6316 95445 1 PB PDF
6316 95445 1 PB PDF
Rokhima Rostiani
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
(rokhima@gmail.com)
ABSTRACT
Survey towards 332 students from three different universities in three different
countries (Indonesia, Japan and Norway) shows that entrepreneurial intentions among the
students and the influencing factors differs across countries. The main objective is to
compare the impact of different economic and cultural contexts. Results reveals that self-
efficacy influence entrepreneurial intention among Indonesian and Norwegian students.
Instrumental readiness and working experience become key factors that influence
entrepreneurial intention among Norwegian students. Educational background becomes a
key factor that influence entrepreneurial intention among Indonesian students, in the
opposite direction. Need for achievement, age and gender have no statistically significant
impact. However, they only explain 28.2 percent, 14.2 percent, and 24.8 percent (R2) of
the total variance of the entrepreneurial intention for Indonesia, Japan and Norway
respectively. This study is expected to be inputs for universities, government institutions,
and policy makers so that can stimulate and encourage entrepreneurship spirit.
Keywords: entrepreneur intention, needs for achievement, self efficacy, instrumental
readiness
akan prestasi yang tinggi, yaitu: (a) menyukai mempengaruhi kepercayaan seseorang pada
tanggung jawab pribadi dalam mengambil tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah
keputusan, (b) mau mengambil risiko sesuai ditetapkan.
dengan kemampuannya, dan (c) memiliki Lebih rinci, Bandura (1986) menjelaskan
minat untuk selalu belajar dari keputusan yang empat cara untuk mencapai efikasi diri.
telah diambil. Pertama, pengalaman sukses yang terjadi
Hasil penelitian dari Scapinello (1989) berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai
menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat cara yang sangat efektif untuk mengem-
kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang bangkan rasa yang kuat pada efikasi diri.
dapat menerima kegagalan daripada mereka Kedua, pembelajaran melalui pengamatan
dengan kebutuhan akan prestasi rendah. secara langsung. Dengan cara ini, seseorang
Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi akan memperkirakan keahlian dan perilaku
berpengaruh pada atribut kesuksesan dan yang relevan untuk dijadikan contoh dalam
kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas
Sengupta dan Debnath (1994) dalam peneli- keahlian yang dimilikinya juga dilakukan,
tiannya di India menemukan bahwa kebutuhan untuk mengetahui besar usaha yang harus
akan prestasi berpengaruh besar dalam tingkat dikeluarkan dalam rangka mencapai keahlian
kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial
kebutuhan akan prestasi juga dapat mendo- seperti diskusi yang persuasif dan balikan
rong kemampuan pengambilan keputusan dan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini,
kecenderungan untuk mengambil risiko memungkinkan untuk menyajikan informasi
seorang wirausaha. Semakin tinggi kebutuhan terkait dengan kemampuan seseorang dalam
akan prestasi seorang wirausaha, semakin menyelesaikan suatu pekerjaan. Keempat,
banyak keputusan tepat yang akan diambil. penilaian terhadap status psikologis yang
Wirausaha dengan kebutuhan akan prestasi dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang
tinggi adalah pengambil resiko yang moderat sudah seharusnya meningkatkan kemampuan
dan menyukai hal-hal yang menyediakan emosional dan fisik serta mengurangi tingkat
balikan yang tepat dan cepat. stres.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipo- Di sisi lain, banyak peneliti percaya
tesis pertama dirumuskan sebagai berikut: bahwa efikasi diri terkait erat dengan pengem-
bangan karier. Merujuk Betz dan Hacket
Hipotesis 1: Kebutuhan akan prestasi mempe- (1986), efikasi diri akan karier seseorang
ngaruhi intensi kewirausahaan adalah domain yang menggambarkan penda-
pat pribadi seseorang dalam hubungannya
Efikasi diri dengan proses pemilihan dan penyesuaian
Bandura (1977: 2) mendefinisikan efikasi karier. Dengan demikian, efikasi diri akan
diri sebagai kepercayaan seseorang atas karier seseorang dapat menjadi faktor penting
kemampuan dirinya untuk menyelesaikan dalam penentuan apakah intensi kewira-
suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, usahaan seseorang sudah terbentuk pada
kondisi motivasi seseorang yang lebih tahapan awal seseorang memulai kariernya.
