Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa, baik
sumber daya alam hayati maupun non hayati. Mulai dari kekayaan laut, darat, bumi
dan kekayaan lainnya yang terkandung di dalam bumi Indonesia. Di samping itu,
kebutuhan energi dunia terus meningkat. Hingga 2030, Badan Energi Dunia
(International Energi Agency/IEA) memproyeksikan permintaan energi dunia
meningkat 45% atau 1,6% per tahun. Sekitar 80% kebutuhan energi itu dipasok dari
bahan bakar fosil, terutama bahan baka rminyak (BBM). Indonesia kini telah menjadi
negara pengimpor minyak (net-importing country). Sesungguhnya, Indonesia
diberkahi anugerah energi lain yang melimpah. Indonesia memiliki energi baru dan
terbarukan seperti batubara, coal bed metane (CBM), shale gas, panas bumi, tenaga
surya, dan biofuel. Batu bara diharapkan memberikan kontribusi terbesar dalam
bauran energi nasional. Pada 2025, pemerintah mencanangkan batu bara bisa
mengontribusi bauran energi nasional sebesar 30,7%, disusul EBT 25,9%, dan gas
19,7 %.Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar nomor lima di dunia. Pada
2010, produksi batu bara mencapai 275 juta ton dan saat ini sekitar 350 juta ton.
Konsumsi dalam negeri sekitar 70 juta ton, 50% digunakan untuk pembangkit listrik.
Sisanya sekitar 75-80% diekspor. Energi memainkan peran yang sangat penting dan
strategis dalam kehidupan masyarakat karena energi merupakan salah satu indikator
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Meningkatnya pembangunan
akan meningkatkan kebutuhan energi pula. Beberapa peranan penting energi antara
lain sebagai sumber penerimaan negara, bahan bakar dan bahan baku industri,
penggerak kegiatan ekonomi, serta beberapa peranan penting lainnya. Kelangsungan
berbagai sektor di suatu negara, seperti sektor industri, rumah tangga, transportasi,
jasa, dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari penggunaan energi. Mengingat

1
pentingnya peran tersebut, maka proses pembangunan tidak dapat dipisahkan dengan
energi.

Konsumsi energi yang tinggi menimbulkan terjadinya pengurasan sumber daya


fosil yang lebih cepat jika dibandingkan dengan penemuan cadangan baru. Salah satu
kasusnya adalah keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC dikarenakan Indonesia
sudah bukan sebagai negara pengekspor minyak dunia. Hal tersebut disebabkan oleh
ketidakmampuan negara dalam memenuhi konsumsi minyak dalam negeri sehingga
tidak dimungkinkan untuk melakukan ekspor.

Oleh karena itu, jika energi baru dan terbarukan tidak segera dikembangkan
dengan optimal, maka peningkatan konsumsi tersebut akan dapat memperpendek
umur ketersediaan energi di Indonesia sehingga analisis ini perlu dilakukan untuk
mengetahui bagaimana cara mengoptimalkan pemanfaatan energi baru dan
terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia.

1.2 RumusanMasalah
1. Apa saja jenis energi baru dan terbarukan di Indonesia?
2. Bagaimana upaya pengoptimalan energi baru dan terbarukan di Indonesia?
3. Apa manfaat energi baru dan terbarukan bagi perekonomian di Indonesia?
4. Apa kendala yang menghambat pengoptimalan energi baru dan terbarukan di
Indonesia?
1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan:

a. Mengetahui jenis-jenis energi baru dan terbarukan di Indonesia.


b. Mengetahui upaya pengoptimalan energi baru dan terbarukan di Indonesia yang
belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia.
c. Mengetahui manfaat energi baru dan terbarukan bagi perekonomian di
Indonesia.

2
d. Mengetahui kendala apa saja yang menghambat pengoptimalan energi baru dan
terbarukan di Indonesia.

