Anda di halaman 1dari 203

KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL

MANTRA PENJINAK ULAR KARYA KUNTOWIJOYO DAN


IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI
SMA/MA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:
Indah Komalasari
1111013000063

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ABSTRAK

INDAH KOMALASARI, NIM: 1111013000063, “Konflik Sosial dalam


Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada
Pembelajaran Sastra Di SMA/MA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Rosida Erowati,
M. Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konflik sosial
dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif deskriptif. Objek dari
penelitian ini yaitu naskah novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo dengan mengkaji konflik sosial.
Berdasarkan hasil analisis, wujud konflik sosial dalam novel ini
disebabkan karena adanya beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan,
ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Pertentangan
berwujud konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik.
Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik sosial
di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan baik
secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya. Novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan
dalam pembelajaran sastra di sekolah. Dengan memahami konflik sosial
dalam novel Mantra Penjinak Ular ini, siswa diharapkan dapat memahami
konsep konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sehingga siswa
mampu memperkuat basis nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kata kunci: Mantra Penjinak Ular, Kuntowijoyo, konflik sosial,


pembelajaran sastra

i
ABSTRACT

INDAH KOMALASARI, NIM: 1111013000063, “Social Conflict in the


Novel Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo and its Implications in the
Literature Learning Process in High-School Levels”. Major of Indonesian
literature and language education. The faculty of education and Tarbiyah
sciences. Islamic State University, Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervised
by: Rosida Erowati, M. Hum.
This research aimed to describe the social conflict in the novel of
Mantra Penjinak Ular. The method used in this research was qualitative
descriptive. The object of this research was the novel manuscript of
Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo, by examining the social conflict.
Based on the analysis, the form of social conflicts in the novel is
due to several problems, among the other things were: faith, impartiality,
oppression, and social injustice. Conflicts in the form of conflict thoughts,
ideas, views, and physical conflict. The realization of this social conflict
will be divided based on the cause of social conflict, amongst them were:
differences between individuals, the clash between the interests of either
economically or politically, and social and cultural changes. The novel
Mantra Penjinak Ular by Kuntowijoyo can also be implicated in the
teaching of literature in school. By understanding the social conflict in the
novel Mantra Penjinak Ular, students are expected to understand the
concept of conflict well and can resolve conflict so that students are able to
strengthen the basis of the value in their daily lives.

Keywords: Mantra Penjinak Ular, Kuntowijoyo, social conflict,


instructional literature.

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur kepada Allah Swt Tuhan semesta alam, yang telah
melimpahkan rahmat dan ridhonya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya, kita
semua selaku pengikutnya yang diharapkan selalu mendapat safaatnya di dunia
maupun di akhirat.
Skripsi yang penulis buat sesungguhnya tidak luput dari kesalahan, masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki,
namun berkat semangat, dorongan, dan motivasi dan bantuan dari orang-orang
terdekat dan banyak pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan.
Selama pembuatan dan penyusunan skripsi ini banyak pihak yang
membantu dan memberikan bantuan. Oleh karena itu penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia;
3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang sudah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, sabar dalam
membimbing dan memberikan solusi atas kebingungan penulis selama
mengerjakan skripsi ini, serta sabar memberikan saran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas
pengetahuan, arahan, dan motivasi Ibu selama ini;
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
penulis;
5. Keluarga tercinta yaitu Alm. H. M. Koharuddin, SH. M. Si. dan Dra.
Hj. Iceu Aisah, M. Pd, Idham Kholid Ramadhan, SH, dan M. Iqbal

iii
Komara yang telah memberikan doa tiada henti demi kebaikan penulis,
kasih sayang, bimbingan, nasihat, motivasi, semangat, dan dukungan
moril bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
6. Indra Dwi Prasetyo, teman-teman seperjuangan PBSI B angkatan
2011, dan sahabat seperjuangan QURSI (Mariya Qibtia, Ulfa
Rahmatania, Rahma Rahayu Mustika, dan Shely Eplianty) yang sejak
awal perkuliahan menjadi teman berbagi baik suka maupun duka,
selalu menghadirkan keceriaan, memberikan bantuan, perhatian,
motivasi, semangat, dan doa selama ini;
7. Teman-teman seperjuangan mahasiswa PPKT di SMA Negeri 5 Kota
Tangerang Selatan yaitu; Wurry Aprianty, Siti Rodliyatun, Dewi
Agustina, Gita Mayanti, Kintatia Widiya Sari, Ratna Endah Sugiarti,
Ade Maulina, dan Rahmi Utami. Terimakasih atas semangat,
kebersamaan, kerjasama, dan bantuan yang sama-sama kita berikan
untuk satu sama lain dalam pelaksanaan Praktek Profesi Keguruan
Terpadu.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan atas doa dan
kebaikan kalian semua. Kepada semua pihak, penulis mengharapkan kritik dan
saran guna membangun perbaikan skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi,
perbaikan diri menjadi insan kamil yang mampu untuk mengemban amanah
dalam menjalani kehidupan ini. Dengan adanya skripsi ini, penulis juga berharap
dapat memberikan manfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, 13 Februari 2017

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI


LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 4
C. Batasan Masalah................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 6
1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 7
2. Objek Penelitian ............................................................................. 7
3. Data dan Sumber Data ................................................................... 7
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 8
5. Teknik Analisis Data ...................................................................... 9

BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................... 11


A. Konflik dalam Karya Sastra ................................................................. 11
B. Pandangan tentang Konflik Sosial ....................................................... 13
C. Penyebab Konflik Sosial ...................................................................... 18
D. Hakikat Novel ...................................................................................... 20
E. Unsur Intrinsik Novel ........................................................................... 21
F. Hakikat Sosiologi Sastra ...................................................................... 29
G. Pembelajaran Sastra ............................................................................. 30

v
H. Penelitian yang Relevan ....................................................................... 31

BAB III PROFIL KUNTOWIJOYO ........................................................... 35


A. Biografi Kuntowijoyo .......................................................................... 35
B. Karya Kuntowijoyo ............................................................................. 36
C. Pemikiran Kuntowijoyo ...................................................................... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 43


A. Unsur Intrinsik Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo ..... 43
1. Tema............................................................................................... 43
2. Tokoh dan Penokohan .................................................................... 47
3. Alur ................................................................................................ 69
4. Latar ............................................................................................... 86
5. Sudut Pandang................................................................................ 98
B. Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya .................................. 99
C. Cara Mengatasi Konflik Sosial ............................................................ 101
D. Pembahasan: Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya ............ 104
1. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu) ......... 104
2. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan
dan Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan)............................. 108
3. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial
dan Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya) ............................ 114
E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ........................... 120

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 123


A. Simpulan .............................................................................................. 123
B. Saran ..................................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 127
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat Jawa dengan beberapa variasi dan heterogenitas masyarakat
yang berkembang, baik di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun di
Jawa Timur.1 Kesenian hanyalah salah satu unsur kebudayaan bagi
masyarakat Jawa. Wayang tidaklah hanya sekadar tontonan tetapi juga
tuntunan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi
masyarakat, negara, bangsa serta umat manusia pada umumnya.2 Namun,
Kuntowijoyo menanggapi pembodohan zaman Orba yang berupa
simplifikasi (penyederhanaan) dan manipulasi (penyelewengan) budaya
Jawa dicomot semau-maunya untuk membenarkan kekuasaan. Tradisi
wayang yang memang tidak mengenal peran rakyat kecuali sebagai
penurut. Rupanya mengilhami Orba untuk tidak mengenal demokrasi.3
Cara pihak penguasa pemerintahan Orde Baru untuk memperoleh
dukungan massa dengan memandang perlunya menggunakan instrumen
kesenian sebagai media untuk menarik massa. Dalang sebagai orang pintar
(intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk
menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Para dalang ditunjuk
pihak penguasa sebagai juru kampanye. Hal ini dilakukan penguasa demi
mengharapkan dukungan, simpati, dan ketaatan masyarakat luas untuk
tunduk dan patuh terhadap kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah.4
Kuntowijoyo menanggapi lebih lanjut tentang pemerintahan Orde Baru.
Para politis, birokrat, militer, dan pengusaha setuju dengan satu hal:

1
Moh. Roqib, Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender),
(Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 35-36.
2
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 18-19.
3
Kuntowijoyo, “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Harian Kompas,
Jakarta, 29 Oktober 1999, h. 4.
4
Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal
Imaji. h. 1-2.

1
2

pembangunan berarti kemajuan yang konkret. Pada tahun 1966-1995


pembangunan materiil diutamakan. Ini yang mengundang monopoli dan
pergusuran-pergusuran.5
Selama 32 tahun Indonesia berada di bawah pemerintahan Orde
Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Selama rentang waktu tersebut muncul
berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Fenomena Orde Baru
dalam sejarah Indonesia direspon oleh beberapa sastrawan dalam bentuk
karya sastra. Hal ini dapat dipahami mengingat karya sastra tidak bisa
dipisahkan dengan kondisi sosial budaya yang melingkupinya.
Kuntowijoyo adalah salah satu sastrawan yang mampu merespon kondisi
Orde Baru dan memasukkan situasi zaman tersebut ke dalam karyanya.
Respon tersebut muncul di antaranya dalam novel Mantra Penjinak Ular.6
Permasalahan-permasalahan aktual di atas, kini ternyata diangkat pula
oleh Kuntowijoyo dalam novel Mantra Penjinak Ular.
Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu
mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam
suatu proses dialektika dengan zaman yang terus bergerak, pada kurun
waktu kira-kira menjelang akhir abad ke-20. Sebagai pegawai di sebuah
kecamatan di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, Abu berkesempatan
tampil sebagai saksi sejarah menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde
yang kemaruk: Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu
muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera
ambruk.7
Beberapa alasan bagi peneliti memilih karya Kuntowijoyo sebagai
bahan yang akan diteliti. Alasan peneliti menjadikan novel MPU sebagai
bahan penelitian di antaranya: pertama, Kuntowijoyo merupakan figur
yang menunjukkan realitas budaya Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari

5
Kuntowijoyo, “Mencari Budaya Politik Alternatif”, Harian Kompas, Jakarta, 5
Desember 1995, h. 4.
6
Kusmarwanti, “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel-Novel
Karya Kuntowijoyo”, Litera, Vol. 14, 2015, h. 148-149.
7
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), sampul halaman
belakang.
3

latar belakang pendidikannya yaitu sejarahwan, cendikiawan, agamawan,


dan budayawan. Ada beberapa novel lainnya yang berlatar budaya Jawa
selain novel Mantra Penjinak Ular, yaitu Wasripin dan Satinah dan Pasar.
Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo mengangkat latar budaya
Jawa yang kental dan latar situasi Orde Baru dengan kekuasaan yang
otoritarian.8 Novel Pasar karya Kuntowijoyo memiliki latar belakang etnis
Jawa dan banyak mengangkat permasalahan kejawaan.9
Kedua, Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya melalui
karya-karyanya yang bercorak transendental dan profetik. Sastra yang
bercorak transendental dapat dilihat dalam novelnya, yaitu Khotbah di
Atas Bukit, Impian Amerika, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Anjing-
Anjing Menyerbu Kuburan serta kumpulan puisinya yang berjudul Suluk
Awang-Awung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik, yaitu Pasar,
Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah. Ketiga, Kuntowijoyo
merupakan intelektual yang sangat kritis terhadap fakta sosial dan dalam
karya cerpen dan novelnya banyak menggunakan tokoh orang desa dan
rakyat jelata, serta karya-karyanya sarat dengan memperjuangkan
pembebasan orang yang tertindas.
Kempat, novel MPU ini menarik perhatian peneliti karena
mengambil latar waktu historis peristiwa Orde Baru pada tahun 1997 masa
pemilihan umum nasional, sebelum reformasi, saat situasi politik di
Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan.
Kelima, novel MPU ini sarat akan konflik sosial yang tidak berwujud
kekerasan, yakni unjuk-rasa (demonstrasi), pemogokan (dengan segala
bentuknya), dialog (musyawarah), polemik melalui surat kabar, dan protes.
Selain itu, peneliti juga tertarik terhadap cara para tokoh dalam mengatasi
konflik sosial.

8
Kusmarwanti, op. cit., h. 149.
9
Nurhadi dan Dian Swandayani, Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel Pasar
Karya Kuntowijoyo, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files diunduh pada hari Senin, 7-3-2016. h.
2.
4

Pembelajaran sastra mengenai analisis unsur intrinsik dan


ekstrinsik dalam novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun
kreativitas peserta didik dalam mengapresiasikan karya sastra. Melalui
novel MPU, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep konflik
dengan baik dan dapat mengatasi konflik sosial sehingga siswa mampu
memperkuat basis nilai, baik nilai moral, budaya, agama, dan sosial dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Peserta didik juga dapat mengimplikasikan
bahwa penyelesaian dari konflik sosial itu tidak harus berujung pada
tindakan kekerasan dan memakan korban jiwa tetapi konflik sosial dapat
diatasi dengan jalan musyawarah bersama yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak yang berkonflik. Konflik sosial juga dapat diselesaikan
dengan melibatkan pihak-pihak tertentu maupun lembaga sosial-politik
yang dapat melerai pihak yang berkonflik.
Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas,
peneliti tertarik untuk meneliti novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo dengan mengambil judul “Konflik Sosial dalam Novel
Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada
Pembelajaran Sastra di SMA/MA.” Melalui penelitian ini peneliti akan
mencari tahu bagaimana kehidupan masyarakat desa dengan berbagai
permasalahan yang nantinya dapat memicu terjadinya konflik sosial dan
perubahan sikap masyarakat desa.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut:
1. Kurangnya keterlibatan lembaga sosial-politik secara langsung dalam
mengatasi berbagai potensi konflik di sejumlah daerah.
2. Kurangnya sikap dan nilai-nilai positif yang dapat diambil dari
terjadinya konflik sosial.
3. Kurangnya pembahasan mengenai konflik sosial yang diimplikasikan
pada pembelajaran sastra di SMA/MA.
5

C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan agar ruang lingkup penelitian tidak
kabur sehingga ruang lingkup penelitian menjadi jelas dan terarah. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah fokus kepada “Pengaruh
konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo”.

D. Rumusan Masalah
Agar penelitian lebih jelas dan terarah maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo?
2. Bagaimana implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia
di SMA/MA?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan konflik sosial dalam novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra
Indonesia di SMA/MA.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang
mencakup aspek teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan
meningkatkan pengetahuan serta wawasan yang berkaitan dengan
sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah.
6

Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu dalam menambahkan


pemikiran mengenai pendekatan yakni sosiologi sastra serta membantu
dalam mengkaji novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
2. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memudahkan dan
membantu pembaca dalam memahami isi, mengapresiasikan serta
mengaplikasikan sikap optimis dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo khususnya dalam menghadapi konflik sosial yang
sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjelaskan cara pandang pengarang yang terdapat
dalam novel terkait konflik sosial dalam masyarakat dengan
menggunakan lintas disiplin ilmu, yaitu sastra dan sosiologi.

G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,
data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.10 Hanya saja
penelitian sastra bersifat deskriptif, karena itu metodenya juga
digolongkan ke dalam metode deskriptif. Dalam hal ini, Nawawi dalam
Siswantoro menjelaskan metode deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita
pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
atau sebagaimana adanya.11
Penulis menggunakan novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo sebagai data alamiah dengan metode kualitatif deskriptif.
Penelitian ini menekankan pada analisis dan hasil analisisnya dalam
bentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisian tentang

10
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 47.
11
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 56.
7

variabel. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu


dokumen ataupun teks dalam karya tersebut.
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari 3 September 2015 sampai 13
Februari 2017. Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu
karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) karya sastra, yaitu
novel.

2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini yaitu naskah novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo dengan mengkaji “Konflik Sosial dalam Novel
Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya pada
Pembelajaran Sastra di SMA/MA”.

3. Data dan Sumber Data


a. Data
Data ialah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan
informasi atau keterangan.12 Data merupakan informasi yang telah
dikumpulkan oleh peneliti agar mempermudah dalam proses
analisis. Data penelitian ini berupa kutipan kata, kalimat serta
dialog yang terdapat dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.

b. Sumber Data
Sumber dalam pengumpulan data dapat menggunakan sumber data
primer dan sumber data sekunder.
1) Sumber Data Primer
Data primer adalah data utama, yaitu data yang diseleksi
atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara.
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang
diproses secara langsung dari sumbernya tanpa lewat

12
Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 106.
8

perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah


novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.

2) Sumber Data Sekunder


Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung atau lewat perantara, tetapi tetap bersandar kepada
kategori atau parameter yang menjadi rujukan.13 Sumber data
sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak
langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada
kategori konsep yang akan dibahas. Data sekunder umumnya
berupa bukti, catatan atau laporan yang telah tersusun dalam
bentuk data dokumenter baik yang dipublikasikan dan tidak
dipublikasikan.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buku-buku yang berhubungan dengan sastra, novel,
konflik sosial, dan faktor penyebab terjadinya konflik sosial.
Adapula data yang didapatkan dari jurnal sebagai penunjang
penelitian relevan berupa skripsi bersumber dari internet yang
telah terpercaya melalui universitas dan lembaga tertentu.

4. Teknik Pengumpulan Data


Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk pengumpulan data
dari novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo yaitu:
a. Membaca secara cermat, terarah, dan teliti naskah novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Pembacaan dilakukan secara
berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih maksimal.
b. Menandai dan mencatat kutipan-kutipan dari setiap rangkaian
peristiwa yang termasuk ke dalam unsur instrinsik dan
menggambarkan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.

13
Siswantoro, op. cit., h. 70-71.
9

c. Pengelompokkan data secara sistematis dan objektif dalam bentuk


tabel dan skema sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh
tokoh utama maupun tokoh pendukung.
d. Hasil dari proses pencatatan dan pengelompokan data digunakan
sebagai data untuk analisis konflik sosial novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo.
e. Hasil dari poin c digunakan sebagai data untuk
mengimplementasikan sikap masyarakat desa dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra.

5. Teknik Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan model heuristik dan
hermeneutik. Pembacaan heuristik yaitu pembacaan dengan jalan
meniti tataran gramatikalnya dari sisi mimetisnya dan dilanjutkan
dengan pembacaan retroaktif, yaitu pembacaan bolak-balik
sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap
maknanya.14 Pembacaan heuristik berfungsi untuk memperjelas arti.
Pembacaan hermeneutik dilakukan dengan membaca secara berulang-
ulang kemudian memahami makna dari bacaan tersebut.
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis
data antara lain:
a. Menganalisis data yaitu novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo berdasarkan struktur naskah meliputi tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar cerita, dan sudut pandang.
b. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi
sastra. Analisis ini dilakukan dengan membaca dan memahami
kembali data yang diperoleh baik berupa buku maupun jurnal yang
berkaitan dengan penelitian serta mengumpulkan dan

14
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),
h. 11.
10

mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang


konflik sosial kemudian menganalisisnya sesuai rumusan yakni
konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
c. Mengimplikasikan novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo pada pembelajaran sastra Indonesia di SMA/MA
yang dilakukan dengan cara menghubungkan materi pembelajaran
sastra di sekolah.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konflik dalam Karya Sastra


Karya sastra sering kali dikaitkan dengan realitas sosial yang
melibatkan banyak konflik di dalamnya, tentu benar adanya mengingat
keduanya tidak bisa dipisahkan. Wellek dan Warren, menyatakan bahwa
konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara
dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan.1
Konflik akan terjadi apabila tidak adanya lagi kesepakatan mengenai
sebuah keinginan yang tidak tercapai dan tidak adanya kesepakatan antara
individu satu dengan individu lainnya. Hal ini biasanya sering terjadi pada
kehidupan nyata masyarakat yang selalu menghindari maupun harus
menghadapi hal tersebut. Sebuah karya sastra yang menampilkan berbagai
macam peristiwa sangat erat kaitannya dengan konflik. Peristiwa akan
mampu menciptakan konflik dan konflik akan memicu adanya peristiwa
lainnya.
Nurgiantoro, menyatakan bahwa peristiwa dan konflik biasanya
berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain,
bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Ada peristiwa
tertentu yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi
konflik, berbagai peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya sebagai
akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi
peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat.2
Namun, konflik yang digambarkan di dalam karya sastra bukan
sepenuhnya konflik nyata. Pengarang bisa saja memasukkan imajinasi
yang dimilikinya baik secara sengaja maupun tidak sengaja menyajikan
konflik dengan cara demikian agar menimbulkan kesan menarik untuk

1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h. 285.
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013), h. 180.

11
12

dibaca. Perlu diingat sastra bukanlah sebuah kejadian yang


menggambarkan keadaan dengan apa adanya. Dengan demikian, sastra
tidak sepenuhnya menggambarkan sebuah konflik yang terjadi pada kurun
waktu tertentu.
Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke
dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal
(external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu
yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin
lingkungan manusia atau tokoh lain. Dengan demikian, konflik eksternal
dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical
conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik
yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam.
Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak sosial
antarmanusia. Antara lain berwujud masalah perburuhan, penindasan,
percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.
Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam
jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami
manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan
permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat
adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang
berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin
banyak disoroti dalam novel yang lebih banyak mengeksplorasi berbagai
masalah kejiwaan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.3
Pengertian konflik dalam karya sastra dari berbagai pendapat pada
ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa konflik dalam karya sastra adalah
pertentangan yang memicu terjadinya peristiwa penting lainnya yang
sangat dibutuhkan bahkan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan.
Sastra bukan saja memunculkan terjadinya konflik tetapi juga
menampilkan bagaimana cara untuk mengatasi konflik tersebut. Oleh

3
Ibid., h. 181-182.
13

karena itu, sastrawan dituntut untuk tidak hanya terfokus pada masalah
gaya dan teknik penulisan saja, tetapi harus memperhatikan pula persoalan
mengenai konflik dan cara mengatasinya. Hal tersebut juga dapat
menjadikan sastra sebagai alat untuk mencapai perubahan sikap dalam
masyarakat.

B. Pandangan tentang Konflik Sosial


Kata konflik menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti
percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash
antar manusia. Konflik seperti itu bisa timbul bila ada perbedaan pendapat,
pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan,
kelakuan, atau kebiasaan.4 Menurut Nurdjana, konflik sebagai akibat
situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan
antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling
terganggu.5 Sedangkan dalam pengertian yang umum (longgar), konflik
didefinisikan sebagai perbedaan sosio-kultural, ekonomi, politik, dan
ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa
dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif.
Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang
bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang
heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi. Sementara itu segmentasi
dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam
ikatan-ikatan primordial dengan subkebudayaan yang berbeda sangat
mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial.6
Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya
adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang dengan identitas yang
jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau
lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai

4
M. Harun Alrasyid, “Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik Sosial”, Jurnal
Madani, 2005, h. 5.
5
Andri Wahyudi, “Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan”, Jurnal Madani, 2005, h. 3.
6
M. Harun Alrasyid. loc. cit.
14

maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber


daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak-
pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan
mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan. Jadi konflik bukanlah
kompetisi atau ketegangan, meskipun keduanya dapat menjadi cikal bakal
konflik.7 Menurut Coser (dalam Zeitlin) bahwa konflik sosial adalah suatu
perjuangan terhadap nilai dan pengakuannya terhadap status yang langka,
kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan, atau dieliminasi saingan-saingannya. Dalam konflik sosial,
jati diri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi
diakui keberadaannya. Jati diri orang perorang tersebut diganti oleh jati
diri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang
terjadi bukanlah konflik antara orang perorang dengan jati diri masing-
masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jati diri golongan
atau kelompoknya.8
Konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berwujud
kekerasan dan konflik yang tak berwujud kekerasan. Konflik yang
mengandung kekerasan, pada umumnya terjadi dalam masyarakat-negara
yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan tujuan negara.
Huru-hara (kerusuhan), kudeta (perebutan kekuasaan dengan paksa),
pembunuhan, pemberontakan, dan revolusi merupakan sejumlah contoh
konflik yang mengandung kekerasan. Konflik yang tak berwujud
kekerasan, pada umumnya dapat ditemui dalam masyarakat-negara yang
memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara. Adapun contoh
konflik yang tak berwujud kekerasan, yakni unjuk-rasa (demonstrasi),
pemogokan (dengan segala bentuknya), dialog (musyawarah), polemik
melalui surat kabar, dan protes. Sementara itu, konflik tidak selalu bersifat

7
M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa
Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), h. 2.
8
Parsudi Suparlan, “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, Jurnal Antropologi
Indonesia, Vol. 30, 2006, h. 145-146.
15

negatif seperti diduga banyak orang. Apabila ditelaah secara saksama,


konflik mempunyai fungsi positif, yakni sebagai pengintegrasi (pembauran
hingga menjadi kesatuan) masyarakat dan sebagai sumber perubahan.9
Coser dan Steven (dalam Anton), mengemukakan konflik-konflik
sosial, yang dianggap sebagai perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim
atas status kekuasaan, dan sumber daya, dapat memenuhi fungsi-fungsi
positif. Misalnya, konflik dapat mendamaikan kelompok-kelompok yang
saling bersaing, mengarahkan pihak-pihak yang sedang berjuang untuk
mengekspresikan identitas mereka sendiri, mengurangi ketidakpastian
dengan menjaga batas-batas kelompok, dan merangsang kelompok untuk
mencari asumsi-asumsi serta nilai-nilai dasar umum atau lembaga-
lembaga pengamanan, dan sebagainya. Secara singkat konflik dapat
meningkatkan bukannya mengurangi adaptasi atau penyesuaian hubungan-
hubungan sosial atau kelompok-kelompok.10
Konflik sosial yang menyelimuti masyarakat kita dan masyarakat
dunia sekarang berasal dari nilai-nilai suci yang berbeda (cara hidup,
kebenaran transenden, dan moral). Konflik sosial jelas sekali muncul
disebabkan cara mengatasinya yang lamban dari kasus-kasus individu
yang berdasarkan keadilan hukum yang tidak bisa dilaksanakan oleh
aparat keamanan.11 Terlepas dari apa bentuk (modus) konflik yang terjadi,
faktor penyebab dan fungsinya bagi terbentuknya proses sosial, ternyata
konflik berkepanjangan tidak hanya berakibat semakin sulitnya dicarikan
strategi pemecahannya tapi juga berdampak semakin rusaknya tatanan
kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam hal inilah, hal terpenting harus
disikapi Pemerintah dan masyarakat adalah mencari solusi paling tepat

9
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 150.
10
Anton Van Harskamp, Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial, (Yogyakarta: KANISIUS
(Anggota IKAPI), h. 5.
11
Suaidi Asy’ari, Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, (Jakarta: Indonesian-
Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 2003), h. 31.
16

untuk mengatasi konflik yang terjadi serta membangun kerukunan hidup


masyarakat sehingga terbentuk NKRI yang kuat.12
Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang
berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok,
golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa
sosial-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh
karena itu perlu upaya yang simultan dilakukan agar konflik yang
potensial tersebut dikelola secara saksama, baik oleh pemerintah daerah,
masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya
adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi
di dalamnya.13
Dalam mengatasi konflik yang terjadi perlu dilakukan dialog dan
komunikasi agar masyarakat memiliki pengertian tentang keragaman dan
toleransi, melakukan negosiasi sesuai dengan berbagai kepentingan dan
posisi yang ada serta membuat konsensus yang menguntungkan kedua
atau berbagai pihak, mengidentifikasi kebutuhan dan mengupayakan
bersama pencapaian kebutuhan tersebut, mengidentifikasi ancaman dan
ketakutan yang terjadi untuk membangun rasa empati dan rekonsiliasi di
antara mereka, memberikan informasi tentang budaya dan mengefektifkan
komunikasi antar budaya, serta melakukan perbaikan struktur dan
kerangka kerja yang menyebabkan ketidak setaraan dan ketidakadilan
tersebut terjadi, meningkatkan pengertian dan kerja sama, dan
mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan
keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, dan pengakuan. Konflik
harus segera diatasi agar tidak menimbulkan konflik baru yang lebih besar
dan rumit. Konflik bisa di manag untuk membangun solidaritas kelompok,

12
Choirul Fuad Yusuf, Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah di
Indonesia 1997-2005, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2013), h. 2-3.
13
Dadang Sudiadi, “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang Majemuk:
Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan di Indonesia”,
Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 5, 2009, h. 34-35.
17

peningkatan nasionalisme, kekompakan, dan komitmen organisasi,


motivasi studi dan prestasi, persatuan, dan keharmonisan hidup sosial dan
rumah tangga. Untuk itu diperlukan seni dan managemen konflik.14
Ada beberapa bentuk dan tingkatan intervensi konflik. Pertama,
adalah peace making (menciptakan perdamaian) yang biasa muncul dalam
bentuk intervensi militer. Dinamika konflik biasanya berada pada puncak
eskalasi yang ditandai oleh reproduksi aksi kekerasan, mobilitasi massa,
dan tidak adanya komitmen menghentikan konflik kekerasan. Kedua,
adalah peace keeping (menjaga perdamaian) yang juga muncul dalam
bentuk intervensi militer agar pihak yang sudah tidak bertikai tidak
kembali melakukan aksi kekerasan. Pada tingkatan ini pihak bertikai tidak
melakukan aksi kekerasan bukan dilandasi oleh pemecahan masalah,
namun akibat melemahnya atau habisnya sumber daya bertempur. Ketiga,
adalah conflict management (pengelolaan konflik) yang mulai
menciptakan berbagai usaha untuk mencari pemecahan masalah. Beberapa
tindakan pengelolaan konflik ini bisa dalam bentuk negosiasi, mediasi,
penyelesaian jalur hukum, arbitrasi, dan workshop pemecahan masalah.
Keempat, adalah peace building (pembangunan perdamaian) yang
merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur,
dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai. Semua proses di atas merupakan
bagian dari conflict transformation (transformasi konflik), yaitu suatu
proses menanggulangi berbagai masalah dalam konflik, sumber-sumber
dan konsekuensi negatif konflik. Transformasi konflik sendiri merupakan
proses jangka panjang.15
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian konflik sosial adalah pertentangan, percekcokan sosial yang
dilakukan antarindividu, antarkelompok dengan tujuan untuk memperoleh
status, kekuasaan, dan sumber daya serta keinginan untuk menghancurkan
dan menguasai pihak lain. Pertentangan sosial itu dipicu adanya perbedaan

14
Moh. Roqib, op. cit., h. 5.
15
Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 97.
18

pendapat dari masing-masing pihak. Di sisi lain, konflik dapat


mendamaikan pihak yang saling berseteru dan mengarahkan pihak-pihak
yang sedang berjuang demi identitas mereka sendiri. Untuk meredakan
konflik sosial yang seringkali berkecamuk karena lambannya dalam
mengatasi kasus individu maupun kelompok, maka dibutuhkan kesigapan
aparat keamanan serta lembaga tertentu untuk mengadilinya dan
membangun kembali kerukunan hidup masyarakat.

