Anda di halaman 1dari 6

KEPERAWATAN BENCANA

“Resiko Bencana Alam Akibat Kegagalan Teknologi”

OLEH
NAMA : Muh. Faisal Dg. Munir
NIM : 163010051

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS PATRIA ARTHA
2019
Resiko Bencana Kegagalan Teknologi

30-11-2004: Lion Air Tergelincir ke Pemakaman Umum

Liputan6.com, Solo - 30 November 2004 atau tepat 10 tahun silam, pesawat maskapai Lion
Air dengan nomor penerbangan JT 538 tergelincir saat hendak mendarat di Bandar Udara
(Bandara) Adisumarmo, Solo, Jawa Tengah. Akibatnya, 26 orang tewas, 55 orang luka berat,
dan 63 orang luka ringan.

Pesawat yang mengangkut 146 penumpang tersebut awalnya lepas landas dari Jakarta dengan
tujuan Surabaya pada pukul 17.00 WIB. Sebelum mendarat di Bandara Internasional Juanda,
Surabaya, Jawa Timur burung besi produksi McDonnell Douglas MD-82 itu transit terlebih
dahulu di Solo.

Menurut penuturan salah seorang penumpang, cuaca pada saat keberangkatan sudah buruk
karena adanya hujan besar disertai petir. Saat pendaratan pada sekitar pukul 18.15 WIB, kata
dia, pesawat terasa seperti tidak dapat dihentikan dan akhirnya keluar landasan dan masuk ke
sawah di bandara sebelum akhirnya berhenti di kawasan pemakaman umum. Pesawat tersebut
kemudian patah di tengah, tepatnya di bagian tulisan 'Lion' pada badan pesawat.

Beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU), termasuk KH Yunus Muhammad yang saat itu
menjabat Ketua Komisi VIII DPR, merupakan korban meninggal, selain warga Indonesia
lainnya.

Berdasarkan hasil penyelidikan, Ketua Tim Investigasi Komite Nasional Keselamatan


Transportasi (KNKT) kala itu, Kapten Ertata Lananggalih mengatakan penyebab kecelakaan
pesawat itu lantaran fungsi sistem pendaratan pesawat yang tidak optimal ditambah cuaca
buruk. Baca: [Kecelakaan Lion Air di Solo Terkuak]

Lantaran landasan pacu yang tergenang air atau peristiwa yang dikenal sebagai
hydroplanning, pesawat tergelincir dan tidak dapat dikendalikan dan mengalami
overshoot/overrun atau meluncur keluar landasan).

Lebih lanjut, Ertata mengatakan, penyebab banyaknya korban yang meninggal atau luka berat
yang menimpa penumpang di kursi depan (kursi no 1-11) adalah karena tertabraknya fondasi
antena localizer di daerah Runway End Safety Area (RESA) pada lokasi 140 meter dari ujung
landasan pacu. Sehingga bagian depan pesawat terkoyak

Ertata menambahkan, saat pendaratan, ada pusaran angin di belakang pesawat yang juga
menjadi faktor lain kecelakaan. Dari penelusuran tersebut, KNKT merekomendasikan review
prosedur pengoperasian pesawat pada saat mendarat dalam kondisi hujan, review pengawasan
maintenance, dan peninjauan kembali kelayakan pesawat MD-82.

Manajer Humas Lion Air saat itu, yakni Hasyim Arsal Alhabsi, mengatakan pihaknya segera
memperbaiki segala kekurangan yang ada di perusahaan. Tetapi ia membantah jika
kecelakaan yang terjadi itu disebabkan karena kondisi pesawat Lion Air yang sudah tidak laik
terbang. "Kami sudah berjalan sesuai dengan prosedur, segala sesuatu sudah berjalan sesuai
dengan aturan yang ada," ujar Hasyim.

