Anda di halaman 1dari 9

WRAP UP

PRAKTIKUM BIOLOGI

BLOK : PRINSIP BIOMEDIK 1


KELOMPOK : B.2.2
NAMA ANGGOTA :
1. Salsabella Oktameidina M. (1102019193)
2. Salsabila Dinda A. (1102019194)
3. Salsabila Nada P. (1102019195)
4. Sandrina Shera M. (1102019196)
5. Sarah Azzahra A. (1102019197)
6. Sekar Kirana A. (1102019198)
7. Sherly Idhalhijah (1102019199)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019/2020
Setelah proses koleksi sampel selesai, sampel yang dalam hal ini merupakan sampel
darah kemudian di isolasi/di ekstraksi DNA nya. Setelah proses isolasi selesai, DNA
kemudian diperiksa kadar/konsentrasinya menggunakan teknik spektrofotometri. Tabel
diatas adalah data hasil pengukuran kadar dan kualitas DNA menggunakan spektrofotometri.
Topik pembahasan :
1. Menurut anda, bagaimana rasio atau tingkat kemurnian DNA dari ke-8 sampel diatas?

Berdasarkan table hasil uji kualitas dah kuantitas DNA, sample A,C,F,G, dan H
menunjukan rasio kurang dari 1,8 yang mengindikasikan adanya protein. Untuk sample D
menunjukan hasil rasio sebesar 2,42 yang dimana lebih dari 2 yang mengindikasikan adanya
kemungkinan sisa-sisa etanol. Dan untuk sample E menunjukan hasil 1,91 yang dimana
berarti sample E dalah sample DNA murni.

2. Factor apa saja yang menyebabkan rasio atau tingkat kemurnian DNA diluar batasan
normal?

Range diluar Batasan normal, yaitu ketika <1,8 yang terkontaminasi protein dan >2
yang terkontaminasi fenol. DNA yang tidak murni ini disebabkan oleh adanya sisa-sisa etanol
pada saat pengeringan yang tidak sempurna. Faktor lain yang menyebabkan DNA tidak
murni adalah adanya sisa kandungan metabolit sekunder yang diekstrak.
3. Jika sampel berasal dari darah, ketika DNA diperiksa kualitasnya dengan menggunakan
spektrofotometri ternyata rasionya 1.4 padahal konsentrasi DNA nya tinggi sekali (sampel
C), menurut anda apakah konsentrasi DNA tsb valid? Jika tidak sebutkan alasan anda.

Sampel C dinyatakan tidak valid karena memiliki perbedaan hasil yang sangat jauh.
Perbedaan hasil kuantitatis tersebut dapat disebabkan oleh teknis saat pengukuran, antara lain
pada dan proses pipetting yang kurang tepat. Perbedaan kemurniaan DNA disebabkan oleh
sisa bahan, seperti adanya sisa loading dye pada puri gel agarose.

4. Apakah konsentrasi DNA hasil isolasi berbanding lurus dengan jumlah sel yang memiliki
inti pada sampel ? Jelaskan alasan anda.
Iya berbanding lurus. Karena di dalam inti sel terdapat genom. Dellman dan Brown
menyatakan bahwa eritrosit mamalia dewasa tidak berinti sedangkan leukosit memiliki inti
sel. Dna Bersama sama protein dan molekul RNA terdapat dalam inti sel. Jumlah leukosit
yang dipanen berbanding lurus dengan konsentrasi DNA yang dihsilkan karena DNA ada di
dalam inti sel yang dimiliki oleh leukosit.
Ket : M : Marker DNA; A-G : sampel

Uji kualitas DNA tidak hanya bisa dilakukan dengan spektrofotometri, dapat juga
menggunakan elektroforesis untuk melihat apakah DNA utuh (intact) atau terpotong-potong
(fragmented/terdegradasi).
Topik pembahasan :
1. Gambar diatas merupakan hasil elektroforesis untuk 7 sampel yang berbeda.
Berdasarkan gambar diatas, menurut anda bagaimana kondisi DNA ke-7 sampel tsb?

Berdasarkan 7 sampel yang terdapat pada gambar tersebut, disimpulkan pada sampel
DNA B, C, D, dan E terlihat jelas, sedangkan sampel DNA A, F, G terlihat menyebar.
Sampel DNA 7 terlihat tidak terlalu jelas karena DNA tersebut memiliki berat molekul
yang lebih ringan diatara yang lain. Seperti dalam prinsip elektroforesis bahwa DNA
yang memiliki berat lebih ringan akan lebih cepat melewati pori gel agarosa dari kutub
negatif ke kutub positif.
2. Untuk DNA yang fragmented, menurut anda factor-faktor apakah yang dapat
membuat DNA hasil isolasi terpotong-potong atau rusak?

