Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Indah Komalasari
1111013000063
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur kepada Allah Swt Tuhan semesta alam, yang telah
melimpahkan rahmat dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya, kita
semua selaku pengikutnya yang diharapkan selalu mendapat safaatnya di dunia
maupun di akhirat.
Skripsi yang penulis buat sesungguhnya tidak luput dari kesalahan, masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki,
namun berkat semangat, dorongan, dan motivasi dan bantuan dari orang-orang
terdekat dan banyak pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan.
Selama pembuatan dan penyusunan skripsi ini banyak pihak yang
membantu dan memberikan bantuan. Oleh karena itu penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia;
3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang sudah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, sabar dalam
membimbing dan memberikan solusi atas kebingungan penulis selama
mengerjakan skripsi ini, serta sabar memberikan saran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas
pengetahuan, arahan, dan motivasi Ibu selama ini;
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
penulis;
5. Keluarga tercinta yaitu Alm. H. M. Koharuddin, SH. M. Si. dan Dra.
Hj. Iceu Aisah, M. Pd, Idham Kholid Ramadhan, SH, dan M. Iqbal
iii
Komara yang telah memberikan doa tiada henti demi kebaikan penulis,
kasih sayang, bimbingan, nasihat, motivasi, semangat, dan dukungan
moril bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
6. Indra Dwi Prasetyo, teman-teman seperjuangan PBSI B angkatan
2011, dan sahabat seperjuangan QURSI (Mariya Qibtia, Ulfa
Rahmatania, Rahma Rahayu Mustika, dan Shely Eplianty) yang sejak
awal perkuliahan menjadi teman berbagi baik suka maupun duka,
selalu menghadirkan keceriaan, memberikan bantuan, perhatian,
motivasi, semangat, dan doa selama ini;
7. Teman-teman seperjuangan mahasiswa PPKT di SMA Negeri 5 Kota
Tangerang Selatan yaitu; Wurry Aprianty, Siti Rodliyatun, Dewi
Agustina, Gita Mayanti, Kintatia Widiya Sari, Ratna Endah Sugiarti,
Ade Maulina, dan Rahmi Utami. Terimakasih atas semangat,
kebersamaan, kerjasama, dan bantuan yang sama-sama kita berikan
untuk satu sama lain dalam pelaksanaan Praktek Profesi Keguruan
Terpadu.
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan atas doa dan
kebaikan kalian semua. Kepada semua pihak, penulis mengharapkan kritik dan
saran guna membangun perbaikan skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi,
perbaikan diri menjadi insan kamil yang mampu untuk mengemban amanah
dalam menjalani kehidupan ini. Dengan adanya skripsi ini, penulis juga berharap
dapat memberikan manfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
H. Penelitian yang Relevan ....................................................................... 31
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender),
(Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 35-36.
2
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 18-19.
3
Kuntowijoyo, “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Harian Kompas,
Jakarta, 29 Oktober 1999, h. 4.
4
Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal
Imaji. h. 1-2.
1
2
5
Kuntowijoyo, “Mencari Budaya Politik Alternatif”, Harian Kompas, Jakarta, 5
Desember 1995, h. 4.
6
Kusmarwanti, “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel-Novel
Karya Kuntowijoyo”, Litera, Vol. 14, 2015, h. 148-149.
7
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), sampul halaman
belakang.
3
8
Kusmarwanti, op. cit., h. 149.
9
Nurhadi dan Dian Swandayani, Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar
Karya Kuntowijoyo, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files diunduh pada hari Senin, 7-3-2016. h.
2.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut:
1. Kurangnya keterlibatan lembaga sosial-politik secara langsung dalam
mengatasi berbagai potensi konflik di sejumlah daerah.
2. Kurangnya sikap dan nilai-nilai positif yang dapat diambil dari
terjadinya konflik sosial.
3. Kurangnya pembahasan mengenai konflik sosial yang diimplikasikan
pada pembelajaran sastra di SMA/MA.
5
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan agar ruang lingkup penelitian tidak
kabur sehingga ruang lingkup penelitian menjadi jelas dan terarah. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah fokus kepada “Pengaruh
konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo”.
D. Rumusan Masalah
Agar penelitian lebih jelas dan terarah maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo?
2. Bagaimana implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia
di SMA/MA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra
Indonesia di SMA/MA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang
mencakup aspek teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan
meningkatkan pengetahuan serta wawasan yang berkaitan dengan
sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah.
6
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,
data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.10 Hanya saja
penelitian sastra bersifat deskriptif, karena itu metodenya juga
digolongkan ke dalam metode deskriptif. Dalam hal ini, Nawawi dalam
Siswantoro menjelaskan metode deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita
pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
atau sebagaimana adanya.11
Penulis menggunakan novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo sebagai data alamiah dengan metode kualitatif deskriptif.
Penelitian ini menekankan pada analisis dan hasil analisisnya dalam
bentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisian tentang
10
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 47.
11
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 56.
7
2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini yaitu naskah novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo dengan mengkaji “Konflik Sosial dalam Novel
Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada
Pembelajaran Sastra di SMA/MA”.
b. Sumber Data
Sumber dalam pengumpulan data dapat menggunakan sumber data
primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber Data Primer
Data primer adalah data utama, yaitu data yang diseleksi
atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara.
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang
diproses secara langsung dari sumbernya tanpa lewat
12
Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 106.
8
13
Siswantoro, op. cit., h. 70-71.
9
14
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),
h. 11.
10
1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h. 285.
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013), h. 180.
11
12
3
Ibid., h. 181-182.
13
karena itu, sastrawan dituntut untuk tidak hanya terfokus pada masalah
gaya dan teknik penulisan saja, tetapi harus memperhatikan pula persoalan
mengenai konflik dan cara mengatasinya. Hal tersebut juga dapat
menjadikan sastra sebagai alat untuk mencapai perubahan sikap dalam
masyarakat.
4
M. Harun Alrasyid, “Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik Sosial”, Jurnal
Madani, 2005, h. 5.
5
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, Jurnal Madani, 2005, h. 3.
6
M. Harun Alrasyid. loc. cit.
14
7
M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa
Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), h. 2.
8
Parsudi Suparlan, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, Jurnal Antropologi
Indonesia, Vol. 30, 2006, h. 145-146.
15
9
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 150.
10
Anton Van Harskamp, Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, (Yogyakarta: KANISIUS
(Anggota IKAPI), h. 5.
11
Suaidi Asy’ari, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, (Jakarta: Indonesian-
Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 2003), h. 31.
16
12
Choirul Fuad Yusuf, Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah di
Indonesia 1997-2005, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2013), h. 2-3.
13
Dadang Sudiadi, “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang Majemuk:
Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan di Indonesia”,
Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 5, 2009, h. 34-35.
17
14
Moh. Roqib, op. cit., h. 5.
15
Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 97.
18
16
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 68-69.
19
17
Thomas, dkk, “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo
Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten
Sanggau”, Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015, h. 4.
18
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), h. 361-362.
20
D. Hakikat Novel
Tarigan (dalam Antilan) mengemukakan bahwa kata novel berasal
dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang
berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis
sastra lainnya seperti puisi dan drama.21 Wahyudi Siswanto
mengemukakan novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek
19
Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.
33.
20
Dewi Fortuna, dkk, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik,
dan Kebijakan di Asia-Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 4.
21
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 62.
21
22
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 141.
23
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283.
24
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14.
22
pandang (sudut pandang), dan amanat.25 Berikut ini akan diuraikan secara
singkat, yakni:
1. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara makna
dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.26 Tema
pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara
singkat dikatakan sebagai makna cerita.27 Sama seperti makna
pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek
kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang
melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,
mengerucut, dan berdampak.28 Makna cerita dalam sebuah karya fiksi,
mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu
interpretasi.
Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk menentukan
tema pokok cerita atau tema mayor. Tema mayor merupakan makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum.
Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan
aktivitas mengidentifikasi, memilih, mempertimbangkan, dan menilai
di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya
yang bersangkutan. Tema minor merupakan makna pokok cerita yang
tersirat dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan
cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna
tambahan.29
25
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 142.
26
Ibid., h. 161.
27
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133.
28
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 41.
29
Burhan Nurgiyantoro. loc. cit.
23
30
Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 43-44.
31
Melani Budianta, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 86.
32
Atmazaki, Ilmu Sastra (Teori dan Terapan), (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 62.
24
3. Alur (plot)
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan
saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah
klimaks dan selesaian.34 Peristiwa-peristiwa yang menjalinnya ada
yang penting untuk jalannya cerita dan ada yang tidak penting, namun
saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu menarik.35 Pengertian alur
dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa
alur adalah urutan kejadian yang dijalin dengan saksama
menghubungkan sebab-akibat dari setiap peristiwa serta
menggerakkan jalannya cerita.
33
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
34
Sugihastuti, Teori dan Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36.
35
Melani Budianta, op. cit., h. 87.
25
36
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
26
4. Latar Cerita
Latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu,
menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu sejarah, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.37 Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor
seperti cafe di Paris ataupun berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.38 Latar sebagai
tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa-
peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam
dan antar tokoh.39
Bila dijabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi
geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan,
bahkan detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh
sehari-hari; 3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk
periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan
religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.40
Unsur latar dalam Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat,
latar waktu, dan sosial.41
a. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling
37
Ibid., h. 302.