Pada 30 November tahun 2012, kecelakaan pesawat terjadi di Kongo. Kasusnya hampir
serupa dengan Lion Air, pesawat Ilyushin Il-76T itu tergelincir saat hendak mendarat di
Bandara Maya-Maya, Kongo akibat hujan deras, hingga mengakibatkan 32 orang tewas.
(Riz/Ans)

Review
30 November 2004 atau tepat 10 tahun silam Kecelakaan yang dialami
pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 538 yang awalnya berangkat
dari bandara Jakarta tujuan surabaya dan transit terlebih dahulu di bandara solo,
Jawa Tengah. Kemudian pesawat tergelincir pada saat mulai melakukan
pendaratan . Saat pendaratan pesawat terasa seperti tidak dapat dihentikan dan
akhirnya keluar landasan dan masuk ke sawah sebelum akhirnya berhenti di
kawasan pemakaman umum. Pesawat tersebut kemudian patah di tengah,
tepatnya di bagian tulisan 'Lion' pada badan pesawat. dari pengakuan penumpang
yang selamat mengatakan bahwa cuaca memang awalnya sudah buruk dan
pesawat hilang kendali sehingga keluar dari area Landasan. Sementara faktor lain
yang menyebabkan pesawat Lion Air ini tergelincir lantaran fungsi sistem
pendaratan pesawat yang tidak optimal Karena landasan pacu yang tergenang air
atau peristiwa yang dikenal sebagai hydroplaning. Akibatnya, 26 orang tewas, 55
orang luka berat, dan 63 orangluka ringan.
Membandingkan Jatuhnya Adam Air 11 Tahun lalu, Kesimpulan
KNKT, Lenyapnya Bangkai Pesawat dan Para Korban
1 Januari 2007, atau sebelas tahun lalu, dunia penerbangan
Indonesia merasakan duka yang mendalam.

Pesawat Adam Air. (Foto: Wikipedia)

Jakarta, (Tagar 1/11/2018) - 1 Januari 2007, atau sebelas tahun lalu, dunia penerbangan
Indonesia merasakan duka yang mendalam. Pesawat Adam Air KI-574 mengalami
kecelakaan. Pesawat Boeing 737 dengan registrasi PK-KKW, diketahui lepas landas dari
Bandara Juanda, Surabaya pada pukul 05.59 UTC dengan Instrument Flight Rule (IFR) denga
tujuan Manado.

Namun, belum sampai perkiraan waktu tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado pada pukul
08.14 UTC, pesawat hilang dari pantauan Radar pada ketinggian 35.000 kaki dengan seluruh
penumpangnya.

"Di dalam pesawat tercatat ada 102 orang yang terdiri dari 2 Pilot, 4 awak kabin dan 96
penumpang yang terdiri dari 85 orang dewasa, 7 anak-anak dan 4 orang balita (infants).
Pesawat PK-KKW hilang dari pantauan Radar pada ketinggian 35.000 kaki," tulis Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam Final Report Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) kecelakaan Pesawat Adam Air PK-KKW dengan nomor
penerbangan DHI 574 pada tanggal 1 Januari 2007.

Dari final report itu, KNKT punya kesimpulan penyebab terjadinya kecelakaan yang
menjatuhkan pesawat Adam Air di perairan Majene, Sulawesi Barat. Salah satunya karena
kegagalan pilot Adam Air Kapten Refri Agustian Widodo dan Ko-pilot Yoga Susanto
dalam intensitas memonitor flight instrument.

"Kecelakaan ini terjadi sebagai kombinasi beberapa faktor termasuk kegagalan kedua pilot
dalam intensitas memonitor flight instrument khususnya dalam 2 menit terakhir penerbangan.
Fokus konsentrasi pada malfungsinya IRS telah mengalihkan perhatian kedua pilot dari flight
instrumen dan membuka peluang terjadinya increasing decent dan bank angle tidak
teramati," papar final report yang ditandatangani Ketua KNKT Tatang Kurniadi.
"Kedua pilot tidak mendeteksi dan menahan decent sesegera mungkin untuk mencegah
kehilangan kendali," sambung final report 25 Maret 2008 itu.

Investigasi KNKT
Kesimpulan penyebab terjadinya kecelakaan, diperoleh KNKT pasca melakukan investigasi
yang diawali dengan kegiatan searching yang ekstensif baik dari darat, laut dan udara.