Manfaat:

a. Bagi pemerintah, penulisan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah,


khususnya dibidang pemanfaatan energi baru dan terbarukan sehingga dapat
memberikan sumbangan yang lebih baik bagi perekonomian di Indonesia.
b. Bagi mahasiswa, penulisan ini dapat menjadi sumber belajar dan sumber
informasi tentang energi terbarukan di Indonesia dan upaya
pengoptimalannya.
c. Bagi penulis, penulisan ini sebagai bahan presentasi kelompok dan
pembuatan karya ilmiah sebagai tugas akhir yang merupakan pemenuhan
kewajiban dimata kuliah Ekonomi Energi.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Metode
a. Tinjaun Pustaka

Dalam suatu penelitian diperlukan dukungan hasil-hasil penelitian yang telah


ada sebelumnya yang berkiatan dengan penelitian tersebut. Energi merupakan
masalah penting yang banyak mewarnai sejarah perdebatan lingkungan. Di satu
sisi, pihak yang ingin melestarikan lingkungan berpendapat konsumsi energi
yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi menghasilkan produk sampingan
yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Kubu ini disebut kubu Club of Rome.
Mereka berpendapat bahwa pertumbuhan masalah lingkungan yang merupakan
konsekuensi pertumbuhan ekonomi akan selalu melampaui kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mengatasinya. Penggunaan bahan bakar fosil
diyakini menghasilkan produk sampingan yang mencemari lingkungan. Antara
lain yang telah banyak didokumentasikan adalah kandungan sulfur dan gas buang

3
yang menggangu kesehatan. Kandungan sulfur menjadi penyebab hujan asam.
Gas rumah kaca (CO2) berakibat pada perubahan iklim. Penggunaan batu bara
sebagai bahan bakar pembangkit listrik berakibat akumulasi kandungan
radioaktif disekitar lokasi pembangkit. Di sisi lain, pihak yang pro pembangunan
berpendapat bahwa pengurangan kemiskinan hanya dapat dicapai melalui
pembangunan. Tanpa pembangunan tidak ada pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan energi. Pertumbuhan ekonomi sangat
dibutuhkan untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Pertumbuhan
ekonomi diperlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesemuanya ini diharapkan akan dapat meminimalkan dampak lingkungan.
Seiring dengan ditemukannya teknologi yang hemat energi, kedua kubu akhirnya
dapat bersepakat dan mengakhiri perdebatan lingkungan. Saat ini, teknologi baru
memungkinkan sejumlah energi yang sama dapat memindahkan barang jauh
lebih banyak dari teknologi yang biasa digunakan pada tahun-tahun
berlangsungnya perdebatan lingkungan sekitar 1970 an.

Puncak dari kesepakatan ini adalah Bruntland Report yang mencetuskan


konsep Sustainable Development dalam laporannya pada tahun 1987 “Memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang memenuhi kebutuhannya.” Konsep sustainable development ataupun
“pembangunan yang berkelanjutan“ memiliki 3 pilar yaitu pilar-pilar lingkungan,
ekonomi dan sosial. Pembangunan yang baik harus menunjukkan kebaikan pada
ke tiga pilar tersebut. Dalam pidatonya pada International Student Energi Summit
di Bali, Sri 2 Mulyani (2015) mengatakan “Penggunaan energi memiliki potensi
yang sangat tinggi untuk mengentaskan kemiskinan. Tanpa listrik, perempuan
dan anak perempuan harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengambil
air, klinik kesehatan tidak bisa menyimpan vaksin, anak-anak tidak bisa
mengerjakan pekerjaan rumah di malam hari, pengusaha kurang kompetitif, dan
negara tidak bisa menggerakkan ekonomi. Akses kepada energi sangat penting

4
dalam melawan kemiskinan.” Selanjutnya, Sri Mulyani mengatakan bahwa
energi yang kita gunakan haruslah efisien, berkelanjutan dan terbarukan.
Pentingnya konsep efisien, berkelanjutan dan terbarukan ini tidak lepas dari
kesadaran akan ancamanbahaya pemanasan global, efek rumah kaca dan
perubahan iklim. Penggunaan energi bersumberbahan bakar fosil menghasilkan
gas rumah kaca berupa CO2 yang mengakibatkan perubahan iklim. Sebagai
negara kepulauan Indonesia sangat rentan terhadap bencana terkait pemanasan
global dan perubahan iklim. Dalam pidatonya di Paris pada COP 21 tahun 2015,
Presiden Jokowi mengatakan : ”Indonesia memiliki kondisi geografis yang
rentan terhadap perubahan iklim; dua per tiga wilayah terdiri dari laut, memiliki
17 ribu pulau, banyak diantaranya pulau-pulau kecil, 60% penduduk tinggal di
pesisir, 80% bencana selalu terkait dengan perubahan iklim.”Selanjutnya
Presiden Jokowi juga menyatakan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi
sebesar 29% pada tahun 2030 dan bahkan bisa mencapai 40% apabila
mendapatkan bantuan internasional. Penurunan emisi dilakukan dengan
melakukan langkah-langkah di beberapa bidang seperti bidang energi, tata kelola
lahan dan hutan serta bidang maritim. Khusus untuk bidang energi upaya tersebut
antara lain melalui : (1) pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, (2)
peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi
energi nasional tahun 2025, dan (3) pengolahan sampah menjadi sumber energi.
Energi merupakan masalah penting yang banyak mewarnai sejarah perdebatan
lingkungan.