38
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 35.
39
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113.
40
Pujiharto, op. cit., h. 48.
41
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322.
27
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dapat diartikan sebagai cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.43 Sudut
pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan.
Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.44
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut
pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan
Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan
berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang,
42
Ibid., h. 303.
43
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152.
44
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 338.
28
45
Ibid., h. 347-359.
29
46
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), h. 1.
47
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), h. 4.
48
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS,
2011), h. 2.
49
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 1.
30
G. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra dapat diterapkan disemua jenjang pendidikan
formal mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi yang tentunya
harus disesuaikan dengan kompetensi teori sastra yang hendak dicapai.
Peserta didik yang sudah berada di jenjang sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas dituntut harus menguasai dan menghafal teori
sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba
50
Ibid., h. 3.
51
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 109.
52
Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 25.
31
53
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 168.
54
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 30.
55
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,1988), h. 66.
56
Muslimin, “Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”,
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya, Vol. 1, 2011, h. 2.
32
banyak ditemukan dalam bentuk skripsi dan jurnal, namun dengan topik
pembahasan yang berbeda-beda. Berikut beberapa penelitian relevan
tersebut di antaranya: penelitian yang berbentuk skripsi dilakukan oleh
Giyato (2010) mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
“Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak
Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai
Pendidikan)”. Penelitian ini memaparkan bahwa pertama, pandangan
dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi
misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan
moral; kedua, struktur sosial budaya masyarakat meliputi religiusitas, seni
budaya, mitos, perilaku dan kesenangan, penggunaan bahasa, prinsip
hidup, interaksi sosial, pewarisan kepemimpinan, dan penyampaian kritik
masyarakat Jawa; ketiga, nilai pendidikan meliputi nilai pendidikan
agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.57
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muharrina Harahap (2009)
mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara Medan
dengan judul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”.
Penelitian ini, meneliti tentang mitologi Jawa dalam tiga novel karya
Kuntowijoyo, yaitu Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan
Satinah. Di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa ketiga novel
tersebut menunjukkan adanya unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya
Jawa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pada akhirnya
bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa.58
Selain itu, ditemukan hasil penelitian terhadap karya sastra yang
sama dalam bentuk jurnal yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri Parini
mahasiswa UMS dengan judul “Aspek Religiusitas Novel Mantra
57
Giyato, Skripsi berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra
Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”,
2010, h. i.
58
Muharrina Harahap, Skripsi berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel
Kuntowijoyo”, 2009.
33
59
Sri Parini, Jurnal berjudul “Aspek Religiusitas Novel Mantra Penjinak Ular Karya
Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”, Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol. 15, 2014, h. 55.
60
Kusmarwanti, op. cit., h. 148.
34
61
Anwar Efendi, Jurnal berjudul “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya
Kuntowijoyo”, Jurnal Pendidikan Karakter, 2013, h. 331.
BAB III
PROFIL KUNTOWIJOYO
A. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir pada 18 September 1943 di Sorobayan, Bantul,
Yogyakarta, sejak kecil Kunto lebih banyak tumbuh di antara alam
pedesaan Klaten, bersama embahnya, seorang Demang di wilayah
Ngawonggo.1 Kuntowijoyo merupakan anak kedua dari sembilan
bersaudara yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dalam
lingkungan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi
pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Kunto berasal dari struktur
priayi, karena kakeknya pernah menjabat sebagai lurah. Sebagai seorang
sejarawan, Kunto sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kecintaan
Kunto terhadap ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan
sejarah, telah banyak mengajarkan pentingnya sifat arif dan bijaksana.
Kedua sifat ini diimplementasikan Kunto dalam kehidupan sehari-hari.2
Kuntowijoyo adalah sosok sejarahwan, budayawan, dan sastrawan
yang langka. Ia sekolah di SD Negeri Klaten (1956), SMP Negeri Klaten
(1959), dan SMA Negeri Solo (1962). Menyelesaikan sarjananya di
Fakultas Sastra jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun
1969.3 Setamat kuliah pada tahun 1969, Kunto yang sudah dikenal sebagai
penulis muda berbakat, menjadi dosen di almamaternya, UGM. Pada tahun
yang sama, Kunto menikahi Susilaningsih, yang kemudian memberinya
dua orang putra, Punang dan Alun. Di tahun 1973, kesempatan Kunto
untuk memperdalam ilmu sejarah, akhirnya membawa Kunto ke Amerika.
Selama 6 tahun berturut-turut, Kunto berhasil menyelesaikan masternya di
University of Connecticut, kemudian melanjutkan ke Columbia University
1
Waryani Fajar Riyanto, “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia Kuntowijoyo
(1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”, Politik Profetik, Vol. 2, 2013, h. 2.
2
M. Sirajudin Fikri, “Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo (Studi
Pada Sejarah Peradaban Islam)”, Wardah, 2015, h. 95.
3
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.
35
36
B. Karya Kuntowijoyo
Kuntowijoyo disebut sebagai pengarang besar karena telah menulis
berbagai ragam karya sastra. Karyanya yang berupa novel ialah Kereta Api
yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar (1972), Khotbah di Atas Bukit
4
Waryani Fajar Riyanto, op. cit., h. 2.
5
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.
6
Adib Sofia, Kritik Sastra Feminis “Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo”,
(Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h. 2.
7
Arief Fauzi Marzuki. loc. cit.
37
(1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003),
sedangkan Impian Amerika (1998) merupakan karyanya yang berlabel
sebuah novel, tetapi berisi sejenis cerita berbingkai.
Selain itu, karyanya yang berupa puisi telah terkumpul dalam
kumpulan puisi Suluk Awang-uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat
Daun, Daun Makrifat (1995). Sementara itu, Rumput-rumput Danau Bento
(1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda (1973), Carta (1973)
dan Topeng Kayu (2001) adalah karyanya yang berupa drama, dan
Mengusir Matahari; Fabel-fabel Politik (1999) adalah karyanya yang
berupa fabel. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993) serta Hampir
Sebuah Subversi (1999) adalah dua kumpulan cerita pendeknya. Selain
karya-karya di atas, terdapat pula beberapa cerita pendek yang terbit
bersama penulis lain dan cerita pendek yang tersebar di berbagai media
massa.
Kepakaran Kuntowijoyo di berbagai bidang tersebut dibuktikan
dengan berbagai penghargaan yang telah diraihnya, antara lain:
penghargaan pertama Majalah Horison untuk cerpen Dilarang Mencintai
Bunga-bunga (1968), dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta
untuk drama Rumput-rumput Danau Bento (1968) untuk drama Topeng
Kayu (1973). Selain itu, ia juga mendapatkan Hadiah Seni dari Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulis Sastra Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994), Penghargaan Kebudayaan
ICMI (1995), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Satya
Lancana Kebudayaan Republik Indonesia (1997), Mizan Award (1998),
Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Tekonologi Sastra dari
Menristek (1999), Anugerah Penghargaan Sastra 1999 dari Pusat Bahasa
di Rawamangun, SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1999),
Penghargaan Majelis Sastera Asia Tenggara (2001), dan Anugerah
38
C. Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo merupakan salah satu sastrawan yang menggagas
prinsip penulisan sastra profetik. Bukan hanya sastra profetik yang ia
gagas, tetapi juga ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi,
liberasi, dan transendensi. Dengan adanya gagasan tersebut manusia dan
masyarakat Islam sudah seharusnya melakukan berbagai aksi kemanusiaan
dan kemasyarakatan sehingga mampu memberikan usahanya untuk
melakukan perubahan dan perkembangan bagi kemajuan manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh M. Dawam Raharjo dan M. Syafii Anwar,
benang merah pemikiran Kuntowijoyo amat jelas. Ia adalah ilmuwan
sosial Muslim yang pertama kali mengetengahkan perlunya “ilmu sosial
profetik” (ISP) berdasarkan pandangan dunia Islam. pokoknya ada dua
hal. Pertama, transformasi sosial dan perubahan. Kedua, menjadikan Al-
Quran sebagai paradigma.11
8
Adib Sofia, op. cit., h. 3.
9
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.
10
M. Sirajudin Fikri, op. cit., h. 96.
11
Arief Fauzi Marzuki. loc. cit.
39
12
M. Khomsin, op. cit., h. 27.
40
13
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h.
288-289.
14
Halim Ambiya, op. cit., h. 12.
15
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 68-69.
41
16
M. Khomsin, op. cit., h. 27.
17
Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2.
18
M. Khomsin. loc. cit.
42
19
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular,
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/MantraPenjinakUlar-KTW diunduh
Kamis, 10-3-2016.
20
Kusmarwanti, op. cit., h. 149.
21
Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133.
2
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257.
3
Ibid., h. 270.
43
44
4
Ibid., h. 271.
45
sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat
mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari
komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan
mengerjakan hal kedua itu”5
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada
yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya,
menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya.
Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi
air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang
kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan
mengingkari tugasnya sebagai seni.6
5
Ibid., h. 153.
6
Ibid., h. 170.
7
Kuntowijoyo, op. cit., h. 4.
46
8
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
47
9
Atmazaki, op. cit., h. 62.
