PENDAHULUAN
Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di
Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara
521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.2
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan yakni Sindrom nefrotik
primer (idiopatik) dan Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata) seperti misalnya efek samping
obat 2
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang
sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.1,2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : An AAR
Umur : 11 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Blang kiree
Suku : Aceh
Tanggal Masuk : 15 Desember 2017
2.2 Anamnesis
Diberikan Oleh : Ibu kandung pasien
Keluhan Utama : Bengkak padakelopakmata perut dan kaki
Keluhan Tambahan :-
2
Riwayat Kehamilan
Pasien lahir cukup bulan, secara spontan ditolong oleh bidan BBL 2800 gram,
langsung menangis.
Ibu pasien rutin memriksakan kehamilan kebidan. Riwayat mengkonsumsi
alkohol (-), obat-obatan (-), merokok (-), jamu-jamuan (-),
Tidak ada riwayat demam selama kehamilan.
Riwayat imunisasi
3
Panjang badan : 72 cm
lingkar kepala : 11 cm
lingkar lengan atas : 45 cm
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Palpebra : Edema (+/+)
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Bulat, isokhor Ɵ 3 mm/ 3 mm
- Reflek cahaya: +/+
Telinga : Sekret -/-
Hidung : Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan
Pemeriksaan leher :
- pembesaran KGB tidak ada
- Kaku kuduk tidak ditemukan.
Pemeriksaan Thoraks :
- Paru : Inspeksigerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(+)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi vesikuler, ronki-/-, wheezing -/-
- Jantung : Inspeksi ictus cordis tidak terlihat
Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi datar, distensi (+), venektasi (-)
- Palpasi supel, organomegali (-)
- Perkusi tympani
- Auskultasi bising usus (+), normal.
Pemeriksaan alat kelamin : perempuan, dalam batas normal
Pemeriksaan Ekstremitas : sianosis (-)
4
Status Nerologis
Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-), burdzinski II (-),
kernique (-), laseque (-)
Refleks Patologis : Babinski (-)
Openheim (-)
Refleks fisiologis :Refleks biseps +/+
Refleks triseps +/+
Refleks patella +/+
Refleks achilles +/+
Ekstremitas
Extremitas atas
Inspeksi Palpasi
Edema : (-) Arteri radialis : teraba
Merah : (-) Gangguan fungsi motorik : (-)
Extremitas bawah
Inspeksi Palpasi
Edema : (+/+) Arteri Dorsalis Pedis : teraba
Pucat : (-) Arteri Tibialis Posterior : teraba
Gangguan Fungsi motorik : (-)
5
Berat Jenis 1.010 1.000 – 1.030
PH 6.5 5.0 – 8.0
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0.1 mg/dl (Normal) Negatif
Eritrosit +++(250) Negatif
Protein ++ (100) Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Sendimen mikroskopis
Eritrosit 8-12 /lpb
leukosit 1-3 /lpb
Sel epitel 0-3 /lpb
cylinder 0-1 /lpb
2.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
2.8 PENATALAKSANAAN
Q Syte
inj Ceftriaxon 200mg/12 jam (iv)
furosemid 2 x 8 mg pulvis
spironolakton 1 x 6,25mg pulvis
methylprednisolon tab 16 mg 2-1-1 pulvis
6
2.8 FOLLOW UP
Tanggal S O A P
16-12-2017 - Demam (-) - HR : 115x/mnt Sindrom - inj Ceftriaxon
- bengkak (+) - RR : 40x/mnt nefrotik 200mg/12 jam (iv)
- Mual (-) - T : 36,8°C - furosemid 2 x 8 mg
- Muntah (-) pulvis
- Nyeri perut (-) - spironolakton 1 x
- lemas (+) 6,25mg pulvis
- BAK (+) - methylprednisolon tab
16 mg 2-1-1 pulvis
17-12-2017 - Demam (-) - HR : 110x/mnt Sindrom - inj Ceftriaxon
- Mual (-) - RR : 38x/mnt nefrotik 200mg/12 jam (iv)
- bengkak (+) - T : 36.7°C - inj furosemid 8mg/8
berkurang jam (iv)
- Nyeri perut (-) - spironolakton 1 x
- lemas (+) 6,25mg pulvis
- BAK (+) - methylprednisolon tab
16 mg 2-1-1 pulvis
18-12-2017 - Demam (-) - HR : 110x/mnt Sindrom - inj Ceftriaxon
- Mual (-) - RR : 36x/mnt nefrotik 200mg/12 jam (iv)
- bengkak (+) - T : 36,9°C - inj furosemid 8mg/8
berkurang - LP 38cm jam (iv)
- Nyeri perut (-) - BB 7,5kg - spironolakton 1 x
- lemas (+) 6,25mg pulvis
- BAK (+) - methylprednisolon tab
16 mg 2-1-1 pulvis
19-12-2017 - Demam (-) - HR :112 x/mnt Sindrom - inj Ceftriaxon
- Mual (-) - RR : 36x/mnt nefrotik 200mg/12 jam (iv)
- bengkak (+) - T : 36,9°C - inj furosemid 8mg/8
berkurang - LP 37cm jam (iv)
- Nyeri perut (-) - BB 7kg - spironolakton 1 x
- lemas (+) 6,25mg pulvi
- BAK (+) - methylprednisolon tab
7
16 mg 2-1-1 pulvis
20-12-2017 - Demam (-) - HR : 110x/mnt Sindrom - inj Ceftriaxon
- Mual (-) - RR : 37 x/mnt nefrotik 200mg/12 jam (iv)
- bengkak (+) - T : 36,9°C - inj furosemid 8mg/8
berkurang - LP 37cm jam (iv)
- Nyeri perut (-) - BB 7kg - spironolakton 1 x
- lemas (+) 6,25mg pulvi
- BAK (+) - methylprednisolon tab
16 mg 2-1-1 pulvis
21-12-20017 - Demam (-) - HR : 108x/mnt Sindrom - pbj
- Mual (-) - RR : 36x/mnt nefrotik - amoxicilin syr
- bengkak (-) - T : 36,8°C 3x3/4cth
berkurang - LP 37cm - methylprednisolon tab
- Nyeri perut (-) - BB 6,9 kg 6mg-4mg-4mg pulvis
- lemas (-)
- BAK (+)
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain 1:
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama
atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-
turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada
anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien
dibawah umur 6 tahun; 4 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada
penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364
9
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan
penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.2
2.3 Etiologi
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: Sindrom nefrotik kelainan
minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis
fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi
klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu
penyakit tunggal. 3
Pathologi. 3
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom
nefrotik pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal
pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negative, dan mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan
terapi kortikosteroid.