didasarkan pada apa yang mereka percaya Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan
daripada apa yang secara objektif benar. bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri
Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan seseorang pada kewirausahaan di masa-masa
penting dalam pengembangan intensi awal seseorang dalam berkarier, semakin kuat
seseorang. Senada dengan hal tersebut, intensi kewirausahaan yang dimilikinya.
Cromie (2000) menjelaskan bahwa efikasi diri Selain itu, Gilles dan Rea (1999) membuk-
372 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober
tikan pentingnya efikasi diri dalam proses 2004) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan
pengambilan keputusan terkait dengan karier dan keberlangsungan usaha (Duh, 2003;
seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan Kristiansen, 2002b; Mead & Liedholm, 1998;
menjadi penentu intensi seseorang. Swierczek dan Ha, 2003). Penelitian yang
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) di
yang akan dijawab dalam penelitian ini: India membuktikan bahwa keinginan yang
kuat untuk memperoleh informasi adalah salah
Hipotesis 2: Efikasi diri berpengaruh terhadap satu karakter utama seorang wirausaha.
intensi kewirausahaan Pencarian informasi mengacu pada frekuensi
kontak yang dibuat oleh seseorang dengan
Elemen kontekstual berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas
tersebut sering tergantung pada ketersediaan
Tiga faktor lingkungan yang dipercaya
informasi, baik melalui usaha sendiri atau
mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka
sebagai bagian dari sumber daya sosial dan
kepada modal, informasi, dan kualitas jaringan
jaringan. Ketersediaan informasi baru akan
sosial yang dimiliki, yang kemudian disebut
tergantung pada karakteristik seseorang,
kesiapan instrumen (Indarti, 2004).
seperti tingkat pendidikan dan kualitas infra-
struktur, meliputi cakupan media dan sistem
Akses kepada modal telekomunikasi (Kristiansen, 2002b).
Jelas, akses kepada modal merupakan
hambatan klasik terutama dalam memulai Jaringan sosial
usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara- Mazzarol et al. (1999) menyebutkan
negara berkembang dengan dukungan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intensi
lembaga-lembaga penyedia keuangan yang kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan
tidak begitu kuat (Indarti, 2004). Studi empiris sebagai hubungan antara dua orang yang
terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan da- mencakup a) komunikasi atau penyampaian
lam mendapatkan akses modal, skema kredit, informasi dari satu pihak ke pihak lain; b)
dan kendala sistem keuangan dipandang pertukaran barang dan jasa dari dua belah
sebagai hambatan utama dalam kesuksesan pihak; dan c) muatan normatif atau ekspektasi
usaha menurut calon-calon wirausaha di yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang
negara-negara berkembang (Marsden, 1992; lain karena karakter-karakter atau atribut
Meier dan Pilgrim, 1994; Steel, 1994). Di khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan
negara-negara maju di mana infrastruktur merupakan alat mengurangi risiko dan biaya
keuangan sangat efisien, akses kepada modal transaksi serta memperbaiki akses terhadap
juga dipersepsikan sebagai hambatan untuk ide-ide bisnis, informasi, dan modal (Aldrich
menjadi pilihan wirausaha karena tingginya dan Zimmer, 1986). Hal senada diungkap oleh
hambatan masuk untuk mendapatkan modal Kristiansen (2003) yang menjelaskan bahwa
yang besar terhadap rasio tenaga kerja di jaringan sosial terdiri dari hubungan formal
banyak industri yang ada. Penelitian relatif dan informal antara pelaku utama dan
baru menyebutkan bahwa akses kepada modal pendukung dalam satu lingkaran terkait dan
menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk
usaha (Kristiansen et al., 2003; Indarti, 2004).