Metode analisis yang kami gunakan metode deskriptif, dimana data


diperoleh dari sumber yang berupa buku, makalah, jurnal, dan karya ilmiah yang
telah beredar, serta bersifat subjeketif dimana proses penelitian fokus pada
landasan teori.

5
BAB II

Analisis dan Pembahasan

2.1 Jenis-Jenis Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia


Sebagai salah satu negara dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia juga
memiliki sumber energi baru dan terbarukan yang cukup melimpah. Dengan
kekayaan tersebut, tentu Indonesia dapat dimudahkan oleh aspek pemenuhan sumber
energi khususnya energi baru dan terbarukan yang dapat menggantikan penggunaan
energi fosil yang mulai terkikis.
Energi baru dan terbarukan merupakan energi yang berasal dari proses alam yang
berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air proses biologi, dan panas
bumi. Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya
untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar nuklir dan fosil. Definisi
paling umum adalah sumber energi yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali
secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Dengan definisi ini, maka bahan bakar
nuklir dan fosil tidak termasuk di dalamnya. Di Indonesia energi baru dan terbarukan
dibagi dalam 8 macam, yaitu :
a. Energi Matahari
Pemanfaatan energi matahari di Indonesia bisa kita lihat dengan adanya PLTS
(Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di berbagai daerah, contohnya adalah di
Kabupaten Karangasem dan Bangli di Bali yang merupakan PLTS terbesar di
Indonesia dengan kapasitas masing-masing 1 mega watt dan Pulau Gili
Trawangan di Nusa Tenggara Barat dengan kapasitas 600 kWp.

6
b. Energi Panas Bumi
Panas bumi merupakan sumber energi terbarukan yang mulai banyak
dimanfaatkan, energi yang berasal dari dalam inti atom bumi ini memang
memiliki tenaga yang sangat kuat dan memiliki jumlah yang sangat
melimpah. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa PLTP yang tersebar di
banyak daerah, yang terbesar terdapat di Jawa Barat yaitu PLTP Salak dengan
kapasitas 377 MW.
c. Energi Air
Dengan sebutan negara kepulauan, tentu saja Indonesia sangat terkenal
dengan negara yang 70% bagiannya adalah daerah perairan. Oleh karena itu,
energi air sangat melimpah dimiliki negara kita. Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) adalah salah satu energi yang sudah terbukti tidak merusak
lingkungan. Besar potensi energi air di Indonesia adalah 74.976 MW,
sebanyak 70.776 MW ada di luar Jawa, yang sudah termanfaatkan adalah
sebesar 3.105, 76 MW sebagian besar berada di Pulau Jawa
d. Energi Angin
Energi ini sering digunakan sebagai penggerak kincir angin sebagai
pembangkit listrik dibeberapa negara bahkan Indonesia yang disebut sebagai
PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu). Satu-satunya PLTB yaitu PLTB
Sidrap di Sulawesi.
e. Energi Samudra / Air Laut
Di Indonesia, potensi energi samudra/ laut sangat besar karena Indonesia
adalah negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dan garispantai
sepanjang 81.000 km,terdiri dari laut dalam dan laut dangkal. Dengan
perkiraan potensi semacam itu, seluruh pantai di Indonesia dapat
menghasilkan lebih dari 2 sampai 3 Tera Watt ekuivalensi listrik. Energi
samudra ada empat macam, yaitu energi panas laut, energi pasang surut,
energi gelombang, dan energi arus laut.
f. Energi Biomassa/Biogas

7
Energi Biomassa merupakan energi yang berasal dari organisme yang ada di
bumi seperti tumbuhan, hewan dan manusia.
g. Energi Biofuel/Biodiesel

