PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keamanan merupakan keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis yang merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Lingkungan klien mencakup semua faktor fisik dan
psikososial yang mempengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup klien.
Keamanan yang ada didalam lingkungan ini akan mengurangi insiden terjadinya penyakit dan cidera,
memperpendek lama tindakan dan hospitalisasi, meningkatkan kesejahteraan klien.
Jatuh merupakan salah satu bahaya yang mengancam keamanan dan keselamatan terhadap manusia.
Selain itu, 90% jenis kecelakaan yang dilaporkan dan seluruh kecelakaan yang terjadi di RS adalah jatuh.
Dalam makalah ini penyusun akan mencoba membahas tentang asuhan keperawatan apa yang bisa
dilaksanakan untuk mencegah resiko jatuh terhadap lansia.
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan didalamnya, baik faktor
intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah,
kekakuan sendi, sinkoppe dan dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata,
tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya. Jatuh
adalah kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang
lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Berdasarkan survei di masyarakat AS,
Tinetti (1992) mendapatkan seitar 30% lansia lebih dari umur 65 tahun jatuh setipa tahunnya, separuh
dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk (1996) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada umum lebih dari 65 tahun
berkisar 1/3 populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata jatuh 0.6/orang. Insiden di rumah-rumah
perawatan 3 kali lebih banyak. Lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau
memerlukan perawatan di rumah sakit. Kecelakaan merupakan penyebab kematian no.6 di Amerika
Serikat tahun 1992. kematian akibat jatuh sangat sulit didefinisikan karena sering tidak disadari oleh
keluarga atau dokter pemeriksanya, sebaliknya jatuh juga merpakan akibat penyakit lain misalnya
serangan jantung mendadak.
Fraktur kolum femoris merupakan komplikasi utama akibat jatuh pada lansia. Fraktur kolum femoris
merupakan fraktur yang berhubungan dengan proses menua dan osteoporosis. Wanita mempunyai
resiko tinggi dibanding laki-laki untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh. Lansia yang sehat
juga mempunyai resiko lebih tinggi dibanding lansia yang lemah atau cacat untuk terjadinya fraktur dan
perlukaan akibat jatuh.resiko untuk terjadinya perlikaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari
penurunan respon perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya.Sehingga dalam
mencegah jatuh pada lansia perlu dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik meliputi pola gerakan yang
beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik yang dapat meningkatkan massa tulang sehingga
tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. JATUH
1. Pengertian
Pengertian Jatuh Menurut Reuben (1996), jatuh merupakan suatu masalah yang sering terjadi pada
lansia. Jatuh adalah suatu kejadian yang mengakibatkan seseorag mendadak terbaring/terduduk di lantai
atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Banyak faktor yang
berperan didalamnya, kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan sendi, sinkope dan dizziness, serta
faktor ekstrinsik meliputi lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda, penglihatan kurang terang
dan sebagainya. Jatuh merupakan factor risiko patah tulang pada orang dengan kepadatan mineral
tulang (Bone Mineral Density) rendah. Keadaan inilah penyebab terbesar untuk patah tulang meliputi
punggung, pinggang, pergelangan tangan, pinggul dan lengan bagian atas (Watson, 2003).
Untuk dapat mengetahui faktor resiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan
atau dibentuk oleh :
a. Sistem sensorik : visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua
gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga
akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga
karena adanya perubahan fungsi vestibulerakibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit
degenaratif leher akan mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut mebnyebabkan
hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
b. Sistem saraf pusat (SSP). SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan
fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik (Tinetti, 1992 dalam Watson, 2003).
c. Kognitif. Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko jatuh.
