Anda di halaman 1dari 4

Kasus First Travel: Sudut Pandang Akuntansi dan Audit

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015, setiap penyelenggaraan


perjalanan ibadah umrah oleh biro perjalanan wisata wajib mendapatkan izin operasional
sebagai PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah). Izin operasional sebagai PPIU
diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah biro memenuhi beberapa
persyaratan, salah satunya adalah memiliki laporan keuangan perusahaan yang sehat 1 (satu)
tahun terakhir dan telah diaudit akuntan publik yang terdaftar dengan opini minimal Wajar
Dengan Pengecualian (WDP). Izin operasional tersebut berlaku untuk jangka waktu 3 tahun
dan dapat diperpanjang.

Melalui peraturan tersebut, secara umum Kementerian Agama ‘tampaknya’ sudah


melakukan perannya sebagai regulator yang bertugas melindungi kepentingan masyarakat
umum, dalam hal ini para jamaah umrah yang menggunakan jasa biro perjalanan. Biro yang
mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin operasional diharuskan untuk memiliki
laporan keuangan yang sehat. Tidak hanya sekedar laporan keuangan, Kementerian Agama
mensyaratkan laporan keuangan tersebut harus dalam keadaan sehat. Namun laporan
keuangan yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sehat? Dalam akuntansi, dikenal istilah
analisis laporan keuangan. Dengan menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan, kita
dapat mengetahui apakah perusahaan tersebut memiliki masalah keuangan seperti masalah
likuiditas, laba yang menurun, pendapatan yang berkurang dari tahun sebelumnya, dan bisa
juga masalah keberlangsungan usaha.

Berkaitan dengan kasus biro perjalanan umrah First Travel, saya akan mencoba
memaparkan bagian penting dari laporan keuangan suatu biro perjalanan. Dalam praktik jasa
biro perjalanan, pelanggan biasanya diharuskan untuk melakukan pembayaran uang muka
terlebih dahulu agar biro perjalanan dapat memastikan dan memasukkan pelanggan ke dalam
kuota daftar keberangkatan. Dari segi pencatatan akuntansi biro perjalanan, uang muka
tersebut dicatat sebagai liabilitas (kewajiban), biasanya dalam akun Pendapatan Diterima di
Muka. Alasannya, uang tersebut sebenarnya belum direalisasikan menjadi pendapatan karena
biro perjalanan belum menuntaskan kewajibannya yakni memberangkatkan para calon
jamaahnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui stabilitas keuangan suatu biro perjalanan,
analisis yang dapat dilakukan adalah melihat tingkat likuiditasnya. Salah satu hal yang bisa
dilakukan adalah menghitung rasio lancar (current ratio), yakni mengukur kemampuan
perusahaan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aset
lancarnya (misalnya Kas dan Piutang). Caranya adalah dengan membandingkan aset lancar
dengan liabilitas jangka pendek (termasuk Pendapatan Diterima di Muka). Contohnya,
perusahaan memiliki aset lancar sebesar Rp 1.500.000 dengan liabilitas jangka pendek sebesar
Rp 1.000.000, maka rasionya adalah 1,5. Dengan angka rasio 1,5, perusahaan bisa dikatakan
cukup sehat karena perusahaan dapat melunasi hutang-hutangnya yang akan jatuh tempo
dalam waktu dekat dengan menggunakan aset lancarnya. Dalam kasus ini, biro perjalanan
yang memiliki rasio likuiditas 1,5 memiliki aset lancar yang cukup untuk melunasi hutangnya
yakni memberangkatkan para jamaah umrah yang telah menyetor uang muka sebelumnya.

Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, ketika meninjau laporan keuangan biro
perjalanan, idealnya yang harus diperhatikan adalah tingkat likuiditas laporan keuangan. Ini
merupakan hal yang sangat penting karena likuiditas mencerminkan kemampuan perusahaan
untuk memberangkatkan para jamaahnya. Risiko utama yang dihadapi para jamaah adalah
perusahaan gagal memberangkatkan mereka dan perusahaan tidak bisa mengembalikan uang
yang sudah disetor jamaah. Oleh karenanya Kementerian Agama seharusnya tidak boleh
mengeluarkan izin operasional kepada biro perjalanan yang memiliki tingkat likuiditas yang
buruk.

Biro perjalanan yang memiliki masalah likuiditas berarti mengalami masalah


keberlangsungan usaha pula. Jika biro gagal memberangkatkan jamaah umrah yang sudah
membayar, maka hal ini tentu akan berdampak pada nama baik biro di masa mendatang
sehingga dapat menurunkan jumlah pendapatannya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator dengan tujuan melindungi kepentingan


masyarakat umum, Kementerian Agama dalam hal ini menghadapi risiko informasi. Risiko
yang dimaksud adalah kemungkinan adanya kesalahan informasi dari laporan keuangan biro
perjalanan. Mengapa risiko ini ada? Karena laporan keuangan dibuat oleh biro perjalanan itu
sendiri. Oleh karenanya, biro perjalanan bisa saja menyembunyikan keburukannya dan
menuliskan informasi yang keliru di dalam laporan keuangannya. Karena keberadaan risiko
inilah Kementerian Agama mensyaratkan laporan keuangan keuangan yang telah diaudit
akuntan publik.