Salah satu produk hilir dari minyak sawit yang dapat dikembangkan di
Indonesia adalah biodiesel yang dapat digunakan sbagai bahan bakar
alternatif, terutama untukmesin diesel.

h. Alkohol
Pada tahun 1995, Departemen Pertambangan dan Energi melporkan
dalam Rencana Umum Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan bahwa
produksi etanol sebagai bahan baku tetes mencapai 35 sampai 42 juta liter per
tahun. Jumlah itu akan mencapai 81 juta liter per tahun bila seluruh produksi
tetes digunakan untuk etanol.
i. Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)
Bahan baku utama sebagai sumber energi sel bahan bakar adalah gas
hidrogen. Gas hidrogen dapat langsung digunakan dalam pembangkit
listrik dan mempunyai kerapatan energi yang tinggi. Beberapa alternatif
bahan baku sepeti metana, air laut, air tawar, dan unsur-unsur yang
mengandung hidrogen dapat pula digunakan namun diperlukan sistem
pemurnian sehingga menambah jumlah system cost pembangkitnya
j. Surya Fotovoltaik
Energi surya atau lebih dikenal sebagai solar cell atau photovoltaik cell,
merupakan sebuah divais semikonduktor yang memiliki permukaan yang
luas dan terdiri rangkaian dioda tipe p dan n, yang mampu merubah
langsung energinya menjadi energi listrik.
k. Surya Termal
Sebagian besar dan secara komersial, pemanfaatan energi surya termal
hanya digunakan untuk penyediaan airpanas rumah tangga, khususnya
rumah tangga perkotaan

8
l. Energi Nuklir
Energi nuklir adalah energi baru yang perlu dipertimbangkan karena
energi ini bisa menghasilkan energi ribuan mega watt, tetapi harus
memperhatikan beberapa aspek seperti aspek keselamatan, sosial,
ekonomi, teknis, sumber daya manusia, dan teknologi.

2.2 Upaya Pengoptimalan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia


Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru dan
terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, gelombang, biomassa, biofuel dan panas
bumi. Namun saat ini, pemanfaatan energi terbarukan belum dilaksanakan secara
maksimal. Untuk itu, pemerintah terus mendorong pengembangan energi baru dan
terbarukan yang mengacu pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025
November 2007 dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam Peraturan Pemerintah
NO. 79 tahun 2014 yang menargetkan persentase pemanfaatan energi baru dan
terbarukan dalam energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025.
Pengembangan energi baru dan terbarukan ini perlu dilakukan guna mengatasi
persoalan sumber energi fosil yang semakin menipis seperti minyak bumi dan batu
bara. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan
konsumsi energi terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) Outlook Energi Indonesia 2015, konsumsi energi final
di Indonesia meningkat dari 778 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 2000
menjadi 1.211 juta SBM pada tahun 2013 atau tumbuh rata-rata sebesar 3,46% per
tahun.
Banyak upaya yang dilakukan pemerintah saat ini untuk pemanfaatan sumber
energi baru dan terbarukan secara optimal. Sebagai contohnya adalah pembangunan
pembangkit listrik. Saat ini kita memiliki banyak pembangkit listrik dengan banyak
sumber tenaga, contohnya PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), PLTB
(Pembangkit Listrik Tenaga Bayu), PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas), PLTS