Dengan adanya penurunan kemampuan kognitif, maka kewaspadaan, status mental, dan emosional akan
menurun, sehingga akan mempengaruhi kesadaran, penilaian, gaya berjalan, keseimbangan, dan proses
informasi yang diperlukan untuk berpindah atau mobilisasi secara aman.
d. Muskuloskeletal. Faktor ini berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal
menyebabkan gangguan gaya berjalan. Hal ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Gangguan musculoskeletal yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh
kekakuan jaringan penghubung, berkurangnya massa otot, perlambatan konduksi saraf, penurunan
visus/lapang pandang, kerusakan proprioseptif sehingga menyebabkan penurunan range of motin (ROM)
sendi, penurunan kekuatan otot terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah, perpanjangan
waktu reaksi, kerusakan persepsi dalam dan peningkatan postural sway (goyangan badan) (Watson,
2003).
Secara umum faktor resiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu :
a) Faktor host (diri lansia). Diantaranya adanya disability, penyakit yang sedang diderita, perubahan
neuromuskuler, gangguan keseimbangan, gangguan musculoskeletal (berjalan) dan reflek postural,
perubahan akibat proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan visus/penglihatan lainnya
(katarak), penurunan mental, penurunan fungsi indra yang lain, lambatnya pergerakan, hidup sendiri),
neuropati perifer dan berbagai penyakit seperti stroke dan TIA yang mengakibatkan kelemahan tubuh
sebagian, arthritis, Parkinson, kekakuan alat gerak, depresi, gangguan sistem kardiovaskuler (syncope).
b) Faktor aktifitas. Laki-laki dengan mobilitas tinggi, postur yang tidak stabil, mempunyai risiko jatuh
sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif, tetapi dengan postur yang stabil.
Penelitian terhadap 4.862 penderita yang dirawat di rumah sakit atau panti jompo, didapatkan penderita
dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif, dengan sedikit gangguan keseimbangan.
c) Faktor obat-obatan. Jumlah obat yang diminum merupakan faktor yang bermakna terhadap
penderita. 4 obat atau lebih meningkatkan risiko jatuh. Jatuh akibat terapi obat dinamakan jatuh
iatrogenik. Obat-obatan yang meningkatkan risiko jatuh, di antaranya obat golongan sedatif dan hipnotik
yang dapat mengganggu stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai
sindroma parkinson. Golongan Transquilizer mayor (misalnya phenothiazine), antidepresan trisiklik,
barbiturat, dan benzodiazepin juga meningkatkan risiko jatuh.
d) Faktor Ekstrinsik. Misalnya faktor lingkungan terutama yang belum dikenal karena mempunyai risiko
terhadap jatuh 22%, sedangkan pada lingkungan yang sudah dikenal (di rumah) lebih banyak disebabkan
oleh faktor host (dirinya). Faktor lingkungan terdiri dari penerangan yang kurang, peralatan rumah yang
tidak stabil, tangga tanpa pagar, tempat tidur atau toilet yang terlalu rendah, alat-alat atau perlengkapan
rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil, tempat berpegangan
yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun, karpet yang tidak
dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda di lantai yang licin atau
mudah tergeser, lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat
bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya, obat-obat yang diminum
(Kane, 1994 dalam Nugroho, 2000).
3. Pathway Jatuh
(Terlampir)
a. Kecelakaan. Merupakan penyabab jatuh yang utama (30 - 50% kasus jatuh lansia) misalnya
terpelesat, tersandung. Gabungan antara lingkungan yang kurang baik dengan kelainan-kelainan akibat
proses menua misalnya karena penglihatan kabur.
b. Nyeri kepala atau vertigo, Penyakit vestibular, penyakit sistem sistem saraf pusat.
d. Drop attacks, Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menybabkan jatuh tanpa kehilangan
kesadaran.
e. Hipotensi orthostatic, Hipovolemia atau cardiak output yang rendah, disfungsi otonom, gangguan
aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat– obatan, hipotensi postprandial
(sesudah makan).
g. Proses penyakit, misal penyakit akut : Kardiovaskular : aritmia, penyakit katup jantung (stenosis
aorta), sinkop sinus carotid, Neurologis : TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakit parkinson,
spondilosis lumbar atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit
serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesisitem saraf pusat (tumor,
hematomi subduraal).