10
Glomerulosklerosis fokal segmental (focal segmental glomerulosclerosis / FSGS)
(10% dari kasus SN), glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut
segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sclerosis. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula
pada infeksi HIC, reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20%
pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit
ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
2.4 Patofisiologi
PROTEINURIA
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
11
melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.
HIPOALBUMINEMIA
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. 2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum
dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu
juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan
ekskresi natrium. 2,5
12
HIPERLIPIDEMIA
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi
oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 4
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah
wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema
di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi
disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai
gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari. Seiring
waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital.
Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang
ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit
jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. 4
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan bayi
yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial dibandingkan anak
yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati
edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21 % pasien
mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah
mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin
berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal
13
segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC
(International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai
sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat
peritonitis.1
- Sindrom Nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum
plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid
14
2.7 Penatalaksanaan 1
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi
orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis maka diberikan
obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan
pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup
diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 2
g/kg BB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan
hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak
menderita edem.
a. Pengobatan Inisial
15
4 minggu 4 minggu
....................................
Imunosupresan lain
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi pada
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps
sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar. 2, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis
alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+
kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi , diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang
terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam
beberapa penggolongan, yaitu:
16
remisi
FD AD
Prednisone FD : 60 mg/m2LPB/hari
Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4 pilihan, yaitu:
17
e. Penderita rawat jalan
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan, mengukur tinggi
badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi,
kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi.
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi total
(tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1 + tanpa (obat) , proteinuria +/++ tanpa
edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotka (ampisilin atau amoksisilin) 3-5
hari. Bila tetap ada proteinuri maka dianggap sebagai relaps.
f. Pengobatan tambahan:
a. Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-2
mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral.
b. Odem menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 10-20
ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali.
c. Mengatasi renjatan yang diduga kerana hipoalbuminemia (1,5 g/dl) berikan
albumin atau plasma darah..
2.8 Komplikasi 1
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan
D di urin.Bila terjadi penyulit infeksi bakterial ( pneumonia pneumokokal atau peritonitis,
selulitis, sepsis, ISK ) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian
imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak,
herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral,
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson,
selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol
LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL
18
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom
nefrotik sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup
dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena:
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik relaps dapat
mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstrimitas dingin dan
sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal
ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan
penanganan keadaan ini pada umumnya .Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain
hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
2.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang
sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.1,2
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Teori Kasus
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan Dari hasil uraian diatas, kami menemukan
gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria beberapa gejala atau gambaran klinis dari
masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio os yang menjurus ke penyakit sindrom
protein/kreatinin pada urine sewaktu > nefrotik Beberapa gejala tersebut antara
2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), lain os mengeluhkan :
hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan - bengkak pada ke dua kelopak ke
dapat disertai hiperkolesterolemia (250 dua tungkai dan perut membesar
mg/uL).1 Untuk menegakkan diagnosa, dilakukan
Dengan gejala klinis Manifestasi klinis beberapa pemeriksaan penunjang
yang paling sering ditemukan adalah edema pemeriksaan darah dan urin ditemukan
yang menyeluruh 2,3 - albumin menurun 1,8 gl
- Kolestrol menigkat 406 mg/dl
- Protein ++(100)
Berdasarkan data yang kami peroleh, kami
menyimpulkan pada kasus ini os menderita
sindrom nefrotik
20
BABV
KESIMPULAN
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah
wajah dan kelopak mata. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites,
efusi pleura, dan edema genital.
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan yakni Sindrom nefrotik
primer (idiopatik) dan Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata) seperti misalnya efek samping
obat.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak.
Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-
426.
3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18th ed.
Saunders. Philadelphia.
4. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h. 50-54.
5. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No. 134.
Jakarta, h.32-37
22