age (usia 70 tahun ke atas)
7. Menurut Burnside (1979), ada empat tahap lanjut usia, yakni :
a. Young old (usia 60-65 tahun)
b. Middle age old (usia 70-79 tahun)
c. Old-old (usia 80-89 tahun)
d. Very old-old (usia 90 tahun ke atas) (Wahjudi N, 2008)
8. Birren and Jenner (1977) dalam (Wahjudi N, 2008) ada tiga kategori
usia diantaranya :
a. Usia biologis, yaitu jangka waktu seseoramh sejak lahirnya
berada dalam keadaan hidup tidak mati.
b. Usia psikologis, yaitu kemampuan seseorang untuk mengadakan
penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya.
c. Usia social, yaitu peran yang diharapkan atau diberikan
masyarakat atau seseorang sehubungan dengan usianya.

Anda mungkin juga menyukai