5. Manifestasi Klinis
b. Fraktur
c. Ansietas
e. Depresi
6. Komplikasi
b. Disabilitas
7. Pencegahan
a. Identifikasi faktor resiko. Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
faktor intrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik, neurologik, muskuloskeletal,
dan penyakit sistemik yang sering mendasari atau menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang
berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tapi jangan
menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, dan bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat.
Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapt bergeser sendiri). Peralatan rumah tangga
sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat aktivitas lansia.
Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka.
WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. Obat-obatan yang menyebabkan
hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif. Alat
bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod, kruk atau walker harus dibuat dari bahan
yang kuat tetapi ringan aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan. Lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannyadalam melakukan gerakan pindah tempat, pidah posisi.penilaian postural sway sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat
beresiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan juga harus
dilakukan dengan cermat, apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah,
apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstermitas
bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa batuan.
c. Mangatur / mengatasi faktor situasional. Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita
lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional
bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas.
Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita.
Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas
tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi
fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakuakn
aktifitas fisik yang sangat melemahkan atau beresiko tinggi untuk terjadinya jatuh (Watson, 2003).
Menurut Watson (2003) Beberapa metode pencegahan jatuh pada lansia diantaranya :
a. Latihan fisik. Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya
lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan obat-obatan sedatif. Latihan fisik yang
dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya adalah
berjalan kaki.
b. Managemen obat-obatan. Gunakan dosis terkecil yang efektif dan spesifik dengan memperhatikan
terhadap efek samping dan interaksi obat, gunakan alat bantu berjalan jika memang diperlukan selama
pengobatan, kurangi pemberian obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama terutama sedatif dan
tranquilisers, hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam) kecuali atas indikasi klinis kuat,
hentikan obat yang tidak terlalu diperlukan.
c. Modifikasi lingkungan. Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari
pusing akibat suhu di antara :
1) Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada dalam jangkauan tanpa harus
berjalan dulu
4) Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.
5) Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga.
6) Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa untuk melintas.
8) Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas mudah, menghindari tersandung.
9) Pasang pegangan tangan ditempat yang di perlukan seperti misalnya di kamar mandi.
e. Alas kaki. Perhatikan pada saat orang tua memakai alas kaki:
f. Alat bantu jalan. Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan untuk
mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya.
1) Penggunaannya alat bantu jalan memang membantu meningkatkan keseimbangan, namun di sisi
lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika
alat bantu tidak menggunakan roda., karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan
secara individual.
2) Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan
maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane
(tongkat), crutch (tongkat ketiak) dan walker. (Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien
dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan
frekuensi menunjang berat badan. Jika ke-2 ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled
walker. Jika kedua ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan menunjang
berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang diperlukan dalam menunjang berat
badan.
1) Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti meningkatkan densitas tulang dan
mengurangi resiko fraktur akibat terjatuh pada orang tua
2) Berhenti merokok
4) Latihan fisik
8. Pendekatan Diagnostik
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesment seperti dibawah ini : (Kane, 1994; Fischer, 1982)
a. Riwayat Penyakit ( Jatuh ). Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh
atau keluarganya. Anamnesis ini meliputi :
a. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung, berjalan, perubahan posisi
badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk
atau bersin, sedang menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain
b. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas,
konfusio, inkontinens, sesak nafas.
c. Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis, sering kejang, penyakit
jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.
d. Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik bloker, antidepresan,
hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
e. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat – tempat kegiatannya.
b. Pemeriksaan Fisik
2) Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan yang menginduksi
ketidakseimbangan, bising
4) Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot, instabilitas,
kekakuan, tremor.
5) Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki ( podiatrik ), deformitas.
1) Fungsi muskuloskeletal dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari bangku langsung duduk
dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah.
2) Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu, memakai kursi roda atau
dibantu
9. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji mengapai fungsional (functional reach
test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk
mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang
menyebabkan seseorang beresiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Pemeriksaan
penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko dan menemukan
penyebab/pencetus :
a. Lakukan pemeriksaan neurologis untuk medeteksi defisit neurologis fokal, adakah cerebro vascular
disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi
c. Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah
h. EKG
10. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan mengatasi komplikasi yang
terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, mengembalikan kepercayaan diri penderita. Penatalaksanaan
penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani
komplikasinya.