C. Penyebab Konflik Sosial


Banyak faktor telah menyebabkan terjadinya konflik-konflik.
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan
konflik-konflik antar-individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah
bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha
membinasakan lawannya (tidak selalu harus diartikan sebagai
pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan
simbolik alias melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya).
Kecuali perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan pun menimbulkan
konflik-konflik. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan
konflik antar-individu, akan tetapi malahan antar-kelompok. Pola-pola
kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan
pola-pola perilaku yang berbeda pula di kalangan khalayak kelompok
yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini,
konflik-konflik akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik
antar-kelompok. Kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda pun
memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan kepentingan masing-
masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan
berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.16
Faktor penyebab konflik pada prinsipnya mencakup, tentang: (1)
Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan; (2)

16
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 68-69.
19

Perbedaan latar belakang kebudayaan, sehingga membentuk pribadi-


pribadi yang berbeda-beda; (3) Perbedaan kepentingan antara individu
atau kelompok; dan (4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan
mendadak dalam masyarakat.17 Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari
timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang
akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial,
dan kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas
dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Mereka berpendapat
bahwa beberapa hal yang lebih mempertegas akar dari timbulnya konflik
di antaranya:18
1. Perbedaan antar-individu; di antaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam
realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi
timbulnya konflik sosial.
2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
Benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha,
sehingga banyak di antara kelompok pengusaha saling
memperebutkan wilayah pasar dan perluasan wilayah untuk
mengembangkan usahanya. Adapun benturan kepentingan politik lihat
lagi konflik kepentingan.
3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan
perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di
mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai
pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur
sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.

17
Thomas, dkk, “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo
Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan Kembayan, Kabupaten
Sanggau”, Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015, h. 4.
18
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), h. 361-362.
20

Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah “semau gue”


yang berakibat pada benturan antarkepentingan baik secara individual
maupun kelompok.
4. Penyebab kebudayaan, yang mengakibatkan adanya perasaan in group
dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme
kelompok yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa
kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab di antara kelompok
lain.
Perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam
perbedaan. Ada perasaan yang menganggap kelompoknya lebih hebat,
lebih pintar, lebih baik dan lebih berbudaya dari kelompok lain. Sementara
itu, di pihak lain ada kelompok yang merasa tertekan, kurang diperhatikan.
Kurang dihargai, bahkan diabaikan oleh kelompok lain. Perasaan semacan
ini mempertajam sikap suatu kelompok untuk berusaha menghancurkan
kelompok lain. Kelompok yang satu berusaha melawan kelompok lain
dengan menggunakan kekerasan dan ancaman.19 Menurut Atran (dalam
Dewi Fortuna, dkk) menyimpulkan bahwa pada akhirnya sebagian besar
konflik disebabkan oleh pertarungan memperebutkan sumber daya: latar
belakangnya adalah situasi ‘aspirasi yang sedang meningkat diikuti oleh
harapan yang menipis’.20

D. Hakikat Novel
Tarigan (dalam Antilan) mengemukakan bahwa kata novel berasal
dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang
berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis
sastra lainnya seperti puisi dan drama.21 Wahyudi Siswanto
mengemukakan novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek

19
Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.
33.
20
Dewi Fortuna, dkk, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik,
dan Kebijakan di Asia-Pasifik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 4.
21
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 62.
21

daripada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), novel


diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Biasanya novel menceritakan
peristiwa pada masa tertentu.22 Novel bersifat realistis dan berkembang
dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar atau biografi,
kronik atau sejarah. Dengan kata lain, novel berkembang dari dokumen-
dokumen.23
Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa novel dapat mengemukakan
sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci,
lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang
kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel
itu. Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan,
dan latar secara umum dapat dikatakan lebih rinci dan kompleks.24
Pengertian novel dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya
menitikberatkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang
menceritakan beragam peristiwa pada masa tertentu yang biasanya dialami
oleh kehidupan seseorang dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Sebenarnya novel berkembang dari dokumen-dokumen yang telah diamati
pengarang salah satunya peristiwa sejarah dapat dijadikan bahan
pembuatan novel dan pengarang dapat memasukkan sesuatu hal penting
secara lebih terperinci mengenai permasalahan kompleks yang terdapat di
dalamnya. Hal itu mencakup pula unsur-unsur pembangun novel, seperti
tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, dan amanat sehingga dapat
mengetahui lebih mendalam dan lengkap isi dari novel tersebut.

E. Unsur Intrinsik Novel


Pada umumnya, para ahli membagi unsur intrinsik prosa rekaan
atas tema, tokoh dan penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), titik

22
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 141.
23
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283.
24
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14.
22

pandang (sudut pandang), dan amanat.25 Berikut ini akan diuraikan secara
singkat, yakni:
1. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara makna
dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.26 Tema
pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara
singkat dikatakan sebagai makna cerita.27 Sama seperti makna
pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek
kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang
melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,
mengerucut, dan berdampak.28 Makna cerita dalam sebuah karya fiksi,
mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu
interpretasi.
Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya untuk menentukan
tema pokok cerita atau tema mayor. Tema mayor merupakan makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum.
Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan
aktivitas mengidentifikasi, memilih, mempertimbangkan, dan menilai
di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya
yang bersangkutan. Tema minor merupakan makna pokok cerita yang
tersirat dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan
cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna
tambahan.29

25
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 142.
26
Ibid., h. 161.
27
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133.
28
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 41.
29
Burhan Nurgiyantoro. loc. cit.
23

Pengertian tema dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya


menitikberatkan bahwa tema adalah suatu gagasan yang mendasari
suatu cerita dalam karya sastra. Untuk mengetahui tema dibutuhkan
ketelitian dalam mengamati setiap konflik yang ada di dalamnya
dengan cara membaca keseluruhan isi cerita. Di dalam sebuah tema
yang menjadi unsur gagasan yaitu ide pokok pemaparan yang
disajikan oleh pengarang.

2. Tokoh dan Penokohan


Istilah ‘tokoh’ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku
cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam
cerita.30 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.31 Tokoh
merupakan komponen penting dalam sebuah cerita. Apabila tokoh
tidak ada, maka sulit untuk menggolongkan karya tersebut ke dalam
karya sastra. Setiap tokoh akan melakukan berbagai tindakan, baik
secara sendiri maupun secara bersama-sama dengan tokoh lain.
Perjuangan seorang tokoh akan berhasil manakala ia mampu
melampaui, mengatasi, atau menaklukan segala rintangan yang
diakibatkan persentuhannya dengan tokoh-tokoh lain.32
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh
yang memiliki perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal.
Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
pandangan dan harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah
tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung
ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Secara umum
dapat dikatakan bahwa kehadiran tokoh antagonis penting dalam

30
Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 43-44.
31
Melani Budianta, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 86.
32
Atmazaki, Ilmu Sastra (Teori dan Terapan), (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 62.
24

cerita fiksi, khususnya fiksi yang mengangkat masalah pertentangan


antara dua kepentingan, seperti baik-buruk, baik-jahat, benar-salah,
dan lain-lain yang sejenis.
Tokoh antagonislah yang menyebabkan timbulnya konflik dan
ketegangan sehingga cerita menjadi menarik. Konflik yang dialami
tokoh protagonis tidak harus hanya yang disebabkan tokoh antagonis
seorang (beberapa orang) individu yang dapat ditunjuk secara jelas.
Namun, dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individu
seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan
sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan yang lebih
tinggi, dan sebagainya.33 Pengertian tokoh dari berbagai pendapat
pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa tokoh adalah pelaku
yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan mempunyai sifat,
sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita. Watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat
dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

3. Alur (plot)
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan
saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah
klimaks dan selesaian.34 Peristiwa-peristiwa yang menjalinnya ada
yang penting untuk jalannya cerita dan ada yang tidak penting, namun
saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu menarik.35 Pengertian alur
dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa
alur adalah urutan kejadian yang dijalin dengan saksama
menghubungkan sebab-akibat dari setiap peristiwa serta
menggerakkan jalannya cerita.

33
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
34
Sugihastuti, Teori dan Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36.
35
Melani Budianta, op. cit., h. 87.
25

Tasrif dalam (Nurgiyantoro) mengklasifikasikan tahapan plot


menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu antara lain:36
a. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai
melukiskan suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi
latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian
informasi awal, dan lainnya terutama berfungsi untuk
melandastumpui cerita.
b. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik.
Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan
tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan
berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap berikutnya.
c. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik
yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.
Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya,
pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan
masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat
dihindari.
d. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi,
yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh
tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja
memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah
mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

36
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
26

4. Latar Cerita
Latar atau setting atau yang disebut juga dengan landas tumpu,
menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu sejarah, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.37 Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor
seperti cafe di Paris ataupun berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.38 Latar sebagai
tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa-
peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam
dan antar tokoh.39
Bila dijabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi
geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan,
bahkan detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh
sehari-hari; 3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk
periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan
religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.40
Unsur latar dalam Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat,
latar waktu, dan sosial.41
a. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling

37
Ibid., h. 302.
38
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 35.
39
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113.
40
Pujiharto, op. cit., h. 48.
41
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322.
27

tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis


tempat yang bersangkutan.
b. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
Latar memberikan pijakan secara jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana
tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.42
Pengertian latar dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya
menitikberatkan bahwa latar adalah keterangan mengenai tempat,
waktu, dan suasana terjadinya deretan peristiwa nyata atau fiksi yang
membangun sebagian alur di dalam karya sastra.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang dapat diartikan sebagai cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.43 Sudut
pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan.
Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.44
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut
pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan
Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan
berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang,

42
Ibid., h. 303.
43
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152.
44
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 338.
28

yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona


pertama, dan ditambah persona kedua.45 Berikut ini adalah macam-
macam sudut pandang:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator
mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya
sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya, namun terbatas
hanya pada seorang tokoh).
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini
terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam
sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya
sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan
teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri,
melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan
pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai
variasi penuturan atau penyebutan.
d) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.
Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang
lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk
menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. Pengertian sudut
pandang dari berbagai pendapat pada ahli sebelumnya

45
Ibid., h. 347-359.
29

menitikberatkan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan


pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita meliputi; pertama, sudut pandang
persona ketiga: “dia”, kedua, sudut pandang persona pertama: “aku”,
ketiga, sudut pandang campuran.

F. Hakikat Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.46 Sosiologi
mempunyai dua akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman”
dan logos (dari bahasa Yunani) yang berarti “ilmu tentang”. Secara harfiah
sosiologi berarti “ilmu tentang pertemanan”. Dalam sudut pandang ini,
sosiologi bisa didefinisikan sebagai “studi tentang dasar-dasar
keanggotaan sosial (masyarakat)”.47 Kalau bertolak pada pemikiran
Damono secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah studi
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang
lembaga dan proses sosial.48 Dalam bukunya yang berjudul The Sociology
of Literature, Swingewood selanjutnya mengatakan bahwa sosiologi
berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat,
bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.49
Kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Sansekerta akar katanya “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk, atau instruksi. Dengan akhiran “tra” yang berarti alat
atau sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk
mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Seperti halnya sosiologi,

46
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), h. 1.
47
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), h. 4.
48
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS,
2011), h. 2.
49
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 1.
30

sastra berurusan dengan manusia dalam masyakarat serta usaha manusia


untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu.50
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa sosiologi lebih kepada
analisis yang objektif ditujukan kepada manusia dalam masyarakat,
sedangkan sastra lebih mendalami kehidupan sosial dan menunjukkan
cara-cara manusia dalam bermasyarakat. Untuk meneliti sebuah karya
sastra dalam penelitian ini khususnya novel yang isinya berkaitan dengan
masyarakat, sehingga untuk mendeskripsikan kehidupan sosial yang terjadi
dalam masyarakat sangat dibutuhkan ilmu sosial. Lagi pula sastra
“menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia
subjektif manusia.51
Dengan demikian, penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk
penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan beberapa cara
mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra
dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi
di sekitarnya.52 Pengertian sosiologi sastra dari berbagai pendapat pada
ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang
mempelajari tentang keterkaitan sastra dengan masyarakat seperti
kehidupan sosial dalam masyarakat karena pada dasarnya sastra tidak akan
lepas dari masalah sosial.

G. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra dapat diterapkan disemua jenjang pendidikan
formal mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi yang tentunya
harus disesuaikan dengan kompetensi teori sastra yang hendak dicapai.
Peserta didik yang sudah berada di jenjang sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas dituntut harus menguasai dan menghafal teori
sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba

50
Ibid., h. 3.
51
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 109.
52
Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 25.
31

mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses


kreatif sastra.53
Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal, atau biasanya
dikenal dengan istilah “pengajaran”, bertujuan mengembangkan potensi
individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut
kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas
kemampuannya, dan karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan
dirinya. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan,
yang bertujuan membina watak siswa. Artinya, pengajaran sastra
menghasilkan manusia-manusia yang dapat bertahan hidup tanpa
menyusahkan ataupun merepotkan orang lain.54 Salah satu kelebihan novel
sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut
dinikmati siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing
perorangan.55
Hakikatnya, pembelajaran sastra Indonesia di sekolah ditujukan
untuk menumbuhkan kepedulian siswa, guru, tata usaha, dan kepala
sekolah terhadap keberadaan sastra Indonesia sebagai alat komunikasi dan
sebagai alat pemersatu bangsa ini. Kepedulian itu pada gilirannya
diharapkan akan meningkatkan sikap positif kita terhadap sastra Indonesia
baik sebagai lambang identitas dan kebanggaan bangsa, persatuan dan
kesatuan bangsa, pembangkit rasa solidaritas kemanusiaan maupun
sebagai sarana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.56

H. Penelitian yang Relevan


Dengan adanya penelitian relevan, peneliti dapat melihat dan
membandingkan penelitian sebelumnya agar terhindar dari plagiarisme.
Penelitian mengenai pengarang dan novel MPU karya Kuntowijoyo sudah

53
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 168.
54
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 30.
55
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,1988), h. 66.
56
Muslimin, “Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”,
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya, Vol. 1, 2011, h. 2.
32

banyak ditemukan dalam bentuk skripsi dan jurnal, namun dengan topik
pembahasan yang berbeda-beda. Berikut beberapa penelitian relevan
tersebut di antaranya: penelitian yang berbentuk skripsi dilakukan oleh
Giyato (2010) mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
“Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak
Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai
Pendidikan)”. Penelitian ini memaparkan bahwa pertama, pandangan
dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi
misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan
moral; kedua, struktur sosial budaya masyarakat meliputi religiusitas, seni
budaya, mitos, perilaku dan kesenangan, penggunaan bahasa, prinsip
hidup, interaksi sosial, pewarisan kepemimpinan, dan penyampaian kritik
masyarakat Jawa; ketiga, nilai pendidikan meliputi nilai pendidikan
agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.57
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muharrina Harahap (2009)
mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara Medan
dengan judul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”.
Penelitian ini, meneliti tentang mitologi Jawa dalam tiga novel karya
Kuntowijoyo, yaitu Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan
Satinah. Di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa ketiga novel
tersebut menunjukkan adanya unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya
Jawa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pada akhirnya
bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa.58
Selain itu, ditemukan hasil penelitian terhadap karya sastra yang
sama dalam bentuk jurnal yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sri Parini
mahasiswa UMS dengan judul “Aspek Religiusitas Novel Mantra

57
Giyato, Skripsi berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra
Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”,
2010, h. i.
58
Muharrina Harahap, Skripsi berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel
Kuntowijoyo”, 2009.
33

Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya


Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”. Hasil pembahasan dari penelitian
tersebut berupa: di dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa aspek
religiusitas dalam novel tersebut, meliputi: sadar akan hakikat dirinya,
mensyukuri nikmat Allah, ibadat harus diikuti pengolahan dunia,
manusialah yang dapat mengubah dirinya, mengajak untuk peduli kepada
kebenaran, membela kebenaran jauh lebih mulia, kesadaran untuk
beramal, seni mengajak eling kepada Tuhan, kepercayaan masyarakat
Jawa, dan adanya acara selamatan.59
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kusmarwanti mahasiswa
FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini, meneliti tentang tokoh
orang tua dan refleksi politik orde baru akan dicermati dalam dua novel
karya Kuntowijoyo, yaitu Mantra Penjinak Ular dan Wasripin dan
Satinah dengan judul “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru
dalam Novel-Novel Karya Kuntowijoyo”. Penelitian tersebut memaparkan
bahwa pertama, tokoh orang tua dalam novel Mantra Penjinak Ular
memiliki hubungan intertekstual dengan Ronggowarsito dan tokoh orang
tua dalam novel Wasripin dan Satinah memiliki hubungan intertekstual
dengan Nabi Hidzir. Kedua, tokoh orang tua merefleksikan isu-isu politik
Orde Baru, meliputi: pencitraan partai penguasa untuk pemenangan
pemilu, loyalitas pada partai penguasa, penangkapan dan pembunuhan
lawan politik, dan monopoli ekonomi dan tanda-tanda keruntuhan
penguasa.60
Penelitian yang terakhir dalam bentuk jurnal dilakukan oleh Anwar
Efendi mahasiswa FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini,
meneliti tentang kemandirian tokoh wanita akan dicermati dalam empat
buah novel karya Kuntowijoyo, yaitu: (1) Khotbah di Atas Bukit, (2)
Pasar, (3) Mantra Penjinak Ular, dan (4) Wasripin dan Satinah dengan

59
Sri Parini, Jurnal berjudul “Aspek Religiusitas Novel Mantra Penjinak Ular Karya
Kuntowijoyo: Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”, Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol. 15, 2014, h. 55.
60
Kusmarwanti, op. cit., h. 148.
34

judul “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya


Kuntowijoyo”. Hasil pembahasan dari penelitian tersebut berupa: di dalam
penelitian tersebut dipaparkan bahwa pertama, tokoh wanita dihadirkan
secara utuh melalui peran individu, keluarga, dan sosialnya. Kedua, tokoh
wanita hadir dengan kemandirian, dapat bersikap dan menentukan pilihan
sendiri, dan berada sejajar dengan laki-laki. Ketiga, salah satu cara
penggambaran kemandirian yakni dengan melekatkan pekerjaan pada diri
tokoh wanita yang memungkinkan menghidupi diri sendiri.61
Berdasarkan beberapa penelitian relevan tersebut dapat diketahui
adanya perbedaan dan persamaan dari hasil analisis yang telah dilakukan
dari masing-masing penulis. Perbedaan terletak pada masing-masing hasil
analisis dan sumber data yang digunakan oleh para penulis, sedangkan
persamaan terletak pada objek yang dituju dari pengarang dan novel yang
sama yaitu novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu mengenai konflik sosial
dalam novel Mantra Penjinak Ular karya kuntowijoyo. Peneliti ingin
menjelaskan bahwa konflik dengan orang lain dan masyarakat itu tidak
selamanya harus berujung pada tindakan kekerasan dan pihak yang
berkonflik dapat mengatasi masalah tersebut dengan jalan musyarawah
tanpa harus menimbulkan korban jiwa. Analisis ini ditujukan sebagai
pelengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya.

61
Anwar Efendi, Jurnal berjudul “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya
Kuntowijoyo”, Jurnal Pendidikan Karakter, 2013, h. 331.
BAB III
PROFIL KUNTOWIJOYO

A. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir pada 18 September 1943 di Sorobayan, Bantul,
Yogyakarta, sejak kecil Kunto lebih banyak tumbuh di antara alam
pedesaan Klaten, bersama embahnya, seorang Demang di wilayah
Ngawonggo.1 Kuntowijoyo merupakan anak kedua dari sembilan
bersaudara yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dalam
lingkungan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi
pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Kunto berasal dari struktur
priayi, karena kakeknya pernah menjabat sebagai lurah. Sebagai seorang
sejarawan, Kunto sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kecintaan
Kunto terhadap ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan
sejarah, telah banyak mengajarkan pentingnya sifat arif dan bijaksana.
Kedua sifat ini diimplementasikan Kunto dalam kehidupan sehari-hari.2
Kuntowijoyo adalah sosok sejarahwan, budayawan, dan sastrawan
yang langka. Ia sekolah di SD Negeri Klaten (1956), SMP Negeri Klaten
(1959), dan SMA Negeri Solo (1962). Menyelesaikan sarjananya di
Fakultas Sastra jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun
1969.3 Setamat kuliah pada tahun 1969, Kunto yang sudah dikenal sebagai
penulis muda berbakat, menjadi dosen di almamaternya, UGM. Pada tahun
yang sama, Kunto menikahi Susilaningsih, yang kemudian memberinya
dua orang putra, Punang dan Alun. Di tahun 1973, kesempatan Kunto
untuk memperdalam ilmu sejarah, akhirnya membawa Kunto ke Amerika.
Selama 6 tahun berturut-turut, Kunto berhasil menyelesaikan masternya di
University of Connecticut, kemudian melanjutkan ke Columbia University

1
Waryani Fajar Riyanto, “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia Kuntowijoyo
(1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”, Politik Profetik, Vol. 2, 2013, h. 2.
2
M. Sirajudin Fikri, “Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo (Studi
Pada Sejarah Peradaban Islam)”, Wardah, 2015, h. 95.
3
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.

35
36

untuk meraih gelar doktornya di bidang Sejarah. Tesis masternya


diselesaikan pada 11 Desember 1974 dengan judul American Diplomacy
and Indonesia Revolution, 1945-1949: A Broken Image.4 Gelar MA-nya
diperoleh dari Universitas Connecticut, USA. Gelar PhD dalam studi
sejarah diperolehnya dari Universitas Columbia pada 1980, dengan
disertasi berjudul Social Change in an Agrarian Societ: Madura 1850-
1940 yang edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh penerbit Mata Bangsa,
Yogyakarta: 2002.5
Kuntowijoyo merupakan ilmuwan sekaligus pakar di berbagai
bidang yang telah mendapatkan pengakuan, baik secara nasional maupun
internasional, karena ia berwawasan global-lokal yang luas, baik inter,
antar, maupun multidisipliner. Jabatannya sebagai guru besar pada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengukuhkan statusnya
sebagai seorang ilmuwan dalam bidang sejarah. Ia pun eksis dengan
tulisan-tulisan sosialnya yang meliputi masalah sejarah, politik, agama,
budaya, dan telah menghasilkan lebih dari lima puluh judul tulisan.6
Sebelum maupun sesudah mengalami sakit yang cukup lama, ia tetap
produktif dan begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot.
Kemahirannya dalam memanfaatkan dua medium ungkap sastra (puisi,
cerpen, drama, novel) dan non-sastra (esai-esai dalam bidang sejarah,
budaya, politik) senantiasa membuat decak kagum pembacanya. Waspirin
dan Satinah adalah cerita bersambung yang baru saja dinikmati di harian
Kompas beberapa bulan lalu.7

B. Karya Kuntowijoyo
Kuntowijoyo disebut sebagai pengarang besar karena telah menulis
berbagai ragam karya sastra. Karyanya yang berupa novel ialah Kereta Api
yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar (1972), Khotbah di Atas Bukit

4
Waryani Fajar Riyanto, op. cit., h. 2.
5
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.
6
Adib Sofia, Kritik Sastra Feminis “Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo”,
(Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h. 2.
7
Arief Fauzi Marzuki. loc. cit.
37

(1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003),
sedangkan Impian Amerika (1998) merupakan karyanya yang berlabel
sebuah novel, tetapi berisi sejenis cerita berbingkai.
Selain itu, karyanya yang berupa puisi telah terkumpul dalam
kumpulan puisi Suluk Awang-uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat
Daun, Daun Makrifat (1995). Sementara itu, Rumput-rumput Danau Bento
(1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda (1973), Carta (1973)
dan Topeng Kayu (2001) adalah karyanya yang berupa drama, dan
Mengusir Matahari; Fabel-fabel Politik (1999) adalah karyanya yang
berupa fabel. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993) serta Hampir
Sebuah Subversi (1999) adalah dua kumpulan cerita pendeknya. Selain
karya-karya di atas, terdapat pula beberapa cerita pendek yang terbit
bersama penulis lain dan cerita pendek yang tersebar di berbagai media
massa.
Kepakaran Kuntowijoyo di berbagai bidang tersebut dibuktikan
dengan berbagai penghargaan yang telah diraihnya, antara lain:
penghargaan pertama Majalah Horison untuk cerpen Dilarang Mencintai
Bunga-bunga (1968), dan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta
untuk drama Rumput-rumput Danau Bento (1968) untuk drama Topeng
Kayu (1973). Selain itu, ia juga mendapatkan Hadiah Seni dari Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulis Sastra Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994), Penghargaan Kebudayaan
ICMI (1995), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Satya
Lancana Kebudayaan Republik Indonesia (1997), Mizan Award (1998),
Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Tekonologi Sastra dari
Menristek (1999), Anugerah Penghargaan Sastra 1999 dari Pusat Bahasa
di Rawamangun, SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1999),
Penghargaan Majelis Sastera Asia Tenggara (2001), dan Anugerah
38

Kesetiaan Berkarya di Bidang Penulisan Cerpen dari harian Kompas


(2002).8
Goresan pena Kuntowijoyo selalu dirindukan para pembaca,
penerbit buku, dan berbagai media massa yang ada. Karya-karya
nonfiksinya banyak diterbitkan penerbit Mizan Bandung, seperti
Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat
Islam (1987), Muslim Tanpa Masjid (2001), dan Selamat Tinggal Mitos,
Selamat Tinggal Realitas (2002). Juga penerbit Tiara Wacana Yogyakarta:
Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat
(1987).9 Kendati sebagian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam
keadaan sakit, sampai menjelang akhir hayat, Kunto telah berhasil menulis
lebih dari 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai
media.10

C. Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo merupakan salah satu sastrawan yang menggagas
prinsip penulisan sastra profetik. Bukan hanya sastra profetik yang ia
gagas, tetapi juga ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi,
liberasi, dan transendensi. Dengan adanya gagasan tersebut manusia dan
masyarakat Islam sudah seharusnya melakukan berbagai aksi kemanusiaan
dan kemasyarakatan sehingga mampu memberikan usahanya untuk
melakukan perubahan dan perkembangan bagi kemajuan manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh M. Dawam Raharjo dan M. Syafii Anwar,
benang merah pemikiran Kuntowijoyo amat jelas. Ia adalah ilmuwan
sosial Muslim yang pertama kali mengetengahkan perlunya “ilmu sosial
profetik” (ISP) berdasarkan pandangan dunia Islam. pokoknya ada dua
hal. Pertama, transformasi sosial dan perubahan. Kedua, menjadikan Al-
Quran sebagai paradigma.11

8
Adib Sofia, op. cit., h. 3.
9
Arief Fauzi Marzuki, op. cit., h. 18.
10
M. Sirajudin Fikri, op. cit., h. 96.
11
Arief Fauzi Marzuki. loc. cit.
39

Menurut Sartono Kartodirdjo, Kunto menulis dengan tidak partisan


dan tidak mencampuradukkan perasaan serta pendapat pribadi. Kunto
juga seorang intelektual yang tak memiliki ambisi untuk menjadi
penguasa, apalagi menjadi kaya. Salah satu pemikiran Kunto yang terkenal
adalah perlawanannya yang gigih terhadap mitos. Bagi Kunto, hanya
dengan kesungguhan meninggalkan cara berpikir mitos menuju cara
berfikir pada realitas yang mampu membuat umat manusia selamat dari
ketertinggalan. Proyek itu disusun dalam terminologi demitologisasi,
demistifikasi, dan konkretisasi dari Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang sudah
dirancang puluhan tahun. Secara sederhana, Kunto membagi tiga tahapan
perkembangan umat Islam Indonesia berdasarkan sistem pengetahuan
masyarakat. Ketiga tahap itu, meliputi (1) tahap mitos, (2) tahap ideologi,
dan (3) tahap ilmu.
Pertama, tahap mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang
mengandaikan bahwa dunia pengalaman sehari-hari akan terus-menerus
disusupi kekuatan-kekuatan keramat. Kedua, tahap ideologi ditandai
dengan kemunculan organisasi-organisasi modern seperti Sarekat Islam.
Gerakan ini tidak lagi dipimpin oleh elit desa, ulama, tokoh kharismatik
tetapi elit kota kalangan terdidik, orang biasa, dan pedagang. Ideologi ini
bertujuan untuk membangun kembali masyarakat seperti yang dicita-
citakan. Ketiga, tahap ilmu ditandai dengan memberikan batasan pada
pengetahuan yang bersifat objektif. Jika ideologi melihat fakta dari sudut
subjektif, ilmu melihat fakta secara objektif. Bagi Kunto, menggeser cara
berpikir ideologi kearah berpikir dengan ilmu adalah kebutuhan mendesak
yang tidak bisa ditawar agar umat hidup lebih baik.12
Ilmu sosial profetik yang digagas Kunto tidak hanya menjelaskan
dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena
itu, ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi

12
M. Khomsin, op. cit., h. 27.
40

mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial


profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan
yang diidamkan masyarakat. Perubahan yang didasarkan pada cita-cita
profetik humanisasi atau emansipasi, liberasi, dan transendensi. Suatu cita-
cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana
terkandung dalam ayat 110, surat Ali Imran: Engkau adalah umat terbaik
yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan,
mencegah kemunkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. Tiga
muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik.
Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi yang
ada dalam ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat
menuju cita-cita sosio-etik di masa depan.13
Gaya sastra profetik atau transendental yang diperkenalkan Kunto
pada dunia sastra akan mengilhami bagi generasi selanjutnya. Puisi,
cerpen, novel, dan karya sastra yang ditulis oleh Kunto berisi tentang
memperjuangkan pembebasan orang yang tertindas. Karya sastra profetik
menjadi inspirasi dan daya dorong bagi lahirnya karya sastra yang
membangkitkan, membebaskan, dan mencerahkan umat. Agama menjadi
lebih agung dan luhur, ketika tidak dipolitisasi oleh orang yang
menggunakan agama sebagai komoditas. Simbol-simbol agama dalam
karya-karyanya hanya menjadi perantara belaka, bukan tujuan yang
sesungguhnya.14 Selain itu, Umat Islam dituntut untuk berperilaku objektif
secara aktif. Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa
memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula
diperintahkan kepada umat Islam untuk berbuat adil tanpa pandang
kerabat, status, kelas, dan golongan sehingga Islam dapat benar-benar
dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun.15

13
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h.
288-289.
14
Halim Ambiya, op. cit., h. 12.
15
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 68-69.
41

Pikiran-pikirannya yang cerdas dan kritis, menunjukkan bahwa ia


menjunjung tinggi integritas intelektual untuk selalu menyuarakan
kebenaran. Hidup asketis yang dipilih makin menampakkan bahwa ia jenis
sastrawan yang tidak mau mengekor atau mendukung kekuasaan. Sebab,
dalam sejarah intelektual di Indonesia, tidak sedikit sejarawan yang
menjadi “alat” kekuasaan, baik lewat pendapat maupun berbagai karyanya.
Mereka menulis sejarah versi penguasa, dan tentu saja membenarkan
langkah-langkah penguasa. Sejak masa kolonial sampai sekarang, ada saja
sejarawan yang “menjual” kepakaran kepada penguasa.16
Kuntowijoyo dikenal juga sebagai pengarang Indonesia mutakhir
yang memiliki latar belakang etnis Jawa dan banyak mengangkat
permasalahan kejawaan, selain ada penulis lain semacam Umar Kayam,
Pramoedya Ananta Toer, Linus Suryadi AG, Ahmad Tohari, maupun
Arswendo Atmowiloto. Kuntowijoyo seringkali mengangkat permasalahan
kelompok masyarakat Jawa khususnya priyayi ke dalam karya-karyanya.17
Adapun dalam karya-karya cerpen dan novel Kunto banyak menggunakan
tokoh orang desa dan rakyat jelata. Dalam berbagai cerita itu, Kunto tidak
lupa menyelipkan filsafat eksistensialisme dan spiritualitas yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-
Bunga”, misalnya, Kunto menggambarkan kondisi dan pilihan yang
ditempuh manusia yang menjalani kehidupan berdasarkan keyakinan
bahwa hidup bisa dimaknai melalui laku spiritual, dunia kerja maupun
tindakan ritual.18
Kuntowijoyo menulis novel berjudul Mantra Penjinak Ular yang
pembuatannya berawal dari cerita bersambung dimuat di Kompas. Novel
ini menokohkan Abu Kasan Sapari yang dipercaya oleh kalangan
terdekatnya sebagai masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito.
Novel ini berlatar belakang kehidupan sosial serta dunia batin masyarakat
desa di wilayah kebudayaan Jawa seperti Klaten, Surakarta serta daerah

16
M. Khomsin, op. cit., h. 27.
17
Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2.
18
M. Khomsin. loc. cit.
42

lain yang berasosiasi pada desa-desa di lereng Gunung Lawu, Jawa


Tengah. Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu
mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan Sapari tumbuh dalam
suatu proses dialektika dengan kurun waktu kira-kira menjelang akhir
abad ke-20.
Abu yang bermatapencaharian sebagai pegawai kecamatan dan
dalang di desa di kaki Gunung Lawu, atau sebagai siapa saja manusia
Indonesia yang hidup pada periode zaman ini, pasti mengalami sentuhan,
tubrukan, atau sedikitnya menjadi saksi bagaimana mesin politik Orde
Baru di bawah pimpinan Soeharto beroperasi. Abu Kasan Sapari harus
menghadapi situasi tersebut dengan segala pemahamannya yang khas atas
dunia, menghadapi apa yang disebut Kunto sebagai "mesin politik". Si
"mesin politik" yang menjadi antagonis mengingatkan bagaimana
kekuasaan politik di akhir abad ke-20 Indonesia beroperasi sampai ke
desa-desa. Sesuai dengan sifat cerita dan sikap yang dipilih Kunto di situ,
perbenturan antara pribadi di desa dengan "mesin politik" dilukiskan
dalam sentuhan rasa keadilan.19
Ada beberapa novel lainnya yang berlatar budaya Jawa selain
novel Mantra Penjinak Ular, yaitu Wasripin dan Satinah dan Pasar.
Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo mengangkat latar budaya
Jawa yang kental dan latar situasi Orde Baru dengan kekuasaan yang
otoritarian.20 Novel Pasar karya Kuntowijoyo memiliki latar belakang
etnis Jawa dan banyak mengangkat permasalahan kejawaan.21

19
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular,
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/MantraPenjinakUlar-KTW diunduh
Kamis, 10-3-2016.
20
Kusmarwanti, op. cit., h. 149.
21
Nurhadi dan Dian Swandayani, op. cit., h. 2.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Instrinsik Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo


Pada bab ini akan disajikan pembahasan tentang konflik sosial dalam
novel MPU dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Hasil
penelitian akan disajikan dalam 3 bagian, yaitu 1) unsur intrinsik novel MPU
yang ditampilkan dalam bentuk deskriptif, 2) wujud konflik sosial dan faktor
penyebabnya yang ditampilkan dalam bentuk tabel data dan skema, dan 3)
cara mengatasi konflik sosial dalam novel MPU yang ditampilkan dalam
bentuk tabel data.
1. Tema
Setiap karya sastra selalu memiliki tema yang merupakan suatu
gagasan atau inti dari keseluruhan isi cerita dalam karya sastra. Peneliti
akan membahas jenis tema menurut cakupannya dibagi menjadi dua,
yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang
mencakup keseluruhan cerita. Sedangkan tema minor adalah tema
tambahan yang ada pada bagian-bagian tertentu saja.1 Tema mayor yang
diangkat dalam novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu kehidupan
masyarakat desa yang mengalami perubahan sosial dan budaya. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi,
dan doa, bukan mantra.2
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan
mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup
menanggung.3
“Rencana sampeyan apa?”
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”

1
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 133.
2
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257.
3
Ibid., h. 270.

43
44

Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang


dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.4

Kutipan di atas menunjukkan salah satu bentuk gambaran


kehidupan sosial masyarakat desa yang hidup pada masa itu mengalami
perubahan sosial dan budaya. Budaya tradisional yang tampil dominan,
mulai beralih kepada budaya modern yang secara perlahan masuk ke
pedesaan sejalan dengan perubahan zaman. Hal tersebut tidaklah mudah
bagi Abu Kasan Sapari untuk menghilangkan dan melepaskan diri dari
tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik. Namun, pada akhir cerita Abu
Kasan Sapari dikisahkan merelakan ular peliharaannya dan membuang
mantra serta memutuskan mata rantai perbuatan syirik itu. Abu pun mulai
menjalani kehidupan kota yang penuh dengan budaya modern sesuai
dengan zamannya tanpa terikat dengan hal-hal yang berbau mistik.
Tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel MPU
karya Kuntowijoyo di antaranya: permasalahan politisasi kesenian,
monopoli ekonomi, dan ketimpangan sosial. Politisasi kesenian, dan
ketimpangan sosial yang dilakukan pihak penguasa erat sekali
hubungannya dengan perasaan atau emosi mengutamakan ideologi
politik ingin menguasai segala sesuatu demi kekuasaan. Itulah yang
menjadi penyebab utama Abu, Kismo Kengser, dan kerumunan rakyat
atau warga desa mulai emosi dengan tindakan pihak penguasa yang
semena-mena dan berani melakukan perlawanan terhadap pihak
penguasa yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Abu memiliki
pandangan tersendiri mengenai kesenian dan politik. Berikut jawaban
Abu atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan:
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni
pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama,
para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan
politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol
tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam
seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga
negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau

4
Ibid., h. 271.
45

sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat
mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari
komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan
mengerjakan hal kedua itu”5
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada
yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya,
menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya.
Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi
air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang
kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan
mengingkari tugasnya sebagai seni.6

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu memiliki sikap


berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan tidak
ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak akan
menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Hal inilah yang
membuat Abu berkali-kali diawasi oleh partai Randu yang berkuasa di
bawah perintah Mesin Politik saat itu, hingga kemudian Abu ditangkap
dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya. Akan
tetapi, sesungguhnya yang menggunakan kesenian sebagai alat politik itu
adalah pemerintah.
Hal ini ditegaskan pula oleh Kuntowijoyo bahwa pemerintahlah
yang justru menggunakan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai
“Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo
menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi
kebudayaan. Di antara yang sangat jelas terlihat politisasi budaya itu
adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan dijadikan alat
untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde
Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya.7 Dengan demikian,
Abu Kasan Sapari sebagai sosok seniman yang berpegang pada alam
(seni seperti air) mampu membedakan antara bagian kesenian dengan
bagian politik termasuk menempatkan dirinya sendiri ke dalam kedua hal
tersebut.

5
Ibid., h. 153.
6
Ibid., h. 170.
7
Kuntowijoyo, op. cit., h. 4.
46

Di sisi lain, melalui pidatonya, tokoh Kismo Kengser tampil


untuk mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan
kekuasaan yang berada di bawah pimpinan pemerintahan Soeharto pada
zaman Orde Baru. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di bawah ini:
Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh
bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo
Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera
ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana.
Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk
memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling,
digusur semena-mena.”8

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kismo Kengser meramalkan


pemerintahan Orde Baru akan segera runtuh karena banyaknya
permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan ketidakadilan
yang dilakukan oleh pihak penguasa sudah merajalela, sehingga
membuat rakyat atau warga desa menderita dan sengsara. Seluruh
sumber daya alam yang menjadi matapencaharian rakyat atau warga desa
telah diambil pihak penguasa dengan mengatasnamakan pembangunan,
sehingga banyak yang mengalami kerugian dan keterpurukan dalam segi
ekonomi serta jauh dari kehidupan yang layak. Berbagai kebijakan dan
janji pihak penguasa belum sepenuhnya mengarah kepada kesejahteraan
rakyat atau warga desa.
Dari peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai usaha
yang dilakukan tokoh utama sebagai bentuk perjuangan untuk mencapai
suatu perubahan sosial dan budaya. Hal ini menjadi tema penting yang
diangkat oleh Kuntowijoyo dalam novel MPU memasukkan kondisi dan
situasi zaman Orde Baru dengan latar waktu historis yaitu pada tahun
1997, sebelum Reformasi, saat situasi politik di Indonesia sedang
menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan.

8
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
47

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh dan penokohan merupakan dua bagian yang penting dan
saling berkaitan, sebab melalui dua bagian tersebut dapat diketahui
bagaimana peranan masing-masing tokoh dalam setiap cerita. Tokoh
biasanya ditandai dengan nama sedangkan penokohan biasanya ditandai
dengan sikap dan watak.9 Penokohan dalam novel MPU dapat dilihat
berdasarkan ciri fisik, psikologis, sosiologis, dan kultural dari masing-
masing tokoh. Oleh karena itu, pembaca dapat mengenali tokoh dan
penokohan dalam cerita tersebut. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh
dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
a) Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki perwujudan
norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis
menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan
pembaca.10 Berikut beberapa tokoh yang termasuk ke dalam tokoh
protagonis pada novel MPU.
1) Abu Kasan Sapari
Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh utama yang
digunakan pengarang untuk mengungkapkan cerita sekaligus paling
banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan
pengarang dalam novel MPU. Meskipun seluruh tokoh memiliki
perannya masing-masing yang cukup besar dalam berlangsungnya
setiap peristiwa, akan tetapi Abu Kasan Sapari menjadi fokus
cerita.
Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai
seorang anak laki-laki yang dilahirkan oleh dukun di pedesaan. Ia
memiliki seorang ayah yang hanya penduduk desa biasa dengan
minimnya pendidikan dan seorang ibu yang masih keturunan priayi
di pedesaan. Seperti pada kutipan di bawah ini:

9
Atmazaki, op. cit., h. 62.
10
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
48

“Bayi itu lahir laki-laki. Di rumah, ditolong oleh dukun


berijazah setempat yang paling favorit [....] Setelah dibersihkan,
ibunya bangun dan mengucapkan azan dan qamat, karena ayah
bayi itu tak pandai mengucapkan azan sepatah pun. Ibu bayi itu
pernah menyuruh suaminya untuk belajar sembahyang, tetapi
selalu dikatakannya,”Nantilah, orang Jawa itu kalau saya sudah
sembahyang, sembahyang sungguhan. Luar dalam.”11
“Ayah Abu hanyalah penduduk desa biasa.”12

Ciri kultural Abu digambarkan secara analitik oleh narator


sebagai seorang anak laki-laki yang diperlakukan dan dibesarkan
dalam lingkungan yang masih berpegang teguh pada tradisi Jawa-
Islam. Hal ini terbukti ketika nama Abu Kasan Sapari itu sendiri
tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam dan
sejak bayi Abu Kasan Sapari diperlakukan dengan tradisi Jawa-
Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.”13
“Kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut
dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa.”14
“Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya
diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat
Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar
adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya.”15

Kutipan di atas menggambarkan bahwa kakek dari pihak


ayah Abu masih memercayai tradisi Jawa dengan membawa bayi
Abu ke kuburan Ronggowarsito untuk meminta keberkahan atas
kelahiran Abu. Sedangkan kakek dan nenek Abu dari pihak ibu
Abu memercayai tradisi Islam yang dianutnya dengan mengadakan
akikah untuk menyambut kelahiran Abu.
Abu digambarkan secara analitik oleh narator sebagai
seorang anak laki-laki yang diperlakukan dan diasuh oleh kakek
dan nenek Abu dari pihak ibu dengan tata krama seorang priayi.

11
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1-2.
12
Ibid., h. 5.
13
Ibid., h. 2.
14
Ibid., h. 7.
15
Ibid., h. 3.
49

Kakek dan nenek Abu yang tergolong kaya sangat berharap suatu
hari nanti cucunya akan menjadi seorang priayi yang dapat
mengetahui dan melestarikan kesenian Jawa khususnya dunia
wayang dan dalang. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Pada hari Minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu
akan diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya
adalah Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka
Loro) dan mengaji di masjid dahulu yang mempunyai
seperangkat gamelan dan satu set wayang. Selain menjadi
dalang, dia juga bekerja sebagai pegawai kesenian-sungguh
seorang priayi tulen menurut gambaran kakek itu. Di sana Abu
kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan
gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang,
melihat orang menatah wayang, mendengarkan gamelan
ditabuh.16

Secara analitik, ciri psikologis Abu digambarkan oleh narator


sebagai seorang anak yang tekun dalam melakukan hal-hal yang
disukainya termasuk mendalang. Hal ini terbukti dengan prestasi
mendalang yang diraihnya semasa duduk di bangku SD-SMA.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah
menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang
punya nilai tertinggi di Festival Dalang Cilik se-Kabupaten
Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks
Karesidenan Surakarta. Di SMP ia mewakili sekolahnya
menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. Dan di
SMA ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar
se-Jawa Tengah.17

Kutipan di atas terlihat bahwa pengarang membuat tokoh


utama Abu sejak kecil sudah diperkenalkan kesenian Jawa oleh
kakek Abu. Pada usianya yang sudah beranjak dewasa, Abu tetap
tekun dalam mempelajari serta mendalami pewayangan. Bahkan,
ketekunan Abu dalam mendalang telah memberikan pengaruh yang
besar bagi kehidupannya.

16
Ibid., h. 12.
17
Ibid., h. 12-13.
50

Selain itu, ciri sosiologis Abu juga dikenal sebagai


mahasiswa, pegawai kecamatan dan dalang. Abu digambarkan
secara analitik oleh narator sebagai seorang mahasiswa Sekolah
Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Ia
juga dikenal sebagai pegawai negeri di sebuah kecamatan sekaligus
memiliki kepiawaian dalam mendalang. Hal ini dapat dibuktikan
dalam kutipan berikut ini:
Tidak ada kesulitan dia masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) di Surakarta jurusan pedalangan.18
Dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di
kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung
Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa).19
Selain dikenal sebagai pegawai kecamatan, Abu juga dikenal
sebagai dalang.20

Ciri psikologis Abu digambarkan secara analitik oleh narator


sebagai seorang yang memiliki sifat lugu, mengatakan sesuai
dengan apa yang terjadi. Hal ini terbukti ketika ia ditanya oleh
wartawan mengenai kiatnya dalam memenangkan lomba desa.
Seperti pada kutipan berikut ini:
Dengan lugu Abu Kasan Sapari mengatakan, pertama, menurut
Pak Camat memang itu sudah jatah Kemuning. Kedua,
segalanya harus ditebus dengan kerja keras.21

Di samping itu, ciri psikologis Abu digambarkan secara


analitik oleh narator sebagai warga yang memiliki kepedulian
terhadap lingkungan. Hal ini terbukti ketika Abu berpidato secara
langsung kepada warga tentang pemeliharaan lingkungan. Seperti
pada kutipan berikut ini:
Kemudian Abu melanjutkan [...] Kita harus memelihara
lingkungan kita, jangan malah merusak [....] Prinsip
melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di
tempatnya.22

18
Ibid., h. 14.
19
Ibid., h. 16.
20
Ibid., h. 32.
21
Ibid., h. 30.
22
Ibid., h. 58.
51

Narator menggambarkan ciri psikologis penokohan Abu


secara dramatik sebagai seorang yang memiliki jiwa sosial tinggi.
Hal ini terbukti ketika Abu menolong masyarakat desa di sekitar
tempat tinggalnya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat
itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas
yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam,
dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi-
bagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya
untuk mengisi gentong [....] Aku tahu”! Ya, ia tahu: orang-
orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber
dekat sendang sampai desa.23

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Abu menggunakan


kecerdasan yang dimiliki untuk membantu meringankan beban
masyarakat desa. Ia juga melakukan interaksi serta sosialisasi
kepada masyarakat desa dengan baik untuk memudahkannya dalam
menyampaikan ide dan gagasan.
Tokoh Abu Kasan Sapari diciptakan oleh pengarang sebagai
seorang seniman yang mampu memberikan solusi dan pencerahan
kepada orang-orang desa. Abu berupaya melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan sosial dan politik rezim Orde Baru yang selama
ini masuk dalam kehidupan masyarakat desanya. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang
menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”24
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”25

Kutipan di atas menunjukkan ciri psikologis Abu secara


dramatik oleh narator dalam dialog antara Abu dengan Mesin

23
Ibid., h. 17-18.
24
Ibid., h. 150.
25
Ibid., h. 162-163.
52

Politik sebagai sosok yang memiliki sikap berani dalam


menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup dirinya
sendiri. Ia melakukan perlawanan kepada Mesin Politik tanpa
kekerasan, tanpa demonstrasi turun ke jalan, dan tanpa tindakan
provokatif yaitu melalui kesenian wayang. Hal tersebut membuat
Abu harus berhadapan dengan tindakan penindasan dan
penyingkiran yang dilakukan oleh Mesin Politik.
Dengan demikian, Abu sebagai seniman tetap berjuang dan
berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan
tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak ingin
mengkhianati perjuangannya. Abu juga sangat berpegang teguh
pada pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak
boleh diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun
tetap mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu.
Secara dramatik, Abu juga digambarkan oleh narator dalam
dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin sebagai kekasih Lastri.
Hal ini terbukti ketika Abu berniat ingin mempersunting Lastri.
Seperti pada kutipan berikut ini:
Abu Kasan sedang menatah wayang ketika Haji Syamsuddin
muncul: Haji Syamsuddin melihat wayang-wayang itu,”Kau
sedang wuyung dengan Srikandi, ya?” tanyanya. Wuyung
artinya mabuk cinta.
“Kok tahu?”
“Bagaimana dengan usulan saya mengenai Ma’ul Hayat?”
Maksudnya mengawini Lastri.
“Ya, itulah yang sedang saya pikirkan.”26

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang


menghadirkan tokoh utama Abu Kasan Sapari yang belum berumah
tangga. Abu Kasan Sapari memiliki sikap berani melakukan
perlawanan terhadap tindakan penindasan yang dilakukan oleh
Mesin Politik. Meskipun, Abu selalu mengalami penindasan, ia

26
Ibid., h. 242.
53

masih tetap bisa bertahan dan bangkit kembali berkat dukungan


dari keluarga maupun masyarakat di sekitarnya.

2) Sulastri atau Lastri


Porsi penceritaan Lastri dalam novel ini tidak banyak
dibandingkan dengan kemunculan Abu Kasan Sapari. Ciri fisik dan
psikologis tokoh Sulastri atau Lastri digambarkan secara analitik
oleh narator sebagai sosok perempuan yang cantik, ramah, dan ciri
sosiologis Seperti pada kutipan berikut ini:
“Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena
pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena
imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia
cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju.”27

Ciri sosiologis Lastri digambarkan secara analitik oleh


narator sebagai seorang perempuan yang telah menikah tetapi tidak
lama kemudian suaminya meninggal dan belum mempunyai anak.
Seperti pada kutipan berikut ini:
Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi,
janda kembanglah.28

Perjalanan karir Lastri digambarkan secara analitik oleh


narator sebagai seorang perempuan yang berpendidikan dan
mandiri secara ekonomi sehingga ia dapat bertahan hidup seorang
diri. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Membuka jahitan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK
(Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ia adalah penyanyi
kroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta-
pesta di kecamatan itu. [...] orang memintanya jadi juru rias
pengantin.”29

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri merupakan tokoh


serba bisa karena memiliki beberapa profesi. Ia memiliki banyak

27
Ibid., h. 125.
28
Ibid., h. 121.
29
Ibid., h. 120-121.
54

keahlian sehingga dijadikan profesi untuk dapat memenuhi


kebutuhan hidup sehari-hari.
Ciri psikologis Lastri juga memiliki interaksi sosial yang baik
dilihat dari hubungan Lastri dengan keluarga maupun masyarakat
dan memiliki kemauan yang keras. Hal itu terbukti ketika Lastri
sedang ditanyakan oleh mertua dan pakdenya tentang statusnya
yang masih ingin sendiri. Seperti pada kutipan berikut ini:
Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya.
Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan
rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang
tuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras
untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat
itu. Akhir-akhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah:
banyak orang memintanya jadi juru rias temanten.30

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri digambarkan


secara dramatik oleh narator sebagai seorang perempuan yang ingin
menentukan pilihan, menjalani hidup seorang diri, dan menentukan
nasib sendiri termasuk memilih jodoh yang sesuai dengan
keinginannya tanpa ada keterlibatan dari keluarga maupun orang
lain.
Di samping itu, ciri psikologis Lastri digambarkan secara
dramatik oleh narator dalam dialog antara Lastri dengan lurah
sebagai seorang perempuan yang memiliki sifat pemarah. Seperti
pada kutipan berikut ini:
Saya kira duda seperti dia pasangannya ya harus janda.
Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak.
Maaf, saya masih ingin sendiri.”
“Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.”
Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke
tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari
terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri
melempar kaleng-kaleng ke dipan.31

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Lastri merupakan


seorang perempuan yang mudah tersinggung dengan perkataan

30
Ibid., h. 121.
31
Ibid., h. 223.
55

maupun sikap orang lain yang secara langsung mencoba menyindir


statusnya sebagai janda.
Secara dramatik, ciri sosiologis Lastri juga merupakan
kekasih Abu yang selalu ada dalam suka maupun duka yang
dialami oleh Abu. Hal ini terbukti ketika Lastri selalu teringat duka
yang dialami oleh Abu yang harus menghadapi protes masyarakat
atas kegemaran memelihara ular dan berada dalam tahanan. Seperti
pada kutipan berikut ini:
Soal ular itu Lastri mengatakan bisa mengerti Abu, tapi juga
bisa memahami orang-orang. Katanya masalahnya ialah
bagaimana menjelaskan soal ular pada orang banyak.32
Jelas yang hilang itu ialah Abu. Sekalipun ia sudah menduga
peristiwa itu akan terjadi. Ia gelisah semalam suntuk.
Dipikirnya dunia ini tidak adil. Ia tahu persis bahwa Abu tidak
bersalah. Polisi!33
Abu akan mengucapkan terima kasih bahwa Lastri ikut
merasakan kesulitannya.34

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ciri psikologis Lastri


digambarkan secara dramatik oleh narator sebagai seorang
perempuan yang memiliki sikap peduli dan penolong kepada orang
lain termasuk Abu. Lastri ikut merasakan duka yang dialami Abu
dalam melewati masa-masa kritis dan menolong Abu di dalam
masyarakat, baik dalam hal pertentangannya melawan Mesin
Politik dan protes kerumunan warga desa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang
menghadirkan tokoh Lastri sebagai seorang janda hidup seorang
diri. Namun, Lastri dapat hidup mandiri secara ekonomi. Melalui,
berbagai profesi yang ditekuni dapat memberikan kemudahan
dalam menjalani kehidupan dan tetap bisa bertahan hidup tanpa
harus bergantung serta menyusahkan orang lain. Selain itu, ia juga
memiliki sikap peduli dan penolong dalam kesulitan yang dialami

32
Ibid., h. 137.
33
Ibid., h. 167.
34
Ibid., h. 268.
56

oleh orang lain dengan berbuat sesuatu tanpa mengharapkan


imbalan.

3) Orang tua Abu


Tokoh orang tua Abu merupakan tokoh yang tidak memiliki
peran penting di setiap peristiwa, sebab dihadirkan sekilas. Ciri
psikologis orang tua Abu digambarkan secara dramatik oleh narator
dan dialog antara orang tua Abu dengan Abu sebagai seorang yang
penyayang dan peduli. Hal ini terbukti ketika orang tua Abu
menjenguk Abu anak semata wayangnya yang berada di penjara.
Seperti pada kutipan berikut ini:
“Diapakan saja kau,” tanya ayah.
“Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.”
“Tidak disiksa, to?”
“Mana ada orang berani menyiksa saya?”
“Jangan kemaki. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa.
Disetrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?”
“Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.”35

Kutipan di atas menjelaskan bahwa orang tua menunjukkan


bentuk kasih sayang terhadap anaknya yang sedang terkena
masalah dengan menanyakan kondisinya karena takut hal buruk
terjadi terhadap anaknya.
Ciri psikologis orang tua Abu juga digambarkan secara
dramatik oleh narator dalam dialog antara orang tua Abu dengan
Abu sebagai seorang yang cenderung terlihat khawatir terhadap
Abu. Hal ini terbukti ketika orang tua Abu merasa takut sesuatu hal
yang tidak diinginkan terjadi pada anaknya. Seperti pada kutipan di
bawah ini:
“Bagaimana dengan ular itu?” tanya Ibu pelan.
“Itu hanya klangenan, Bu.
“Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan
buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung,
perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.”
“Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,”

35
Ibid., h. 172.
57

“Kalau syirik jangan, lho.”36

Kutipan di atas menunjukkan orang tua yang merasa khawatir


dalam menanggapi permasalahan yang dialami oleh anaknya.
Orang tua cenderung berkeinginan untuk memperingatkan dan
melindungi anaknya dari segala perbuatan yang tidak baik seperti
syirik. Hal yang pada umumnya dirasakan semua orang tua karena
takut kebiasaan yang dilakukan anaknya akan memberikan
pengaruh negatif bagi kehidupan anaknya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang tua Abu
merupakan seorang yang penyayang, peduli dan khawatir dalam
menghadapi setiap permasalahan yang sedang dialami oleh
anaknya.

4) Kakek dan nenek Abu


Ciri psikologis tokoh kakek dan nenek Abu digambarkan
secara dramatik oleh narator sebagai seorang yang perhatian dan
penyayang terlihat dari bagaimana cara kakek dan nenek Abu
memperlakukan Abu sewaktu kecil dengan istimewa. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
Demikianlah meskipun kakek dan nenek hanya makan sambal
dan kerupuk, untuk Abu selalu ada daging. Abu sungguh
disayang oleh kedua kakek-neneknya.37

Selain itu, ciri psikologis kakek dan nenek Abu juga


digambarkan secara dramatik oleh narator melalui tokoh kakek
Abu sebagai seorang yang mengajarkan kedisiplinan kepada Abu.
Seperti pada kutipan berikut ini:
Mereka punya lonceng yang nyaring bunyinya untuk
mengingatkan Abu yang sedang bermain-main jauh dari rumah
bahwa waktu makan sudah tiba. Kata kakeknya, “Selain makan
daging, disiplin juga perlu.”38

36
Ibid., h. 173.
37
Ibid., h. 11.
38
Ibid., h. 11.
58

Melalui kutipan di atas, pengarang menggambarkan bahwa


kakek dan nenek Abu sangat mementingkan kedisiplinan dalam
melakukan berbagai macam kegiatan dengan tepat pada waktunya.
Hal yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua kepada anak
maupun kakek dan nenek kepada cucu. Sekecil apapun arahan dan
larangan yang telah diberikan oleh kakek dan nenek telah
menjadikan pelajaran berharga bagi kehidupan cucunya. Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kakek dan nenek Abu
mempunyai sifat penyayang dan disiplin.