9
(Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan lain-lain yang tersebar di seluruh wilayah di
Indonesia. Dengan adanya pembangkit listrik tersebut, sumber energi baru dan
terbarukan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan optimal.
2.3 Manfaat Energi Baru dan Terbarukan Bagi Perekonomian
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang maksimal akan mampu
mengantarkan ekonomi Indonesia menjadi ekonomi yang berkelanjutan. Peningkatan
kebutuhan energi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak dapat dihindari. Apalagi
dengan laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,38 % per tahun,sudah dapat
dipastikan Indonesia akan membutuhkan lebih banyak energi di masa yang akan
datang. Data yang ada menunjukkan bahwa kebutuhan minyak mentah akan naik 3%
per tahun di masa yang akan datang. Di sisi lain, suplai minyak mentah hanya akan
naik sebesar 2,8% akibat natural decline serta faktor lainnya. Begitu pula dari sisi gas
bumi, pada 2025 diproyeksikan Indonesia harus mengimpor 40% dari kebutuhan
nasional, akibat rendahnya produksi dan melonjaknya permintaan. Kondisi ini
tentunya harus segera disiasati. Indonesia perlu mencari sumber energi alternatif
untuk menjaga, bahkan mempercepat putaran roda ekonomi. Pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 telah mengatur target bauran
energi nasional kontribusi EBT terhadap bauran energi ditargetkan dapat mencapai 23
% pada 2025 dan 31% pada 2050. Data Kemenko Perekonomian, menyebutkan total
potensi EBT yang tercatat adalah sebesar 443,2 GW, sementara pemanfaatannya baru
sekitar 8,8 GW atau hanya sekitar 2% dari seluruh potensi. Pengembangan EBT akan
berdampak pada perekonomian Indonesia, selain untuk mengamankan pasokan
energi, ada pula motif ekonomi yang melatari komitmen pemerintah dalam
mengembangkan EBT. Dengan pemanfaatan energi, ekonomi Indonesia tidak hanya
kuat, tapi dapat bertahan hingga berabad-abad ke depan. Dengan mengurangi
proporsi migas, tentunya negara akan lebih kuat dan stabil dari resiko ekonomi yang
muncul akibat volatilitas harga minyak dunia. Selanjutnya, dengan ketersediaan EBT
dapat membantu menghemat devisa negara maupun mengurangi porsi subsidi energi
sehingga mampu menyehatkan APBN. Salah satu contoh nyata penghematan

10
anggaran adalah dalam implementasi biodiesel. Di tahun 2016, negara berhasil
menghemat devisa sekitar US$1,1 miliar atau Rp 14,8 triliun dari penerapan progam
pencampuran 20% bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel ke bahan bakar minyak
(BBM) jenis solar atau B20. Bisa dibayangkan jika di masa mendatang subsidi BBM
berkurang drastis karena didorong peralihan konsumsi energi, tentu negara akan lebih
fleksibel dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor-sektor produktif, investasi,
dan lain sebagainya. EBT akan dapat menekan biaya penyediaan energi dari
penurunan biaya transportasi dan investasi infrastruktur . Potensi EBT memiliki sifat
kedaerahan, misalnya Jawa Barat memiliki potensi panas bumi, kemudian Kalimatan
Barat memiliki potensi tenaga surya,dan potesi tenaga air terdapat di Papua. Dengan
konsep pengembangan energi yang bersifat kedaerahan, kebutuhan energi di masing-
masing daerah akan dapat dipenuhi secara mandiri. Selain itu, pengembangan EBT
diharapkan akan melahirkan multiplier effect misalnya bagaimana EBT mampu
membuka lapangan kerja baru di Indonesia. EBT akan merangsang tumbuhnya
pelaku-pelaku usaha baru baik yang berskala besar maupun berskala kecil, seperti
instalasi panelsurya, instalasi micro hydro,dan lain sebagainya. Memang jika
dibandingkan dengan negara lain, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih
tertinggal. India misalnya, saat ini tengah membangun proyek Nehru National Solar
Mission, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 200 GW. Cina,
kini menjadi negara yang perlu diperhitungkan dalam pemanfaatan energi terbarukan
karena memiliki PLTS sebesar 78,1 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin
sebesar 149 GW. Di Indonesia, pemanfaatan energi baru dan terbarukan masih sangat
rendah dibandingkan potensi yang ada. Saat ini Indonesia baru memanfaatkan 8.216
GW dari potensi energi baru dan terbarukan sebesar 443.208 MW. Dengan berbagai
dampak positif energi baru dan terbarukan bagi perekonomian, sudah saatnya
pemerintah lebih serius menggarap sektor energi terbarukan ini. Pertamina, sebagai
perusahaan negara terus berkomitmen meningkatkan porsi energi baru dan
terbarukan, sejalan dengan target porsi nasional sebesar 23 persen dari total bauran
energi nasional pada tahun 2025. Salah satu upayanya yakni Pertamina telah