mendapatkan akses kepada sumber daya yang
diperlukan dalam pendirian, perkembangan,
Ketersediaan informasi
dan kesuksesan usaha. Dari penjelasan
Ketersediaan informasi usaha merupakan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam
faktor penting yang mendorong keinginan penelitian ini adalah:
seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti,
2008 Indarti & Rostiani 373
Usia (tahun)
< 25 110 84,6 79 97,5 61 50,4
>= 25 20 15,4 2 2,5 60 49,6
Latar Belakang Pendidikan
Ekonomi dan Bisnis 72 55,4 81 100,0 83 68,6
Non-Ekonomi dan Bisnis 58 44,6 0 0,0 38 31,4
Pengalaman Kerja
Tidak Pernah 73 56,2 78 96,3 24 19,8
Sektor Publik/Pemerintah 8 6,2 0 0,0 26 21,5
Sektor Swasta 47 36,2 3 3,7 51 42,1
Kedua Sektor Tersebut 2 1,5 0 0,0 20 16,5
Sumber: Data Primer diolah
Hampir lebih dari 50 persen responden di responden Jepang tidak memiliki pengalaman
tiga negara adalah laki-laki (66 persen bekerja (96,3 persen) dan lebih dari 50 persen
Indonesia; 79 persen Jepang dan 62,8 persen responden Indonesia juga belum pernah
Norwegia). Sebagian besar responden berusia bekerja. Sementara hanya 19,8 persen
kurang dari 25 tahun (84 persen responden mahasiswa Norwegia yang belum pernah
Indonesia; 50,4 persen responden Norwegia bekerja sebelumnya.
dan 97,5 persen responden Jepang). Seperti Bagian utama kuesioner terdiri dari butir-
yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa butir pertanyaan (multi-item scale) terkait
pengambilan sampel di Jepang dilakukan di dengan variabel utama penelitian. Beberapa
HUE pada tingkat sarjana. Berdasarkan butir pertanyaan digunakan untuk mengukur
pengamatan, majoritas mahasiswa HUE pada pertanyaan-pertanyaan sikap sehingga dapat
level sarjana berusia muda atau kurang dari 25 lebih menjamin asumsi pengukuran level
tahun. Selain itu, HUE adalah sekolah khusus interval dibandingkan jika hanya satu item
di bidang ekonomi dan bisnis, maka bisa pertanyaan yang diajukan (Remenyi, 2000).
dipastikan semua responden Jepang berlatar Indeks masing-masing variabel dependen dan
belakang pendidikan ekonomi dan bisnis. independen ditentukan dari rata-rata jawaban
Sementara, responden mahasiswa Indonesia responden untuk setiap konstruk variabel.
dan Norwegia yang berlatar belakang Jawaban responden atas pertanyaan-
pendidikan ekonomi dan bisnis adalah 55,4 pertanyaan yang diajukan ditunjukkan dalam
persen dan 68,6 persen. Hampir semua Tabel 2.
376 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober
Pengujian asumsi klasik dilakukan terle- dapat diterima. Hasil pengujian korelasi tiap
bih dahulu sebelum analisis regresi berganda. negara untuk melihat apakah terdapat masalah
Uji ini dijalankan setelah mengkodekan multikolinearitas menunjukkan bahwa semua
kembali (re-coding) skor butir 2 pertanyaan nilai koefisien korelasi Pearson antar variabel
pada bagian intensi kewirausahaan. Koefisien berada di bawah nilai 0,7, yang artinya tidak
Alfa Cronbach semua konstruk variabel dipertimbangkan memiliki korelasi yang kuat
bervariasi antara 0,71 sampai 0,84. Mengacu atau masalah multikolinearitas (Gujarati,
Nunally (1978), nilai koefisien lebih dari 0,5 1995).