5) Wartawan
Ciri fisik tokoh wartawan digambarkan secara analitik oleh
narator sebagai seorang yang masih muda. Ciri psikologis tokoh
wartawan juga dikatakan memiliki semangat yang tinggi. Seperti
dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia).
Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa
jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk
memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya
mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik
kepada siapa pun.39
Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada
konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini
sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan
kampanye tapi ditolaknya.40

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ciri psikologis


wartawan digambarkan secara dramatik sebagai orang yang dalam
berkata dan bertindak harus sesuai dengan profesi sebagai jurnalis.
Wartawan sering kali menulis dan selalu menyampaikan informasi
melalui media massa yang dilengkapi dengan keterangan tambahan
sesuai dengan pendapatnya. Melihat peristiwa ini menunjukkan
bahwa wartawan memiliki semangat yang tinggi dan tetap menjadi

39
Ibid., h. 104.
40
Ibid., h. 170.
59

tokoh yang sudah melakukan sesuatu sesuai dengan fakta-fakta


yang didapatkannya.

6) Haji Syamsuddin
Ciri psikologis tokoh Haji Syamsuddin secara dramatik oleh
narator digambarkan sebagai seorang yang memiliki sifat baik. Hal
ini terbukti ketika ia diberikan kepercayaan oleh Abu untuk
menjaga rumahnya dengan baik. Seperti dapat terlihat dalam
kutipan di bawah ini:
Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan
lampu dan menutup jendela. Kunci pintu diserahkan Haji
Syamsuddin, dan bukan pada Lastri.41

Selain itu, ciri psikologis Haji Syamsuddin juga digambarkan


secara dramatik oleh narator sebagai seorang yang pengertian dan
bijaksana. Hal ini terbukti ketika Haji Syamsuddin dihadapkan
pada permasalahan Lastri yang merasa khawatir dengan keadaan
Abu di penjara. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ketika melihat Lastri, Haji Syamsuddin yang tahu perasaan
Lastri berkata ringan, “Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai.
Tenang saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah
ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi
pengurus Masyumi.42

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Haji Syamsuddin


merupakan seorang yang sangat memahami perasaan orang lain
dan seorang yang dapat mengambil pelajaran serta pengalaman
hidup yang pernah dialaminya. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa
Haji Syamsuddin memiliki sifat yang baik, pengertian, dan
bijaksana apabila menghadapi kesulitan yang dialami oleh orang
lain.

41
Ibid., h. 167.
42
Ibid., h. 167.
60

7) Camat
Ciri fisik tokoh camat secara analitik, digambarkan oleh
narator melalui tokoh Abu sebagai sosok camat baru yang usianya
masih muda. Ciri sosiologis camat secara analitik digambarkan
oleh narator sebagai seorang yang berpendidikan lulusan di IIP
(Institut Ilmu Pemerintahan). Seperti pada kutipan di bawah ini:
Camat baru itu lulusan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), Jakarta.
Abu menilai camat baru adalah seorang profesional tulen [....]
Umurnya masih sangat muda dibanding camat lama, namun
jauh lebih bersemangat.43

Kutipan di atas menunjukkan bahwa camat merupakan sosok


yang profesional dan semangat dalam mengerjakan setiap
pekerjaan untuk mencapai tujuan yang diharapkannya.
Ciri psikologis camat digambarkan secara analitik oleh
narator dalam pidato camat di depan warganya sebagai sosok yang
memiliki pengetahuan tinggi dapat dilihat dari cara berbicara dan
istilah kata yang digunakannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Sikap serba menerima itu harus diubah menjadi hidup yang
lebih dinamis kalau kita ingin survive dalam era globalisasi.” Ia
berhenti untuk melihat reaksi yang hadir apakah kata-katanya
dipahami.44

Secara analitik, ciri psikologis camat digambarkan oleh


narator sebagai seorang yang jujur dalam menyampaikan suatu hal
dengan berkata apa adanya tanpa mengada-ada. Hal ini terbukti
ketika ia ditanyakan oleh wartawan tentang kinerja sebagai camat.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa.
Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur
mengatakan bahwa semuanya berkat kerja keras Abu.45

Melalui kutipan di atas, pengarang menunjukkan bahwa


camat merupakan orang yang tidak suka berbohong selalu berkata

43
Ibid., h. 83.
44
Ibid., h. 85.
45
Ibid., h. 30.
61

dengan apa adanya. Pekerjaan yang dilakukan dengan bantuan


orang lain pun diceritakannya tanpa ada yang ditutup-tutupi dan
dibuat-buat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa camat
memiliki sifat jujur mengatakan sesuai dengan kenyataan yang
terjadi pada saat itu dan memiliki pengetahuan tinggi.

8) Ki Lebdocarito
Ciri sosiologis tokoh Ki Lebdocarito merupakan ayah angkat
Abu Kasan Sapari yang secara analitik digambarkan oleh narator
dalam dialog antara Ki Lebdo dengan orang tua Abu. Hal ini
terbukti ketika ia mendatangi keluarga Abu untuk meminta izin
untuk mengangkatnya sebagai anak. Seperti pada kutipan di bawah
ini:
Kalau Dimas mengizinkan biarlah saya membalas budi
almarhum dengan mengangkat nak Abu Kasan Sapari sebagai
anak.46

Ciri psikologis Ki Lebdo digambarkan secara dramatik oleh


narator sebagai sosok yang memiliki sifat baik khususnya kepada
Abu. Hal ini terbukti ketika ia memberikan warisan kepada Abu
berupa gamelan dan wayang. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan
dan wayang pada Abu.47

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ki Lebdo merupakan


sosok orang tua yang memperlakukan dan mendidik anak kandung
maupun anak angkatnya dengan sangat baik. Meskipun tidak
mempunyai hubungan sedarah dengan anak angkatnya, ia tidak
pernah membeda-bedakan antara keduanya.
Ciri sosiologis Ki Lebdo juga digambarkan secara analitik
oleh narator sebagai sesepuh yang dikenal para dalang di
wilayahnya. Hal ini terbukti ketika ia meninggal banyak para

46
Ibid., h. 14.
47
Ibid., h. 16.
62

dalang yang menghadiri pemakamannya. Seperti pada kutipan di


bawah ini:
Para dalang dari seluruh Surakarta hadir pada upacara
pemakaman Ki Lebdo, sebab ia terhitung sesepuh para dalang.48

Narator mencoba mengggambarkan ciri psikologis Ki Lebdo


sebagai sosok yang memiliki pemikiran yang luas dan perhatian.
Hal ini terbukti ketika ia memikirkan masa depan dan pendidikan
anak-anaknya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada
anak-anak. Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali
dalang.49

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ki Lebdo selalu


memberikan nasihat dan memperhatikan pendidikan anak-anaknya
sampai kepada pendidikan tingkat tinggi. Ki Lebdo juga
mengharapkan masa depan anak-anaknya lebih sukses daripada
dirinya. Hal yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua kepada
anak-anaknya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ki
Lebdo memiliki watak yang baik, mempunyai sifat perhatian, serta
memiliki pemikiran yang luas.

9) Ki Manut Sumarsono
Ciri sosiologis Ki Manut Sumarsono digambarkan secara
analitik oleh narator sebagai dalang senior yang disegani oleh
dalang-dalang lain yang berada di wilayahnya. Ia selalu kedatangan
dalang dari luar yang ingin mendalang di wilayahnya hanya untuk
meminta restu padanya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya
sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo
terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di
wilayahnya.50

48
Ibid., h. 235.
49
Ibid., h. 15.
50
Ibid., h. 233.
63

Secara analitik, narator mencoba mengggambarkan ciri


psikologis Ki Manut Sumarsono sebagai sosok yang memiliki
karakter baik dan cerdas dalam menanggapi permasalahan yang
dihadapi oleh tokoh lain. Hal ini terbukti ketika Ki Manut
Sumarsono membantu Abu untuk dapat diterima dengan positif
oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Seperti pada kutipan di
bawah ini:
Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun
terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-
Randu’, julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan
julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya para bakul di pasar
tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu
mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan.51

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ki Manut


Sumarsono memiliki sosok yang memiliki karakter baik dan cerdas
dalam menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh tokoh lain.

10) Polisi
Peranan polisi dalam novel ini hanya dalam lingkup
menegakkan hukum dan keadilan. Itu pula yang polisi terapkan
dalam menangani masyarakat yang terbukti melakukan tindakan
kriminal. Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh
narator dalam dialog kepala polisi dengan kepala bagian
penyelidikan sebagai seorang yang jujur dan bersikap netral tidak
memihak kepada Mesin Politik maupun Abu bertindak secara
objektif. Hal ini terbukti ketika polisi menangani kasus Abu yang
tidak terbukti bersalah. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan
Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan
tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau
demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.52

51
Ibid., h. 229.
52
Ibid., h. 175.
64

“Adik-adik! ABRI dan Polisi netral dalam pemilu. Polisi itu


seperti seniman, tidak berpolitik. Besok pagi AKS akan kami
bebaskan.”53

Kutipan di atas menunjukkan bahwa polisi sebagai penegak


hukum terkadang selalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hanya
mengutamakan kepentingannya sendiri. Polisi harus
mengutamakan kejujuran dalam menjalankan proses hukum dan
bersikap netral tidak berpihak kepada siapapun termasuk pihak-
pihak yang ingin memperalat serta menindaklanjuti orang-orang
yang berbuat kesalahan dan melanggar hukum. Dari uraian di atas,
dapat terlihat bahwa tokoh polisi memiliki sifat jujur dalam
menjalankan tugasnya demi menegakkan hukum dan keadilan.

11) Laki-laki Tua atau Kismo Kengser


Ciri fisik tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser
digambarkan secaran analitik oleh narator sebagai laki-laki yang
sudah berumur, memiliki rambut putih panjang, dan jari-jari
tangannya terdapat cincin akik. Seperti pada kutipan berikut ini:
Orang tua itu tiba-tiba saja muncul di Pasar Tegalpandan. Laki-
laki itu berambut putih panjang yang dibiarkan terurai, cincin
akik besar-besar di jari tangan kanan dan kirinya.54

Narator secara dramatik menggambarkan ciri psikologis laki-


laki tua atau Kismo Kengser sebagai sosok yang pemberani dan
pandai meramal. Hal ini terbukti ketika ia sedang berpidato
mengkritik kebijakan pemerintahan pada saat itu. Seperti dapat
terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat [...] Laki-laki tua berdiri. Ia mulai lagi dengan
pidatonya: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan
sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada
dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong [...]
Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk

53
Ibid., h. 176.
54
Ibid., h. 211.
65

memeras rakyat [...] Hutan kita dibabat habis, digusur semena-


mena.”55

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki


tua atau Kismo Kengser adalah seorang laki-laki tua yang
mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan pemerintahan
Orde Baru. Kismo Kengser memiliki sifat pemberani dalam
mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan
rakyat sekaligus menyampaikan permasalahan yang benar-benar
terjadi tanpa takut dengan tindakan yang dapat merugikan dirinya.

12) Laki-laki Tua Misterius


Ciri fisik tokoh laki-laki tua misterius digambarkan secara
analitik oleh narator dalam dialog antara laki-laki tua misterius dan
Abu sebagai laki-laki yang sudah berumur, memiliki cambang,
kumis, dan jenggotnya yang berwarna putih serta jari-jari
tangannya yang berotot. Seperti pada kutipan berikut ini:
Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan,
baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis,
dan janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini
pada orang yang tepat.”
“Apa itu?”
“Mantra penjinak ular.”56
Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan
tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana
asalnya.57

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa laki-laki tua


misterius merupakan seorang yang sangat misterius dan tidak
diketahui keberadaannya karena datang dan pergi secara tiba-tiba.
Pengarang hanya menggambarkan ciri fisik laki-laki tua misterius
seperti cara berpakaian dan tingkah laku yang terlihat aneh tidak
seperti orang pada umumnya serta pemberian mantra penjinak ular

55
Ibid., h. 212-213.
56
Ibid., h. 20.
57
Ibid., h. 22.
66

kepada Abu. Melihat peristiwa ini menunjukkan bahwa laki-laki


tua misterius tidak memiliki watak tertentu karena pengarang
sendiri tidak menggambarkan secara jelas tokoh tersebut di dalam
novel MPU.

b) Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh
protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik
ataupun batin.58 Berikut beberapa tokoh yang termasuk ke dalam
tokoh antagonis pada novel MPU karya Kuntowijoyo.
1) Mesin Politik
Pengarang menggolongkan tokoh Mesin Politik ke dalam
tokoh yang unik karena tidak berupa sosok seseorang. Pengarang
menggambarkan Mesin Politik sebagai perwujudan dari sikap,
perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok serta memiliki
peran yang dapat mewakili individu maupun kelompok tertentu
dengan membawa tindakan dan pemikiran dari sistem komunitas
tersebut.
Secara analitik, pengarang memunculkan ciri sosiologis
penokohan Mesin Politik yang dapat digambarkan berupa Randu,
fungsionaris Mesin Politik ataupun sistem komunitas itu sendiri.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di
kecamatannya.59
Seorang fungsionaris Mesin Politik bagian kesenian Dati II
Karangmojo diantar fungsionaris dari Tegalpandan
mengunjunginya.60
Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik itu
lalu mengatakan, “Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah
Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo.”61

58
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
59
Kuntowijoyo, op. cit., h. 99.
60
Ibid., h. 156.
61
Ibid., h. 162.
67

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mesin Politik


merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki
kekuatan besar di tingkat negara, kelurahan, kecamatan, dan desa.
Ciri psikologis Mesin Politik digambarkan secara dramatik
oleh narator dalam dialog antara Mesin Politik dengan Abu sebagai
sosok yang memiliki sifat angkuh. Hal ini terbukti ketika Mesin
Politik dan Abu Kasan Sapari memiliki perbedaan pemikiran dan
pandangan yang sangat bertolak belakang. Hal tersebut dapat
terlihat pada kutipan di bawah ini:
Fungsionaris Mesin Politik datang lagi.
“Nah, apa kata saya?”
“Apa boleh buat.”
“Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.”
“Saya tidak berpolitik.”
“Tidak berpolitik itu politik mau tidak mau, suka tidak suka,
kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau
kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya
kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?”
“Tidak saja, Pak.”
“Mbok ya yang agak praktis!”62

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Mesin Politik sering


menggunakan kedudukan yang dimilikinya untuk berbuat semena-
mena terhadap orang lain yang tidak sejalan termasuk menekan
kaum lemah.
Ciri psikologis Mesin Politik digambarkan secara dramatik
oleh narator sebagai seseorang yang suka memaksakan
kehendaknya sendiri dengan melakukan tindakan yang otoriter dan
manipulatif. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut ini:
Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara
pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpamanya tiga
hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan
menang [...] Mesin Politik itu tahu sebelum kejadian karena ada
rekayasa. Biasanya calon yang dijagoi Randu pasti menang.
Menang sebelum pemilihan.63

62
Ibid., h. 152.
63
Ibid., h. 101.
68

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar


harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
“Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin
berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir
satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri
akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!”64
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.65

Melalui kutipan di atas, pengarang menunjukkan bahwa


Mesin Politik menghalalkan segala cara untuk dapat
mempertahankan kekuasaannya. Bahkan, Mesin Politik berani
menyimpang dari aturan yang dapat merugikannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mesin Politik
memiliki sifat yang angkuh, suka memaksakan kehendaknya
sendiri dengan melakukan tindakan yang otoriter dan manipulatif,
dan memamerkan kekuasaan yang dimilikinya serta menginginkan
dirinya dipandang oleh orang lain.

2) Polisi
Ciri psikologis polisi digambarkan secara dramatik oleh
narator dalam dialog antara polisi dengan Abu dan polisi dengan
Kismo Kengser sebagai sosok yang memiliki sikap semena-mena
dalam menangkap orang yang belum terbukti melakukan
kesalahan. Hal ini terbukti ketika ia menyeret Abu dan Kismo
Kengser ke penjara. Seperti pada kutipan berikut ini:
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang.
“Boleh-boleh, silakan, kata Abu.”66

64
Ibid., h. 162-163.
65
Ibid., h. 174.
66
Ibid., h. 165.
69

“Tiga orang berseragam polisi masuk ke lingkaran. “Minggir,


minggir!” Polisi itu mendatangi laki-laki tua.”
“Bapak kami tahan!”
“Lho! Apa salah saya?”
“Menyebar kebencian.”
“Kok polisi, bukan tentara? Mana surat tugas?”
“Jangan banyak omong, ikut saja.”
Laki-laki tua menggulung kain putih, mengikuti polisi, dan
segera kabur.67

Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan bahwa polisi


memiliki sifat lain yaitu terkadang melakukan tindakan sewenang-
wenang dengan menangkap orang tanpa adanya proses hukum yang
benar, seperti perlakuan polisi terhadap Kismo Kengser serta Abu
yang jelas-jelas tidak bersalah karena tidak ada bukti kejahatan.

3. Alur
Alur dalam novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan alur
yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai dengan kronologi
termasuk ke dalam alur campuran yang waktu terjadinya peristiwa tidak
selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa kilas balik yang bersifat
flashback (mundur). Jika dilihat dari segi kriteria kepadatan cerita, novel
MPU dapat dikategorikan sebagai novel dengan plot longgar, yakni
peristiwa bawahan, peristiwa kenangan, dan peristiwa pelambatan.
Dilihat dari segi kriteria jumlah, novel MPU dapat dikategorikan sebagai
novel dengan plot tunggal, yakni perjalanan hidup tokoh utama lengkap
dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya dalam kurun waktu
26 tahun yang dikisahkan dalam 17 bab.
Latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo yaitu pada tahun 1997, sebelum Reformasi, saat situasi
politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-
pedesaan. Alur dalam novel MPU berbasis pada peristiwa-peristiwa batin
Abu ketika dihadapkan pada berbagai konflik yaitu konflik dengan diri
sendiri, orang lain, dan masyarakat. Tahapan alur tersebut akan
67
Ibid., h. 214.
70

dipaparkan sesuai pendapat Tasrif dalam Nurgiyantoro yang terbagi


menjadi lima tahapan. Kelima tahapan alur tersebut adalah sebagai
berikut:

Tahap Penyituasian:
Bab 1
Tahap Pemunculan Konflik:
Bab 2-8
Skema Tahap Peningkatan Konflik:
Tahapan Alur Bab 9 dan 10
Tahapdch
Klimaks:
Bab 11
s n
Tahap Penyelesaian:
d Bab 12-17

a) Tahap Penyituasian
Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan
pemberian informasi awal yang berfungsi melandastumpui cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.68 Pada tahap situasi ini, dibuka
dengan memperkenalkan tokoh utama yang bernama Abu Kasan
Sapari dan tokoh-tokoh pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek-
nenek Abu, Ki Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin
Politik, wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki
Manut Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin.
Tahap situasi dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini
dimulai dari pembukaan yang ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah
Desa, Sebuah Mitos” dibuka dengan narator memperkenalkan tradisi
Jawa-Islam, latar tempat desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya,
latar rumah, ciri psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh-
tokoh cerita, dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa

68
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
71

yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang


Abu Kasan Sapari sejak kecil-bekerja. Pada bagian pertama, Abu
Kasan Sapari diperkenalkan secara sosiologis sebagai sosok yang lahir
di tengah masyarakat Jawa menganut Islam kejawen yang seluruh
sikap dan tingkah lakunya masih kental dengan berbagai mitos dalam
tradisi Jawa-Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang
dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan
Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’
katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!"
Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak
diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya. Ayah itu lalu
menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan
mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ...
"kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar,
mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga
ia mengawinkan anaknya.69
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.70
Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa
Palar, Klaten.71
Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang
macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu
mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari.
Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah
nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua
orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya
pada jabang bayi yang baru lahir.72

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog antara kakek Abu


dari pihak ayah dengan ayah Abu yang terletak di bab 1 subbab 1
menggambarkan peristiwa pemilihan nama Abu Kasan Sapari. Kakek
Abu dari pihak ayah dan ayah Abu yang tergolong dalam masyarakat
Jawa memiliki kepercayaan bahwa penamaan anak itu selalu
memperhitungkan hari-hari baik karena pemilihan nama anak
menentukan nasib si anak kelak. Dalam hal ini, kakek Abu dari pihak

69
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1.
70
Ibid., h. 2.
71
Ibid., h. 4.
72
Ibid., h. 3.
72

ayah dan ayah Abu memilih nama Abu Kasan Sapari yang mengacu
pada Abu (sahabat Nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu Nabi alias
Hasan), dan Sapari diambil dari bulan Jawa-Islam yaitu ‘sapar’ yang
tidak lepas dari pertimbangan mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Kutipan
di atas memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, tokoh kakek Abu dari
pihak ayah dan ayah Abu.
Namun, cerita beralih ke masa lalu desa Palar. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari
pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa
diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama
dengan juru kunci makam.73

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1


subbab 1 yang menggambarkan peristiwa masa lalu desa Palar yang
termasuk dalam desa perdikan. Dalam hal ini, dulu desa Palar
termasuk ke dalam desa perdikan yaitu desa yang berhak untuk tidak
membayar pajak dan penghasilan desa disalurkan untuk keperluan
makam. Juru kunci makam pun memiliki profesi lain.
Pada bagian kedua, masa dewasa Abu Kasan Sapari
berkembang secara psikologis diperkenalkan sebagai sosok yang
dapat memanfaatkan suatu peluang untuk dapat melanjutkan
kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk
meneruskan sekolah. Dengan ijazah SMA sebenarnya ia sudah
lulus BA, jadi sarjana kurang skripsi, tapi posisi itulah yang
diperlukan dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan
ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki
Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan
Desa). Dipikirnya tidak enak terus-menerus tinggal di rumah Ki
Lebdocarito. Dengan alasan biarlah Abu mencari pengalaman,
maka Ki Lebdo pun melepaskannya. [....] Tugas pertamanya
ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan.
Yang selalu ditanyakannya pada diri sendiri: Apakah tugasnya
yang baru menjauhkan atau mendekatkannya pada

73
Ibid., h. 4.
73

Ronggowarsito, mengajarkan kebijaksanaan hidup? Tidak lupa


dia membawa alat-alat tatah pembuat wayang.*74

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1


subbab 4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang ingin hidup
secara mandiri. Dalam hal ini, Abu memilih untuk memanfaatkan
ilmu yang telah dimilikinya untuk dapat bertahan hidup tanpa harus
melibatkan orang lain. Namun Abu mengalami keraguan terhadap
pilihan hidupnya. Abu selalu mempertanyakan apakah pekerjaan
barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi
Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup. Kutipan di atas memperkenalkan latar tempat
desa yang kedua yaitu desa Kemuning.

b) Tahap Pemunculan Konflik


Tahap ini berisi tahap awal munculnya konflik kemudian
konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap selanjutnya.75 Tahap pemunculan konflik
dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo ini, ada di bab
2-8. Bab 2 yang berjudul “Mantra”, bab 3 yang berjudul “Abu Kasan
Sapari Tentang Alam”, bab 4 yang berjudul “Cinta Ular, Cinta
Lingkungan”, bab 5 yang berjudul “Demokrasi Menurut Abu Kasan
Sapari”, bab 6 yang berjudul “Wahyu Pohonan”, bab 7 yang berjudul
“Abu Versus Mesin Politik, Botoh, dan Dukun”, dan bab 8 yang
berjudul “Abu Kasan Sapari dan Lingkungannya”. Keseluruhan
peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu
Kasan Sapari mulai dekat dengan mantra, mulai dikenal sebagai
dalang, dan mulai terlibat dengan politik.

74
Ibid., h. 16.
75
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
74

Pada bagian ketiga, Abu mengalami peristiwa yang tidak


masuk akal ketika bertemu dengan Lelaki Tua Misterius di sebuah
pesta pasar malam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. [....] Ketika Abu
menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan
lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan
janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. Laki-laki
tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini
pada orang yang tepat.”
“Apa itu?”
“Mantra penjinak ular” Kemudian orang itu mencari telinga
kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?”
“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah
ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.
“Mantranya kok bahasa Arab, ya?”
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”76
“O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.”
[....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang
dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan
sulapan. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus
diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba
muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa
namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang
sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia
bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.77
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.78

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 2-4


yang menggambarkan peristiwa Abu yang mulai terikat dengan
mantra penjinak ular yang harus dipegang seumur hidupnya dan
memiliki kelebihan dalam menjinakkan ular. Dalam hal ini, Abu
Kasan Sapari diajarkan sebuah mantra penjinak ular dengan laku yang

76
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
77
Ibid., h. 22.
78
Ibid., h. 56.
75

harus dijalankan dan wewaler (pantangan) yang tidak boleh


dilakukannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat
pasar yang berlokasi di desa Kemuning, tokoh Lelaki Tua Misterius,
dan ciri fisik Lelaki Tua Misterius.
Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari diperkenalkan
sebagai seorang dalang yang nekat memberikan dukungan kepada
cakades yang diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon
yang dijagoi Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala
desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik
sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat tegalpandan
sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik.79
Namun, petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya,
seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan.
“Pak Abu ingin kaya tidak?”
“Tidak ingin kaya, cuma butuh duit seperti orang lain.”
“Lha, bicara soal duit. Bagaimana kalau permintaan untuk
mendalang di rumah cakades itu ditolak?”
“Maksudnya...eh, tidak mendalang dengan kompensasi
sejumlah uang.
Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya.
Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu
pulang. Katanya, “Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya,
lho.”80

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara


camat dengan Mesin Politik yang terletak di bab 5-8 menggambarkan
peristiwa Abu yang melakukan kegiatan mendalang pada acara
cakades yang tidak pro partai penguasa dianggap sebagai sikap politik.
Melihat hal tersebut, Mesin Politik menghalalkan segala cara untuk
dapat mempertahankan kekuasaannya termasuk dengan bertindak
otoriter kepada pihak lain yang dapat merugikannya. Kutipan di atas
juga memperkenalkan latar tempat desa Tegalpandan, dan ciri mental
Mesin Politik.
Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahap
pemunculan konflik menggambarkan Abu Kasan Sapari mengalami

79
Ibid., h. 149.
80
Ibid., h. 151-152.
76

kebingungan terhadap kejadian yang baru saja dialaminya dan


menganggap bahwa ilmu penjinak ular itu diturunkan secara turun
temurun kepada orang-orang terpilih termasuk kepada dirinya.
Bahkan, ia pun memercayai dan berniat untuk melaksanakan semua
ajaran yang diberikan oleh Lelaki Tua Misterius itu. Hal tersebut
dapat dikatakan bahwa Abu berada dalam lingkungan masyarakat
Islam kejawen yang masih memercayai mantra yang berhubungan
dengan mitos, mistik, dan klenik.
Di sisi lain, Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai pegawai
negeri dan dalang yang terlibat konflik dengan tokoh lain. Abu yang
berada di luar sistem Mesin Politik (Partai Randu) telah berani
mendalang memberikan dukungan kepada calon yang bermusuhan
dengan pilihan Mesin politik. Abu yang berkali-kali melakukan
kegiatan mendalang dianggap tidak mendukung Randu. Beberapa
lakon yang dimainkan oleh Abu dianggap sebagai tindakan yang
menjatuhkan Randu. Situasi di atas menggambarkan karakter Abu
bersikeras dengan teguh pada pendiriannya: tidak mau kesenian
terlibat dalam politik. Hal inilah yang menjadi penyebab Abu selalu
mengalami penindasan dari tokoh lain yaitu Mesin Politik.

c) Tahap Peningkatan Konflik


Tahap ini berisi tahap peningkatan konflik di mana peristiwa
yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang
tingkatannya. Cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi bisa dari segi internal, eksternal atau keduanya,
pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan
masalah dan mengarah ke klimaks.81 Tahap peningkatan konflik
dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 9 yang berjudul
“Ular” dan bab 10 yang berjudul “Di Luar Struktur, di Dalam Sistem”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan

81
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
77

tentang latar belakang Abu Kasan Sapari diprotes oleh kerumunan


warga desa dan Abu yang selalu dibujuk dan ditawari jabatan serta
kompensasi berupa uang.
Pada bagian ketiga, ilmu penjinak ular yang semula banyak
membantu Abu dalam menolong nyawa orang lain. Pada bagian
kelima, kini ilmu itu telah membuat Abu banyak mengalami rintangan
dalam kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Berita bahwa Abu memelihara seekor ular itu segera menyebar.
[....] “Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata
Abu.82
Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda
pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah.
Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau
ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka.
Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan
kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir
dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya
lepas.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?”
Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di
balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”83

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog Abu dan narator


yang terletak di bab 9 menggambarkan peristiwa Abu yang mulai
memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak ular yang
telah dimilikinya. Dalam hal ini, tindakan Abu itu mendapat
penolakan dari kerumunan warga karena dianggap telah mengancam
keselamatan warga. Abu pun melibatkan Lastri ke dalam konflik yang

82
Kuntowijoyo, op. cit., h. 134.
83
Ibid., h. 136.
78

dihadapinya sekaligus menjadi seorang yang menolak terhadap ular


yang dipeliharaannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan ciri
mental Abu.
Pada bagian keenam, Abu melakukan penolakan terhadap
permintaan Mesin Politik yang ingin merekrutnya sebagai caleg.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik
Tegalpandan itu lalu mengatakan, "Saya hanya mengantarkan,
Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II
Karangmojo."
"Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih
Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak
Abu lolos ketimbang sembilan calon lain."
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin
karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan
media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai
Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?84

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara


Abu dengan Mesin Politik yang terletak di bab 10 menggambarkan
peristiwa perlawanan Abu terhadap mesin birokrasi bernama negara
dengan Mesin Politik berupa partai pemerintah. Dalam hal ini, Abu
telah berkali-kali dihadapkan dengan Mesin Politik dan melakukan
penolakan untuk dijadikan pengikut partai pemerintah yang berkuasa
pada saat itu karena sudah memahami maksud dan tujuan dari Mesin
Politik.
Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa
pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan
instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu
kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat

84
Ibid., h. 162-163.
79

adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual


sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk
menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya,
para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye.85 Dalam
hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar
keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak
menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan
pemaksaan. Kutipan di atas juga memperkenalkan tokoh Mesin
Politik, ciri mental Abu dan Mesin Politik.
Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pada tahap
peningkatan konflik menggambarkan Abu Kasan Sapari yang mulai
memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak ular yang
telah dimilikinya. Meskipun, kerumunan warga dan Lastri tidak
memberikan respon yang baik terhadap kehadiran ular tersebut dan
tidak menyukai tindakannya. Abu tidak peduli dan tetap
mempertahankan ular peliharaannya. Dalam hal ini, Abu belum bisa
sepenuhnya terlepas dari mantra yang berhubungan dengan mitos,
mistik, dan klenik dalam tradisi Jawa-Islam.
Di sisi lain, Abu Kasan Sapari yang diperkenalkan sebagai
sosok seniman yang berjuang dan tetap berpegang teguh pada prinsip
kebenaran yang dimilikinya dengan tidak ingin terlibat dalam sistem
politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya. Hal
ini dibuktikan melalui tindakan Abu yang melakukan penolakan
terhadap tawaran dari Mesin Politik (partai penguasa) untuk menjadi
‘caleg jadi’ pada pemilu 1997 karena kalau ia menerima tawaran itu,
maka ia masuk ke dalam sebuah jebakan yang justru akan mematikan
perjuangannya. Oleh karena itu, Abu berpegang teguh pada pendirian
bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu oleh
siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan
bidang kesenian yang ditekuninya itu.