10
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
48
11
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1-2.
12
Ibid., h. 5.
13
Ibid., h. 2.
14
Ibid., h. 7.
15
Ibid., h. 3.
49
Kakek dan nenek Abu yang tergolong kaya sangat berharap suatu
hari nanti cucunya akan menjadi seorang priayi yang dapat
mengetahui dan melestarikan kesenian Jawa khususnya dunia
wayang dan dalang. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Pada hari Minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu
akan diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya
adalah Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka
Loro) dan mengaji di masjid dahulu yang mempunyai
seperangkat gamelan dan satu set wayang. Selain menjadi
dalang, dia juga bekerja sebagai pegawai kesenian-sungguh
seorang priayi tulen menurut gambaran kakek itu. Di sana Abu
kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan
gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang,
melihat orang menatah wayang, mendengarkan gamelan
ditabuh.16
16
Ibid., h. 12.
17
Ibid., h. 12-13.
50
18
Ibid., h. 14.
19
Ibid., h. 16.
20
Ibid., h. 32.
21
Ibid., h. 30.
22
Ibid., h. 58.
51
23
Ibid., h. 17-18.
24
Ibid., h. 150.
25
Ibid., h. 162-163.
52
26
Ibid., h. 242.
53
27
Ibid., h. 125.
28
Ibid., h. 121.
29
Ibid., h. 120-121.
54
30
Ibid., h. 121.
31
Ibid., h. 223.
55
32
Ibid., h. 137.
33
Ibid., h. 167.
34
Ibid., h. 268.
56
35
Ibid., h. 172.
57
36
Ibid., h. 173.
37
Ibid., h. 11.
38
Ibid., h. 11.
58
5) Wartawan
Ciri fisik tokoh wartawan digambarkan secara analitik oleh
narator sebagai seorang yang masih muda. Ciri psikologis tokoh
wartawan juga dikatakan memiliki semangat yang tinggi. Seperti
dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia).
Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa
jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk
memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya
mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik
kepada siapa pun.39
Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada
konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini
sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan
kampanye tapi ditolaknya.40
39
Ibid., h. 104.
40
Ibid., h. 170.
59
6) Haji Syamsuddin
Ciri psikologis tokoh Haji Syamsuddin secara dramatik oleh
narator digambarkan sebagai seorang yang memiliki sifat baik. Hal
ini terbukti ketika ia diberikan kepercayaan oleh Abu untuk
menjaga rumahnya dengan baik. Seperti dapat terlihat dalam
kutipan di bawah ini:
Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan
lampu dan menutup jendela. Kunci pintu diserahkan Haji
Syamsuddin, dan bukan pada Lastri.41
41
Ibid., h. 167.
42
Ibid., h. 167.
60
7) Camat
Ciri fisik tokoh camat secara analitik, digambarkan oleh
narator melalui tokoh Abu sebagai sosok camat baru yang usianya
masih muda. Ciri sosiologis camat secara analitik digambarkan
oleh narator sebagai seorang yang berpendidikan lulusan di IIP
(Institut Ilmu Pemerintahan). Seperti pada kutipan di bawah ini:
Camat baru itu lulusan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), Jakarta.
Abu menilai camat baru adalah seorang profesional tulen [....]
Umurnya masih sangat muda dibanding camat lama, namun
jauh lebih bersemangat.43
43
Ibid., h. 83.
44
Ibid., h. 85.
45
Ibid., h. 30.
61
8) Ki Lebdocarito
Ciri sosiologis tokoh Ki Lebdocarito merupakan ayah angkat
Abu Kasan Sapari yang secara analitik digambarkan oleh narator
dalam dialog antara Ki Lebdo dengan orang tua Abu. Hal ini
terbukti ketika ia mendatangi keluarga Abu untuk meminta izin
untuk mengangkatnya sebagai anak. Seperti pada kutipan di bawah
ini:
Kalau Dimas mengizinkan biarlah saya membalas budi
almarhum dengan mengangkat nak Abu Kasan Sapari sebagai
anak.46
46
Ibid., h. 14.
47
Ibid., h. 16.
62
9) Ki Manut Sumarsono
Ciri sosiologis Ki Manut Sumarsono digambarkan secara
analitik oleh narator sebagai dalang senior yang disegani oleh
dalang-dalang lain yang berada di wilayahnya. Ia selalu kedatangan
dalang dari luar yang ingin mendalang di wilayahnya hanya untuk
meminta restu padanya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya
sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo
terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di
wilayahnya.50
48
Ibid., h. 235.
49
Ibid., h. 15.
50
Ibid., h. 233.
63
10) Polisi
Peranan polisi dalam novel ini hanya dalam lingkup
menegakkan hukum dan keadilan. Itu pula yang polisi terapkan
dalam menangani masyarakat yang terbukti melakukan tindakan
kriminal. Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh
narator dalam dialog kepala polisi dengan kepala bagian
penyelidikan sebagai seorang yang jujur dan bersikap netral tidak
memihak kepada Mesin Politik maupun Abu bertindak secara
objektif. Hal ini terbukti ketika polisi menangani kasus Abu yang
tidak terbukti bersalah. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan
Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan
tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau
demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.52
51
Ibid., h. 229.
52
Ibid., h. 175.
64
53
Ibid., h. 176.
54
Ibid., h. 211.
65
55
Ibid., h. 212-213.
56
Ibid., h. 20.
57
Ibid., h. 22.
66
b) Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh
protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik
ataupun batin.58 Berikut beberapa tokoh yang termasuk ke dalam
tokoh antagonis pada novel MPU karya Kuntowijoyo.
1) Mesin Politik
Pengarang menggolongkan tokoh Mesin Politik ke dalam
tokoh yang unik karena tidak berupa sosok seseorang. Pengarang
menggambarkan Mesin Politik sebagai perwujudan dari sikap,
perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok serta memiliki
peran yang dapat mewakili individu maupun kelompok tertentu
dengan membawa tindakan dan pemikiran dari sistem komunitas
tersebut.
Secara analitik, pengarang memunculkan ciri sosiologis
penokohan Mesin Politik yang dapat digambarkan berupa Randu,
fungsionaris Mesin Politik ataupun sistem komunitas itu sendiri.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di
kecamatannya.59
Seorang fungsionaris Mesin Politik bagian kesenian Dati II
Karangmojo diantar fungsionaris dari Tegalpandan
mengunjunginya.60
Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik itu
lalu mengatakan, “Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah
Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo.”61
58
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
59
Kuntowijoyo, op. cit., h. 99.
60
Ibid., h. 156.
61
Ibid., h. 162.
67
62
Ibid., h. 152.
63
Ibid., h. 101.
68
2) Polisi
Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh
narator dalam dialog antara polisi dengan Abu dan polisi dengan
Kismo Kengser sebagai sosok yang memiliki sikap semena-mena
dalam menangkap orang yang belum terbukti melakukan
kesalahan. Hal ini terbukti ketika ia menyeret Abu dan Kismo
Kengser ke penjara. Seperti pada kutipan berikut ini:
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang.
“Boleh-boleh, silakan, kata Abu.”66
64
Ibid., h. 162-163.
65
Ibid., h. 174.
66
Ibid., h. 165.
69
3. Alur
Alur dalam novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan alur
yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai dengan kronologi
termasuk ke dalam alur campuran yang waktu terjadinya peristiwa tidak
selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa kilas balik yang bersifat
flashback (mundur). Jika dilihat dari segi kriteria kepadatan cerita, novel
MPU dapat dikategorikan sebagai novel dengan plot longgar, yakni
peristiwa bawahan, peristiwa kenangan, dan peristiwa pelambatan.
Dilihat dari segi kriteria jumlah, novel MPU dapat dikategorikan sebagai
novel dengan plot tunggal, yakni perjalanan hidup tokoh utama lengkap
dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya dalam kurun waktu
26 tahun yang dikisahkan dalam 17 bab.
Latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo yaitu pada tahun 1997, sebelum Reformasi, saat situasi
politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-
pedesaan. Alur dalam novel MPU berbasis pada peristiwa-peristiwa batin
Abu ketika dihadapkan pada berbagai konflik yaitu konflik dengan diri
sendiri, orang lain, dan masyarakat. Tahapan alur tersebut akan
67
Ibid., h. 214.
70
Tahap Penyituasian:
Bab 1
Tahap Pemunculan Konflik:
Bab 2-8
Skema Tahap Peningkatan Konflik:
Tahapan Alur Bab 9 dan 10
Tahapdch
Klimaks:
Bab 11
s n
Tahap Penyelesaian:
d Bab 12-17
a) Tahap Penyituasian
Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan
pemberian informasi awal yang berfungsi melandastumpui cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.68 Pada tahap situasi ini, dibuka
dengan memperkenalkan tokoh utama yang bernama Abu Kasan
Sapari dan tokoh-tokoh pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek-
nenek Abu, Ki Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin
Politik, wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki
Manut Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin.
Tahap situasi dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini
dimulai dari pembukaan yang ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah
Desa, Sebuah Mitos” dibuka dengan narator memperkenalkan tradisi
Jawa-Islam, latar tempat desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya,
latar rumah, ciri psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh-
tokoh cerita, dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa
68
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
71
69
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1.