11
melakukan beberapa transformasi bisnis yang salah satunya berfokus pada
pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pertamina melihat dari dua
parameter dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, yakni economy
attractivness atau seberapa menarik sebuah proyek dari sisi ekonomi serta technology
maturity atau ketersediaan teknologi yang mendukung. Kedua parameter tersebut,
digunakan Pertamina dalam pertimbangan mengeksekusi kesempatan bisnis. Energi
EBT yang masuk ke dalam high priority (high economy attractivness and technology
maturity) dan telah dieksekusi Pertamina yaitu geothermal, biodiesel, biomassa, mini
hydro, dan solar PV. Di samping itu,ada juga beberapa EBT yang masih harus
dilakukan evaluasi dan pengembangan komersil, seperti wind power, hydro large,
bioavture dan bioethanol. Salah satu yang sedang dikembangkan Pertamina saat ini
adalah solar PV. Saat ini sudah trinstal sebesar 1 Mega Watt dari instalasi PV di
kantor pusat Pertamina dan area perumahan kilang Cilacap.

2. 4 Kendala yang Menghambat Pengoptimalan Energi Baru dan Terbarukan di


Indonesia
Ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil dinilai masih banyak
peralatan dan perlengkapan sehari-hari yang belum bisa digantikan oleh EBT. saat ini
produk EBT masih cenderung mahal dibandingkan energi fosil. Perbandingan
penggunaan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih
terjangkau dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
(detikfinance.com, 2019).
Direktur Eksekutif Refomainer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan,
pemerintah telah menyatakan serius mengembangkan energi baru dan terbarukan,
terutama pengembangan energi panas bumi. Untuk merealisasikannya juga telah
digagas beberapa terobosan. Gagasan tersebut di antaranya adalah pembentukan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus panas bumi, dan rencana pungutan
Dana Ketahanan Energi (DKE) oleh Kementerian ESDM. Gagasan itu seolah makin
menguatkan kesimpulan pemerintah memang benar-benar serius mengembangkan

12
energi baru-terbarukan, khususnya panas bumi. Dari data yang ada menunjukkan
kapasitas terpasang panas bumi saat ini sekitar 1.343 Mega Watt (MW), hanya sedikit
mengalami peningkatan dari status 2009 yang saat itu telah mencapai 1.189 MW.
Dari kapasitas terpasang tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
yang produktif dilaporkan hanya sekitar 573 MW. Sedangkan kapasitas terpasang
panas bumi nasional saat ini tercatat baru sekitar 4,65 persen dari total potensi yang
dimiliki Indonesia yaitu sekitar 28.910 MW. Masalah utama sebagai penyebab
pengembangan panas bumi berjalan lambat adalah kebijakan harga jual listrik panas
bumi yang seringkali tidak terdapat titik temu antara pengembang dan pembeli (PLN)
(Liputan6.com, 2016).
Pemerintah dinilai akan sulit mencapai target 23 persen energi baru dan
terbarukan (EBT) dalam total bauran energi nasional pada tahun 2025. Kecuali, ada
perubahan signifikan dalam kebijakan dan peraturan. Berdasarkan laporan terbaru
Global Subsides Initiative (GSI) yang merupakan bagian dari International Institute
for Sustainable Development (IISD), ada beberapa hambatan besar pengembangan
energi terbarukan di Indonesia. Pertama, harga pembelian untuk energi terbarukan
dibatasi di angka yang terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang
pembangkit baru. Bahkan di beberapa daerah lebih rendah daripada harga pembangkit
batubara. Kemudian, perubahan kebijakan dan peraturan yang cukup sering dilakukan
berujung pada ketidakpastian dan penundaan, serta meningkatkan risiko bagi para
investor. Selain itu, subsidi dan dukungan finansial untuk bahan bakar fosil
khususnya batu bara bertentangan dengan keinginan untuk melakukan transisi ke
energi terbarukan. Secara fundamental, terdapat ketidakjelasan siapa pejuang utama
untuk energi terbarukan di Indonesia. Tanpa dorongan yang luas terhadap kebijakan
proenergi terbarukan di dalam pemerintahan, pertumbuhan energi terbarukan
diperkirakan masih akan berjalan lambat. Penasehat Senior Kebijakan GSI Richard
Bridle menyebut kecil kemungkinan Indonesia untuk mencapai target 23 persen EBT
sebelum 2025. Kecuali dibuat kebijakan baru yang menciptakan kemauan yang lebih
besar untuk menumbuhkan energi terbarukan. Banyak pihak mengemukakan