85
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
80

d) Tahap Klimaks
Tahap ini berisi konflik yang terjadi pada tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks dalam cerita akan dialami
oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadi konflik utama.86 Tahap klimaks dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo ini, ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan
tentang Abu yang dituding melakukan tindakan subversif.
Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus
melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada bagian
ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena yang
dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.87
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu seperti sudah mengharapkan.88
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.89
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.90
Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor
Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor.
Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.”
[....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk
keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu
Kasan Sapari dikeluarkan.91

86
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
87
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164.
88
Ibid., h. 165.
89
Ibid., h. 174.
90
Ibid., h. 175.
91
Ibid., h. 176.
81

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog polisi


serta dialog Mesin Politik yang terletak di bab 11 menggambarkan
peristiwa Abu yang sempat ditahan. Dalam hal ini, Abu dilepaskan
karena tidak terbukti melakukan tindakan subversif dan polisi yang
menangani kasus Abu mengalami kebingungan terhadap tindakan
yang dilakukan pihak penguasa (Mesin Politik/partai randu) kepada
Abu. Pihak penguasa memanfaatkan pekerjaan polisi untuk
melancarkan rencananya. Pada tahap klimaks ini, pengarang
memunculkan tokoh polisi, kerumuman mahasiswa, dan pengurus
HAM cabang Surakarta serta Ikadin untuk memberikan dukungan
kepada Abu dan membantu proses pembebasan tokoh utama yang
tidak terbukti bersalah.
Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap
klimaks ini menggambarkan peristiwa penangkapan Abu dengan
tuduhan tindakan menjatuhkan kekuasaan pemerintah dan anti-
Pancasila yang diajukan oleh Mesin Politik. Meski kemudian
dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan subversif. Dalam
hal ini, sikap Abu yang bertentangan dengan Mesin Politik banyak
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Abu yang diperkenalkan
sebagai pegawai negeri sekaligus dalang telah melewati perjalanan
hidupnya baik suka maupun duka termasuk lolos dari jeratan Mesin
Politik di zaman Orde Baru.

e) Tahap Penyelesaian
Tahap ini berisi konflik yang telah mencapai klimaks diberi
jalan keluar dan cerita diakhiri. Pada tahap ini, semua peristiwa yang
terjadi dalam cerita mengarah kepada proses pemecahan masalah
sebagai sebagai bentuk penyelesaiannya.92 Tahap penyelesaian dalam
novel MPU karya Kuntowijoyo ini, mulai terjadi penurunan klimaks
dan konflik-konflik dalam cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang

92
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
82

berjudul “Sajak-Sajak Cinta”, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”,


bab 14 yang berjudul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-Megap”,
bab 15 yang berjudul “Warisan”, bab 16 yang berjudul “Cangik
Bertanya Pada Limbuk”, dan bab 17 yang berjudul “Tuhan, Beri Kami
Ilmu yang Bermanfaat Tuhan, Hindarkan Kami Dari Malapetaka”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan
tentang perubahan sosial dan budaya.
Namun, pada bab 12 dan 13 tentang peristiwa penceritaan
sorot balik, cerita beralih ke masa lalu. Bab 12 yang berjudul “Sajak-
Sajak Cinta” menggambarkan peristiwa Abu yang membuat puisi
dalam bahasa Jawa untuk Lastri saat berada dalam tahanan. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Abu Kasan Sapari menulis geguritan-puisi bebas bahasa Jawa
dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia
tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan
mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan
sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan
Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba
waktunya.93

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan


peristiwa Abu yang membuat kumpulan puisi dengan nama Geguritan
Asmarandana. Dalam hal ini, puisi tersebut merupakan bentuk rasa
cinta Abu kepada Lastri yang tertuang dalam puisi yang dituliskannya.
Sedangkan, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”
menggambarkan peristiwa kakek Abu yang bercerita tentang kisah
hidup nenek moyangnya kepada Abu. Seperti pada kutipan di bawah
ini:
(Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek
bercerita). Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan. Eyang
pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin
[....]94

93
Ibid., h. 181.
94
Ibid., h. 195.
83

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator menggambarkan


peristiwa desa yang dahulu ditempati oleh nenek moyang kakek Abu
menjadi desa perdikan yaitu desa yang memiliki hak untuk tidak
membayar pajak.
Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari yang semula
mendalang untuk mendukung calon yang bermusuhan dengan Mesin
Politik. Pada bagian kedelapan, kini Abu tidak lagi mendalang untuk
calon yang berhadapan dengan Mesin Politik. Seperti pada kutipan di
bawah ini:
Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk
mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia
adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang
politik anti- Randu’. [....] Taktik Ki Manut Sumarsono
cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan
sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, julukan ‘dalang politik
non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya,
para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang
politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di
Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan
Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas
sekarang.”95

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator yang terletak di


bab 14 dan 15 menggambarkan peristiwa kehidupan Abu yang sudah
berjalan normal kembali jauh dari hal-hal yang berbau politik. Pada
bagian kedelapan tahap penyelesaian ini, pengarang memunculkan
tokoh Ki Manut Sumarsono untuk membantu tokoh utama dalam
memperoleh persepsi positif dari warga desa sekitar.
Pada bagian ketiga, Abu yang semula diceritakan terikat
dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam
kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos,
mistik, dan klenik. Pada bagian kesembilan, kini Abu tidak lagi
mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap
realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Seperti pada kutipan di
bawah ini:

95
Ibid., h. 229.
84

Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya bahwa seusai


salat dia ingin bicara. [....] “Apa susahnya? Bawa saja ular itu
ke kebun binatang.”
“Ular mudah, Pak. Tetapi saya terikat dengan mantranya.”
“Mantra?”
“Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra.
Mantra harus diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba.
Kalau tidak saya kena bebendu (malapetaka), tidak akan mati-
mati meski tua-renta.” “Jangan percaya! Itu gombal, itu
sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib
memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern,
bukan zamannya mantra lagi.”96
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan
mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup
menanggung.97
“Rencana sampeyan apa?”
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang
dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.98

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog antara


Abu dengan Haji Syamsuddin dan Abu dengan Lastri yang terletak di
bab 16 dan 17 menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap
mitos. Dalam hal ini, Abu berencana untuk membuang mantra dan
melepaskan ular dengan membawa ke kebun binatang. Abu
berketetapan hati untuk mengubah kehidupannya dengan melepaskan
diri dari hal-hal yang berbau mistik. Abu yang semula selalu
mempertanyakan apakah pekerjaan barunya itu akan menjauhkan atau
mendekatkannya pada tradisi Ronggowarsito yang selalu menghibur
rakyat dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Kini, Abu selalu
menjadikan ruh semangat Ronggowarsito dalam bertindak dan
mengambil keputusan. Bahkan, Abu selalu bertekad untuk

96
Ibid., h. 259.
97
Ibid., h. 270.
98
Ibid., h. 271.
85

meneruskan tradisi Ronggowarsito untuk menghibur rakyat dan


mengajarkan kebijaksanaan hidup.
Peristiwa tersebut digunakan pengarang untuk mengajak
masyarakat meninggalkan mantra-mantra yang berhubungan dengan
mitos, mistik, dan klenik serta menjauhkan diri dari perbuatan syirik
yang menjamakkan Tuhan. Kemudian, beralih kepada ilmu yang
berpijak pada realitas dan kekuatan doa untuk membersihkan diri serta
berserah diri kepada Tuhan. Hal ini ditegaskan pula dalam esai dan
artikel mengenai pemikiran Kuntowijoyo. Kuntowijoyo mengatakan
bahwa hanya dengan kesungguhan meninggalkan cara berpikir mitos
menuju cara berfikir pada realitas yang mampu membuat umat
manusia selamat dari ketertinggalan.99 Pada bagian kesembilan tahap
penyelesaian ini, pengarang memunculkan tokoh Haji Syamsuddin
untuk memberikan kesadaran kepada tokoh utama mengenai mitos
kesyirikan yang bertentangan dengan keyakinan agama Islam.
Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap
penyelesaian ini memperlihatkan bagaimana tema kehidupan
masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada
kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial dan budaya. Dimulai dari keterikatan
tokoh utama terhadap hal-hal yang bau mistik dan perjuangan tokoh
utama yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan dengan berbagai
konflik-konflik lain yang harus dihadapi hingga pada akhirnya mampu
mencapai perubahan sosial dan budaya.
Pada tahap penyelesaian ini, tokoh Abu mengalami perubahan
dan perkembangan sikap yang diakibatkan adanya keterlibatan tokoh
lain dalam peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Sikap tokoh Abu
yang tidak mudah goyah dengan teguh pada pendiriannya pada masa
awal berubah menjadi sikap yang penuh dengan pertimbangan dalam

99
M. Khomsin, op, cit., h. 27.
86

memutuskan segala sesuatu serta perencanaan yang matang dalam


menyikapi masalah yang dialaminya.

4. Latar
Latar merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa-
peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh adanya aksi tokoh
dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.100 Latar atau setting atau
yang disebut juga dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.101
a) Latar Tempat
Dalam novel MPU terdapat latar netral dan fungsional yang
memengaruhi perkembangan tokoh secara sosiologis maupun
psikologis. Latar tempat tersebut antara lain sebagai berikut:
Latar tempat pertama yang muncul dalam novel MPU yaitu
desa Palar. Pemilihan latar desa Palar sekaligus tempat makam
Ronggowarsito yang berlokasi di kecamatan Trucuk, kabupaten
Klaten secara fungsional dan tipikal koheren dengan realita,
mengingat keberadaan makam Ronggowarsito menjadi tempat yang
sangat dikeramatkan dan sosok Ronggowarsito selalu menjadi panutan
bagi masyarakat. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka
desa Palar dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini
tampak pada latar desa Palar yang menjadi tahap penyituasian. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.102
Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa
Palar, Klaten. [....] Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang
dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh

100
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1984), h. 113.
101
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 302.
102
Kuntowijoyo, op. cit., h. 2.
87

penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam.


Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam.103
Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih
sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin lama
makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama
pujangga itu pun masuk dalam doanya.104

Dilihat dari segi cerita, keberadaan desa Palar dan Kemuning


ini berfungsi untuk memunculkan peristiwa kenangan desa Palar dan
suasana dominan dari tradisi Jawa-Islam berbau mistik (mitos) yang
membentuk kepribadian dan pikiran tokoh Abu.
Latar tempat kedua yang muncul dalam novel MPU yaitu
cembeng (pasar malam) berlokasi di desa Kemuning. Jika dilihat dari
hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam
latar fungsional. Hal ini tampak pada latar desa Kemuning yang
menjadi tahap pemunculan konflik. Jika dikaitkan dengan latar
suasana, latar ini berfungsi memunculkan kebingungan dalam diri
Abu. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Di cembeng, ketika Abu sedang menghadapi segelas wedang
jahe di warung tiban dekat tiang listrik yang khusus dibuka
waktu itu, seseorang menyentuh pundaknya. [....] Abu masih
tertegun, merenungkan kejadian yang dialaminya. Disekanya
mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan sulapan. Kenyataan itu
dialaminya dengan badan wadhag, pasti sungguh-sungguh
terjadi. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus
diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba
muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa
namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang
sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia
bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.105

Dilihat dari segi cerita, keberadaan desa Kemuning ini


berfungsi untuk memunculkan suasana dominan dari tradisi Jawa-
Islam berbau mistik (mitos) yang memengaruhi pikiran Abu yang
tidak lagi menggunakan cara berpikir logis. Bahkan, Abu meyakini

103
Ibid., h. 4.
104
Ibid., h. 13.
105
Ibid., h. 22.
88

bahwa mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik


sebagai sesuatu yang benar.
Latar tempat ketiga yang muncul dalam novel MPU yaitu desa
Tegalpandan. Di tempat ini akan muncul berbagai tokoh lain dan
konflik yang harus dihadapi oleh tokoh utama. Latar tempat ketiga ini,
akan dibagi lagi menjadi beberapa tempat sesuai peristiwa yang
dialami oleh tokoh utama, yakni: pelukisan rumah sewa Abu dan
pasar. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat
digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada latar
rumah sewa Abu yang menjadi tahap peningkatan konflik baik konflik
batin Abu maupun konflik sosial antara Abu dengan kerumunan
warga desa dan Abu dengan Mesin Politik. Seperti pada kutipan di
bawah ini:
Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda
pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah.
Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau
ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka.
Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan
membiarkan ularnya lepas.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?”
Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan.
“Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular
itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”106
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
"Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?"

106
Ibid., h. 136-137.
89

"Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya


keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian."107

Dilihat dari segi cerita, keberadaan latar rumah sewa Abu


berfungsi untuk memunculkan pandangan Abu mengenai ular yang
dijadikan sebagai simbol alam dan lingkungan serta protes warga desa
maupun Lastri terhadap keputusan Abu tersebut. Di satu sisi, orang
yang berada di sekitar Abu menolak tindakannya. Di sisi lain, Abu
berniat ingin memberikan kesadaran mengenai pentingnya menjaga
dan melestarikan lingkungan. Keberadaan kedua latar ini juga
berfungsi untuk memunculkan sikap tokoh Abu yang tidak mudah
goyah hanya karena orang-orang di sekitarnya tidak memahami tujuan
dari tindakannya tersebut. Selain itu, kedua latar ini berfungsi untuk
memunculkan sikap Abu yang tidak ingin terlibat dalam sistem politik
kepentingan dan perjuangan Abu dalam melakukan perlawanan
terhadap politisasi kesenian.
Latar tempat keempat yang muncul dalam novel MPU yaitu
rumah tahanan yang berlokasi di Karangmojo. Jika dilihat dari
hubungannya dengan alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam
latar fungsional. Hal ini tampak pada latar Karangmojo yang menjadi
tahap klimaks. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS. [....] Sesampai
di Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan.108
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.109

Dilihat dari segi cerita, keberadaan rumah tahanan ini


berfungsi sebagai tempat Abu ketika dituduh sebagai “pembangkang”

107
Ibid., h. 162-163.
108
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164-165.
109
Ibid., h. 175.
90

dan menerima “hukuman” tanpa jelas apa kesalahan yang telah


diperbuatnya. Pemilihan cerita tertangkapnya Abu karena tuduhan
tindakan subversif/menuduh warga negaranya secara seenaknya saja
merupakan gambaran perilaku dan tindakan dari para politikus dan
pejabat pemerintah yang semata-mata untuk memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan.
Latar desa Tegalpandan akan dibagi lagi menjadi beberapa
tempat sesuai peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, yakni: pasar
dan pelukisan rumah sewa Abu. Jika dilihat dari hubungannya dengan
alur, maka latar ini dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal
ini tampak pada latar pasar dan rumah sewa Abu yang menjadi tahap
penyelesaian. Jika dikaitkan dengan latar suasana, pasar ini berfungsi
membangun kegelisahan Abu terhadap julukan yang sudah terlanjur
melekat dalam dirinya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Di pasar sampeyan dikenal sebagai dalang politik anti-Randu,
lho.”
“Itulah, Yu. Yang mengganggu pikiran saya.”110
[....] Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas
setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik
anti-Randu’, julukan ‘dalang politik non-Randu’, bahkan
julukan ‘dalang politik’ lenyap. Buktinya, para bakul di pasar
tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu
mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu
dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, “Soal ‘dalang
politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang.”111

Dilihat dari segi cerita, keberadaan pasar ini berfungsi untuk


memunculkan persepsi positif dari warga desa terhadap tindakan Abu
yang tidak lagi melibatkan kesenian dengan politik.
Latar tempat selanjutnya, yakni rumah sewa Abu. Jika
dikaitkan dengan latar suasana, rumah sewa Abu ini berfungsi
membangun kesadaran dalam diri Abu terhadap kehidupan real yang
dijalaninya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

110
Ibid., h. 228.
111
Ibid., h. 229.
91

Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di


samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan
mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup
menanggung.112
“Rencana sampeyan apa?”
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang
dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.113

Dilihat dari segi cerita, keberadaan rumah sewa ini berfungsi


untuk memunculkan suasana dominan dari perlawanan Abu terhadap
mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan terhadap binatang,
pemujaan terhadap benda keramat, dan mantra. Pada akhirnya, latar
desa Tegalpandan ini menjadi proses pencapaian Abu menuju
perubahan sosial dan budaya. Latar desa Tegalpandan ini juga menjadi
latar suasana dominan dari konflik atau ketegangan yang diakibatkan
oleh hubungan antar anggota masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam novel MPU yang
telah diuraikan di atas menggambarkan tempat-tempat penting bagi
Abu Kasan Sapari untuk mencapai suatu perubahan sosial dan budaya.
Latar tempat ini memiliki keterkaitan dengan tema yang telah
diuraikan sebelumnya. Meskipun, peristiwa yang dilalui Abu begitu
rumit mengenai keterikatan dengan mantra yang menjuruskannya
pada perbuatan syirik dan kegiatan mendalang yang membuat Abu
harus menghadapi berbagai kendala terlibat dalam politik. Namun,
dengan keyakinan, pendirian yang kuat, dan penuh perjuangan
akhirnya Abu dapat melalui berbagai cobaan hidup yang menimpanya.
Dengan demikian, latar tempat ini pun terkait dengan alur yang
menjadi jalan cerita tokoh utama.

112
Ibid., h. 270.
113
Ibid., h. 271.
92

b) Latar Waktu
Latar waktu penceritaan yang terdapat dalam novel MPU
disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu,
yaitu kilas balik pertemuan ibu-bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah
- lulus sekolah – kerja - Abu menikah dan harus memilih
istri/ilmunya. Latar waktu penceritaan dalam novel MPU tidak
digambarkan secara jelas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kejadian
yang ada dalam novel dapat terjadi kapan pun dan dimana pun dari
waktu ke waktu.
Namun, berdasarkan latar waktu historis yang terdapat dalam
novel MPU dapat digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997
masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi
politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke
pedesaan-pedesaan. Peristiwa tersebut dapat terlihat pada bab bab 14
dengan judul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-megap”. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah
Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo,
tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di
kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik
kalah. [....] Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu
disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana
tradisional, tidak menyelenggarakan wayangan, wayang orang,
dan ketoprak karena para seniman tidak mau terlibat dalam
politik praktis. “Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris
kesenian DPD Randu. Dikepalanya hanya ada satu orang, Abu
Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk
membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana.114
Dala kampanye Pemilu memang ada obral janji untuk rakyat,
membangun ini itu. Tapi pelaksananya, wo, tahi kucing, jangan
tanya. Nol besar. [....] Laki-laki tua itu memejam mata sambil
memegang telapak tangan laki-laki bersarong, kerumunan diam
tidak berisik ingin mendengar jawabnya. Laki-laki tua berbisik
di telinga, tapi bisikan itu cukup keras sehingga kerumunan itu
mendengar. Katanya, "Ayam itu mati kena virus, namanya
monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita

114
Ibid., h. 174.
93

memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh


bangsa lain, tapi oleh bangsa sendiri.115

Kutipan di atas dapat diketahui bahwa Abu yang


bermatapencaharian sebagai pegawai kecamatan dan dalang di desa di
kaki Gunung Lawu mengalami sentuhan, tubrukan atau sedikitnya
menjadi saksi sejarah bagaimana mesin politik Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto beroperasi sampai ke desa-desa. “Mesin Politik”
yang menjadi antagonis mengingatkan bagaimana kekuasaan politik di
akhir abad ke-20 Indonesia beroperasi sampai ke desa-desa.
Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa
pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan
instrumen kesenian sebagai media untuk menarik massa. Salah satu
kesenian yang digunakan untuk memperoleh simpati masyarakat
adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang pintar (intelektual
sekaligus aktor) di daerah dipandang amat potensial untuk
menyampaikan pesan dan ajakan kepada masyarakat. Oleh karenanya,
para dalang ditunjuk pihak penguasa sebagai juru kampanye.116
Abu yang berpendirian kuat untuk tidak melibatkan kesenian
dengan politik praktis menyebabkan terjadinya konflik sosial dengan
"Mesin Politik" di desa yang dilukiskan dalam sentuhan yang jauh
dari rasa keadilan. Seiring dengan keadaan yang sedang mengalami
masa peralihan itu, rakyat dan wong cilik yang memihak kepada hati
nurani dan kebenaran melakukan sebuah aksi demonstrasi untuk
melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh
pihak penguasa. Dalam novel MPU ini, Kuntowijoyo juga
menampilkan peristiwa menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde
yang kemaruk: Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu

115
Ibid., h. 211-213.
116
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
94

muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera


ambruk.117
Dari peristiwa di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang
menggunakan latar waktu secara eksplisit yang tertera dalam novel
MPU yaitu pada tahun 1997. Peristiwa pada tahun 1997 dalam novel
MPU merupakan realitas sejarah sosial-politik yang terjadi pada masa
menjelang ambruknya kekuasaan Orde Baru di bawah rezim Soeharto
yang sentralistik dan militeristik.118 Realitas sejarah yang
digambarkan di atas membuktikan bahwa Orde Baru adalah sebuah
orde yang memang harus segera berakhir. Potret buram Orde Baru
tidak hanya menjadi serangkaian pengalaman bagi Kuntowijoyo,
tetapi menjadi pengalaman seluruh rakyat Indonesia. Pemilihan latar
waktu ini digunakan pengarang sebagai bentuk kritik terhadap
pemerintah yang belum sepenuhnya memperhatikan dan
mengutamakan kesejahteraan rakyat maupun warga desa.

c) Latar Sosial
Latar sosial dalam novel MPU dapat dilihat sebagai potret
suasana sebelum Reformasi, saat hampir seluruh tempat di Indonesia
bahkan sampai ke pedesaan-pedesaan sedang berlangsung modernisasi
terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa dan situasi politik di
Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaaan-
pedesaan. Secara fisik, penggambaran sebuah desa diwarnai dengan
kehijauan alamnya, dikelilingi bukit-bukit dan gunung-gunung, dan
umumnya belum sepenuhnya dikembangkan secara maksimal oleh
manusia. Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial
masyarakat dalam deskripsi novel MPU:
Di Kemuning, ada sumur tetapi sangat dalam, dan tak ada air
bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga,

117
Kuntowijoyo, op. cit., sampul halaman belakang.
118
Tirto Suwondo, “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik Orde
Baru”, Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, 2005, h. 86-87.
95

kadang-kadang habis, dan bisanya hanya mengisi gentong. Jadi,


diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas-
puasnya seperti semua orang.”119
Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Dari Kemuning orang
dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan
tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan yang mulus
sampai puncak-puncak bukit untuk itu Pemerintah Orde Baru
patut mendapat acungan jempol- Kemuning bisa
120
berkembang.

Kutipan di atas menunjukkan suasana sosial yang


diperlihatkan melalui gambaran warga desa yang susah payah mencari
air ke sendang dan aktivitas mandi yang hanya dilakukan sekali dalam
sehari. Selain itu, kemajuan sosial-budaya pun sudah terlihat dari fakta
desa Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata dan adanya
pembangunan jalur transportasi yang sudah bagus.
Semakin terjangkaunya sarana fisik yang sudah merata ke
berbagai wilayah pedesaan mendorong timbulnya perilaku budaya dan
gaya hidup baru bagi masyarakat Jawa. Abu Kasan Sapari sendiri
mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti
kursus cara-cara membangun desa (agar modern tentunya), yang
artinya bersentuhan erat dengan kebudayaan modern. Dalam hal ini,
Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai simbol orang Jawa modern
yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman pada masa hidupnya
yang dapat terlihat dari pikiran dan tindakannya, yaitu menempuh
pendidikan yang tinggi hingga menjadi pegawai negeri. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
di SMA ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang
Pelajar se-Jawa Tengah.121
Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk
meneruskan sekolah. Dia melamar pekerjaan jadi pegawai
lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah
kecamatan di kaki Gunung Lawu. [....] Tugas pertamanya ialah
mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan.122

119
Ibid., h. 17.
120
Ibid., h. 95.
121
Ibid., h. 13.
122
Ibid., h. 16.
96

Seluruh usaha kecamatan diarahkan ke desanya. Penataran P-4,


perpustakaan desa, kursus baca-tulis (Abu sangsi apakah orang-
orang desa masih bisa membaca), papan tulis untuk data desa,
dan usaha-usaha rumah (peternakan kambing, peternakan
bebek, dan pembuatan emping melinjo).123
Singkatnya, Abu kemudian juga dikenal sebagai dalang.124

Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai


kehidupan yang tenteram, damai dan jauh dari perubahan yang dapat
menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang semula tenteram dan
damai berubah menjadi kacau. Desa Tegalpandan digunakan
pengarang sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik sosial. Dalam
hal ini, tokoh Abu Kasan Sapari memang mengenyam pendidikan
yang maju, sarana mobilitas, dan kemajuan teknologi di era demokrasi
dan modernisasi. Namun, Abu memiliki prinsip bahwa tidak semua
tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu
saja. Demokrasi yang otoriter dan mengesampingkan rakyat kecil
harus dilawan karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
"Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih
Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak
Abu lolos ketimbang sembilan calon lain."
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
“Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin
berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir
satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri
akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!”
[....] Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.125
Sebuah mobil pengangkut tahanan dari Polres Karangmojo
berhenti di depan kantor Kecamatan Tegalpandan. [....] Tiga
orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari

123
Ibid., h. 24.
124
Ibid., h. 32.
125
Ibid., h. 162-164.
97

Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,”


kata Abu seperti sudah mengharapkan. [....] Sesampai di
Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan.126

Kutipan di atas menunjukkan bentuk perlawanan tokoh utama


yang dapat terlihat dari tindakannya yang menolak dijadikan sebagai
alat politik praktis karena tidak mengedepankan kebersamaan dan
kejujuran. Bukti menunjukkan bahwa di dalam sistem kekuasaan yang
otoriter, tindakan menolak sebuah tawaran yang berkaitan dengan
politik sangat besar resikonya. Sebab, dalam bahasa politik kata
menolak dapat berarti “pembangkang”. Apabila seseorang telah
dituduh sebagai “pembangkang”, pasti akan menerima “hukuman”
tanpa harus jelas apa kesalahannya.
Dalam hal ini, Abu Kasan Sapari melakukan penolakan
terhadap tawaran Mesin Politik untuk menjadi caleg jadi, ia kemudian
ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Bahkan, tuduhan yang
dialamatkan padanya sangat tidak masuk akal yaitu sebagai pemimpin
gerakan Anti-Pancasila, subversif, dan makar. Di sisi lain, Mesin
Politik, Militer, dan Penguasa adalah simbol arogansi yang
menggunakan kekuasaan, wewenang, dan kekayaan untuk melakukan
penekanan terhadap rakyat kecil.
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa
latar dan penokohan dalam novel ini memiliki hubungan yang sangat
erat. Pemilihan latar waktu sesuai dengan waktu historis tercermin
dari peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1997, sebelum Reformasi,
saat situasi politik di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga
ke pedesaan-pedesaan dan latar waktu penceritaan yaitu tahapan-
tahapan kehidupan tokoh utama. Dengan tema besar yang berlatar
tempat, waktu, dan sosial tersebut, Kuntowijoyo memberikan suguhan
lika-liku problematika kehidupan tokoh utama dari sejak kecil sampai
dewasa dengan berbagai konflik yang disebabkan karena adanya

126
Ibid., h. 165.
98

ketidakadilan, penindasan bahkan penyingkiran. Namun, dengan


penuh perjuangan akhirnya tokoh utama dalam novel MPU berhasil
mencapai suatu perubahan sosial dan budaya melalui konsistensi dan
ketegasan sikapnya terhadap berbagai konflik sosial yang ia hadapi.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.127 Setiap pengarang memiliki
ciri khas masing-masing dalam menyajikan sudut pandang. Pada novel
MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga: “dia”
mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu). Si “dia”
narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat
diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran
tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Fungsi sudut pandang orang
ketiga ini adalah untuk mengajak pembaca mengetahui hati dan tindakan
yang dialami oleh tokoh-tokoh melalui narasi maupun dialog yang
tertera. Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di bawah ini:
“Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak
Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan
bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’
itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai
pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur.
Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah
kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu
mendapat pujian dari Gubernur.”128

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga maha tahu,


Kuntowijoyo memposisikan diri dengan tidak secara langsung
memerankan salah satu tokoh pelaku cerita. Namun, pengarang seolah-
olah mengetahui dan dapat menjelaskan secara rinci tindakan dan
perasaan yang dialami oleh setiap tokoh. Pemilihan sudut pandang ini
membuat pengarang lebih leluasa mengeksplorasi sisi batin Abu untuk

127
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248.
128
Kuntowijoyo, op. cit., h. 30.
99

kemudian menciptakan konflik. Hal tersebut menjadi penguat terhadap


cara pandang mengenai suatu permasalahan yang terjadi dalam cerita.

B. Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya


Novel MPU karya Kuntowijoyo menampilkan situasi sosial dalam
catatan sejarah Indonesia yaitu peristiwa mengenai rezim pemerintahan Orde
Baru pada tahun 1966-1998 yang sarat dengan konflik sosial yang
memberikan pengaruh negatif pada kehidupan sosial dan sikap masyarakat.
Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya adalah suatu
keadaan di mana sekelompok orang terlibat pertentangan secara sadar dengan
satu kelompok lain atau lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang
bertentangan, baik dalam nilai maupun dalam klaim terhadap status,
kekuasaan, atau sumber-sumber daya yang terbatas dan dalam prosesnya
ditandai oleh adanya upaya pihak-pihak yang terlibat untuk saling
menetralisasi, mencederai, atau bahkan mengeliminasi posisi atau eksistensi
lawan.129
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, bahwa penelitian ini
membahas tentang konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo
dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Wujud dan penyebab
konflik dalam novel ini akan disampaikan dalam bentuk tabel dan skema agar
pembaca dapat mencermati dan memahami isi dari hasil pembahasan dengan
lebih mudah. Dalam penelitian ini wujud konflik sosial yang terjadi
disebabkan beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan,
ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Di dalam tabel hasil
penelitian dapat dilihat penyebab konflik dalam novel MPU terdiri dari
berbagai macam permasalahan serta bagaimana cara para tokoh dalam
mengatasi permasalahan tersebut.

129
M. Atho Mudzhar, op. cit., h. 2.
100

Tabel 1: Wujud dan Faktor Penyebab Konflik Sosial

No. Tokoh Wujud Konflik Sosial Faktor Penyebab


1. Abu Kasan Sapari - Konflik pemikiran - Perbedaan antar-
dengan kerumunan antar individu dengan individu (Perbedaan
warga desa dan individu. pendapat).
Lastri. - Masalah: keyakinan. - Abu yang memiliki
- Bab 9 Subbab 2 keterikatan dengan
mantra penjinak ular
mulai memelihara
ular. Tetapi,
kerumunan warga
desa tidak menyukai
tindakan Abu
tersebut.
2. Abu Kasan Sapari - Konflik gagasan antar - Benturan antar-
dengan Mesin individu dengan kepentingan.
Politik. kelompok. - Abu nekat
- Masalah: memberikan
ketidakberpihakan. dukungan kepada
- Bab 10 Subbab 1. cakades yang diminta
mundur untuk
memuluskan jalan
bagi calon yang
dijagoi Mesin Politik.
- Bab 10 Subbab 4. - Abu berkeinginan
mendirikan
paguyuban
pedalangan tetapi
dilarang oleh Mesin
Politik.
- Bab 10 Subbab 7. - Abu menolak tawaran
dari Mesin Politik
untuk menjadi caleg
jadi.
- Masalah: penindasan. - Abu dituduh oleh
- Bab 11 Subbab 1 dan Mesin Politik sebagai
4. pemimpin gerakan
anti-pancasila,
subversi, dan makar.
3. - Kismo Kengser - Konflik pandangan - Perubahan sosial dan
dengan penguasa dan konflik fisik antar budaya.
(Mesin Politik). individu dengan - Dalam pidatonya
kelompok. Kismo Kengser
- Masalah: banyak mengkritik
101

ketimpangan sosial. pemerintah, mulai


- Bab 14 Subbab 1. dari penggusuran
tanah, monopoli
ekonomi, korupsi,
sampai makar.
- Abu Kasan Sapari - Konflik pandangan - Haji Syamsuddin
dengan Haji antar individu dengan yang tidak
Syamsuddin. individu. memercayai hal-hal
- Masalah: keyakinan. syirik mencoba
- Bab 16 Subbab 4. memberikan
kesadaran kepada
Abu yang masih
memercayai mantra
penjinak ular.

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa konflik telah menjadi bagian


dari kehidupan manusia. Konflik itu tidak dapat dihindarkan dan sudah
menjadi kenyataan hidup yang harus dihadapi oleh manusia. Konflik dapat
terjadi ketika berbagai pendapat, benturan antar-kepentingan baik secara
ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya masyarakat yang
tidak sejalan. Konflik biasanya dapat diselesaikan tanpa kekerasaan, tetapi
bisa juga menimbulkan kekerasan. Dalam setiap kelompok sosial sering ada
pertentangan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok. Pada tabel di atas, konflik berwujud pemikiran,
gagasan, pandangan, dan konflik fisik mengenai permasalahan, yaitu:
keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan ketimpangan sosial. Pada
penelitian ini, konflik pemikiran, gagasan, pandangan, dan konflik fisik yang
berhubungan dengan konflik sosial akan dibahas semua.

C. Cara Mengatasi Konflik Sosial


Berdasarkan hasil penelitian, setiap tokoh memiliki cara masing-
masing dalam mengatasi konflik sosial. Ada para tokoh yang dapat mengatasi
permasalahannya sendiri. Namun, ada juga sebagian dari para tokoh meminta
bantuan dan mendapat dukungan dari pihak lain, seperti kepada teman,
tetangga, orang yang disegani di wilayahnya, atau kerumunan warga desa.
Para tokoh yang tidak dapat mengatasi permasalahannya sendiri dan tidak
102

meminta bantuan dari pihak lain, maka permasalahan yang dialami tidak akan
pernah dapat diselesaikan. Berikut ini adalah bentuk data tentang
penyelesaian dari masing-masing tokoh yang ada di dalam novel MPU.

Tabel 2: Cara Para Tokoh Mengatasi Konflik Sosial

No. Tokoh Konflik Sosial Mengatasi Konflik


1. - Abu Kasan - Keyakinan. - Melalui musyawarah
Sapari dengan Bab 9 Subbab 2. bersama, dapat ditemukan
kerumunan solusi untuk kedua belah
warga desa dan pihak. Pada akhirnya,
Lastri. permasalahan tersebut
dapat terselesaikan dengan
jaminan Abu terhadap
keselamatan warga desa
dengan cara tidak akan
membiarkan ular
peliharaannya itu terlepas.
- Abu menjadikan ular
peliharaannya sebagai
simbol alam dan
lingkungan. Dalam hal ini,
Abu dibantu oleh Lastri.
2. Abu Kasan Sapari - Ketidakberpihakan - Abu pasrah terhadap
dengan Mesin dan penindasan. penangkapan dan
Politik. - Bab 10 Subbab 7. penahanan yang menimpa
- Bab 11 Subbab 1 dirinya.
dan 4. - Abu dibebaskan karena
tidak terbukti bersalah.
Dalam hal ini, Abu
mendapat dukungan dan
bantuan dari polisi,
kerumuman mahasiswa,
dan pengurus HAM
cabang Surakarta serta
Ikadin.
3. - Kismo Kengser - Ketimpangan - Seiring dengan keadaan
dengan sosial. yang sedang mengalami
penguasa - Bab 14 Subbab 1. masa peralihan itu, Kismo
(Mesin Politik). Kengser dan rakyat yang
memihak kepada hati
nurani dan kebenaran
melakukan sebuah aksi
demonstrasi untuk
103

melakukan perlawanan
terhadap ketimpangan
sosial yang dilakukan oleh
pihak penguasa (Mesin
Politik).
- Abu Kasan - Keyakinan. - Abu membuang mantra
Sapari dengan - Bab 16 Subbab 4. penjinak ular sekaligus
Haji - Bab 17 Subbab 2. memutuskan mata rantai
Syamsuddin. perbuatan syirik. Abu pun
melepaskan ular
peliharaannya ke kebun
binatang. Dalam hal ini,
Abu dibantu oleh Haji
Syamsuddin.

Pada dasarnya, konflik dapat terjadi dalam bentuk konflik pemikiran,


gagasan, pandangan, dan konflik fisik. Pada penelitian ini, konflik pemikiran,
gagasan, pandangan, dan konflik fisik yang berhubungan dengan konflik
sosial akan dibahas semua. Pada tabel di atas, para tokoh sebagian besar
mampu menyelesaikan permasalahannya dan ada juga yang mengalami
permasalahan lain akibat dari perkembangan konflik itu sendiri. Hal tersebut
dapat terlihat dari tokoh Abu Kasan Sapari yang menolak tawaran dari Mesin
Politik untuk menjadi caleg jadi, kemudian Abu dituduh oleh Mesin Politik
sebagai pemimpin gerakan anti-pancasila, subversif, dan makar sehingga Abu
harus berurusan dengan polisi sampai ditangkap dan ditahan di kantor polisi.
Meski demikian ada juga tokoh yang mampu menyelesaikan
permasalahannya dengan baik, seperti pertentangan yang terjadi antara Abu
dengan kerumunan warga desa dan Lastri. Ketika banyak yang memprotes
kehadiran ular peliharaan Abu, ternyata Abu mempunyai tujuan dengan
menjadikan ular peliharaannya itu sebagai simbol alam dan lingkungan.
Dalam hal ini, Abu dibantu oleh Lastri. Pada akhirnya, Abu berhasil
mengajak camat, lurah, dan masyarakat agar bersikap ramah pada alam dan
lingkungan juga terhadap ular.
104

D. Pembahasan: Wujud Konflik Sosial dan Faktor Penyebabnya


Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan penyebab konflik
sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan antar-kepentingan
baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan sosial dan budaya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa konflik sosial adalah
permasalahan yang muncul akibat adanya pertentangan antaranggota
masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan, seperti halnya di
dalam novel ini. Konflik dalam novel ini terjadi karena adanya hubungan
antara satu pihak dan pihak lain atau antara para tokoh di dalam novel.

1. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu)

SKEMA TINDAKAN TOKOH ABU KASAN SAPARI

MOTIF TUJUAN
Motif Abu Kasan Sapari Menjadikan ular sebagai
memelihara ular karena memiliki simbol alam dan lingkungan.
keyakinan terhadap mitos Cinta ular berarti cinta
kesyirikan berupa mantra dan lingkungan, begitu pandangan
kepercayaan terhadap binatang. Abu.

SUBJEK
Abu Kasan Sapari

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG


Kerumunan Warga Keyakinan Lastri
Desa dan Lastri

Dalam novel ini, perbedaan antar-individu disebabkan oleh


perbedaan pendapat. Dalam konflik ini terjadilah bentrokan-bentrokan
pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan
lawannya (tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi
bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik alias
105

melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya).130 Pada


dasarnya, perbedaan pendapat dalam kehidupan manusia akan selalu ada
dan sering kali terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam novel
MPU, konflik ini terjadi antara tokoh Abu Kasan Sapari sebagai tokoh
utama dengan Lastri sebagai tokoh pendukung dan kerumunan warga
desa. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai
keyakinan.
Setiap individu di dalam masyarakat pasti memiliki pendapat atau
gagasan yang berbeda-beda misalnya mengenai keyakinan terhadap
sesuatu hal sehingga sering terjadi selisih pendapat. Konflik di dalam
novel ini disebabkan karena permasalahan keyakinan terhadap mitos.
Keyakinan berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu atau
seseorang yang dianut dan dijalankan dalam kehidupan.131 Dalam novel
ini, Abu memercayai mantra penjinak ular dengan berbagai pantangan
atas ilmunya sehingga ia memiliki kelebihan menjinakkan ular. Sebuah
mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang
penuh misteri.132 Dapat dikatakan bahwa Abu meyakini bahwa mantra
yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai sesuatu yang
benar, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-
temurun, seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”133
[...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan
tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana
asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan

130
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69.
131
Sri Rahayu Wilujeng, “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam Perspektif
Budhisme Nichiren Daishonin”, Izumi, Vo. 3, 2014, h. 1.
132
Nurhayati, “Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan Dari Aspek Makro dan
Mikro”, http://www.eprints.unsri.ac.id diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017.
133
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
106

tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk


melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.134
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.135

Dalam novel ini, keterikatan Abu dengan mantra penjinak ular


telah membuat dirinya memutuskan untuk menjadikan ular besar yang
ditemukan di sawah dekat rumah sewanya sebagai klangenan.136 Motif
Abu Kasan Sapari memelihara ular karena memiliki keyakinan terhadap
mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan terhadap binatang. Banyak
ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun
kelompok tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi karena penting
bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan
mitologi yang bersifat keyakinan dan keagamaan. Mitos yang sering kita
dengar dari masyarakat salah satunya adalah binatang. Binatang
merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisahkan dalam
setiap aktivitasnya, seperti pemakaian simbol, bahkan saat ini banyak
binatang yang dimanfaatkan sebagai peliharaan.
Kepercayaan masyarakat mengenai ular sebagian besar hampir
sama bahwa ular merupakan jadi-jadian dari makhluk halus yang
menyeramkan. Oleh sebab itu, masyarakat cenderung takut pada ular
dibandingkan dengan binatang yang lainnya.137 Dalam novel ini,
keyakinan Abu terhadap mitos berupa mantra dan kepercayaan terhadap
ular telah membuat dirinya harus menghadapi konflik dengan kerumunan
warga desa dan Lastri yang merasa ketakutan dengan kehadiran
klangenannya itu. Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada analisis

134
Ibid., h. 22.
135
Ibid., h. 56.
136
Klangenan berarti sesuatu yang menjadi kesenangan (kegemaran, kesukaan).
137
Erwan Baharudin, “Konstruksi Pengetahuan Tentang Reptil Di Komunitas Deric
(Depok Reptile Amphibi Community)”, Forum Ilmiah, Vol. 11, No. 3, 2014, h. 427.
107

bagian alur tahap peningkatan konflik dapat terlihat pada kutipan di


bawah ini:
Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau
ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka.
Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan
kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir
dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya
lepas.138

Pada dasarnya, tujuan Abu memelihara ular sebagai simbol alam


dan lingkungan. Alam dan lingkungan yang menjadi basis perasaan dan
pemikiran Abu. Bagi Abu, ular itu seperti alam dan lingkungan yang
harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh. Cinta ular berarti cinta
lingkungan, begitu pandangan Abu. Lastri yang mengetahui tujuan Abu
tersebut tidak lagi mempermasalahkan ular tersebut, seperti yang telah
dibahas pada analisis latar tempat. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan
di bawah ini:
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan.
“Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular
itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”139

Dalam hal ini, Abu yang merasa tersudutkan dan menganggap


kejadian itu hanyalah sebuah kesalahpahaman saja memilih untuk tidak
berhadapan langsung dan berkontak fisik dengan warga desa. Abu juga
lebih memilih menghindari konflik daripada harus melakukan
perlawanan secara langsung. Sikap Abu yang tenang dan tidak mudah
terbawa emosi dalam menghadapi protes dari kerumunan warga desa
memang sikap yang tepat. Pada akhirnya, permasalahan tersebut dapat

138
Kuntowijoyo, op. cit., h. 136.
139
Ibid., h. 136-137.
108

terselesaikan dengan jaminan Abu terhadap keselamatan warga desa


dengan cara tidak akan membiarkan ular peliharaannya itu terlepas,
seperti yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat terlihat dari
kutipan di bawah ini:
Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat
RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan
membiarkan ularnya lepas.140

Jika menemui masalah demikian, seharusnya meminta bantuan


orang ketiga sebagai mediator untuk mencari jalan keluar. Melalui
musyawarah bersama, dapat ditemukan solusi untuk kedua belah pihak.

2. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan dan


Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan)

SKEMA TINDAKAN TOKOH ABU KASAN SAPARI

MOTIF TUJUAN
1. Unjuk diri tokoh Abu kepada Menjadikan profesi dalang yang
Mesin Politik bahwa profesi dalang ditekuninya itu dapat memberikan
di dalam dunia pewayangan penyadaran dan pencerahan serta
mempunyai otoritas tunggal yang pendidikan politik kepada warga
dapat membeberkan apapun sesuai desa melalui gerakan moral yang
dengan keinginannya. disampaikan lewat media kesenian
2. Moral Abu sebagai dalang yang yaitu wayang kulit.
tidak ingin dilibatkan dalam sistem
politik kepentingan dan tidak ingin
mengkhianati perjuangannya.

SUBJEK
Abu Kasan Sapari

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG


Mesin Politik Ketidakberpihakan profesi Lastri dan Ki
dalang dalam politik praktis Manut Sumarsono

140
Ibid., h. 136.
109

SKEMA TINDAKAN TOKOH MESIN POLITIK

MOTIF TUJUAN
Mesin Politik yang sering kali Ingin mempertahankan kekuasaan
melakukan penindasan terhadap dan berusaha keras membungkam
Abu hanya semata-mata karena kebebasan Abu dalam
alasan politik dan loyalitas pada memperjuangkan pendirian dengan
partai penguasa. cara menggunakan politik uang
dan jabatan.

SUBJEK
Mesin Politik

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG


Abu Kasan Sapari Penindasan Lastri dan Ki Manut
Sumarsono

Kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda pun memudahkan


terjadinya konflik. Demi mengejar tujuan kepentingan masing-masing
yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik
untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.141 Dalam novel ini,
konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik. Konflik ini disebabkan
karena adanya perbedaan tujuan kepentingan. Penyebab konflik ini
dipicu oleh permasalahan mengenai ketidakberpihakan profesi dalang
dalam politik praktis dan penindasan. Konflik sosial yang digambarkan
dalam novel ini, tentu tidak lepas dari situasi politik di Indonesia yang
sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan. Dalam hal
ini, permasalahan yang diangkat oleh Kuntowijoyo sesuai dengan realitas
sosial-politik pada masa Orde Baru.
Pertama, ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis.
Motif Abu Kasan Sapari yang tidak memberikan dukungan penuh kepada
calon yang dipilih Mesin Politik dalam berbagai pemilihan di desa bukan
semata-mata karena alasan politik. Motif yang paling penting adalah

141
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, op. cit., h. 68-69.
110

unjuk diri kepada Mesin Politik bahwa profesi dalang yang ditekuni Abu
di dalam dunia pewayangan mempunyai otoritas tunggal yang dapat
membeberkan apapun sesuai dengan keinginannya. Otoritas dalang itulah
yang secara kreatif dimanfaatkan Kuntowijoyo sebagai wahana
membeberkan kecarut-marutan para penguasa Orba yang
menyelewengkan prinsip-prinsip, etika keadilan, dan demokrasi.142
Moral Abu sebagai dalang yang tidak ingin dilibatkan dalam
sistem politik kepentingan dan tidak ingin mengkhianati perjuangannya
tidak serta-merta menuruti perintah Mesin Politik. Sikap politik Abu pun
sebenarnya sudah jelas terlihat dengan tidak berpolitik praktis dan
memisahkan antara kesenian dari politik, seperti kutipan di bawah ini:
“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang
menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”143
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”144

Bahkan, Abu berani melakukan penolakan terhadap berbagai


tawaran dari Mesin Politik. Abu juga sangat berpegang teguh pada
pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh
diganggu oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap
mempertahankan bidang kesenian yang ditekuninya itu. Kutipan di atas
telah dibahas pada analisis bagian penokohan.
Hal tersebut dilakukan Abu bertujuan untuk menjadikan profesi
dalang yang ditekuninya itu dapat memberikan penyadaran dan
pencerahan serta pendidikan politik kepada warga desa melalui gerakan
moral yang disampaikan lewat media kesenian yaitu wayang kulit. Abu
tidak ingin warga desa menjadi objek dan korban dari kekuasaan tingkat

142
Tirto Suwondo, op. cit., h. 88.
143
Ibid., h. 150.
144
Ibid., h. 162-163.
111

atas. Namun, tujuan Abu itu mendapatkan tentangan dari Mesin Politik.
Mesin Politik digambarkan oleh pengarang memiliki kedudukan sebagai
pihak elit penguasa yang berarti para pengambil kebijakan di tingkat
pusat atau aparatur negara (pemerintahan) yang memiliki otoritas
tertinggi. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan bagian penokohan yang
diusung Kuntowijoyo ketika kedudukan Mesin Politik disalahgunakan
untuk melakukan paksaan dan penyingkiran sehingga timbul korban di
kalangan massa (rakyat). Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.145

Kedua, penindasan. Motif Mesin Politik yang sering kali


melakukan penindasan terhadap Abu hanya semata-mata karena alasan
politik dan loyalitas pada partai penguasa. Para pengikut Partai Randu,
sebuah partai yang menjadi mesin politik pemerintah. Pemilihan lurah
dan camat penting bagi partai penguasa karena lurah dan camat dalam
menentukan kemenangan pilkades dan pemilu ini. Kecamatan dan
kelurahan menjadi basis kegiatan mesin politik. Berbagai upaya untuk
memenangkan pemilihan lurah dilakukan oleh partai penguasa.146 Mesin
Politik menggunakan kesenian wayang sebagai alat politik untuk
berkampanye, seperti yang telah dibahas pada analisis tema (lihat h. 45).
Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa pemerintah rezim
Orde Baru memandang perlu untuk menggunakan instrumen kesenian
sebagai media untuk menarik massa. Salah satu kesenian yang digunakan
untuk memperoleh simpati masyarakat adalah seni pedalangan.
Dalang sebagai orang pintar (intelektual sekaligus aktor) di
daerah dipandang amat potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan
kepada masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak

145
Ibid., h. 174.
146
Kusmarwanti, op. cit., h. 153-154.
112

penguasa sebagai juru kampanye.147 Dalam hal ini, pihak penguasa


(Mesin Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat
terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi
usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Peristiwa di
atas, dapat dilihat dari perkembangan alur dari mulai tahap pemunculan
konflik sampai peningkatan konflik (lihat h. 75 dan 78), terjadi ketika
Abu yang nekat memberikan dukungan kepada cakades dan ditawarkan
jabatan sebagai caleg oleh Mesin Politik.
Sifat Mesin Politik yang terkenal angkuh dan maunya menang
sendiri, secara perlahan telah menimbulkan terjadinya konflik sosial
antara Mesin Politik dengan Abu. Hal ini disebabkan karena aturan yang
dipaksakan Mesin Politik setiap saat membayang-bayangi Abu agar
memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik
dalam berbagai pemilihan di desa. Selain itu, perbedaan tujuan
kepentingan antara Abu dengan Mesin Politik telah menimbulkan
penindasan yang terus saja muncul ke permukaan terutama pada tokoh
Abu. Hal ini tidak lain karena adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha
keras ingin menguasai daerah melalui berbagai pemilihan di desa.
Pada masa Orde Baru, kekritisan pendapat rakyat dibendung.
Negara melakukan hegemoni terhadap berbagai organisasi di masyarakat
dan melarang terbentuknya organisasi independen. Para penguasa adalah
orang-orang yang kebal hukum.148 Dalam novel ini, hal yang sama
dirasakan oleh Abu sebagai dalang yang mengumpulkan teman-teman
satu profesinya untuk mendirikan sebuah organisasi dalang, demi
menandingi organisasi dalang lainnya yang berasaskan seni untuk
berpolitik yang diprakarsai oleh Mesin Politik. Dalam hal ini, Abu
melawan dengan seni untuk seni. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan
di bawah ini:

147
Sutiyono, op. cit., h. 1-2.
148
Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150.
113

Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar


harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
“Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin
berbuat baik. Tapi, ya, sudah. Kami beri waktu untuk berpikir
satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri
akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar,lho!”
Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin
karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan
media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai
Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?149

Namun, hal tersebut mendapat tentangan dari Mesin Politik yang


tidak memperbolehkan Abu mendirikan organisasi dalam bentuk apapun.
Hal tersebut dilakukan oleh Mesin Politik dengan tujuan ingin
mempertahankan kekuasaan dengan cara berusaha keras membungkam
kebebasan Abu dalam memperjuangkan pendirian dengan cara
menggunakan politik uang dan jabatan. Orang-orang yang kritis terhadap
kebijakan pemerintah selalu mendapat sorotan. Oleh karena itu, banyak
kasus penangkapan terhadap para aktivis politik untuk membungkam
suara mereka. Pada masa Orde Baru tidak ada ruang berpendapat sebagai
bentuk kontrol pada pemerintah, bahkan pemerintah tidak segan-segan
melakukan tindakan represif, seperti penangkapan150 Dalam novel ini,
Abu selalu mengalami penindasan dan menjadi korban kekuasaan.
Gambaran tentang serentetan paksaan dan tuduhan selalu membayangi
kesehariannya. Penangkapan terhadap Abu selalu menjadi tontonan
sehari-hari bagi kerumunan warga desa yang mengalami kebingungan
akibat terkena imbas krisis politik nasional. Banyak terjadi pertentangan
dalam masyarakat yang lebih mengarah pada kepentingan politik saja.
Dalam hal ini, Abu dan Mesin Politik paling banyak mendapat
sorotan oleh pengarang. Hal ini dapat terlihat dari pemunculan konflik di

149
Kuntowijoyo, op. cit., h. 162-163.
150
Kusmarwanti, op. cit., h. 149-150.
114

antara keduanya sangat terlihat dengan jelas. Keduanya, sama-sama ingin


memanfaatkan seni pewayangan, tetapi tujuan yang mereka tempuh
saling bertentangan. Unsur-unsur penindasan pun selalu diperlihatkan
Mesin Politik kepada Abu. Pada akhirnya, permasalahan tersebut
berakhir setelah Abu ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak
terbukti bersalah. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.151

Dalam novel ini, Abu lebih banyak menghindari konflik fisik


daripada harus melakukan perlawanan secara langsung. Ia lebih memilih
untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, tanpa demonstrasi turun
ke jalan, dan tanpa tindakan provokatif yaitu melalui kesenian wayang.

3. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial dan


Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya)

SKEMA TINDAKAN TOKOH KISMO KENGSER

MOTIF TUJUAN
Motif Kismo Kengser mengkritik Memperoleh pengakuan status
penguasa (Mesin Politik) melalui sosial yaitu bebas dari tekanan-
pidatonya, karena sudah tekanan rezim Orde Baru dengan
banyaknya permasalahan berupa hidup dalam kedamaian serta
monopoli ekonomi, keserakahan terlepas dari belenggu kesulitan
dan ketidakadilan. ekonomi dan politik.

SUBJEK
Kismo Kengser

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG


Penguasa (Mesin Ketimpangan Sosial Abu Kasan Sapari dan
Politik) Kerumunan Warga
Desa atau Rakyat
151
Ibid, h. 175.
115

SKEMA TINDAKAN TOKOH HAJI SYAMSUDDIN

MOTIF TUJUAN
Haji Syamsuddin tidak Memberikan kesadaran kepada
memercayai mitos yang Abu Kasan Sapari mengenai
mengarah kepada hal-hal syirik mitos kesyirikan yang
seperti mantra dan kepercayaan bertentangan dengan keyakinan
terhadap binatang. agama Islam.

SUBJEK
Haji Syamsuddin

PENENTANG OBJEK PENDUKUNG


Abu Kasan Sapari Keyakinan Haji Syamsuddin

Perubahan sosial adalah perubahan struktur dan fungsi sosialnya.


Oleh karena itu, perubahan berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan
dan seringkali perubahan sosial berkaitan dengan perubahan budaya.
Perubahan sosial dan budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai
dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan
perubahan.152 Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan
yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di mana tatanan
perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan
tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang
kehilangan arah dan pedoman perilaku.153 Dalam novel ini, konflik terjadi
antara Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik) dan Abu Kasan
Sapari dengan Haji Syamsuddin. Penyebab konflik ini dipicu oleh
permasalahan mengenai ketimpangan sosial dan keyakinan.