70
Ibid., h. 2.
71
Ibid., h. 4.
72
Ibid., h. 3.
72
ayah dan ayah Abu memilih nama Abu Kasan Sapari yang mengacu
pada Abu (sahabat Nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu Nabi alias
Hasan), dan Sapari diambil dari bulan Jawa-Islam yaitu ‘sapar’ yang
tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Kutipan
di atas memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, tokoh kakek Abu dari
pihak ayah dan ayah Abu.
Namun, cerita beralih ke masa lalu desa Palar. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari
pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa
diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama
dengan juru kunci makam.73
73
Ibid., h. 4.
73
74
Ibid., h. 16.
75
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
74
76
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
77
Ibid., h. 22.
78
Ibid., h. 56.
75
79
Ibid., h. 149.
80
Ibid., h. 151-152.
76
81
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
77
82
Kuntowijoyo, op. cit., h. 134.
83
Ibid., h. 136.
78
84
Ibid., h. 162-163.
79
85
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
80
d) Tahap Klimaks
Tahap ini berisi konflik yang terjadi pada tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dalam cerita akan dialami
oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadi konflik utama.86 Tahap klimaks dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo ini, ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan
tentang Abu yang dituding melakukan tindakan subversif.
Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus
melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada bagian
ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena yang
dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.87
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu seperti sudah mengharapkan.88
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.89
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.90
Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor
Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor.
Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.”
[....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk
keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu
Kasan Sapari dikeluarkan.91
86
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
87
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164.
88
Ibid., h. 165.
89
Ibid., h. 174.
90
Ibid., h. 175.
91
Ibid., h. 176.
81
e) Tahap Penyelesaian
Tahap ini berisi konflik yang telah mencapai klimaks diberi
jalan keluar dan cerita diakhiri. Pada tahap ini, semua peristiwa yang
terjadi dalam cerita mengarah kepada proses pemecahan masalah
sebagai sebagai bentuk penyelesaiannya.92 Tahap penyelesaian dalam
novel MPU karya Kuntowijoyo ini, mulai terjadi penurunan klimaks
dan konflik-konflik dalam cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang
92
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
82
93
Ibid., h. 181.
94
Ibid., h. 195.
83
95
Ibid., h. 229.
84
96
Ibid., h. 259.
97
Ibid., h. 270.
98
Ibid., h. 271.
85
99
M. Khomsin, op, cit., h. 27.
86
4. Latar
Latar merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa-
peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh
dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.100 Latar atau setting atau
yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.101
a) Latar Tempat
Dalam novel MPU terdapat latar netral dan fungsional yang
memengaruhi perkembangan tokoh secara sosiologis maupun
psikologis. Latar tempat tersebut antara lain sebagai berikut:
Latar tempat pertama yang muncul dalam novel MPU yaitu
desa Palar. Pemilihan latar desa Palar sekaligus tempat makam
Ronggowarsito yang berlokasi di kecamatan Trucuk, kabupaten
Klaten secara fungsional dan tipikal koheren dengan realita,
mengingat keberadaan makam Ronggowarsito menjadi tempat yang
sangat dikeramatkan dan sosok Ronggowarsito selalu menjadi panutan
bagi masyarakat. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka
desa Palar dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini
tampak pada latar desa Palar yang menjadi tahap penyituasian. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.102
Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa
Palar, Klaten. [....] Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang
dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh
100
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113.
101
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 302.
102
Kuntowijoyo, op. cit., h. 2.
87
103
Ibid., h. 4.
104
Ibid., h. 13.
105
Ibid., h. 22.
88
106
Ibid., h. 136-137.
89
107
Ibid., h. 162-163.
108
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164-165.
109
Ibid., h. 175.
90
110
Ibid., h. 228.
111
Ibid., h. 229.
91
112
Ibid., h. 270.
113
Ibid., h. 271.
92
b) Latar Waktu
Latar waktu penceritaan yang terdapat dalam novel MPU
disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu,
yaitu kilas balik pertemuan ibu-bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah
- lulus sekolah – kerja - Abu menikah dan harus memilih
istri/ilmunya. Latar waktu penceritaan dalam novel MPU tidak
digambarkan secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian
yang ada dalam novel dapat terjadi kapan pun dan dimana pun dari
waktu ke waktu.
Namun, berdasarkan latar waktu historis yang terdapat dalam
novel MPU dapat digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997
masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi
politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke
pedesaan-pedesaan. Peristiwa tersebut dapat terlihat pada bab bab 14
dengan judul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-megap”. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah
Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo,
tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di
kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik
kalah. [....] Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu
disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana
tradisional, tidak menyelenggarakan wayangan, wayang orang,
dan ketoprak karena para seniman tidak mau terlibat dalam
politik praktis. “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris
kesenian DPD Randu. Dikepalanya hanya ada satu orang, Abu
Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk
membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.114
Dala kampanye Pemilu memang ada obral janji untuk rakyat,
membangun ini itu. Tapi pelaksananya, wo, tahi kucing, jangan
tanya. Nol besar. [....] Laki-laki tua itu memejam mata sambil
memegang telapak tangan laki-laki bersarong, kerumunan diam
tidak berisik ingin mendengar jawabnya. Laki-laki tua berbisik
di telinga, tapi bisikan itu cukup keras sehingga kerumunan itu
mendengar. Katanya, "Ayam itu mati kena virus, namanya
monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita
114
Ibid., h. 174.
93
115
Ibid., h. 211-213.
116
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
94
c) Latar Sosial
Latar sosial dalam novel MPU dapat dilihat sebagai potret
suasana sebelum Reformasi, saat hampir seluruh tempat di Indonesia
bahkan sampai ke pedesaan-pedesaan sedang berlangsung modernisasi
terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa dan situasi politik di
Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaaan-
pedesaan. Secara fisik, penggambaran sebuah desa diwarnai dengan
kehijauan alamnya, dikelilingi bukit-bukit dan gunung-gunung, dan
umumnya belum sepenuhnya dikembangkan secara maksimal oleh
manusia. Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial
masyarakat dalam deskripsi novel MPU:
Di Kemuning, ada sumur tetapi sangat dalam, dan tak ada air
bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga,
117
Kuntowijoyo, op. cit., sampul halaman belakang.
118
Tirto Suwondo, “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik Orde
Baru”, Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, 2005, h. 86-87.
95
119
Ibid., h. 17.
120
Ibid., h. 95.
121
Ibid., h. 13.
122
Ibid., h. 16.
96
123
Ibid., h. 24.
124
Ibid., h. 32.
125
Ibid., h. 162-164.
97
126
Ibid., h. 165.
98
5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.127 Setiap pengarang memiliki
ciri khas masing-masing dalam menyajikan sudut pandang. Pada novel
MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga: “dia”
mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu). Si “dia”
narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat
diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran
tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Fungsi sudut pandang orang
ketiga ini adalah untuk mengajak pembaca mengetahui hati dan tindakan
yang dialami oleh tokoh-tokoh melalui narasi maupun dialog yang
tertera. Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di bawah ini:
“Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak
Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan
bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’
itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai
pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur.
Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah
kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu
mendapat pujian dari Gubernur.”128
127
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248.
128
Kuntowijoyo, op. cit., h. 30.
99
129
M. Atho Mudzhar, op. cit., h. 2.
100
meminta bantuan dari pihak lain, maka permasalahan yang dialami tidak akan
pernah dapat diselesaikan. Berikut ini adalah bentuk data tentang
penyelesaian dari masing-masing tokoh yang ada di dalam novel MPU.
melakukan perlawanan
terhadap ketimpangan
sosial yang dilakukan oleh
pihak penguasa (Mesin
Politik).
- Abu Kasan - Keyakinan. - Abu membuang mantra
Sapari dengan - Bab 16 Subbab 4. penjinak ular sekaligus
Haji - Bab 17 Subbab 2. memutuskan mata rantai
Syamsuddin. perbuatan syirik. Abu pun
melepaskan ular
peliharaannya ke kebun
binatang. Dalam hal ini,
Abu dibantu oleh Haji
Syamsuddin.
MOTIF TUJUAN
Motif Abu Kasan Sapari Menjadikan ular sebagai
memelihara ular karena memiliki simbol alam dan lingkungan.
keyakinan terhadap mitos Cinta ular berarti cinta
kesyirikan berupa mantra dan lingkungan, begitu pandangan
kepercayaan terhadap binatang. Abu.
SUBJEK
Abu Kasan Sapari
130
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69.
131
Sri Rahayu Wilujeng, “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam Perspektif
Budhisme Nichiren Daishonin”, Izumi, Vo. 3, 2014, h. 1.
132
Nurhayati, “Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan Dari Aspek Makro dan
Mikro”, http://www.eprints.unsri.ac.id diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017.
133
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
106
134
Ibid., h. 22.
135
Ibid., h. 56.
136
Klangenan berarti sesuatu yang menjadi kesenangan (kegemaran, kesukaan).
137
Erwan Baharudin, “Konstruksi Pengetahuan Tentang Reptil Di Komunitas Deric
(Depok Reptile Amphibi Community)”, Forum Ilmiah, Vol. 11, No. 3, 2014, h. 427.
107
138
Kuntowijoyo, op. cit., h. 136.