2008 Indarti & Rostiani 377
(GEM Report, 2006). Wirausaha di Jepang nya usaha-usaha baru perorangan dan dalam
menghadapi banyak kesulitan khususnya pada skala kecil. Dengan tingkat pengangguran
saat mendirikan usaha baru. Orang Jepang yang relatif tinggi mencapai 40 persen
tidak menganggap negara mereka sebagai (Kristiansen, 2003), menyebabkan rendahnya
negara yang mendukung kewirausahaan. hambatan masuk dilihat dari investasi modal,
Peraturan pemerintah yang ketat, dominasi kompetensi, dan informasi yang dibutuhkan
kelompok korporat besar di majoritas sektor untuk membuka usaha baru. Akan lebih
industri, bank yang cukup konservatif, dan mudah di Indonesia untuk mendirikan usaha
sedikitnya modal bagi pendiri bisnis telah baru berskala kecil di sektor-sektor informal,
menurunkan semangat mereka yang ingin yang menghindari aturan-aturan formal jika
menjadi wirausaha. Selain itu, budaya dibandingkan dengan di Jepang dan Norwegia.
menghindari risiko yang masih berkembang Perbedaan nilai intensi kewirausahaan yang
dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka substansial dan signifikan lebih tinggi bagi
yang bekerja di perusahaan masih dirasa mahasiswa Indonesia dibandingkan Jepang
cukup menghambat munculnya semangat dan Norwegia pada variabel kesiapan
wirausaha di Jepang (Helms, 2003). instrumen (lihat Tabel 4) merupakan indikator
Kondisi seperti ini juga terjadi di negara yang jelas bahwa hambatan untuk memulai
maju, seperti Norwegia, di mana aktivitas usaha baru dipersepsikan lebih rendah di
kewirausahaan dan proses inovasi terjadi di Indonesia dibandingkan di Jepang dan
perusahaan-perusahaan yang sudah eksis dan Norwegia.
berukuran besar. Berdasar temuan sebelum- Temuan menarik yang perlu dicatat terkait
nya, Norwegia tercatat sebagai negara dengan dengan latar belakang pendidikan mahasiswa
nilai kewirausahaan yang paling rendah (hipotesis 6), menunjukkan bahwa mahasiswa
diantara negara-negara OECD (Reynolds et Indonesia dengan latar belakang ekonomi dan
al., 2000). Tingkat pengangguran cukup relatif bisnis justru tidak terlalu berminat untuk
rendah di Norwegia. Hanya sedikit orang menjadi wirausaha. Hal ini mungkin terkait
dengan pendidikan tinggi yang perlu menung- dengan orientasi pendidikan atau kurikulum
gu beberapa lama untuk mendapatkan peker- pendidikan ekonomi dan bisnis yang tidak
jaan baru. Dapat dipastikan bahwa orang- diarahkan untuk membentuk wirausaha. Akan
orang yang memilih menjadi wirausaha adalah tetapi, cenderung untuk mempersiapkan dan
ketika mereka merasa tidak puas dengan membekali mahasiswa untuk bekerja di
pekerjaan yang ada atau dengan alasan untuk perusahaan-perusahaan berskala besar dan
mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. mapan. Jika memang orientasi pendidikan
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di ekonomi dan bisnis diarahkan pada terben-
Indonesia, di mana proses pengembangan tuknya lulusan yang siap menjadi wirausaha,
perekonomian sangat bertumpu pada muncul- maka menjadi penting bagi pihak universitas
atau lembaga pendidikan terkait untuk dian, instrumen, dan demografi bersama-
menyiapkan kurikulum yang dapat memfasili- sama secara signifikan menentukan
tasi dan meningkatkan semangat kewirausa- intensi kewirausahaan. Meskipun, kese-
haan. Dengan demikian, diharapkan materi muanya hanya mampu menjelaskan
pendidikan yang diberikan akan mendorong sebesar 28,2 persen untuk Indonesia, 14,2
semangat kewirausahaan di kalangan maha- persen untuk Jepang dan 24,8 persen
siswa dan lahirnya generasi wirausaha baru untuk Norwegia.