Peran auditor adalah meminimalisir risiko informasi yang dihadapi pengguna laporan
keuangan. Auditor sebagai pihak independen idealnya tidak memiliki kepentingan dengan
perusahaan yang diaudit maupun dengan pihak pengguna laporan. Audit bertujuan
memastikan laporan keuangan bebas dari salah saji material, sehingga meningkatkan
kredibilitas dan keandalan dari laporan keuangan tersebut. Auditor juga melaporkan
permasalahan-permasalahan material yang sedang dihadapi perusahaan jika memang
perusahaan sedang mengalaminya. Dengan laporan keuangan yang sudah diaudit,
Kementerian Agama dapat mengandalkan informasi yang tertuang di dalam laporan keuangan
tersebut dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan informasi tersebut.

Namun yang perlu ditekankan adalah, tugas auditor bukan memberikan pernyataan
mengenai keadaan keuangan suatu perusahaan yang diaudit, apakah sehat atau tidak sehat,
melainkan hanya memberikan jasa asurans mengenai laporan keuangan yang dibuat oleh
pihak manajemen, agar para pengguna laporan keuangan dapat mengandalkan informasi yang
tertera di dalamnya. Jadi, untuk menentukan keadaan keuangan suatu biro perjalanan dalam
keadaan sehat atau tidak tetap menjadi tugas Kementerian Agama.

Dalam kasus First Travel, terdapat fakta yang sangat mengejutkan, berdasarkan
kutipan berita dari situs kriminalitas.com tanggal 22 Agustus 2017, pengacara korban
penipuan First Travel, Aldwin Rahadian, mempertanyakan izin operasional First Travel yang
dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Kenyataannya adalah laporan keuangan dari First
Travel belum masuk ke Kementerian Agama. Jika laporan keuangan First Travel belum
diserahkan ke Kementerian Agama, bagaimana bisa Kementerian Agama mengeluarkan izin
operasional First Travel? Jawabannya juga tidak kalah mengejutkan. Seperti yang dikutip dari
berita www.tribunnews.com tanggal 29 Agustus 2017, pihak Kemenag mengaku sudah
memeriksa berbagai persyaratan yang dibutuhkan. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama,
Nur Syam, menyebutkan bahwa berbagai persyaratan yang dibutuhkan bisa dipenuhi First
Travel, termasuk laporan keuangan tahunan. Dia mengatakan "Laporan keuangan setahun
terakhir (sebelum perpanjangan izin) dari akuntan publik, ada laporan yang menyatakan
bahwa keuangan First Travel dinilai dengan catatan wajar dengan pengecualian." Akuntan
publik mana yang mengeluarkan hasil audit untuk perusahaan yang saat ini tengah berkasus
tersebut, Sekjen Kemenag mengaku lupa.

Berdasarkan fakta yang terdapat dalam kedua berita tersebut, saya menyimpulkan
bahwa pada tahun 2016, First Travel mengurus izin operasional dan First travel dianggap
sudah bisa memenuhi persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam peraturan, termasuk
peraturan mengenai laporan keuangan tahunan. Namun sebenarnya Kementerian Agama tidak
menerima laporan keuangan First Travel, melainkan hanya menerima laporan audit dari
auditor First Travel yang menyatakan bahwa laporan keuangan First Travel mendapatkan
opini Wajar Dengan Pengecualian. Kemudian berdasarkan laporan audit dengan opininya
tersebut, Kementerian Agama merasa bahwa First Travel sudah memenuhi syarat yang
ditentukan. Di sinilah letak kesalahannya. Peraturan tersebut seolah-olah menyatakan bahwa
jika suatu biro perjalanan telah mendapatkan minimal opini Wajar Dengan Pengecualian,
maka dengan asumsi syarat lain juga terpenuhi, biro perjalanan tersebut bisa diberikan izin
operasional untuk 3 tahun ke depannya.

Seperti yang tertera dalam ISA 200 alinea 3, opini auditor tidak memberikan
keyakinan atas, sebagai contoh, kelangsungan hidup entitas di masa depan maupun efisiensi
atau efektivitas manajemen dalam melaksanakan kegiatan entitas. Kementerian Agama
sepertinya keliru dalam memaknai peraturannya sendiri dan menganggap opini dari auditor
sudah cukup untuk memastikan kesehatan keuangan dan keberlangsungan usaha First Travel,
padahal Kementerian Agama seharusnya melihat dan menilai sendiri laporan keuangan First
Travel. Dengan opini Wajar Dengan Pengecualian yang didapatkan First Travel, Kementerian
Agama seharusnya menelusuri bagian yang dikecualikan oleh auditor, yakni hal-hal yang
membuat auditor menganggap adanya suatu permasalahan dalam laporan keuangan First
Travel.

Anda mungkin juga menyukai