139
Ibid., h. 136-137.
108
MOTIF TUJUAN
1. Unjuk diri tokoh Abu kepada Menjadikan profesi dalang yang
Mesin Politik bahwa profesi dalang ditekuninya itu dapat memberikan
di dalam dunia pewayangan penyadaran dan pencerahan serta
mempunyai otoritas tunggal yang pendidikan politik kepada warga
dapat membeberkan apapun sesuai desa melalui gerakan moral yang
dengan keinginannya. disampaikan lewat media kesenian
2. Moral Abu sebagai dalang yang yaitu wayang kulit.
tidak ingin dilibatkan dalam sistem
politik kepentingan dan tidak ingin
mengkhianati perjuangannya.
SUBJEK
Abu Kasan Sapari
140
Ibid., h. 136.
109
MOTIF TUJUAN
Mesin Politik yang sering kali Ingin mempertahankan kekuasaan
melakukan penindasan terhadap dan berusaha keras membungkam
Abu hanya semata-mata karena kebebasan Abu dalam
alasan politik dan loyalitas pada memperjuangkan pendirian dengan
partai penguasa. cara menggunakan politik uang
dan jabatan.
SUBJEK
Mesin Politik
141
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69.
110
unjuk diri kepada Mesin Politik bahwa profesi dalang yang ditekuni Abu
di dalam dunia pewayangan mempunyai otoritas tunggal yang dapat
membeberkan apapun sesuai dengan keinginannya. Otoritas dalang itulah
yang secara kreatif dimanfaatkan Kuntowijoyo sebagai wahana
membeberkan kecarut-marutan para penguasa Orba yang
menyelewengkan prinsip-prinsip, etika keadilan, dan demokrasi.142
Moral Abu sebagai dalang yang tidak ingin dilibatkan dalam
sistem politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya
tidak serta-merta menuruti perintah Mesin Politik. Sikap politik Abu pun
sebenarnya sudah jelas terlihat dengan tidak berpolitik praktis dan
memisahkan antara kesenian dari politik, seperti kutipan di bawah ini:
“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang
menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”143
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”144
142
Tirto Suwondo, op. cit., h. 88.
143
Ibid., h. 150.
144
Ibid., h. 162-163.
111
atas. Namun, tujuan Abu itu mendapatkan tentangan dari Mesin Politik.
Mesin Politik digambarkan oleh pengarang memiliki kedudukan sebagai
pihak elit penguasa yang berarti para pengambil kebijakan di tingkat
pusat atau aparatur negara (pemerintahan) yang memiliki otoritas
tertinggi. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan bagian penokohan yang
diusung Kuntowijoyo ketika kedudukan Mesin Politik disalahgunakan
untuk melakukan paksaan dan penyingkiran sehingga timbul korban di
kalangan massa (rakyat). Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.145
145
Ibid., h. 174.
146
Kusmarwanti, op. cit., h. 153-154.
112
147
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
148
Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150.
113
149
Kuntowijoyo, op. cit., h. 162-163.
150
Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150.
114
MOTIF TUJUAN
Motif Kismo Kengser mengkritik Memperoleh pengakuan status
penguasa (Mesin Politik) melalui sosial yaitu bebas dari tekanan-
pidatonya, karena sudah tekanan rezim Orde Baru dengan
banyaknya permasalahan berupa hidup dalam kedamaian serta
monopoli ekonomi, keserakahan terlepas dari belenggu kesulitan
dan ketidakadilan. ekonomi dan politik.
SUBJEK
Kismo Kengser
MOTIF TUJUAN
Haji Syamsuddin tidak Memberikan kesadaran kepada
memercayai mitos yang Abu Kasan Sapari mengenai
mengarah kepada hal-hal syirik mitos kesyirikan yang
seperti mantra dan kepercayaan bertentangan dengan keyakinan
terhadap binatang. agama Islam.
SUBJEK
Haji Syamsuddin
152
Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan”, Jurnal Al-Hikmah,
2015, h. 181.
153
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362.
116
154
Kusmarwanti, op. cit., h. 154.
155
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
117
156
Martiyan Ramdani, “Determinan Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1982-2012”, Jurnal
Economics Development Analysis Journal, 2015, h. 98.
157
Tirto Suwondo, op. cit., h. 86.
118
Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncul, isyarat bahwa
pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk.158
Dalam novel ini, Kismo Kengser, Abu, dan warga desa mempunyai
tujuan kepentingan untuk memperoleh pengakuan status sosial yaitu bebas
dari tekanan-tekanan rezim Orde Baru dengan hidup dalam kedamaian
serta terlepas dari belenggu kesulitan ekonomi dan politik. Dengan
hadirnya Kismo Kengser yang mengkritik pemerintah/penguasa/Mesin
Politik telah menimbulkan konflik sosial di antara keduanya. Meskipun,
konflik antar keduanya tidak berhadapan secara langsung tetapi
berpengaruh pada perilaku warga desa maupun rakyat.
Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin dengan
Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak memercayai mitos
seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang karena mengarah
kepada hal-hal syirik. Hal tersebut mengingat manusia memiliki
kebutuhan yang tidak terbatas dalam kehidupan, religi atau keyakinan,
contohnya meyakini tentang adanya roh halus (roh leluhur) yang dapat
dipercaya, namun sekarang manusia lebih berpikir logis dengan akal.159
Dalam hal ini, Haji Syamsudin memiliki tujuan untuk mencoba
memberikan kesadaran dalam diri Abu atas kebimbangan terhadap mantra
penjinak ular yang hanya bisa dibuang kalau Abu sudah menemukan
pengganti yang tepat untuk dapat mewarisi ilmunya.
Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada
dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra
yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi
mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas
kehidupan yang harus dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji
Syamsuddin telah membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat
padanya telah membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah
158
Kuntowijoyo, op.cit., sampul halaman belakang.
159
Baharuddin, op. cit., h. 181.
119
160
Kuntowijoyo, op. cit., h. 270.
120
161
Ramlan Surbakti, op. cit., h. 150.
121
A. Simpulan
Setelah melakukan analisis terhadap novel MPU maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Analisis unsur intrinsik dalam novel MPU memperlihatkan tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar dan sudut pandang. Tema mayor yaitu
kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada
kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial dan budaya. Tema minor atau tema tambahan di
antaranya: permasalahan politisasi kesenian, monopoli ekonomi, keserakahan
dan ketidakadilan dalam praktik politik. Tokoh dan penokohan dibagi
menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis yaitu
Abu Kasan Sapari (tokoh utama), Sulastri atau Lastri, orang tua Abu, kakek
nenek Abu, wartawan, Haji Syamsuddin, camat, Ki Lebdocarito, Ki Manut
Sumarsono, polisi, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, laki-laki tua misterius
dan tokoh antagonis yaitu Mesin Politik dan polisi (tokoh pendukung).
Alur disusun secara kronologi berupa alur campuran. Latar dibagi
menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Pertama, latar tempat
dibagi menjadi empat, yaitu desa Palar, desa Kemuning, Karangmojo, dan
desa Tegalpandan. Kedua, latar waktu penceritaan disusun secara episodik
berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu-
bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah
dan harus memilih istri/ilmunya. Ketiga, latar waktu historis yaitu pada tahun
1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik
di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan.
Pada novel MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga:
“dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu).
Dalam penelitian ini wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan
beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan,
123
124
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran
sastra, maka penulis menyarankan:
1. Novel MPU dapat digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran sastra di
sekolah oleh guru dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai
126
pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar
tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya sehingga
terhindar dari berbagai konflik.
2. Melalui tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU
ini diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab
terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib
dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang
tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.
DAFTAR PUSTAKA
127
128
Riyanto, Waryani Fajar. “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia
Kuntowijoyo (1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”. Politik
Profetik. Vol. 2, 2013.
Roqib, Mohammad. Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan
Keadilan Gender. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar,
2007.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Sofia, Adib. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sudiadi, Dadang. “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang
Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural
dalam Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Kriminologi Indonesia. 5, 2009.
Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sujamto. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Suparlan, Parsudi. “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”. Antropologi
Indonesia. 2, 2006.
Surbakti, Ramlan. Memahami Politik. Jakarta: Gramedia, 1992.
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana,
2009.
Sutiyono. “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”. Imaji.
Suwondo, Tirto. “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik
Orde Baru”. Pangsura, 2005.
Syamsuddin, Amir. “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada Anak
Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 2012.
131
Thomas, dkk. “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo
Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan
Kembayan, Kabupaten Sanggau”. Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015.
Wahyudi, Andri. Konflik, Konsep Teori, dan Permasalahan. http://www.jurnal
unita.org./index.php/publiciana/article/view/45/41 diunduh pada hari
Minggu, 15 Januari 2017.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
Wilujeng, Sri Rahayu. “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam
Perspektif Budhisme Nichiren Daishonin”. Izumi. 3, 2014.
Yusuf, Choirul Fuad. Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah
di Indonesia 1997-2005. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.
LAMPIRAN 1
A. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Peserta didik dapat:
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur,
latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
2. Menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama,
sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
3. Menemukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
4. Mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari.
5. Menceritakan kembali isi novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.
B. Materi Pembelajaran :
1. Pengertian novel.
2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan
sudut pandang).
