Anda di halaman 1dari 3

Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu

Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365,242199 hari.
Revolusi Bumi mengelilingi Matahari tiap tahunnya mengakibatkan Matahari terlihat dari Bumi bergerak melintasi
bola langit.

Bumi bergerak mengitari Matahari maka Matahari dapat diproyeksikan pada medan bintang yang berbeda-beda.
Lintasan Matahari semu selama satu tahun ini disebut ekliptika.

Bintang-bintang tampak terbit dan tenggelam setiap harinya. Hal ini diakibatkan oleh rotasi Bumi terhadap
sumbunya, bukan karena Bumi yang diam dan dikelilingi oleh bintang-bintang.

Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan ekliptika tempat Matahari melewati atau tepat berada pada
garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret.

Sistem penanggalan dengan acuan Matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau kalender syamsiah, oleh
karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam kalender Gregorian lamanya
365 hari.

Sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya merupakan reformasi dari
sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya. Kalender Gregorian pada mulanya adalah kalender yang
digunakan oleh bangsa Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus Matahari (solar calendar) seperti
sekarang ini. Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari dua belas bulan seperti sekarang, tetapi terdiri dari sepuluh
bulan (Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, December) dengan
jumlah hari sepanjang tahun adalah 304 hari.

Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma pertama kalinya atau “from
the founding of the city (of Rome)”, yang diterjemahkan dari bahasa Romawi “ab urbe condita”. Selain itu awal
tahun atau tahun baru dirayakan setiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari seperti sekarang.

Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi kalender yang terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulannya
masih menyesuaikan dengan siklus peredaran Bulan mengitari Bumi, rata-rata adalah 29,5 hari. Raja Romawi,
Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari diantara bulan Desember dan Maret. Dengan
demikian didapat tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada tahun 450 SM Februari dipindahkan ke
posisinya sekarang ini, di antara Januari dan Maret.

Tetapi, tahun dengan 354 hari tidak sesuai dengan periode Bumi mengelilingi Matahari yang telah diketahui
waktu itu, yaitu 365,242199 hari. Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi tersebut tidak sesuai sekitar
sebelas hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini menjadi sekitar
sebulan. Untuk mengakali hal ini, kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan setiap dua tahun
sekali. Tidak berapa lama kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Romawi kuno.

Pada 46 SM, Julius Caesar mereformasi kalender dengan memerintahkan bahwa panjang satu tahun haruslah
365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan pertimbangan dari seorang ahli astronomi dari Alexandria
bernama Sosigenes. Ini mengakibatkan beberapa hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang
tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari. Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada
urutan ganjil memiliki 31 hari dan bulan yang berada pada urutan genap memiliki 30 hari, dengan bulan
Februarinya berjumlah 29 hari. Selain itu, pada tahun 44 SM bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk
menghormati Julius Caesar.
Dengan demikian, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan siklus Bulan mengelilingi
Bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari. Kalender Julian, demikian kalender ini disebut, tidak lagi bersifat lunar
calendar (kalender Qamariyah) karena ketidaksesuaiannya dengan siklus Bulan.

Tetapi permasalahan tidak serta merta selesai setelah reformasi kalender Julian. Masih ada perbedaan sekitar
seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang tahun sebenarnya (pergerakan semu Matahari
sepanjang tahun). Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun kalender Julian akan mengalami
akumulasi perbedaan sebesar satu hari. Dalam waktu beberapa puluh tahun, kalender Julian akan mengalami
akumulasi perbedaan dengan musim lebih besar lagi. Dengan demikian, kalender Julian tidak lagi sesuai dengan
pergantian musim, padahal tujuan utama reformasi Julian adalah menyesuaikan dengan musim. Reformasi
Julian jadinya hanya menunda ketidaksesuaian tersebut, seperti yang terjadi pada kalender Romawi kuno, lebih
lama saja.

Untuk mengakali perbedaan dengan musim tersebut, dengan pertimbangan lain lagi dari Sosigenes, setiap
empat tahun sekali akan ditambahkan satu hari pada bulan Februari. Tahun seperti inilah yang kemudian kita
kenal sebagai tahun kabisat. Maka, pada tahun kabisat tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari sehingga
jumlah hari satu tahunnya menjadi 366 hari. Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahunnya adalah 365,25 hari
dan menjadi cukup dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.

Namun, Februari yang kita kenal sekarang terdiri dari 28 hari. Terdapat cerita menarik mengenai perubahan
Februari dari 29 hari menjadi 28 hari, meskipun tidak diyakini kebenarannya. Tahun 8 SM bulan Sextilis diganti
namanya menjadi Augustus untuk menghormati kaisar Augustus yang memerintah Romawi setelah Julius
Caesar. Pada masa kekuasaannya, ia mengambil satu hari dari bulan Februari untuk ditambahkan ke bulan
Agustus, sehingga bulan Agustus pun kemudian terdiri dari 31 hari, bukan 30 hari lagi seperti sebelumnya.
Dengan jumlah hari yang sama antara Juli dan Agustus, walaupun namanya dijadikan nama bulan setelah bulan
Juli, ia tidak lagi merasa inferior terhadap Julius Caesar.

Setelah didapat panjang tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun sebenarnya dengan solusi
tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belumlah cukup sangat akurat sehingga dalam kurun waktu yang cukup
lama dapat tetap mengakibatkan ketidaksesuaian dengan musim. Dengan “kesalahan” yang besarnya hanya
0,007801 hari tiap tahunnya, dalam kurun waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim
(panjang tahun sebenarnya) sekitar satu hari.

Pada tahun 1582 kalender Julian telah memiliki ketidaksesuaian dengan musim sebesar 10 hari. Untuk
mengatasi hal ini, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah. Pertama, ia memutuskan bahwa tanggal 4
Oktober tahun 1582 akan langsung diikuti dengan tanggal 15 Oktober 1582, bukan tanggal 5 Oktober 1582.
Kedua, untuk mencegah ketidaksesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga menetapkan bahwa tiga dari
empat tahun abad (tahun yang berakhiran dengan 00, misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat.
Dengan peraturan tahun kabisat yang dulu, setiap empat tahun sekali, tahun yang habis dibagi empat akan
menjadi tahun kabisat. Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad
yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat. Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan
tahun kabisat, sedangkan tahun 2000, yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.

Tetapi, peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan. Memang negara-negara dengan mayoritas
umat Katholik dengan segera mengubah penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah direformasi Paus
Gregorius, tetapi tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan lainnya. Pada
banyak negara kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai tahun 1918 masih digunakan oleh Rusia.
Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan yang mana yang digunakan, yang
Julian atau Gregorian. Demikianlah kisah kalender yang kita gunakan sehari-hari kini. Menarik mengetahui
bahwa manusia dapat “mensiasati waktu”.

Anda mungkin juga menyukai