Pita DNA yang tebal dan mengumpul (tidak menyebar) menunjukan konsentrasi yang
tinggi dan DNA total yang diekstrak dalam kondisi utuh. Sedangkan, pita DNA yang
terlihat menyebar menunjukan adanya ikatan antar molekul DNA yang terputus pada saat
proses ekstraksi berlangsung, sehingga genom DNA terpotong menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil. Terputusnya ikatan antar molekul tersebut dapat disebabkan oleh adanya
gerakan fisik yang berlebihan yang dapat terjadi dalam proses pemipetan, pada saat
dibolak-balik dalam ependorf, disentrifus, atau bahkan karena temperatur yang terlalu
tinggi dan karena aktivitas bahan-bahan kimia tertentu.
Ket : M adalah Marker DNA; sampel 1-7 merupakan sampel yang sama namun berbeda suhu
annealingnya.

PCR merupakan proses perbanyakan atau amplifikasi fragmen pada DNA. Setelah
melalui tahapan pengujian kualitas dan kuantitas DNA, tahapan selanjutnya adalah
perbanyakan fragmen DNA target (PCR). Ketika akan melakukan eksperimen PCR, hal yang
pertama kali dilakukan adalah optimasi prosedur PCR tsb. Secara umum optimasi proses
PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR
tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti jenis polimerase DNA;
suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase;
buffer PCR dan waktu.
Pada contoh gambar diatas, proses optimasi PCR mengambil contoh pada variasi suhu
annealing primer. Ke-7 band (pita) yang tampak di gambar berasal dari satu sampel yang
sama, namun berbeda suhu annealingnya. Semakin ke kanan, suhu annealing semakin tinggi.
Topic pembahasan :
1. Sebutkan syarat suatu primer dikatakan sebagai primer yang sesuai atau bagus?
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di
dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan
diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang
diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Dalam melakukan perancangan primer harus
dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan dipilih.
Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari
18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek
kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak
diinginkan) tinggi, yang akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut
yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk
panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara
bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal.
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan nukleotida
yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat
memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan
C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan
% (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara
efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR.
Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih
toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan
spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah.
Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di
dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan
panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus
[2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 650C.
d. Interaksi primer-primer
Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari.
Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini
semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu konsentrasi
primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming.
Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR.
2. Dengan memvariasikan suhu annealing, bagaimana menurut anda band yang
terbentuk?
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Secara umum suhu annealing yang digunakan
berkisar antara 37 – 600C. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang
digunakan untuk proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan
(Tm – 5)0C sampai dengan (Tm + 5)0C. Dalam menentukan suhu annealing yang digunakan
perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan non- target, dan keberhasilan
suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen.

3. Jika target PCR adalah adanya fragmen DNA berukuran 163bp, pada band keberapa
suhu annealing primer dapat digunakan?
Band ke 5,6, dan 7.

4. Apa yang terjadi jika suhu annealing lebih rendah daripada suhu optimumnya?
Sebaliknya apa yang akan terjadi jika suhu terlalu tinggi?
Pada tahap annealing salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan amplifikasi
adalah suhu karena proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka
memerlukan suhu optimal. Jika suhu terlalu tinggi akan menyebabkan gagalnya amplifikasi
karena tidak terjadi penempelan primer sebaliknya jika suhu terlalu rendah menyebabkan
primer menempel pada sisi lain genom akibatnya DNA yang terbentuk memiliki spesifisitas
rendah, sehingga sangat penting untuk mencari suhu annealingyang optimum bagi proses
amplifikasi (Rybicky, 1996).
DAFTAR PUSTAKA

1. http://etheses.uin-malang.ac.id/518/8/10620066%20Bab%204.pdf
2. PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN POLYMERASE CHAIN REACTION
(PCR). (General Principles and Implementation of Polymerase Chain Reaction).
Darmo Handoyo dan Ari Rudiretna, Pusat Studi Bioteknologi – Universitas Surabaya
3. http://etheses.uin-malang.ac.id/2540/12/09620007_Ringkasan.pdf

Anda mungkin juga menyukai