3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).
Pertemuan 1
Alokasi
No. Pra Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Berdoa 5 menit
2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran
3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir
4. Mengondisikan peserta didik
Alokasi
No. Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Kegiatan Awal : 10 menit
Apersepsi
a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang
materi pembelajaran yang sudah dipelajari.
c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari.
d. Guru memberikan informasi tentang kompetensi,
materi, dan tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan Inti : 60 menit
Eksplorasi
e. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai
konsep novel.
1. “Masih ingatkah kalian dengan materi novel?”
2. “Apa yang kalian ketahui tentang novel, unsur-
unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut
pandang, dan latar), dan unsur-unsur ekstrinsik
(nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam
novel?”
f. Guru meminta peserta didik menyebutkan dan
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam karya sastra.
Elaborasi
g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per
kelompok.
h. Peserta didik membaca sinopsis novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
i. Peserta didik berdiskusi untuk menemukan dan
menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan
penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan
unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral,
agama, sosial dll) yang terdapat dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas
mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Konfirmasi
k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap
hasil presentasi kelompok.
l. Guru menyimpulkan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel yang telah dibahas.
m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan
dari hasil diskusi.
3. Kegiatan Akhir : 15 menit
n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi
peserta didik.
o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview
konsep-konsep penting tentang unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsik dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan
hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran.
q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran.
r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang
terdapat di dalam buku paket.
s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk
memimpin doa.
Pertemuan 2
Alokasi
No. Pra Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Berdoa 5 menit
2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran
3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir
4. Mengondisikan peserta didik
Alokasi
No. Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Kegiatan Awal : 10 menit
Apersepsi
a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang
materi pembelajaran yang sudah dipelajari.
c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari.
d. Guru mengingatkan peserta didik tentang tugas
sebelumnya yaitu membaca novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo.
e. Guru memberikan informasi tentang kompetensi,
materi, dan tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan Inti : 60 menit
Eksplorasi
f. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai
unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan konflik sosial
dalam novel.
1. “Masih ingatkah kalian tentang unsur-unsur
intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang,
dan latar) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel?”
2. “Apa yang kalian ketahui tentang konflik sosial
dalam novel?”
3. “Apa saja nilai-nilai yang terdapat dalam novel?”
Elaborasi
g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per
kelompok.
h. Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial, dll yang terdapat dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
i. Peserta didik menganalisis konflik sosial dalam novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas
mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Konfirmasi
k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap
hasil presentasi kelompok.
l. Guru menyimpulkan nilai-nilai budaya, moral, agama,
sosial, dll dan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan
dari hasil diskusi.
3. Kegiatan Akhir : 15 menit
n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi
peserta didik.
o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview
konsep-konsep penting tentang nilai-nilai budaya,
moral, agama, sosial, dll dan konflik sosial dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan
hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran.
q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran.
r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang
terdapat di dalam buku paket.
s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk
memimpin doa.
E. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran :
1. Media : Powerpoint, rekaman informasi/teks yang
dibacakan
2. Alat : LCD, laptop
3. Sumber Belajar :
a. Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012.
b. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo,
2008.
c. Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
d. Seni Handiyani, dkk. Bahasa Indonesia untuk Kelas XI. Grafindo
Media Pratama, 2014.
e. Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
f. Artikel atau jurnal tentang novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
F. Penilaian :
1. Penilaian Proses
Penilaian terhadap proses identifikasi unsur-unsur intrinsik (tema,
tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan
unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll)
dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
Penilaian terhadap nilai-nilai yang dapat kita ambil dari novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
Penilaian terhadap konflik sosial yang dialami tokoh utama
maupun tokoh pendukung dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
2. Penilaian Hasil
a. Teknik : Tes dan nontes
b. Bentuk penilaian : Pengamatan kinerja, sikap, tes, dan tugas
c. Aspek yang dinilai : Pengetahuan dan sikap
d. Jenis penilaian : Penilaian proses dan penilaian hasil
e. Instrumen penilaian : Lembar pengamatan dan tes tertulis
f. Indikator soal tes tertulis :
1. Peserta didik menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
2. Peserta didik menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo.
3. Peserta didik menemukan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
4. Peserta didik mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan
kehidupan sehari-hari.
g. Instrumen penilaian tes tertulis :
1. Bacalah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
dengan teliti!
2. Tentukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan,
alur, dan latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo!
3. Tentukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral,
agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo!
4. Tentukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo!
Penilaian Hasil
a. Penilaian Pengetahuan
Kunci jawaban
a. Pilihan Ganda
1. D
2. B
3. C
4. D
5. B
b. Uraian
1. Masing-masing peserta didik membaca novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut
pandang).
a. Tema: kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih
kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya.
Tema mayor yang diangkat dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo yaitu kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada
mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya.
Hampir seluruh bab pada novel MPU membahas tentang kehidupan
masyarakat desa yang mengalami perubahan sosial dan budaya.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu,
teknologi, dan doa, bukan mantra.1
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar
suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya.
Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu.
Ternyata ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu,
tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada
sanksinya, dia sanggup menanggung.2
“Rencana sampeyan apa?”
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi
Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan
mengajarkan kebijaksanaan hidup.3
1
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257.
2
Ibid., h. 270.
3
Ibid., h. 271.
perlahan masuk ke pedesaan sejalan dengan perubahan zaman. Hal
tersebut tidaklah mudah bagi Abu Kasan Sapari untuk menghilangkan
dan melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik.
Namun, pada akhir cerita Abu Kasan Sapari dikisahkan merelakan
ular peliharaannya dan membuang mantra serta memutuskan mata
rantai perbuatan syirik itu. Abu pun mulai menjalani kehidupan kota
yang penuh dengan budaya modern sesuai dengan zamannya tanpa
terikat dengan hal-hal yang berbau mistik.
Tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel
MPU karya Kuntowijoyo di antaranya: permasalahan politisasi
kesenian, monopoli ekonomi, dan ketimpangan sosial. Politisasi
kesenian, dan ketimpangan sosial yang dilakukan pihak penguasa erat
sekali hubungannya dengan perasaan atau emosi mengutamakan
ideologi politik ingin menguasai segala sesuatu demi kekuasaan.
Itulah yang menjadi penyebab utama Abu, Kismo Kengser, dan
kerumunan rakyat atau warga desa mulai emosi dengan tindakan
pihak penguasa yang semena-mena dan berani melakukan perlawanan
terhadap pihak penguasa yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Abu memiliki pandangan tersendiri mengenai kesenian dan
politik. Berikut jawaban Abu atas pertanyaan yang diajukan oleh
wartawan:
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni
pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal
pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk
kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka
kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi
dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh
menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi
pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan
orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai
akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari
komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan
mengerjakan hal kedua itu”4
4
Ibid., h. 153.
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau
ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan
menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni
akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS
berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan,
memberi payung mereka yang kehujanan, memberi
tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang
hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya
sebagai seni.5
5
Ibid., h. 170.
6
Kuntowijoyo, op. cit., h. 4.
Di sisi lain, melalui pidatonya, tokoh Kismo Kengser tampil
untuk mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan
kekuasaan yang berada di bawah pimpinan pemerintahan Soeharto
pada zaman Orde Baru. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di
bawah ini:
Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi
oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya:
“Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang
akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di
mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha,
tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita
dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”7
7
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
c. Alur dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
menggunakan alur yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai
dengan kronologi termasuk ke dalam alur campuran yang waktu
terjadinya peristiwa tidak selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa
kilas balik yang bersifat flashback (mundur).
Tahapan alur tersebut akan dipaparkan sesuai pendapat Tasrif
dalam Nurgiyantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima
tahapan alur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahap Penyituasian
Pada tahap situasi ini, dibuka dengan memperkenalkan
tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dan tokoh-tokoh
pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek-nenek Abu, Ki
Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin Politik,
wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki Manut
Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin. Tahap situasi dalam
novel MPU karya Kuntowijoyo ini dimulai dari pembukaan yang
ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah Desa, Sebuah Mitos” dibuka
dengan narator memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, latar tempat
desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya, latar rumah, ciri
psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh-tokoh cerita,
dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa yang
terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang Abu
Kasan Sapari sejak kecil-bekerja. Pada bagian pertama, Abu Kasan
Sapari diperkenalkan secara sosiologis sebagai sosok yang lahir di
tengah masyarakat Jawa menganut Islam kejawen yang seluruh
sikap dan tingkah lakunya masih kental dengan berbagai mitos
dalam tradisi Jawa-Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang
dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan
Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’
katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!"
Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak
diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya. Ayah itu lalu
menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan
mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ...
"kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar,
mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga
ia mengawinkan anaknya.8
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.9
Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa
Palar, Klaten.10
Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang
macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu
mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari.
Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah
nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua
orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya
pada jabang bayi yang baru lahir.11
8
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1.
9
Ibid., h. 2.
10
Ibid., h. 4.
11
Ibid., h. 3.
diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama
dengan juru kunci makam.12
12
Ibid., h. 4.
13
Ibid., h. 16.
kebijaksanaan hidup. Kutipan di atas memperkenalkan latar tempat
desa yang kedua yaitu desa Kemuning.
2) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 2-8. Bab 2 yang berjudul
“Mantra”, bab 3 yang berjudul “Abu Kasan Sapari Tentang Alam”,
bab 4 yang berjudul “Cinta Ular, Cinta Lingkungan”, bab 5 yang
berjudul “Demokrasi Menurut Abu Kasan Sapari”, bab 6 yang
berjudul “Wahyu Pohonan”, bab 7 yang berjudul “Abu Versus
Mesin Politik, Botoh, dan Dukun”, dan bab 8 yang berjudul “Abu
Kasan Sapari dan Lingkungannya”. Keseluruhan peristiwa yang
terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu Kasan Sapari
mulai dekat dengan mantra, mulai dikenal sebagai dalang, dan
mulai terlibat dengan politik.
Pada bagian ketiga, Abu mengalami peristiwa yang tidak
masuk akal ketika bertemu dengan Lelaki Tua Misterius di sebuah
pesta pasar malam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. [....] Ketika Abu
menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan
lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan
janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. Laki-laki
tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini
pada orang yang tepat.”
“Apa itu?”
“Mantra penjinak ular” Kemudian orang itu mencari telinga
kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?”
“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah
ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.
“Mantranya kok bahasa Arab, ya?”
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”14
“O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.”
[....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang
dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan
14
Ibid., h. 20-21.
sulapan. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus
diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba
muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa
namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang
sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia
bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.15
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.16
15
Ibid., h. 22.
16
Ibid., h. 56.
17
Ibid., h. 149.
Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya.
Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu
pulang. Katanya, “Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya,
lho.”18
18
Ibid., h. 151-152.
19
Kuntowijoyo, op. cit., h. 134.
ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka.
Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan
kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir
dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya
lepas.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?”
Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di
balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”20
20
Ibid., h. 136.
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin
karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan
media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai
Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?21
21
Ibid., h. 162-163.
22
Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal
Imaji, h. 1-2.
di atas juga memperkenalkan tokoh Mesin Politik, ciri mental Abu
dan Mesin Politik.
4) Tahap Klimaks
Tahap klimaks dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini,
ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”. Keseluruhan peristiwa
yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu yang
dituding melakukan tindakan subversif.
Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus
melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada
bagian ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena
yang dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah
ini:
Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.23
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu seperti sudah mengharapkan.24
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.25
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.26
Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor
Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor.
Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.”
[....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk
keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu
Kasan Sapari dikeluarkan.27
23
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164.
24
Ibid., h. 165.
25
Ibid., h. 174.
26
Ibid., h. 175.
27
Ibid., h. 176.
Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog
polisi serta dialog Mesin Politik yang terletak di bab 11
menggambarkan peristiwa Abu yang sempat ditahan. Dalam hal
ini, Abu dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan
subversif dan polisi yang menangani kasus Abu mengalami
kebingungan terhadap tindakan yang dilakukan pihak penguasa
(Mesin Politik/partai randu) kepada Abu. Pihak penguasa
memanfaatkan pekerjaan polisi untuk melancarkan rencananya.
Pada tahap klimaks ini, pengarang memunculkan tokoh polisi,
kerumuman mahasiswa, dan pengurus HAM cabang Surakarta serta
Ikadin untuk memberikan dukungan kepada Abu dan membantu
proses pembebasan tokoh utama yang tidak terbukti bersalah.
5) Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian dalam novel MPU karya Kuntowijoyo
ini, mulai terjadi penurunan klimaks dan konflik-konflik dalam
cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang berjudul “Sajak-Sajak
Cinta”, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”, bab 14 yang
berjudul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-Megap”, bab 15
yang berjudul “Warisan”, bab 16 yang berjudul “Cangik Bertanya
Pada Limbuk”, dan bab 17 yang berjudul “Tuhan, Beri Kami Ilmu
yang Bermanfaat Tuhan, Hindarkan Kami Dari Malapetaka”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan
tentang perubahan sosial dan budaya.
Namun, pada bab 12 dan 13 tentang peristiwa penceritaan
sorot balik, cerita beralih ke masa lalu. Bab 12 yang berjudul
“Sajak-Sajak Cinta” menggambarkan peristiwa Abu yang membuat
puisi dalam bahasa Jawa untuk Lastri saat berada dalam tahanan.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Abu Kasan Sapari menulis geguritan-puisi bebas bahasa Jawa
dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia
tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan
mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan
sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan
Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba
waktunya.28
28
Ibid., h. 181.
29
Ibid., h. 195.
kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di
Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan
Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas
sekarang.”30
30
Ibid., h. 229.
31
Ibid., h. 259.
32
Ibid., h. 270.
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang
dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.33
33
Ibid., h. 271.
latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU dapat
digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997 masa pemilihan
umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik di
Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-
pedesaan.
- Latar sosial: secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai
kehidupan yang tenteram, damai dan jauh dari perubahan yang
dapat menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang semula
tenteram dan damai berubah menjadi kacau. Desa Tegalpandan
digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik
sosial. Dalam hal ini, tokoh Abu Kasan Sapari memang
mengenyam pendidikan yang maju, sarana mobilitas, dan
kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Namun,
Abu memiliki prinsip bahwa tidak semua tindakan yang
mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu saja.
Demokrasi yang otoriter dan mengesampingkan rakyat kecil harus
dilawan karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan.
e. Pada novel Mantra Penjinak Ular, pengarang menggunakan sudut
pandang persona ketiga: “dia” mahatahu (narator mengetahui
segalanya dan serba tahu). Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di
bawah ini:
“Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak
Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan
bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’
itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai
pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur.
Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah
kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu
mendapat pujian dari Gubernur.”34
34
Ibid., h. 30.
dan dapat menjelaskan secara rinci tindakan dan perasaan yang
dialami oleh setiap tokoh. Pemilihan sudut pandang ini membuat
pengarang lebih leluasa mengeksplorasi sisi batin Abu untuk
kemudian menciptakan konflik. Hal tersebut menunjukkan penguatan
terhadap cara pandang mengenai suatu permasalahan yang terjadi
dalam cerita.
35
Ibid., h. 28.
36
Ibid., h. 162-163.
mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk
mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah
menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun
kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon
tumbang. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini:
“Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah
dikatanya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD
menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat
Lastri.37
37
Ibid., h. 218.
38
Ibid., h. 127.
kelebihan menjinakkan ular. Dapat dikatakan bahwa Abu meyakini bahwa
mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai
sesuatu yang benar, dimana agama sering bercampur dengan tradisi
budaya turun-temurun, seperti yang telah dibahas pada analisis latar
tempat dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”39
[...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan
tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana
asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan
tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk
melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.40
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.41
39
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
40
Ibid., h. 22.
41
Ibid., h. 56.
“Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular
itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”42
42
Kuntowijoyo, op. cit., h. 136-137.
43
Ibid., h. 136.
“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang
menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”44
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”45
44
Ibid., h. 150.
45
Ibid., h. 162-163.
46
Ibid., h. 174.
Kedua, penindasan. Motif Mesin Politik yang sering kali
melakukan penindasan terhadap Abu hanya semata-mata karena alasan
politik dan loyalitas pada partai penguasa. Mesin Politik menggunakan
kesenian sebagai alat politik untuk berkampanye, seperti yang telah
dibahas pada analisis tema (lihat h. 45).
Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala
cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak
menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan
pemaksaan. Peristiwa di atas, dapat dilihat dari perkembangan alur dari
mulai tahap pemunculan konflik sampai peningkatan konflik (lihat h. 75
dan 78), terjadi ketika Abu yang nekat memberikan dukungan kepada
cakades dan ditawarkan jabatan sebagai caleg oleh Mesin Politik.
Sifat Mesin Politik yang terkenal angkuh dan maunya menang
sendiri, secara perlahan telah menimbulkan terjadinya konflik sosial antara
Mesin Politik dengan Abu. Hal ini disebabkan karena aturan yang
dipaksakan Mesin Politik yang setiap saat membayang-bayangi Abu agar
memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik
dalam berbagai pemilihan di desa. Selain itu, perbedaan tujuan
kepentingan antara Abu dengan Mesin Politik telah menimbulkan
penindasan yang terus saja muncul ke permukaan terutama pada tokoh
Abu. Hal ini tidak lain karena adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha
keras ingin menguasai daerah melalui berbagai pemilihan di desa.
Unsur-unsur penindasan pun selalu diperlihatkan Mesin Politik
kepada Abu. Pada akhirnya, permasalahan tersebut berakhir setelah Abu
ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.47
47
Ibid, h. 175.
48
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
antara keduanya. Meskipun, konflik antar keduanya tidak berhadapan
secara langsung tetapi berpengaruh pada perilaku warga desa maupun
rakyat.
Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin
dengan Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak
memercayai mitos seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang
karena mengarah kepada hal-hal syirik. Abu yang semula diceritakan
terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam
kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos,
mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan
mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus
dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin telah
membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat padanya telah
membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah tersebut dapat
terselesaikan. Abu pun memutuskan untuk meninggalkan ular itu, seperti
yang telah dibahas pada alur bagian tahap penyelesaian.