"Sewaktu dilaksanakan kegiatan searching yang ekstensif baik dari darat, laut dan udara,
telah diketemukan oleh searching laut sebagian serpihan pesawat di laut dan perairan
sepanjang pantai dekat Pare Pare, Sulawesi Selatan, 9 hari setelah pesawat diketahui hilang
tanggal 1 Januari 2007," jelas final report tersebut.

Namun, kegiatan searching terhenti saat sinyal Locator Beacon dari Flight Recorder yang
terdengar pada tanggal 21 Januari 2007 berada di dasar laut. Dengan kedalaman sekitar 2000
meter, yang memerlukan alat recovery khusus yang tidak tersedia di Indonesia.

Tim yang melakukan operasi pengangkatan Flight Recorder mulai tanggal 24 Agustus 2007,
berhasil menemukan Digital Flight data Recorder (DFDR) dan Cockpit Voice Recorder
(CVR) pada tanggal 27 dan 28 Agustus 2007. Lalu hasil analisa CVR menunjukan kedua
Pilot terlibat atau menghadapi problem navigasi.

"Hasil analisa CVR menunjukan bahwa kedua pilot terlibat atau menghadapi problem
navigasi dan kemudian terfokus perhatiannya pada trouble shooting permasalahan Inertial
Reference System (IRS) setidaknya selama 13 menit terakhir penerbangan, dengan perhatian
minimal pada flight requirement lainnya," sesuai tulisan dalam keterangan final report
KNKT.

Sedangkan analisa DFDR menunjukan bahwa pesawat telah terbang pada ketinggian FL 350
dengan Autopilot ON (engaged). Untuk mempertahankan wings-level (sayap pesawat tidak
miring), Autopilot menahan posisi stir kemudi aileron 5 derajat ke kiri.

Sesudah crew memutuskan Inertial Reference System (IRS) Mode Selector Unit No-2
(kanan) ke posisi mode ATT (attitude), autopilot jadi Off (disengaged). Stir kemudi aileron
kemudian netral ditengah (centered) dan pesawat mulai dengan perlahan mengalami roll
(slow roll) miring ke kanan. Suara peringatan atau aural alert bank angle, terdengar saat
pesawat miring ke kanan (right bank) melewati 35 derajat.

"Tidak terdapat tanda-tanda atau bukti bahwa kedua pilot dapat mengendalikan pesawat
secara tepat dan seksama sesudah peringatan bank angle berbunyi ketika pesawat roll
melewati 35 derajat bank ke kanan," tulis final report KNKT tersebut.

Selain itu, Data Flight Recorder menunjukan terjadinya kerusakan struktur yang signifikan
pada kecepatan pesawat Mach 0,926 dan flight load dengan cepat dan mendadak berubah dari
positive 3,5g menjadi negatif 2,8g. Kecepatan dan g Force seperti ini melewati batas desain
pesawat.
Review
1 Januari 2007, atau sebelas tahun lalu, Pesawat Adam Air KI-574 mengalami
kecelakaan. Pesawat Boeing 737 dengan registrasi PK-KKW, diketahui lepas landas dari
Bandara Juanda, Surabaya tujuan Manado. Namun, belum sampai perkiraan waktu tiba di
Bandara Sam Ratulangi, Manado pesawat hilang dari pantauan Radar pada ketinggian 35.000
kaki dengan seluruh penumpangnya. Kecelakaan ini terjadi sebagai kombinasi beberapa
faktor termasuk kegagalan kedua pilot dalam intensitas memonitor flight instrument
khususnya dalam 2 menit terakhir penerbangan. "Sewaktu dilaksanakan kegiatan searching
yang ekstensif baik dari darat, laut dan udara, telah diketemukan oleh searching laut sebagian
serpihan pesawat di laut dan perairan sepanjang pantai dekat Pare Pare, Sulawesi Selatan, 9
hari setelah pesawat diketahui hilang tanggal 1 Januari 2007," . Lalu hasil analisa CVR
menunjukan kedua Pilot terlibat atau menghadapi problem navigasi. Yang disebabkakn salah
satunya adalah kecepatan yang melebihi batas desain pesawat.

Anda mungkin juga menyukai