13
kekhawatiran kebijakan saat ini tidak menyediakan insentif yang cukup untuk
menumbuhkan energi terbarukan. Jika regulasi investasi dipermudah maka akan
menarik investor baru yang akan menjadi langkah pertama untuk melesatkan
pembangunan energi terbarukan di Indonesia (republika.co.id, 2018).
Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dinilai belum kondusif hingga
saat ini. Kendala pengembangan EBT tidak hanya soal harga namun juga pendanaan.
Aturan yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya sudah mendukung untuk
pengembangan EBT. Namun sampai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada
permasalahan daya beli masyarakat. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
bekerja sama dengan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM masih berusaha mencari
terobosan untuk dana-dana yang bisa digunakan untuk EBT (duniaenergi.com).
Pemerintah Indonesia terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement
melalui pelaksanaan berbagai kebijakan seputar Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kebijakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dalam mengontrol konsumsi energi
masyarakat, sehingga menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Direktur
Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan ESDM Wanhar
mengatakan, untuk mendukung pengembangan EBT dan untuk memenuhi
tercapainya Bauran Energi 23 persen sesuai dengan kebijakan energi nasional di
tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan. Terkait dengan
komitmen komposisi EBT untuk bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen,
Wanhar merinci target tersebut akan dipenuhi melalui PLTA 10,4 persen, dan PLTP
dan EBT lainnya sebesar 12,6 persen. Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero),
Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong
pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan
pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW. Peluang
pengembangan EBT di Indonesia masih terbuka lebar. Namun, pengembangan EBT
juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti Badan Perencanaan dan Pengembangan
(BPP) di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, sehingga harga
keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP. Beberapa daerah memiliki

14
install capacity yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB)
hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil. Sebaliknya, ada juga daerah yang
sulit menerima EBT karena alasan sudah terjadi over supply. Selain itu daerah yang
memiliki potensi energi yang baik relatif sedikit, namun dengan harga merujuk ke
BPP dirasa kurang menarik bagi pengembang. Di luar itu, biaya eksplorasi (PLTP)
terutama untuk drilling yang cukup besar ternyata, rasio tingkat keberhasilannya
kecil. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa Mulyana
memahami dilema yang dihadapi Pemerintah dalam upaya membangun kelistrikan
nasional berkualitas dengan harga terjangkau bagi masyarakat. Saat ini listrik yang
harganya terjangkau masih mengandalkan batubara. Sementara listrik yang tenaganya
menggunakan air ataupun energi panas bumi (geothermal) sebenarnya bisa
diandalkan, tetapi banyak kendalanya, dan pembangunannya juga membutuhkan
biaya besar. Solar cell dan angin sifatnya tidak berkesinambungan, dan bersifat
intermiten sehingga PLN harus tetap menyiapkan pembangkit lainnya, sehingga
memerlukan juga back up pembangkit lain sebagai power based. Dengan demiikian,
energi yang murah menjadi tidak murah karena harus didukung sistem pembangkit
lain. Alhasil, harga akhirnya juga tidak ketemu antara yang diinginkan pemerintah
dengan kondisi pasar. Sampai saat ini, pemerintah sudah menandatangani beberapa
komitmen terkait pengembangan EBT. Selain itu, untuk memenuhi kondisi
ketenagalistrikan nasional, pihak swasta juga terlibat didalamnya, seperti dalam
pengembangan EBT oleh pihak swasta 8.808 MW (66,6 persen) dari total kapasitas
13.232 MW yang akan dikembangkan. Dengan diterapkannya teknologi efisiensi
tinggi dan rendah emisi pada pembangkit listrik tersebut, maka konsumsi bahan bakar
fosil untuk menghasilkan listrik akan berkurang, sehingga berdampak mengurangi
efek gas rumah kaca, emisi gas buang, dan pencemaran lingkungan hidup. Di
samping itu secara ekonomis, maka penurunan penggunaan bahan bakar fosil akan
menghemat APBN. Selain penerapan teknologi efisiensi tinggi dan rendah emisi,
pihak swasta juga menerapkan berbagai kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas
rumah kaca, contohnya menerapkan kebijakan konservasi energi dan manajemen