Indonesia.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, DAFTAR PUSTAKA
bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh Aldrich, H., dan C. Zimmer, 1986. “Entre-
variabel-variabel independen yang digunakan preneurship through Social Network”, in
dalam penelitian ini. Namun cukup jelas, D. L. Sexton and R. W. Smilor (eds.) The
bahwa intensi kewirausahaan juga dipengaruhi Art and Science of Entrepreneurship,
oleh variabel-variabel di luar yang sudah Cambridge: Ballinger Publishing, 3-25.
diteliti. Memasukkan faktor-faktor seperti Bandura, A., 1977. Social Learning Theory,
latar belakang keluarga, modal sosial, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
persepsi-persepsi kontekstual mungkin dapat Hall.
meningkatkan kemampuan penjelas model. Bandura, A., 1986. The Social Foundation of
Selain itu, menggunakan jumlah responden Tought and Action, Englewood Cliffs, NJ:
yang lebih banyak dan lebih representatif Prentice-Hall.
diharapkan dapat memberikan gambaran yang
Choo, S., dan M. Wong, 2006. “Entrepre-
lebih lengkap tentang intensi kewirausahaan
neurial intention: triggers and barriers to
antara mahasiswa Indonesia, Jepang dan
new venture creations in Singapore”.
Norwegia dan faktor-faktor yang mempenga-
Singapore Management Review 28 (2):
ruhinya.
47-64.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari Cromie, S., 2000. “Assessing entrepreneurial
hasil penelitian ini adalah: inclinations: some approaches and empi-
1. Secara umum, penelitian menemukan rical evidence”. European Journal of
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Work and Organizational Psychology 9
intensi kewirausahaan berbeda antara satu (1): 7-30.
negara dengan negara yang lain. Efikasi Dalton, dan Holloway, 1989. “Preliminary
diri terbukti mempengaruhi intensi findings: entrepreneur study”. Working
mahasiswa Indonesia dan Norwegia. paper, Brigham Young University.
Kesiapan instrumen dan pengalaman be- Duh, M., 2003. “Family enterprises as an
kerja sebelumnya menjadi faktor penentu important factor of the economic deve-
intensi kewirausahaan bagi mahasiswa lopment: the case of Slovenia”. Journal of
Norwegia. Latar belakangan pendidikan Enterprising Culture 11 (2): 111-130.
menjadi faktor penentu intensi bagi
Global Entrepreneurship Monitor (GEM)
mahasiswa Indonesia, hanya dengan arah
Report, 2006. London Business School.
berlawanan.
Giles, M., dan A. Rea, 1970. “Career self-
2. Kebutuhan akan prestasi, umur, dan efficacy: an application of the theory of
gender tidak terbukti secara signifikan planned behavior”. Journal of Occupa-
sebagai prediktor intensi kewirausahaan. tional & Organizational Psychology 73
3. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa (3): 393-399.
variabel-variabel terkait dengan kepriba-
2008 Indarti & Rostiani 381
Gorman, G., D. Hanlon, dan W. King, 1997. Indonesia”. The International Journal of
“Entrepreneurship education: the Austra- Entrepreneurship and Innovation 4 (4):
lian perspective for the nineties”. Journal 251-263.
of Small Business Education 9: 1-14. Krueger, N. F. dan A. L. Carsrud, 1993.
Gujarati, D., 1995. Basic Econometrics, New “Entrepreneurial intentions: applying the
York: McGraw-Hill. theory of planned behavior”. Entrepre-
Hacket, G. dan N. E. Betz, 1986. “Application neurship & Regional Development 5 (4):
of self-efficacy theory to understanding 315-330.
career choice behavior”. Journal of Social Lee, J., 1997. “The motivation of women
Clinical and Phsycology 4: 279-289. entrepreneurs in Singapore”. International
Helms, Marilyn M., 2003. “Japanese mana- Journal of Entrepreneurial Behaviour and
gers: their candid views on entrepreneur- Research 3 (2): 93-110.
ship”. CR 13 (1): 24-34. Marsden, K., 1992. “African entrepreneurs –
Indarti, N., 2004. “Factors affecting entrepre- pioneer of development”. Small
neurial intentions among Indonesian Enterprise Development 3 (2): 15-25.
students”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 19 Mazzarol, T., T. Volery, N. Doss, dan V.