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan factor – factor
yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanganannya
menjadi lebih mudah, sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi
lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan
antara obat rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia. Pada kasus lain intervensi
diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktifitas fisik,
penggunaan alat bantu gerak. Pada penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan
penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga
memperbaiki fungsionalnya. Sedangkan terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan
keseimbangan seperti stroke, fraktur kolum femoris, arthitis, parkinson difokuskan untuk mengatasi /
mengeliminasi penyebabnya/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait
training, latihan strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Penderita dengan dissines sindrom,
terapi ditujukan pada penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat yang menyebabkan
hipotensi postural seperti beta bloker, diuretik, anti depresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah
memperbaiki lingkungan rumah/ tempat kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh.
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah identifikasi
faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati
bebagai kondisi yang mendasari instibilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa
latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan
agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; peganga; lantai yang tidak licin, dan sebagainya.
Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan
keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan menggunakan pegangan
atau perabot untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh berikutnya(Stockslager, 2007).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian klien dengan resiko injuri meliputi : pengkajian resiko (Risk assessment tools) dan adanya
bahaya dilingkungan klien (home hazards appraisal). Pengkajian Resiko meliputi:
a. Jatuh
b. Riwayat kecelakaan. Beberapa orang memiliki kecenderungan mengalami kecelakaan berulang, oleh
karena itu riwayat sebelumnya perlu dikaji untuk memprediksi kemungkinan kecelakaan itu terulang
kembali
c. Keracunan. Beberapa anak dan orang tua sangat beresiko tinggi terhadap keracunan. Pengkajian
meliputi seluruh aspek pengetahuan keluarga tentang resiko bahaya keracunan dan upaya
pencegahannya.
d. Kebakaran. Beberapa penyebab kebakaran dirumah perlu ditanyakan tentang sejauh mana klien
mengantisipasi resiko terjadi kebakaran, termasuk pengetahuan klien dan keluarga tentang upaya
proteksi dari bahaya kecelakaan akibat api.
e. Pengkajian Bahaya. Meliputi mengkaji keadaan: lantai, peralatan rumah tangga, kamar mandi, dapur,
kamar tidur, pelindung kebakaran, zat-zat berbahaya, listrik, dll apakah dalam keadaan aman atau dapat
mengakibatkan kecelakaan.
f. Keamanan (spesifik pada lansia di rumah). Gangguan keamanan berupa jatuh di rumah pada lansia
memiliki insidensi yang cukup tinggi, banyak diantara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan
meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh
karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang keadaan rumah yang terstuktur.
a. Kaji adanya kerusakan jaringan, misalnya robeknya arteri atau vena, atau tertariknya jaringan otot.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko tinggi cedera/jatuh yang berhubungan dengan perubahan mobilisasi, penataan lingkungan
fisik di rumah, penurunan sensori.
Tujuan : Klien memperlihatkan upaya menghindari cedera (jatuh) atau cidera (jatuh) tidak terjadi, Bahaya
yang dapat dimodifikasi dalam lingkungan rumah akan berkurang.
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa modifikasi lingkungan dan pendidikan
kesehatan diharapkan klien mampu :
3) Melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari cidera
Intervensi :
3) Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran tempat tidur, dll) sesuai hasil
pengkajian bahaya jatuh
5) Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera (menggunakan pencahayaan yang baik, memasang
penghalang tempat tidur, menempatkan benda berbahaya ditempat yang aman)
6) Kolaborasi dengan dokter untuk penatalaksanaan glaukoma dan gangguan penglihatannya, serta
pekerja sosial untuk pemantauan secara berkala.
Tujuan : terjadi peningkatan keamanan pada lansia dan cedera fisik terhindarkan
Intervensi :
4) Bila mengalami masalah fisik, misalnya rematik, latih klien untuk menggunakan alat Bantu untuk
berjalan
5) Bantu ke kamar mandi terutama untuk lansia yang menggunakan obat penenang /diuretic
Intervensi :
6) Pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan
mobilitas