15
energi di gedung pembangkit listrik. Dalam rangka mengurangi PS (pemakaian
sendiri) energi listrik, maka pembangkit listrik menggunakan sumber EBT seperti
PLTS sebagai sumber energi listrik. Dalam rangka menurunkan emisi non GRK dari
kegiatan pembangkit listrik khususnya batubara, pembangkit listrik yang dimiliki
oleh pihak swasta juga telah memasang teknologi pengendalian pencemaran udara
(PPU), seperti beberapa unit pembangkit telah memasang Flue Gas Desulphurization
(FGD) untuk menurunkan kandungan sulfur pada gas buang, dan hampir semua
PLTU telah dilengkapi Low NOx Burner. Indonesia sebagai salah satu Negara
pendiri ASEAN, juga aktif dalam kerjasama energi ASEAN. Melalui forum
Renewable Energi Sub-Sector Network (RE-SSN) dan dipandu dokumen ASEAN
Plan of Action on Energi Cooperation (APAEC) 2016-2025, Fase I (2016-2020), juga
dalam pertemuan ASEAN Minister Meeting on Energi (AMEM) telah dilaporkan
capaian target RE Indonesia tersebut hingga mid-term review tahun 2018 adalah
sebesar 12,4 persen (merdeka.com, 2019).

16
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

a. Kondisi atau keadaan energi saat ini mengajarkan kepada kita bahwa usaha
serius dan sistematis untuk mengembangkan danmenerapkan sumber enegi
baru dan terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil perlu segera dilakukan.
b. Penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan juga
berarti menyelamatkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang
timbul akibat penggunaan BBM.
c. Terdapat beberapa sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan
yang bisa diterapkan segera di Indonesia, seperti biodiesel, bioetanol, tenaga
surya, tenaga panas bumi, mikro hydro, dan tenaga angin.
d. Kerjasama pemerintah, kementerian terkait, dan lapisan masyarakat sangat
diperlukan agar di masa depan, Indonesia bisa mewujudkan penggunaan
energi baru dan terbarukan dengan dibersamai pertumbuhan ekonomi dengan
sumber energi baru dan terbaruakan sebagai pilar terbesar.

3.2 Saran

Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat guna
mewujudkan Indonesia yang ramah lingkungan yang berimplemetasi pada
penggunaan energi baru dan terbarukan, serta dibersamai dengan bertumbuhnya
ekonomi nasional yang berbasis sumber daya energi terbaru dan terbarukan.

17
18
DaftarPustaka

Bodiono, Chayun. Tantangan dan Peluang Usaha Pengembangan Sistem Energi


Terbarukan di Indonesia.2005. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Heriansyah, Ika. Potensi Pengembangan Energi dari Biomassa Hutan di Indonesia,


ISSN : 0917-8376 Edisi Vol. 5/ XVII/November 2015 – INOVASI.

https://finance.detik.com/energi/d-4012214/ini-sebaran-pembangkit-listrik-panas-
bumi-di-indonesia diakses pada hari Sabtu, 24 Agustus 2019 pukul 16.05 WIB

https://geothermalindonesia.com/2017/02/18/8-macam-energi-terbarukan-di-
indonesia/ diakses pada hari Sabtu, 24 Agustus 2019 pukul 17.50 WIB

https://id.wikipedia.org/wiki/Energi_terbarukan diakses pada hari Sabtu, 24 Agustus


2019 pukul 18.15 WIB

https://swa.co.id/swa/business-strategy/potensi-energi-terbarukan-indonesia-perlu-
dioptimalkan diakses pada hari Sabtu, 24 Agustus 2019 pukul 16.15 WIB

https://finance.detik.com/energi/d-4665717/energi-baru-terbarukan-belum-bisa-100-
di-ri-ini-penyebabnya diakses pada hari Selasa, 10 September 2019 pukul 17.00 WIB

https://www.liputan6.com/bisnis/read/2422779/pengembangan-energi-terbarukan-
belum-optimal diakses pada hari Selasa, 10 September 2019 pukul 17.10 WIB

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/migas/18/04/03/p6m370416-hambatan-
pengembangan-ebt-di-indonesia diakses pada hari Selasa, 10 September 2019 pukul
17.15 WIB

https://www.dunia-energi.com/harga-jual-listrik-dan-pendanaan-kendala-utama-
pengembang-ebt/ diakses pada hari Selasa, 10 September 2019 pukul 17.20 WIB

19
https://www.merdeka.com/uang/hambatan-indonesia-wujudkan-target-energi-
terbarukan-23-persen-di-2025.html diakses pada hari Selasa, 10 September 2019
pukul 17.25 WIB

20

Anda mungkin juga menyukai