(1): 57-70. Thein, 1999. “Factors influencing small
Katz, J., dan W. Gartner, 1988. “Properties of business start-ups”. International Journal
emerging organizations”. Academy of of Entrepreneurial Behaviour and
Management Review 13 (3): 429-441. Research 5 (2): 48-63.
Kolvereid, L., 1996. “Prediction of employ- McClelland, D., 1961. The Achieving Society,
ment status choice intentions”. Entrepre- Princeton, New Jersey: Nostrand.
neurship Theory and Practice 21 (1): 47- McClelland, D., 1971. The Achievement
57. Motive in Economic Growth, in: P. Kilby
Kourilsky, M. L. dan W. B. Walstad, 1998. (ed.) Entrepreneurship and Economic
Entrepreneurship and female youth: Development, New York The Free Press,
knowledge, attitude, gender differences, 109-123.
and educational practices”. Journal of Mathews, C. H. dan S. B. Moser, 1996. “A
Business Venturing 13 (1): 77-88. longitudinal investigation of the impact of
Kristiansen, S., 2001. “Promoting African family background and gender on interest
pioneers in business: what makes a in small firm ownership”. Journal of
context conducive to small-scale entrepre- Small Business Management 34 (2): 29-
neurship?”. Journal of Entrepreneurship 43.
10 (1): 43-69. Mead, D. C. dan C. Liedholm, 1998. “The
Kristiansen, S, 2002a. “Individual perception dynamics of micro and small enterprise in
of business contexts: the case of small- developing countries”. World Develop-
scale entrepreneurs in Tanzania”. Journal ment 26 (1): 61-74.
of Developmental Entrepreneurship 7 (3). Meier, R. dan M. Pilgrim, 1994. “Policy-
Kristiansen, S, 2002b. “Competition and induced constraints on small enterprise
knowledge in Javanese rural business’. development in Asian developing coun-
Singapore Journal of Tropical Geography tries”. Small Enterprise Development 5
23 (1): 52-70. (2): 66-78.
Kristiansen, S., B. Furuholt, dan F. Wahid, Nunally, J. C., 1978. Psychometric Theory.
2003. “Internet cafe entrepreneurs: New York: McGraw-Hill.
pioneers in information dissemination in
382 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober
Demografi Responden:
1. Jenis Kelamin
a. Pria
b. Wanita
4. Pengalaman Kerja
a. Tidak Ada
b. Ada, di sektor pemerintah
c. Ada, di sektor swasta
d. Ada, di kedua sektor baik swasta maupun pemerintah
Isilah kuesioner dibawah ini dengan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang mewakili
pendapat Anda.
Keterangan:
1 = Sangat Tidak Setuju Sekali (STSS)
2 = Sangat Tidak Setuju (STS)
3 = Tidak Setuju (TS)
4 = Normal (N)
5 = Setuju (S)
6 = Sangat Setuju (SS)
7 = Sangat Setuju Sekali (SSS)
1 2 3 4 5 6 7
No Pernyataan
STSS STS TS N S SS STS
1. Saya akan mengerjakan tugas-tugas sulit
yang terkait dengan studi dan pekerjaan saya
dengan sangat terbaik.
2. Saya akan berusaha keras meningkatkan
prestasi kerja saya.
3. Saya akan mencari tangung jawab tambahan
dalam tugas-tugas yang dibebankan kepada
saya.
4. Saya akan berusaha melakukan sesuatu lebih
baik daripada yang dapat dilakukan oleh
teman-teman saya.
384 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Oktober