Pada waktu itu terdengar azan subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutuskan mata rantai mantra itu, tidak
mengajarkan mantra pada siapa pun.49
49
Kuntowijoyo, op. cit., h. 270.
Rubrik Penilaian Tes Tertulis dan Tugas Terstruktur
No. Aspek yang dinilai Rentang Nilai Keterangan
Jumlah 100
Keterangan:
1 = Kurang
2 = Cukup
3 = Baik
4 = Sangat baik
Penilaian Kelompok
Kelas :
Nama Kelompok :
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Tanggal Penilaian :
No. Aspek yang menjadi Nilai
Penilaian A B C D
1. Keaktifan tiap anggota
kelompok dalam menyusun
tugas.
2. Keaktifan tiap anggota
kelompok dalam
mempresentasikan hasil
diskusi kelompok.
3. Kerja sama antar anggota
kelompok.
4. Ketuntasan kelompok dalam
mengerjakan tugas.
5. Keberanian tiap anggota
kelompok dalam
menyampaikan pendapat.
6. Tingkat perhatian peserta
didik pada kelompok lain
yang sedang presentasi.
Petunjuk:
Lembar penilaian kelompok ini diisi oleh guru untuk menilai masing-masing
kelompok dalam menyelesaikan tugas. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom nilai
sesuai dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing peserta didik dalam
kelompok dengan kriteria sebagai berikut:
Baik sekali (A) : skor 85-90
Baik (B) : skor 75-80
Cukup (C) : skor 65-70
Kurang (D) : skor 55-60
NIP. NIP.
URAIAN MATERI
50
Antilan Purba, op. cit., h. 62.
51
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14.
52
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283.
53
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 161.
54
Robert Stanton, op. cit., h. 41.
dalam cerita.55 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.56 Dilihat dari
fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki
perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis
menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan
pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi
dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat
fisik ataupun batin.57
c. Menurut Sugihastuti, alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan
dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke
arah klimaks dan selesaian.58 Menurut Melani Budianta, peristiwa-
peristiwa yang menjalinnya ada yang penting untuk jalannya cerita dan
ada yang tidak penting, namun saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu
menarik.59 Tasrif dalam (Nurgiyantoro) mengklasifikasikan tahapan plot
menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu antara lain:60
1. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai
melukiskan suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi
latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian
informasi awal, dan lainnya terutama berfungsi untuk melandastumpui
cerita.
2. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik. Masalah-
masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik
mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya
konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
55
Pujiharto, op. cit., h. 43-44.
56
Melani Budianta, op. cit., h. 86.
57
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
58
Sugihastuti, op. cit., h. 36.
59
Melani Budianta, op. cit., h. 87.
60
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
3. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan-
pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah dan tokoh
yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
4. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang
dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik
intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh
utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik
utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari
satu klimaks.
5. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
d. Menurut Burhan Nurgiantoro, latar atau setting atau yang disebut juga
dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu
sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.61 Menurut Mursal Esten, latar sebagai tempat dan waktu
terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh
adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.62
Pujiharto menjabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi
geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan
detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; 3)
waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis,
musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan religius, moral, intelektual,
sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.63 Unsur latar dalam Burhan
61
Ibid., h. 302.
62
Mursal Esten, op. cit., h. 113.
63
Pujiharto, op. cit., h. 48.
Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan
sosial.64
1. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu
haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat
dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3. Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan social masyarakat disuatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
e. Menurut Wahyudi Siswanto, sudut pandang dapat diartikan sebagai cara
pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.65
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut
pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan
Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut
berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk
persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah
persona kedua.66 Berikut ini adalah macam-macam sudut pandang:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak
pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-
tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut
pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
64
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322.
65
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152.
66
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 347-359.
“Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia”
terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya,
namun terbatas hanya pada seorang tokoh).
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak
pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang
persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku”
(tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya
sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan
teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri, melihat
diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita
fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan
atau penyebutan.
d) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang
dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu
tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas
dalam karyanya. Pengertian sudut pandang dari berbagai pendapat pada
ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa sudut pandang adalah cara atau
pandangan pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita meliputi; pertama, sudut
pandang persona ketiga: “dia”, kedua, sudut pandang persona pertama:
“aku”, ketiga, sudut pandang campuran.
3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).dari
pembacaan penggalan novel.
a. Menurut Friska Rahayu dalam artikel e-journal yang berjudul
“Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah Ksatria
Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami” mengemukakan
bahwa nilai moral adalah suatu pengukur apa yang baik dan apa yang
buruk dalam kehidupan masyarakat, juga dapat diartikan sebagai sikap
atau perilaku, tindakan, kelakuan seseorang pada saat mencoba
melakukan sesuatu hal dan memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya.67
b. Menurut Nuning Juniarsih, nilai budaya adalah konsep abstrak
mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam
kehidupan manusia.68
c. Menurut Amir Syamsuddin, nilai-nilai agama berasal dari Tuhan.
Fungsi dari nilai-nilai agama ialah petunjuk cara hidup yang benar dan
sehat bagi manusia semenjak lahir sampai meninggal dunia.69
d. Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia pada
sebuah masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk.70
4. Karya sastra sering kali dikaitkan dengan realitas sosial yang melibatkan
banyak konflik di dalamnya, tentu benar adanya mengingat keduanya tidak
bisa dipisahkan. Wellek dan Warren, menyatakan bahwa konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan
yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. 71 Konflik akan
terjadi apabila tidak adanya lagi kesepakatan mengenai sebuah keinginan
yang tidak tercapai dan tidak adanya kesepakatan antara individu satu
dengan individu lainnya. Hal ini biasanya sering terjadi pada kehidupan
nyata masyarakat yang selalu menghindari maupun harus menghadapi hal
tersebut. Sebuah karya sastra yang menampilkan berbagai macam
peristiwa sangat erat kaitannya dengan konflik. Peristiwa akan mampu
menciptakan konflik dan konflik akan memicu adanya peristiwa lainnya.
67
Friska Rahayu, Jurnal berjudul “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
Hangtuah Kstaria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami”, Artikel E-Journal, 2013.
68
Nuning Juniarsih, Jurnal berjudul “Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat
Lokal Suku Sasak Di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok”, Agroteksos, Vol. 17, 2007.
69
Amir Syamsuddin, Jurnal berjudul “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada
Anak Usia Dini., Jurnal Pendidikan Anak, 2012, h. 112.
70
Lintang Arzia Nurrachim, Nilai Sosial, http://www.repo.isi-
dps.ac.id/1168/1/Nilai_Sosial diunduh pada hari Minggu, 15-1-2017.
71
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 285.
Nurgiyantoro, menyatakan bahwa peristiwa dan konflik biasanya berkaitan
erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan
konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Ada peristiwa tertentu
yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik,
berbagai peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya sebagai
akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi
peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat.72
Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya
adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang dengan identitas yang
jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau
lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai
maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber
daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak-
pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan
mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan.73
Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke
dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal
(external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu
yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin
lingkungan manusia atau tokoh lain. Dengan demikian, konflik eksternal
dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical
conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik
yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam.
Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak sosial
antarmanusia. Antara lain berwujud masalah perburuhan, penindasan,
percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.
Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam
72
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 180.
73
M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa
Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), h. 2.
jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami
manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan
permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat
adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang
berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin
banyak disoroti dalam novel yang lebih banyak mengeksplorasi berbagai
masalah kejiwaan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.74
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan
atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power)
yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak
merata di masyarakat. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih
mempertegas akar dari timbulnya konflik di antaranya:75
1. Perbedaan antar-individu; di antaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam
realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi
timbulnya konflik sosial.
2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
Benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha,
sehingga banyak di antara kelompok pengusaha saling
memperebutkan wilayah pasar dan perluasan wilayah untuk
mengembangkan usahanya. Adapun benturan kepentingan politik lihat
lagi konflik kepentingan.
3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan
perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di
mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai
pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur
74
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 181-182.
75
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362.
sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.
Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah “semau gue”
yang berakibat pada benturan antarkepentingan baik secara individual
maupun kelompok.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Indah Komalasari lahir di Blitar, 26 Juni 1993. Anak kedua dari Alm. H. M.
Koharuddin, SH. M.Si. dengan Dra. Hj. Iceu Aisah, M. Pd. ini tinggal bersama
orang tua di Jalan Semanan Raya Kp. Lamporan Rt. 08 Rw. 08 No. 173 Kel.
Semanan Kec. Kalideres Jakarta Barat. Memulai pendidikan dasar pada tahun
1999-2005 di SDN 08 Pagi Semanan Jakarta Barat, lalu melanjutkan pendidikan
tingkat SMP pada tahun 2005-2008 di MTSN 8 Jakarta Barat, kemudian
melanjutkan pendidikan tingkat SMA pada tahun 2008-2011 di MAN 12 Jakarta
Barat, dan melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi negeri pada tahun
2011-sekarang di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari kecil penulis
memiliki cita-cita menjadi guru dan dipercaya untuk meneruskan cita-cita serta
perjuangan sang ibu yang juga seorang guru bahasa Indonesia. Hal itu pula yang
membuat penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.