152
Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan”, Jurnal Al-Hikmah,
2015, h. 181.
153
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362.
116

Pertama, ketimpangan sosial. Konflik terjadi antara Kismo


Kengser dengan penguasa (Mesin Politik). Motif Kismo Kengser yang
mengkritik penguasa (Mesin Politik) melalui pidatonya, karena sudah
banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan
ketidakadilan. Nama Kismo Kengser berarti tanah tergusur. Nama ini
mengisyaratkan adanya penggusuran, baik dalam arti penggusuran fisik
(misalnya penggusuran tanah) maupun dalam penggusuran batin (misalnya
harga diri, hak hidup, dan sebagainya). Ia pun duduk di atas kain putih
yang lebar, kemudian berpidato. Dalam pidatonya Kismo Kengser banyak
mengritik pemerintah, mulai dari penggusuran tanah, monopoli ekonomi,
korupsi, sampai Pancasila.154 Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada
analisis tema, seperti pada kutipan di bawah ini:
Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh
bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo
Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera
ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana.
Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk
memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling,
digusur semena-mena.”155

Ekonomi merupakan sumber utama yang diperlukan rakyat atau


warga desa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, pihak
penguasa (Mesin Politik) selalu membatasi segala akses masuk dalam
perekonomian dan perpolitikan sehingga pihak tertindas (rakyat atau
warga desa) harus menghadapi keadaan tertekan serta serba kekurangan.
Tindakan penguasa ini lambat laun disadari rakyat atau warga desa karena
telah membuat keresahan dan kesengsaraan bagi kehidupan mereka.
Kehidupan ekonomi rakyat atau warga desa yang berada di bawah kendali
dan tekanan pemerintah Orde Baru semakin mengalami keterpurukan.
Kekecewaan pun dialami rakyat atau warga desa terhadap tindakan
penguasa yang hanya mengumbar-umbar janji dalam pembangunan daerah

154
Kusmarwanti, op. cit., h. 154.
155
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
117

dan tidak memberikan kesempatan untuk mengelola dan mengolah sumber


ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penguasaan dan
pengendalian atas sumber ekonomi rakyat atau warga desa oleh
pemerintah pada saat itu. Sebenarnya daerah yang digambarkan dalam
novel tersebut memiliki kekayaan alam dan subur tetapi tingkat
kemiskinan masih cukup tinggi.
Tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan yang mendera rakyat
atau warga desa setempat sangat menyulitkan dalam menghadapi
persaingan yang semakin sengit dalam menjalani hidup keseharian karena
tidak memiliki akses ke sumber-sumber daya sosial, ekonomi, politik yang
dapat menopang kehidupan yang layak.156 Kendati demikian, seperti
diyakini oleh Kuntowijoyo di dalam diri tokoh Abu masih ada keyakinan
bahwa bagaimanapun kebenaran akan tetap menang. Hal itu berarti bahwa
kebenaran dan keadilan akan selalu unggul dan abadi. Oleh karena itu,
Abu tetap yakin bahwa “kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat” pasti
akan segera lenyap. Melalui tokoh sentral Abu Kasan Sapari perjuangan
dan harapan Kuntowijoyo dalam novel tampaknya memperoleh tanda-
tanda akan menuai titik terang. Sebab, bukan suatu kebetulan, tidak lama
setelah Abu ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti
bersalah, gerakan reformasi di Indonesia (1997/1998) mulai mengerucut
ke permukaan.157
Seiring dengan keadaan yang sedang mengalami masa peralihan
itu, rakyat dan wong cilik yang memihak kepada hati nurani dan
kebenaran melakukan sebuah aksi demonstrasi untuk melakukan
perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang dilakukan oleh pihak
penguasa. Dalam novel MPU ini, Kuntowijoyo juga menampilkan
peristiwa menjelang tumbangnya kejayaan sebuah orde yang kemaruk:

156
Martiyan Ramdani, “Determinan Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1982-2012”, Jurnal
Economics Development Analysis Journal, 2015, h. 98.
157
Tirto Suwondo, op. cit., h. 86.
118

Orde Baru. Sampai akhirnya tanda-tanda zaman itu muncul, isyarat bahwa
pemerintah yang tengah berkuasa akan segera ambruk.158
Dalam novel ini, Kismo Kengser, Abu, dan warga desa mempunyai
tujuan kepentingan untuk memperoleh pengakuan status sosial yaitu bebas
dari tekanan-tekanan rezim Orde Baru dengan hidup dalam kedamaian
serta terlepas dari belenggu kesulitan ekonomi dan politik. Dengan
hadirnya Kismo Kengser yang mengkritik pemerintah/penguasa/Mesin
Politik telah menimbulkan konflik sosial di antara keduanya. Meskipun,
konflik antar keduanya tidak berhadapan secara langsung tetapi
berpengaruh pada perilaku warga desa maupun rakyat.
Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin dengan
Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak memercayai mitos
seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang karena mengarah
kepada hal-hal syirik. Hal tersebut mengingat manusia memiliki
kebutuhan yang tidak terbatas dalam kehidupan, religi atau keyakinan,
contohnya meyakini tentang adanya roh halus (roh leluhur) yang dapat
dipercaya, namun sekarang manusia lebih berpikir logis dengan akal.159
Dalam hal ini, Haji Syamsudin memiliki tujuan untuk mencoba
memberikan kesadaran dalam diri Abu atas kebimbangan terhadap mantra
penjinak ular yang hanya bisa dibuang kalau Abu sudah menemukan
pengganti yang tepat untuk dapat mewarisi ilmunya.
Abu yang semula diceritakan terikat dengan mantra dan berada
dalam lingkungan masyarakat Islam kejawen masih memercayai mantra
yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi
mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar terhadap realitas
kehidupan yang harus dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji
Syamsuddin telah membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat
padanya telah membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah

158
Kuntowijoyo, op.cit., sampul halaman belakang.
159
Baharuddin, op. cit., h. 181.
119

tersebut dapat terselesaikan. Abu pun memutuskan untuk meninggalkan


ular itu, seperti yang telah dibahas pada alur bagian tahap penyelesaian.
Pada waktu itu terdengar azan subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutuskan mata rantai mantra itu, tidak
mengajarkan mantra pada siapa pun.160

Konflik sosial yang digambarkan dalam novel tersebut, tentu tidak


terlepas dari situasi sosial dan politik yang digambarkan dalam ceritanya.
Banyak permasalahan terjadi disebabkan karena adanya pertentangan-
pertentangan mengenai kepentingan sosial dan politik. Dalam hal ini,
Mesin Politik dan Abu menjadi tokoh yang paling banyak mendapatkan
sorotan oleh pengarang. Selain itu, terdapat pula tokoh Kismo Kengser dan
Haji Syamsuddin. Sebab di antara tokoh-tokoh tersebut banyak
memunculkan konflik yang sangat jelas. Tokoh-tokoh tersebut memiliki
keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang serba kecukupan dan layak
serta rasa aman untuk ditempati, tetapi jalan yang Abu dan rakyat atau
warga desa tempuh jauh dari harapan dan sangat bertentangan.
Unsur-unsur konflik yang tak berwujud pada kekerasan telah
menyadarkan dan mengubah sikap rakyat atau warga desa menjadi
pemberani dan tegas terhadap tindakan penguasa yang tidak sesuai dengan
amanah rakyat atau warga desa serta dapat berpikir secara logis
meninggalkan hal-hal yang berbau mitos, mistik, dan klenik. Berdasarkan
hasil analisis di atas, gambaran konflik sosial yang terdapat dalam novel
sesuai dengan sejarah. Ada beberapa faktor terjadinya konflik, seperti
perbedaan antar-individu, perbedaan kepentingan antar individu atau
kelompok, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk
memperebutkan kesempatan dan sarana, benturan antar kepentingan baik
secara ekonomi ataupun politik dan perubahan sosial budaya. Selain itu,
ada faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya konflik, yaitu

160
Kuntowijoyo, op. cit., h. 270.
120

keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, ketimpangan sosial. Pada


novel ini, bentuk konflik tidak berwujud kekerasan dan tidak memakan
korban yakni unjuk-rasa (demonstrasi), dialog (musyawarah), dan protes
dilakukan pihak tertindas karena telah diperlakukan dengan sewenang-
wenang oleh pihak penguasa.
Sementara itu, konflik tidak selalu bersifat negatif seperti diduga
banyak orang. Apabila ditelaah secara saksama, konflik mempunyai fungsi
positif, yakni sebagai pengintegrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan)
masyarakat dan sebagai sumber perubahan.161 Konflik yang mempunyai
fungsi positif juga terjadi di dalam novel dilihat dari pengaruh konflik
sosial terhadap sikap masyarakat desa yang semula tunduk menjadi
berbalik melakukan perlawanan terhadap penindasan, menuntut keadilan
atas hak-hak rakyat atau warga desa melalui demo untuk menyampaikan
aspirasinya dan perlawanan terhadap mitos, mistik, dan klenik yang sudah
seharusnya beralih kepada kehidupan modern sesuai dengan zamannya.
Dengan demikian, konflik ini dapat termasuk dalam fungsi positif karena
telah menimbulkan perubahan sikap masyarakat.

E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah


Analisis konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo, dapat
diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah yaitu melalui materi
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Pembelajaran sastra bertujuan untuk
mengembangkan kompetensi peserta didik dalam memahami setiap unsur
dalam karya sastra caranya melalui apresiasi karya sastra. Peserta didik dapat
mempelajari dan mendapatkan pelajaran serta mengetahui apa saja pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang. Peserta didik diharapkan dapat
membaca dan menganalisis sehingga dapat mengembangkan kemampuan
serta keterampilan peserta didik dalam berpikir. Kemampuan yang dimiliki
peserta didik dapat diasah melalui berbagai aspek, seperti segi kognitif,
afektif maupun psikomotorik dan didukung dengan rasa percaya diri. Guru

161
Ramlan Surbakti, op. cit., h. 150.
121

bahasa Indonesia juga dapat memposisikan dirinya untuk berbagi ilmu


melalui pengalaman dan pendekatan yang menyenangkan serta menggali
potensi yang dimiliki peserta didik.
Penelitian ini difokuskan pada satuan pendidikan yakni sekolah
menengah atas. Penelitian ini difokuskan dengan aspek membaca. Standar
kompetensi yang dimuat di dalamnya adalah memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/novel terjemahan. Kompetensi dasar yang dipilih dalam
pembahasan mengenai novel MPU karya Kuntowijoyo yaitu menganalisis
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Indikator
pencapaian kompetensi: pertama, peserta didik mampu menemukan unsur-
unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang)
dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Kedua, peserta didik mampu
menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial
dll) dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Ketiga, peserta didik mampu
menemukan konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Keempat,
peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel
MPU karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari. Kelima, peserta didik
mampu menceritakan kembali isi novel MPU karya Kuntowijoyo
menggunakan bahasa sendiri.
Pada standar kompetensi tersebut, peserta didik diajak untuk
memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Peserta didik
diajak untuk membaca dan memahami novel khususnya dari unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Setelah memahami unsur-unsur tersebut, maka peserta didik
melakukan analisis agar mampu menjawab tujuan pembelajaran sastra. Salah
satu novel yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah novel MPU karya
Kuntowijoyo dengan fokus kajian mengenai konflik sosial dan implikasinya
terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini juga dapat dijadikan
sebagai buku sumber untuk pembelajaran novel di SMA kelas XI. Sebelum
memulai materi baru, peserta didik diingatkan kembali mengenai materi
sebelumnya dan tugas yang dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam hal ini,
satu minggu sebelumnya guru menugaskan peserta didik untuk membaca
122

novel MPU. Ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung, peserta didik


menyimak penjelasan dari guru terkait pengertian novel, unsur intrinsik,
unsur ekstrinsik, dan konflik sosial dalam novel.
Setelah peserta didik selesai menyimak, peserta didik ditugaskan oleh
guru untuk membentuk kelompok untuk berdiskusi. Kemudian, secara
berkelompok peserta didik diminta untuk menemukan dan menganalisis
unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut
pandang) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial
dll), menemukan konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo, dan
mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel MPU karya Kuntowijoyo
dengan kehidupan sehari-hari. Tiap kelompok mengerjakan tugas di Lembar
Kerja Siswa yang telah disiapkan oleh guru. Setelah tugas selesai, masing-
masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya secara bergantian.
Kelompok lain yang menyimak presentasi diwajibkan untuk memberikan
tanggapan atas presentasi tersebut. Untuk menguji pemahaman peserta didik
mengenai materi novel, maka guru memberikan soal-soal yang harus dijawab
oleh peserta didik.
Novel MPU karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran sastra di sekolah. Guru diharapkan dapat mengajarkan kepada
peserta didik mengenai pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi
negatif dan positif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
mengimplikasikannya. Dengan memahami konflik sosial dalam novel MPU
karya Kuntowijoyo ini, peserta didik diharapkan dapat memahami konsep
konflik dengan baik dan dapat mengatasi konflik sehingga peserta didik
mampu memperkuat basis nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari. Melalui
tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU ini
diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab
terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib
dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang
tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Setelah melakukan analisis terhadap novel MPU maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Analisis unsur intrinsik dalam novel MPU memperlihatkan tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar dan sudut pandang. Tema mayor yaitu
kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih kepada
kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial dan budaya. Tema minor atau tema tambahan di
antaranya: permasalahan politisasi kesenian, monopoli ekonomi, keserakahan
dan ketidakadilan dalam praktik politik. Tokoh dan penokohan dibagi
menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis yaitu
Abu Kasan Sapari (tokoh utama), Sulastri atau Lastri, orang tua Abu, kakek
nenek Abu, wartawan, Haji Syamsuddin, camat, Ki Lebdocarito, Ki Manut
Sumarsono, polisi, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, laki-laki tua misterius
dan tokoh antagonis yaitu Mesin Politik dan polisi (tokoh pendukung).
Alur disusun secara kronologi berupa alur campuran. Latar dibagi
menjadi tiga, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Pertama, latar tempat
dibagi menjadi empat, yaitu desa Palar, desa Kemuning, Karangmojo, dan
desa Tegalpandan. Kedua, latar waktu penceritaan disusun secara episodik
berdasarkan tahapan-tahapan kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu-
bapak Abu – kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah
dan harus memilih istri/ilmunya. Ketiga, latar waktu historis yaitu pada tahun
1997 masa pemilihan umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik
di Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-pedesaan.
Pada novel MPU, pengarang menggunakan sudut pandang persona ketiga:
“dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu).
Dalam penelitian ini wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan
beberapa permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan,

123
124

ketimpangan sosial. Pertentangan berwujud konflik pemikiran, gagasan,


pandangan, dan konflik fisik. Wujud konflik sosial ini akan dibagi
berdasarkan penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu,
benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan
perubahan sosial dan budaya. Konflik sosial yang digambarkan dalam novel
tersebut, tentu tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang digambarkan
dalam ceritanya. Banyak permasalahan terjadi disebabkan karena adanya
pertentangan-pertentangan mengenai kepentingan sosial dan politik. Dalam
hal ini, Mesin Politik dan Abu menjadi tokoh yang paling banyak
mendapatkan sorotan oleh pengarang. Selain itu, terdapat pula tokoh Kismo
Kengser dan Haji Syamsuddin.
Unsur-unsur konflik yang tak berwujud pada kekerasan telah
menyadarkan dan mengubah sikap rakyat atau warga desa menjadi pemberani
dan tegas terhadap tindakan penguasa yang tidak sesuai dengan amanah
rakyat atau warga desa serta dapat berpikir secara logis meninggalkan hal-hal
yang berbau mitos mistik, dan klenik. Pada novel ini, bentuk konflik tidak
berwujud kekerasan dan tidak memakan korban yakni unjuk-rasa
(demonstrasi), dialog (musyawarah), dan protes dilakukan pihak tertindas
karena telah diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak penguasa.
Konflik di dalam novel ini mempunyai fungsi positif dapat dilihat dari
pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa yang semula tunduk
menjadi berbalik melakukan perlawanan terhadap penindasan, menuntut
keadilan atas hak-hak rakyat atau warga desa melalui demo untuk
menyampaikan aspirasinya dan perlawanan terhadap mitos, mistik, dan klenik
yang sudah seharusnya beralih kepada kehidupan modern sesuai dengan
zamannya. Dengan demikian, konflik ini dapat termasuk dalam fungsi positif
karena telah menimbulkan perubahan sikap masyarakat.
Implikasi pembelajaran sastra di sekolah melalui novel MPU karya
Kuntowijoyo berkaitan dengan standar kompetensi yang dimuat di dalamnya
adalah memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.
Kompetensi dasar yang dipilih dalam pembahasan mengenai novel MPU
125

karya Kuntowijoyo yaitu untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dan


ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Indikator pencapaian kompetensi:
pertama, peserta didik mampu menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh
dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo. Kedua, peserta didik mampu menemukan unsur-unsur
ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel MPU
karya Kuntowijoyo. Ketiga, peserta didik mampu menemukan konflik sosial
dalam novel MPU karya Kuntowijoyo. Keempat, peserta didik mampu
mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel MPU karya Kuntowijoyo
dengan kehidupan sehari-hari. Kelima, peserta didik mampu menceritakan
kembali isi novel MPU karya Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.
Novel MPU karya Kuntowijoyo juga dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran sastra di sekolah.
Guru diharapkan dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai
pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar
tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya. Dengan
memahami konflik sosial dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini, peserta
didik diharapkan dapat memahami konsep konflik dengan baik dan dapat
mengatasi konflik sehingga peserta didik mampu memperkuat basis nilai
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Melalui tokoh utama yang bernama Abu
Kasan Sapari dalam novel MPU ini diharapkan peserta didik dapat
mengaplikasikan sikap tanggung jawab terhadap perbuatan yang termasuk ke
dalam sikap moral yang wajib dilakukan dengan menolak dijadikan caleg
karena ada maksud lain yang tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam
dilarang berlaku syirik.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran
sastra, maka penulis menyarankan:
1. Novel MPU dapat digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran sastra di
sekolah oleh guru dapat mengajarkan kepada peserta didik mengenai
126

pemahaman konsep konflik sosial yang berfungsi negatif dan positif agar
tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengimplikasikannya sehingga
terhindar dari berbagai konflik.
2. Melalui tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dalam novel MPU
ini diharapkan peserta didik dapat mengaplikasikan sikap tanggung jawab
terhadap perbuatan yang termasuk ke dalam sikap moral yang wajib
dilakukan dengan menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang
tersembunyi dan sebagai umat beragama Islam dilarang berlaku syirik.
DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, M. Harun. “Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik”. Jurnal


Madani, 2005.
Ambiya, Halim. “Kepada Eyang Kunto”. Harian Sinar Harapan. Jakarta, 5 Maret
2005.
Asy’ari, Suaidi. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: Indonesian-
Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 2003.
Atmazaki. Ilmu Sastra: (Teori dan Terapan). Padang: Angkasa Raya, 1990.
Baharuddin, “Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan”.
http://www.jurnaliainpontianak.or.id/index.php/alhikmah/article/download/
323/273 diunduh pada hari Senin, 23 Januari 2017.
Baharuddin, Erwan. “Konstruksi Pengetahuan Tentang Reptil Di Komunitas Deric
(Depok Reptile Amphibi Community)”. Forum Ilmiah. 11, 2014.
Budianta, Melani. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Efendi, Anwar. “Kemandirian Tokoh Wanita dalam Novel-Novel Karya
Kuntowijoyo”. Jurnal Pendidikan Karakter. 3, 2013.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
CAPS, 2011.
Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya, 1984.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Fikri, M. Sirajudin. “Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo
(Studi Pada Sejarah Peradaban Islam)”. Wardah, 2015.
Fortuna, Dewi, dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-
Politik, dan Kebijakan di Asia-Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005.
Giyato, Skripsi berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar,
Mantra Penjinak Ular, dan Waspirin dan Satinah (Kajian Strukturalisme
Genetik dan Nilai Pendidikan)”, Surakarta: Universitas Sebelas Maret,
2010.

127
128

Harahap, Muharrina. Skripsi berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel


Kuntowijoyo”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
2009.
Harskamp, Anton Van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta:
KANISIUS (Anggota IKAPI).
Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya,
2010.
Juniarsih, Nuning. “Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Lokal Suku
Sasak Di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok”. Agroteksos. 17, 2007.
Khomsin, M. “Meruntuhkan Mitologi Ala Kuntowijoyo”. Harian Suara Merdeka.
Semarang, 2 April 2006.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.
--------------. Mantra Penjinak Ular. Jakarta: Buku Kompas, 2000.
--------------. “Mencari Budaya Politik Alternatif”. Harian Kompas. Jakarta, 5
Desember 1995.
--------------. Mantra Penjinak Ular,
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/MantraPenjinakUla
r-KTW diunduh Kamis, 10-3-2016.
--------------. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
--------------. “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”. Harian Kompas.
Jakarta, 29 Oktober 1999.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012.
Kusmarwanti. “Tokoh Orang Tua dan Refleksi Politik Orde Baru dalam Novel-
Novel Karya Kuntowijoyo”. Litera. 14, 2015.
Marzuki, Arief Fauzi. “Membangun Semesta Budaya Profetik”. Harian Kompas.
Jakarta, 21 September 2003.
Mudzhar, M. Atho. “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial
Bernuansa Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor). Konflik Etno Religius
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
129

Muslimin. “Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.


Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya. 1, 2011.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univesity Press, 2005.
Nurhadi dan Dian Swandayani. “Kajian Filsafat Suryomentaram dalam Novel
Pasar Karya Kuntowijoyo”. Fenolingua, 2006.
Nurhayati. Mantra Masyarakat Melayu Bangka: Tinjauan Dari Aspek Makro Dan
Mikro. http://www.eprints.unsri.ac.id diunduh pada hari Minggu, 15 Januari
2017.
Nurrachim, Lintang Arzia. Nilai Sosial. http://www.repo.isi-
dps.ac.id/1168/1/Nilai_Sosial diunduh pada hari Minggu, 15 Januari 2017.
Parini, Sri. “Aspek Religiusitas Novel Mantra Pejinak Ular Karya Kuntowijoyo:
Kajian Semiotik dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMP”.
Jurnal Penelitian Humaniora. 15, 2014.
Philipus, Ng dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
-----------------. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Rahayu, Friska. “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah
Kstaria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami”. Artikel E-
Journal, 2013.
Ramdani, Martiyan. “Determinan Kemiskinan Di Indonesia Tahun 1982-2012”.
Economics Development Analysis Journal. 4 (1), 2015.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013.
--------------------------. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta, 2010.
130

Riyanto, Waryani Fajar. “Seni, Ilmu, dan Agama Memotret Tiga Dunia
Kuntowijoyo (1943-2005) Dengan Kacamata Integral(Isme)”. Politik
Profetik. Vol. 2, 2013.
Roqib, Mohammad. Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan
Keadilan Gender. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar,
2007.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Sofia, Adib. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sudiadi, Dadang. “Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat yang
Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultural
dalam Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Kriminologi Indonesia. 5, 2009.
Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sujamto. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Suparlan, Parsudi. “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”. Antropologi
Indonesia. 2, 2006.
Surbakti, Ramlan. Memahami Politik. Jakarta: Gramedia, 1992.
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana,
2009.
Sutiyono. “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”. Imaji.
Suwondo, Tirto. “Mantra Penjinak Ular”: Rekonstruksi Sejarah Sosial-Politik
Orde Baru”. Pangsura, 2005.
Syamsuddin, Amir. “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada Anak
Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, 2012.
131

Thomas, dkk. “Konflik Sosial Antara Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Borneo
Ketapang Permai Dengan Masyarakat Desa Semayang Kecamatan
Kembayan, Kabupaten Sanggau”. Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSS, 2015.
Wahyudi, Andri. Konflik, Konsep Teori, dan Permasalahan. http://www.jurnal
unita.org./index.php/publiciana/article/view/45/41 diunduh pada hari
Minggu, 15 Januari 2017.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
Wilujeng, Sri Rahayu. “Alam Semesta (Lingkungan) dan Kehidupan dalam
Perspektif Budhisme Nichiren Daishonin”. Izumi. 3, 2014.
Yusuf, Choirul Fuad. Konflik Bernuansa Agama: Peta Konflik Berbagai Daerah
di Indonesia 1997-2005. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.
LAMPIRAN 1

Sinopsis Novel Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo

Cerita ini mengisahkan tentang seorang laki-laki sekaligus tokoh utama


yang bernama Abu Kasan Sapari. Ia lahir dari masyarakat agraris yang seluruh
sikap dan tindak tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi
Jawa-Islam seperti dibawa ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah,
sepasaran dengan mengundang macapatan dengan gamelan sederhana, dan
kenduri. Ia tinggal di kaki Gunung Lawu. Sejak SD-SMA ia telah diperkenalkan
kesenian Jawa salah satunya menjadi “dalang”. Di sana, ia dikenal sebagai
pegawai kecamatan dan dalang. Kegiatan Abu Kasan Sapari dan masyarakat Jawa
pedesaan di pusat kaki gunung tersebut, yakni saat membangun desa dengan cara
membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara
kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya
menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Saat ia
tinggal di desa Kemuning, untuk pertama kalinya ia bertemu dengan lelaki tua dan
diperkenalkan mantra pejinak ular. Abu Kasan Sapari terlibat dalam gerakan
penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan
perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo,
dan sebagainya. Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang sedang melakukan
KKN.
Di Tegalpandan, untuk pertama kalinya Abu Kasan Sapari bertemu dengan
seorang perempuan yang bernama Lastri. Ia adalah seorang janda yang berprofesi
sebagai penjahit pakaian sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Kedekatan Abu
Kasan Sapari dengan Lastri berlanjut sampai mereka dikenal sebagai rumah
seniman karena keduanya sama-sama berprofesi di bidang kesenian. Rupanya
benih-benih cinta tumbuh dihati Lastri kepada Abu Kasan Sapari. Ia telah
menunjukkan perhatiannya, selalu ada ketika Abu membutuhkannya, dan banyak
menolong kesulitan Abu Kasan Sapari dalam menghadapi berbagai permasalahan
dengan masyarakat di sekitarnya. Permasalahan yang dihadapinya baik dalam hal
protes masyarakat kepada Abu Kasan Sapari karena memelihara ular maupun
dalam hal pertentangannya dengan mesin politik yang tidak menyukainya.
Keterlibatan Abu yang suka mendalang untuk calon kepala desa yang
bermusuhan dengan mesin politik sudah diketahui oleh pegawai Kecamatan dan
camat Tegalpandan serta para warga. Abu dianggap sebagai pelawan mesin
politik. Hal ini membuat camat Kemuning dipindahkan dan ia merasa bersalah
terhadap perbuatannya itu. Ketidaksepahaman pun terjadi antara Abu dengan
seorang fungsionaris mesin politik Tegalpandan karena ia dihasut agar tidak
mendalang untuk cakades. Padahal, Abu mempergunakan dirinya sebagai dalang
tidak untuk kepentingan kampanye suatu parpol tetapi boleh menggunakan
haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Akhirnya, Abu
memutuskan untuk membuat paguyuban dalang yang hanya disepakati oleh 3
orang saja yang datang karena warga lainnya takut akan mendapat ancaman dari
mesin politik. Mereka bersepakat menamai paguyuban dengan “Paguyuban
Pedalangan Indonesia” dan Abu ditunjuk sebagai ketua paguyuban. Melihat hal
tersebut membuat mesin politik menjadi geram dan langsung menyuruh Polres
Karangmojo datang ke kecamatan untuk menahan Abu. Ternyata, penahanan itu
disebabkan oleh sebuah kekuatan politik yang ingin merekrutnya untuk keperluan
kampanye tetapi ia menolaknya.
Pemilu tahun 1997 sudah diselenggarakan dan hasil keputusannya mesin
politik menang di Karangmojo tetapi hanya 60% suara. Bahkan, di kompleks
perumahan kepolisian dan tentara mesin politik kalah. Hal tersebut disebabkan
karena mereka tidak bisa memakai saran tradisional, tidak menyelenggarakan
wayangan, wayang orang, dan ketoprak. Para seniman pun tidak mau terlibat
dalam politik. Mereka menyalahkan Abu sebagai biang keroknya dan langsung
memutuskan supaya Abu diproses sesuai rencana. Setelah ditelusuri kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh Abu, ternyata ia tidak terbukti bersalah. Kepala
polisi baru menyadari bahwa mereka telah dijadikan sebagai tukang pukul dan
diperalat oleh mesin politik. Orang-orang yang pro terhadap Abu datang untuk
berdemo agar Abu segera dibebaskan, seperti rombongan mahasiswa STSI
Surakarta. Akhirnya, polisi dan ABRI membebaskan Abu karena terbukti tidak
bersalah.
Kesulitan ekonomi masyarakat pun mulai terjadi di mana-mana
diantaranya; pertama, Kismo Kengser (tanah tergusur) yang mengutuk dan
menggugat segala macam kebusukan politik dan kekuasaan Soeharto di zaman
Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser meramalkan Orde Baru akan segera
jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di mana-mana. Sebagai petani kaya ia
diminta oleh lurah dan pemerintah agar melepaskan tanah miliknya. Katanya
untuk pembangunan terminal bus, tetapi kenyataannya dibangun perumahan
mewah dan dia hanya diberikan 2 gelas kopi semeternya. Kedua, ada seorang laki-
laki yang mengenakan sarunga bekerja sebagai peternak ayam dan pemerintah
menaikkan harga makanan ayam sehingga para pedagang tidak ada yang membeli
karena ayam ternaknya banyak yang mati. Ketiga, ada seorang laki-laki yang
mengatakan bahwa harga itu disebut sebagai monopoli yang dikuasai oleh
Soeharto dan konglomerat. Ia merasa masih dijajah oleh bangsanya sendiri.
Kismo Kengser menggambarkan kerugian yang didapatkan oleh masyarakat
adanya ketidakadilan para penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu telah
memeras rakyat. Kekayaan alam kita dijual dan dibabat habis diperuntukkan oleh
konglomerat.
Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tetapi maling
betulan, maling berdasi, maling berbintang, dan maling berpendidikan.
Persekongkolan penguasa, tentara, dan partai Randu dalam rangka memeras
rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon beringin yang besar
tumbang. Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Di
Palur, Abu mendapatkan kabar bahwa Ki Lebdocarito (ayah angkat) sedang sakit
keras. Ia merasa nyawanya tidak bisa diselamatkan dan akhirnya Ki Lebdo
meninggal dunia. Abu diwariskan beberapa peninggalan Ki Lebdo diantaranya;
wayang dan gamelan. Lalu berpesan kepada Abu agar dapat melestarikan seni
pedalangan dan kelompok penabuh gamelan. Kabar Abu akan berhenti dari
pekerjaan PNS nya dan menekuni pedalangan telah hangat dibicarakan oleh
rakyat yang ada di kantor Kecamatan, di pasar, dan para tetangga. Mereka
menginginkan Abu tetap berada di Tegalpandan, tetapi ia harus menepati wasiat
yang telah diberikan almarhum Ki Lebdo untuk mengurusi pedalangan dan
menetap di Palur.
Di akhir cerita, Abu Kasan Sapari bertekad untuk menyelesaikan skripsi
dan berkeinginan untuk menulis tentang wayang sebagai sarana pendidikan moral.
Topik penelitian yang digunakannya yaitu “wayang fabel”. Abu meminta bantuan
Lastri dalam menyelesaikan skripsinya, dengan penuh senang hati Lastri
membantunya. Malam harinya, Abu bermimpi bertemu dengan Eyang dan laki-
laki tua. Eyang berpesan kepada Abu agar segera melepaskan mantra itu karena
menurut ia yang diperlukan itu ilmu, teknologi dan doa. Lastri pun tidak
menyukai Abu memelihara ular dan Eyang meminta agar ia secepatnya menikahi
Lastri. Sedangkan laki-laki tua itu berpesan kalau mantra yang dulu diberikannya
kepada Abu memiliki keterikatan dengan perjanjian.
Mantra pejinak ular itu harus langgeng, diturunkan dari generasi ke
generasi. Abu harus mencari orang yang cocok dengan ilmu itu sampai tua.
Setelah itu, rumah Abu selalu kedatangan laki-laki yang berniat ingin membunuh
ular kesayangannya karena dianggap telah mengganggu kenyamanan dan mereka
menuduh bahwa ularnya telah keluar dari kandang. Mereka datang dengan penuh
kemarahan berdesakan di pintu rumah Abu tidak lama kemudian beberapa ular
datang dan mereka langsung lari ketakutan. Akhirnya, Abu kasan Sapari
memutuskan untuk pergi ke Solo dan membawa ular ke Bonbin, kemudian
sepenuhnya memasuki kehidupan selanjutnya bersama Lastri (nikah dengan
Lastri, mendalang, sambil tetapi menjadi pegawai negeri).
LAMPIRAN 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Sekolah SMA/MA


Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Kelas /Semester XI (sebelas) / 1 (satu)
Alokasi Waktu 4 x 45 menit
Pertemuan ke- 1 dan 2
Aspek Pembelajaran Membaca
Standar Kompetensi 7. Memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia/novel terjemahan
Kompetensi Dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia/terjemahan

Indikator Pencapaian Kompetensi :

Nilai Budaya Dan Kewirausahaan/


No Indikator Pencapaian Kompetensi
Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif
1 Peserta didik mampu menemukan unsur-  Aktif  Kepemimpinan
unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan,  Bersahabat/
alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel komunikatif
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.  Kreatif
2 Peserta didik mampu menemukan unsur-  Mandiri
unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral,
agama, sosial dll) dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
3 Peserta didik mampu menemukan konflik
sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
4 Peserta didik mampu mengaitkan nilai-nilai
yang ditemukan dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan
kehidupan sehari-hari.
5 Peserta didik mampu menceritakan kembali
isi novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.

A. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Peserta didik dapat:
1. Menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur,
latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
2. Menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama,
sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
3. Menemukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.
4. Mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo dengan kehidupan sehari-hari.
5. Menceritakan kembali isi novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo menggunakan bahasa sendiri.

B. Materi Pembelajaran :
1. Pengertian novel.
2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan
sudut pandang).
3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).

C. Pendekatan Dan Metode Pembelajaran :


Pendekatan : Saintifik
Melalui pendekatan saintifik, guru dapat
membangkitkan kreativitas siswa terhadap sebuah
karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran akan
menjadi lebih menarik dan mampu memotivasi
siswa untuk terus menggali informasi yang ada
dalam suatu karya sastra.
Model Pembelajaran : Inquiry Discovery
Model inquiry discovery bertujuan melatih
kemampuan peserta didik dalam menjelaskan
fenomena dan memecahkan masalah
Metode : Ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan

D. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran :

Pertemuan 1

Alokasi
No. Pra Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Berdoa 5 menit
2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran
3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir
4. Mengondisikan peserta didik

Alokasi
No. Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Kegiatan Awal : 10 menit
Apersepsi
a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang
materi pembelajaran yang sudah dipelajari.
c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari.
d. Guru memberikan informasi tentang kompetensi,
materi, dan tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan Inti : 60 menit
Eksplorasi
e. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai
konsep novel.
1. “Masih ingatkah kalian dengan materi novel?”
2. “Apa yang kalian ketahui tentang novel, unsur-
unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut
pandang, dan latar), dan unsur-unsur ekstrinsik
(nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam
novel?”
f. Guru meminta peserta didik menyebutkan dan
menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam karya sastra.
Elaborasi
g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per
kelompok.
h. Peserta didik membaca sinopsis novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
i. Peserta didik berdiskusi untuk menemukan dan
menganalisis unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan
penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan
unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral,
agama, sosial dll) yang terdapat dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas
mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Konfirmasi
k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap
hasil presentasi kelompok.
l. Guru menyimpulkan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel yang telah dibahas.
m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan
dari hasil diskusi.
3. Kegiatan Akhir : 15 menit
n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi
peserta didik.
o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview
konsep-konsep penting tentang unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsik dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan
hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran.
q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran.
r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang
terdapat di dalam buku paket.
s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk
memimpin doa.

Pertemuan 2

Alokasi
No. Pra Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Berdoa 5 menit
2. Mempersiapkan perlengkapan kegiatan pembelajaran
3. Mendata nama peserta didik yang tidak hadir
4. Mengondisikan peserta didik
Alokasi
No. Kegiatan Pembelajaran
Waktu
1. Kegiatan Awal : 10 menit
Apersepsi
a. Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan tujuan pembelajaran kepada peserta didik.
b. Guru menggali pengetahuan peserta didik tentang
materi pembelajaran yang sudah dipelajari.
c. Menggali pengetahuan peserta didik tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari.
d. Guru mengingatkan peserta didik tentang tugas
sebelumnya yaitu membaca novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo.
e. Guru memberikan informasi tentang kompetensi,
materi, dan tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan Inti : 60 menit
Eksplorasi
f. Guru dan peserta didik bertanya jawab mengenai
unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan konflik sosial
dalam novel.
1. “Masih ingatkah kalian tentang unsur-unsur
intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang,
dan latar) dan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel?”
2. “Apa yang kalian ketahui tentang konflik sosial
dalam novel?”
3. “Apa saja nilai-nilai yang terdapat dalam novel?”
Elaborasi
g. Peserta didik dibagi kelompok menjadi 4-5 orang per
kelompok.
h. Peserta didik berdiskusi untuk menganalisis nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial, dll yang terdapat dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
i. Peserta didik menganalisis konflik sosial dalam novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
j. Secara bergantian, setiap kelompok ke depan kelas
mempresentasikan hasil diskusinya. Kelompok lain
diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan.
Konfirmasi
k. Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas setiap
hasil presentasi kelompok.
l. Guru menyimpulkan nilai-nilai budaya, moral, agama,
sosial, dll dan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
m. Peserta didik bersama guru memberikan kesimpulan
dari hasil diskusi.
3. Kegiatan Akhir : 15 menit
n. Guru memberikan penilaian terhadap presentasi
peserta didik.
o. Peserta didik menjawab soal-soal untuk mereview
konsep-konsep penting tentang nilai-nilai budaya,
moral, agama, sosial, dll dan konflik sosial dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
p. Peserta didik merefleksikan nilai-nilai serta kecakapan
hidup (live skill) yang bisa dipetik dari pembelajaran.
q. Guru menyimpulkan materi pembelajaran.
r. Guru memberikan tugas kepada peserta didik yang
terdapat di dalam buku paket.
s. Guru meminta salah seorang peserta didik untuk
memimpin doa.
E. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran :
1. Media : Powerpoint, rekaman informasi/teks yang
dibacakan
2. Alat : LCD, laptop
3. Sumber Belajar :
a. Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012.
b. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo,
2008.
c. Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
d. Seni Handiyani, dkk. Bahasa Indonesia untuk Kelas XI. Grafindo
Media Pratama, 2014.
e. Novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
f. Artikel atau jurnal tentang novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.

F. Penilaian :
1. Penilaian Proses
 Penilaian terhadap proses identifikasi unsur-unsur intrinsik (tema,
tokoh dan penokohan, alur, dan latar, dan sudut pandang) dan
unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial, dll)
dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
 Penilaian terhadap nilai-nilai yang dapat kita ambil dari novel
Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
 Penilaian terhadap konflik sosial yang dialami tokoh utama
maupun tokoh pendukung dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo.
2. Penilaian Hasil
a. Teknik : Tes dan nontes
b. Bentuk penilaian : Pengamatan kinerja, sikap, tes, dan tugas
c. Aspek yang dinilai : Pengetahuan dan sikap
d. Jenis penilaian : Penilaian proses dan penilaian hasil
e. Instrumen penilaian : Lembar pengamatan dan tes tertulis
f. Indikator soal tes tertulis :
1. Peserta didik menemukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
2. Peserta didik menemukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai
budaya, moral, agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo.
3. Peserta didik menemukan konflik sosial dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
4. Peserta didik mengaitkan nilai-nilai yang ditemukan dalam
novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo dengan
kehidupan sehari-hari.
g. Instrumen penilaian tes tertulis :
1. Bacalah novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
dengan teliti!
2. Tentukan unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan,
alur, dan latar, dan sudut pandang) dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya Kuntowijoyo!
3. Tentukan unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral,
agama, sosial dll) dalam novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo!
4. Tentukan konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo!
Penilaian Hasil
a. Penilaian Pengetahuan

No Indikator Pencapaian Teknik Bentuk


Instrumen
Kompetensi Penilaian Penilaian
1. Menemukan unsur- Tes tertulis Pilihan A. Pilihlah satu jawaban yang
unsur intrinsik (tema, ganda paling tepat!
tokoh dan penokohan,
alur, latar, dan sudut “Keluguanmu ternyata
pandang) dalam novel membawa berkah.
Mantra Penjinak Ular Duduklah,” kata Pak Camat
karya Kuntowijoyo. begitu dia muncul di pintu.
Pak Camat mengatakan
bahwa ia mendapat pujian
dari Bupati. ‘Sudah jatah
Kemuning’ itu artinya ada
pemerataan pembangunan.
Jangan sampai pembangunan
hanya membangun desa yang
sudah makmur. Yang tidak
diketahui oleh Pak Camat dan
Abu ialah kebijaksanaan
Bupati menggilirkan
pemenang lomba itu
mendapat pujian dari
Gubernur.” (novel Mantra
Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo)
1. Sudut pandang yang
digunakan pengarang
dalam kutipan novel
tersebut adalah...
a. Orang pertama tokoh
utama
b. Orang pertama
sebagai pengamat
c. Orang pertama dan
orang ketiga
d. Orang ketiga serba
tahu
e. Orang ketiga terarah
2. Hal yang tidak termasuk
ke dalam unsur intrinsik
sebuah novel adalah...
a. Sudut pandang
b. Watak tokoh
c. Latar
d. Alur
e. Tema
Pada waktu itu terdengar azan
Subuh. Abu mendengar suara
di samping. Itu Lastri. Ia
mengerjakan rencananya.
Sembahyang dan
memasukkan ular ke dalam
kotak kayu. Ternyata
bermaksud memutus mata-
rantai mantra itu, tidak
mengajarkan mantra pada
siapa pun. Kalau ada
sanksinya, dia sanggup
menanggung. (novel Mantra
Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo)
3. Tema yang ditampilkan
pada kutipan novel di atas
ialah...
a. Perjuangan
b. Keyakinan
c. Perubahan sosial
budaya
d. Ketimpangan sosial
e. Politisasi kesenian
2. Menemukan unsur- Tes tertulis Pilihan Ia menolak. Tentu saja itu di
unsur ekstrinsik (nilai- Ganda luar harapan para tamunya.
nilai budaya, moral, Sebab, orang lain berebut
agama, sosial dll) menjadi caleg jadi.
Karenanya penolakan itu
aneh bagi mereka. “Aneh!
Lalu apa maumu? Kalau
bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?” “Tidak semua
garam sama kadar asinnya,
Pak.
(novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo)
4. Nilai-nilai apa yang
terdapat dalam kutipan
novel tersebut adalah...
a. Nilai politik.
b. Nilai budaya.
c. Nilai agama.
d. Nilai moral.
e. Nilai sosial.
3. Menemukan konflik Tes tertulis Pilihan [....] Beberapa hari kemudian
sosial dalam novel Ganda sebuah pers release dari
Mantra Penjinak Ular bagian Kepolisian
karya Kuntowijoyo. Karangmojo mengabarkan
bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan
dengan ketuanya AKS.
Sebuah mobil pengangkut
tahanan dari Polres
Karangmojo berhenti di
depan kantor Kecamatan
Tegalpandan. [....] Tiga orang
polisi berseragam turun,
masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,”
kata seorang. “Boleh-boleh,
silakan,” kata Abu seperti
sudah mengharapkan. [....]
Sesampai di Kepolisian
Karangmojo, Abu
dimasukkan kamar tahanan.
(novel Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo)
5. Jenis konflik yang
terdapat pada penggalan
novel tersebut adalah...
a. Batin
b. Fisik
c. Ide
d. Sosial
e. Budaya
4. Mengaitkan nilai-nilai Tes tertulis Uraian B. Kerjakan pertanyaan-
yang ditemukan dalam pertanyaan berikut
novel Mantra dengan singkat dan tepat!
Penjinak Ular karya 1. Bacalah penggalan novel
Kuntowijoyo dengan Mantra Penjinak Ular
kehidupan sehari-hari. karya Kuntowijoyo!
2. Tentukan unsur-unsur
intrinsik (tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar,
dan sudut pandang) dalam
novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo!
3. Tentukan unsur-unsur
ekstrinsik (nilai-nilai
budaya, moral, agama,
sosial dll) dalam novel
Mantra Penjinak Ular
karya Kuntowijoyo!
4. Tentukan konflik sosial
dalam novel Mantra
Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo!

Kunci jawaban
a. Pilihan Ganda
1. D
2. B
3. C
4. D
5. B
b. Uraian
1. Masing-masing peserta didik membaca novel Mantra Penjinak Ular karya
Kuntowijoyo.

2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut
pandang).
a. Tema: kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada mistik beralih
kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya.
Tema mayor yang diangkat dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo yaitu kehidupan masyarakat desa yang berpegang pada
mistik beralih kepada kehidupan kota yang berpegang pada ilmu
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dan budaya.
Hampir seluruh bab pada novel MPU membahas tentang kehidupan
masyarakat desa yang mengalami perubahan sosial dan budaya.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu,
teknologi, dan doa, bukan mantra.1
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar
suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya.
Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu.
Ternyata ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu,
tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada
sanksinya, dia sanggup menanggung.2
“Rencana sampeyan apa?”
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi
Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan
mengajarkan kebijaksanaan hidup.3

Kutipan di atas menunjukkan salah satu bentuk gambaran


kehidupan sosial masyarakat desa yang hidup pada masa itu
mengalami perubahan sosial dan budaya. Budaya tradisional yang
tampil dominan, mulai beralih kepada budaya modern yang secara

1
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 257.
2
Ibid., h. 270.
3
Ibid., h. 271.
perlahan masuk ke pedesaan sejalan dengan perubahan zaman. Hal
tersebut tidaklah mudah bagi Abu Kasan Sapari untuk menghilangkan
dan melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik.
Namun, pada akhir cerita Abu Kasan Sapari dikisahkan merelakan
ular peliharaannya dan membuang mantra serta memutuskan mata
rantai perbuatan syirik itu. Abu pun mulai menjalani kehidupan kota
yang penuh dengan budaya modern sesuai dengan zamannya tanpa
terikat dengan hal-hal yang berbau mistik.
Tema minor atau tema tambahan yang terdapat dalam novel
MPU karya Kuntowijoyo di antaranya: permasalahan politisasi
kesenian, monopoli ekonomi, dan ketimpangan sosial. Politisasi
kesenian, dan ketimpangan sosial yang dilakukan pihak penguasa erat
sekali hubungannya dengan perasaan atau emosi mengutamakan
ideologi politik ingin menguasai segala sesuatu demi kekuasaan.
Itulah yang menjadi penyebab utama Abu, Kismo Kengser, dan
kerumunan rakyat atau warga desa mulai emosi dengan tindakan
pihak penguasa yang semena-mena dan berani melakukan perlawanan
terhadap pihak penguasa yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Abu memiliki pandangan tersendiri mengenai kesenian dan
politik. Berikut jawaban Abu atas pertanyaan yang diajukan oleh
wartawan:
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni
pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal
pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk
kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka
kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi
dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh
menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi
pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan
orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai
akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari
komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan
mengerjakan hal kedua itu”4

4
Ibid., h. 153.
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau
ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan
menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni
akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS
berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan,
memberi payung mereka yang kehujanan, memberi
tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang
hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya
sebagai seni.5

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Abu memiliki sikap


berpegang teguh pada prinsip kebenaran yang dimilikinya dengan
tidak ingin terlibat dalam sistem politik kepentingan dan tidak akan
menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Hal inilah yang
membuat Abu berkali-kali diawasi oleh partai Randu yang berkuasa di
bawah perintah Mesin Politik saat itu, hingga kemudian Abu
ditangkap dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak
dilakukannya. Akan tetapi, sesungguhnya yang menggunakan
kesenian sebagai alat politik itu adalah pemerintah.
Hal ini ditegaskan pula oleh Kuntowijoyo bahwa
pemerintahlah yang justru menggunakan kesenian sebagai alat politik.
Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”,
Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk
vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang sangat jelas terlihat politisasi
budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan
dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada
zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya. 6
Dengan demikian, Abu Kasan Sapari sebagai sosok seniman yang
berpegang pada alam (seni seperti air) mampu membedakan antara
bagian kesenian dengan bagian politik termasuk menempatkan dirinya
sendiri ke dalam kedua hal tersebut.

5
Ibid., h. 170.
6
Kuntowijoyo, op. cit., h. 4.
Di sisi lain, melalui pidatonya, tokoh Kismo Kengser tampil
untuk mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan politik dan
kekuasaan yang berada di bawah pimpinan pemerintahan Soeharto
pada zaman Orde Baru. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan di
bawah ini:
Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi
oleh bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya:
“Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang
akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di
mana-mana. Persengkokolan penguasa, pengusaha,
tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Hutan kita
dibabat habis, bukit dikapling, digusur semena-mena.”7

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kismo Kengser


meramalkan pemerintahan Orde Baru akan segera runtuh karena
banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan
ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak penguasa sudah merajalela,
sehingga membuat rakyat atau warga desa menderita dan sengsara.
Seluruh sumber daya alam yang menjadi matapencaharian rakyat atau
warga desa telah diambil pihak penguasa dengan mengatasnamakan
pembangunan, sehingga banyak yang mengalami kerugian dan
keterpurukan dalam segi ekonomi serta jauh dari kehidupan yang
layak. Berbagai kebijakan dan janji pihak penguasa belum sepenuhnya
mengarah kepada kesejahteraan rakyat atau warga desa.
b. Tokoh yang termasuk ke dalam tokoh protagonis; Abu Kasan Sapari,
Sulastri atau Lastri, Orang tua Abu, kakek nenek Abu, wartawan, Haji
Syamsuddin, camat, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi,
Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, dan Laki-laki Tua Misterius.
Tokoh yang termasuk ke dalam tokoh antagonis; Mesin politik dan
polisi. Penokohan tiap tokoh dikerjakan berdasarkan kemampuan
masing-masing peserta didik.

7
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
c. Alur dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo
menggunakan alur yang disusun secara episodik tidak linier dan sesuai
dengan kronologi termasuk ke dalam alur campuran yang waktu
terjadinya peristiwa tidak selalu maju, tetapi juga terdapat peristiwa
kilas balik yang bersifat flashback (mundur).
Tahapan alur tersebut akan dipaparkan sesuai pendapat Tasrif
dalam Nurgiyantoro yang terbagi menjadi lima tahapan. Kelima
tahapan alur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahap Penyituasian
Pada tahap situasi ini, dibuka dengan memperkenalkan
tokoh utama yang bernama Abu Kasan Sapari dan tokoh-tokoh
pendukung yaitu tokoh orangtua Abu, kakek-nenek Abu, Ki
Lebdocarito, Lelaki Tua Misterius, Camat, Mesin Politik,
wartawan, Lastri, Laki-laki Tua atau Kismo Kengser, Ki Manut
Sumarsono, polisi, dan Haji Syamsuddin. Tahap situasi dalam
novel MPU karya Kuntowijoyo ini dimulai dari pembukaan yang
ada di bab 1 yang berjudul “Sebuah Desa, Sebuah Mitos” dibuka
dengan narator memperkenalkan tradisi Jawa-Islam, latar tempat
desa, kondisi fisik desa, latar sosial-budaya, latar rumah, ciri
psikologis tokoh-tokoh cerita, ciri sosiologis tokoh-tokoh cerita,
dan ciri fisik tokoh-tokoh cerita. Keseluruhan peristiwa yang
terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar belakang Abu
Kasan Sapari sejak kecil-bekerja. Pada bagian pertama, Abu Kasan
Sapari diperkenalkan secara sosiologis sebagai sosok yang lahir di
tengah masyarakat Jawa menganut Islam kejawen yang seluruh
sikap dan tingkah lakunya masih kental dengan berbagai mitos
dalam tradisi Jawa-Islam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang
dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan
Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata ‘sapar’
katanya, “Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!"
Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak
diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya. Ayah itu lalu
menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan
mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ...
"kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar,
mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga
ia mengawinkan anaknya.8
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah
yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk
ngalap berkah, meminta restu.9
Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa
Palar, Klaten.10
Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang
macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu
mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari.
Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah
nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua
orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya
pada jabang bayi yang baru lahir.11

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog antara kakek


Abu dari pihak ayah dengan ayah Abu yang terletak di bab 1
subbab 1 menggambarkan peristiwa pemilihan nama Abu Kasan
Sapari. Kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu yang tergolong
dalam masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa penamaan
anak itu selalu memperhitungkan hari-hari baik karena pemilihan
nama anak menentukan nasib si anak kelak. Dalam hal ini, kakek
Abu dari pihak ayah dan ayah Abu memilih nama Abu Kasan
Sapari yang mengacu pada Abu (sahabat Nabi, yakni Abu Bakar),
Kasan (cucu Nabi alias Hasan), dan Sapari diambil dari bulan
Jawa-Islam yaitu ‘sapar’ yang tidak lepas dari pertimbangan mitos
dalam tradisi Jawa-Islam. Kutipan di atas memperkenalkan tradisi
Jawa-Islam, tokoh kakek Abu dari pihak ayah dan ayah Abu.
Namun, cerita beralih ke masa lalu desa Palar. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari
pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa

8
Kuntowijoyo, op. cit., h. 1.
9
Ibid., h. 2.
10
Ibid., h. 4.
11
Ibid., h. 3.
diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama
dengan juru kunci makam.12

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1


subbab 1 yang menggambarkan peristiwa masa lalu desa Palar
yang termasuk dalam desa perdikan. Dalam hal ini, dulu desa Palar
termasuk ke dalam desa perdikan yaitu desa yang berhak untuk
tidak membayar pajak dan penghasilan desa disalurkan untuk
keperluan makam. Juru kunci makam pun memiliki profesi lain.
Pada bagian kedua, masa dewasa Abu Kasan Sapari
berkembang secara psikologis diperkenalkan sebagai sosok yang
dapat memanfaatkan suatu peluang untuk dapat melanjutkan
kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk
meneruskan sekolah. Dengan ijazah SMA sebenarnya ia sudah
lulus BA, jadi sarjana kurang skripsi, tapi posisi itulah yang
diperlukan dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan
ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki
Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan
Desa). Dipikirnya tidak enak terus-menerus tinggal di rumah Ki
Lebdocarito. Dengan alasan biarlah Abu mencari pengalaman,
maka Ki Lebdo pun melepaskannya. [....] Tugas pertamanya
ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan.
Yang selalu ditanyakannya pada diri sendiri: Apakah tugasnya
yang baru menjauhkan atau mendekatkannya pada
Ronggowarsito, mengajarkan kebijaksanaan hidup? Tidak lupa
dia membawa alat-alat tatah pembuat wayang.*13

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 1


subbab 4 yang menggambarkan peristiwa Abu yang ingin hidup
secara mandiri. Dalam hal ini, Abu memilih untuk memanfaatkan
ilmu yang telah dimilikinya untuk dapat bertahan hidup tanpa harus
melibatkan orang lain. Namun Abu mengalami keraguan terhadap
pilihan hidupnya. Abu selalu mempertanyakan apakah pekerjaan
barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi
Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan

12
Ibid., h. 4.
13
Ibid., h. 16.
kebijaksanaan hidup. Kutipan di atas memperkenalkan latar tempat
desa yang kedua yaitu desa Kemuning.
2) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik dalam novel Mantra Penjinak
Ular karya Kuntowijoyo ini, ada di bab 2-8. Bab 2 yang berjudul
“Mantra”, bab 3 yang berjudul “Abu Kasan Sapari Tentang Alam”,
bab 4 yang berjudul “Cinta Ular, Cinta Lingkungan”, bab 5 yang
berjudul “Demokrasi Menurut Abu Kasan Sapari”, bab 6 yang
berjudul “Wahyu Pohonan”, bab 7 yang berjudul “Abu Versus
Mesin Politik, Botoh, dan Dukun”, dan bab 8 yang berjudul “Abu
Kasan Sapari dan Lingkungannya”. Keseluruhan peristiwa yang
terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu Kasan Sapari
mulai dekat dengan mantra, mulai dikenal sebagai dalang, dan
mulai terlibat dengan politik.
Pada bagian ketiga, Abu mengalami peristiwa yang tidak
masuk akal ketika bertemu dengan Lelaki Tua Misterius di sebuah
pesta pasar malam. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. [....] Ketika Abu
menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan
lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan
janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot. Laki-laki
tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini
pada orang yang tepat.”
“Apa itu?”
“Mantra penjinak ular” Kemudian orang itu mencari telinga
kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?”
“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah
ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.
“Mantranya kok bahasa Arab, ya?”
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”14
“O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.”
[....] Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang
dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan

14
Ibid., h. 20-21.
sulapan. Buktinya, ia ingat jelas dengan mantra yang harus
diucapkan. [...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba
muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa
namanya, dari mana asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang
sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. [...] Ia
bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.15
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.16

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator pada bab 2-4


yang menggambarkan peristiwa Abu yang mulai terikat dengan
mantra penjinak ular yang harus dipegang seumur hidupnya dan
memiliki kelebihan dalam menjinakkan ular. Dalam hal ini, Abu
Kasan Sapari diajarkan sebuah mantra penjinak ular dengan laku
yang harus dijalankan dan wewaler (pantangan) yang tidak boleh
dilakukannya. Kutipan di atas juga memperkenalkan latar tempat
pasar yang berlokasi di desa Kemuning, tokoh Lelaki Tua
Misterius, dan ciri fisik Lelaki Tua Misterius.
Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari diperkenalkan
sebagai seorang dalang yang nekat memberikan dukungan kepada
cakades yang diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon
yang dijagoi Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala
desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik
sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat tegalpandan
sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik.17
Namun, petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya,
seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan.
“Pak Abu ingin kaya tidak?”
“Tidak ingin kaya, cuma butuh duit seperti orang lain.”
“Lha, bicara soal duit. Bagaimana kalau permintaan untuk
mendalang di rumah cakades itu ditolak?”
“Maksudnya...eh, tidak mendalang dengan kompensasi
sejumlah uang.

15
Ibid., h. 22.
16
Ibid., h. 56.
17
Ibid., h. 149.
Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya.
Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu
pulang. Katanya, “Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya,
lho.”18

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog


antara camat dengan Mesin Politik yang terletak di bab 5-8
menggambarkan peristiwa Abu yang melakukan kegiatan
mendalang pada acara cakades yang tidak pro partai penguasa
dianggap sebagai sikap politik. Melihat hal tersebut, Mesin Politik
menghalalkan segala cara untuk dapat mempertahankan
kekuasaannya termasuk dengan bertindak otoriter kepada pihak
lain yang dapat merugikannya. Kutipan di atas juga
memperkenalkan latar tempat desa Tegalpandan, dan ciri mental
Mesin Politik.
3) Tahap Peningkatan Konflik
Tahap peningkatan konflik dalam novel MPU karya
Kuntowijoyo ini, ada di bab 9 yang berjudul “Ular” dan bab 10
yang berjudul “Di Luar Struktur, di Dalam Sistem”. Keseluruhan
peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang latar
belakang Abu Kasan Sapari diprotes oleh kerumunan warga desa
dan Abu yang selalu dibujuk dan ditawari jabatan serta kompensasi
berupa uang.
Pada bagian ketiga, ilmu penjinak ular yang semula banyak
membantu Abu dalam menolong nyawa orang lain. Pada bagian
kelima, kini ilmu itu telah membuat Abu banyak mengalami
rintangan dalam kehidupannya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Berita bahwa Abu memelihara seekor ular itu segera menyebar.
[....] “Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata
Abu.19
Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda
pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah.
Para wanita mengemukakan keberatan. “Bagaimana nanti kalau

18
Ibid., h. 151-152.
19
Kuntowijoyo, op. cit., h. 134.
ular itu jadi besar? Itu berbahaya, kalau lepas, “kata mereka.
Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan
kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir
dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya
lepas.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri.
“Bagaimana, Yu Las?”
Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya.
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan. “Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di
balik ular itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”20

Kutipan di atas diungkapkan melalui dialog Abu dan


narator yang terletak di bab 9 menggambarkan peristiwa Abu yang
mulai memelihara ular karena keterikatan dengan mantra penjinak
ular yang telah dimilikinya. Dalam hal ini, tindakan Abu itu
mendapat penolakan dari kerumunan warga karena dianggap telah
mengancam keselamatan warga. Abu pun melibatkan Lastri ke
dalam konflik yang dihadapinya sekaligus menjadi seorang yang
menolak terhadap ular yang dipeliharaannya. Kutipan di atas juga
memperkenalkan ciri mental Abu.
Pada bagian keenam, Abu melakukan penolakan terhadap
permintaan Mesin Politik yang ingin merekrutnya sebagai caleg.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik
Tegalpandan itu lalu mengatakan, "Saya hanya mengantarkan,
Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II
Karangmojo."
"Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih
Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak
Abu lolos ketimbang sembilan calon lain."

20
Ibid., h. 136.
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”
Abu Kasan Sapari heran. Besar benar harga dirinya? Mungkin
karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan
media pedalangan untuk kampanye? Kedudukannya sebagai
Ketua Paguyuban Pedalangan jadi penting?21

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog


antara Abu dengan Mesin Politik yang terletak di bab 10
menggambarkan peristiwa perlawanan Abu terhadap mesin
birokrasi bernama negara dengan Mesin Politik berupa partai
pemerintah. Dalam hal ini, Abu telah berkali-kali dihadapkan
dengan Mesin Politik dan melakukan penolakan untuk dijadikan
pengikut partai pemerintah yang berkuasa pada saat itu karena
sudah memahami maksud dan tujuan dari Mesin Politik.
Untuk memperoleh dukungan massa pihak penguasa
pemerintah rezim Orde Baru memandang perlu untuk
menggunakan instrumen kesenian sebagai media untuk menarik
massa. Salah satu kesenian yang digunakan untuk memperoleh
simpati masyarakat adalah seni pedalangan. Dalang sebagai orang
pintar (intelektual sekaligus aktor) di daerah dipandang amat
potensial untuk menyampaikan pesan dan ajakan kepada
masyarakat. Oleh karenanya, para dalang ditunjuk pihak penguasa
sebagai juru kampanye.22 Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin
Politik) menghalalkan segala cara agar keinginannya dapat
terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak menghalang-halangi
usahanya dalam melakukan politik uang dan pemaksaan. Kutipan

21
Ibid., h. 162-163.
22
Sutiyono, Jurnal berjudul “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal
Imaji, h. 1-2.
di atas juga memperkenalkan tokoh Mesin Politik, ciri mental Abu
dan Mesin Politik.
4) Tahap Klimaks
Tahap klimaks dalam novel MPU karya Kuntowijoyo ini,
ada di bab 11 yang berjudul “Seni itu Air”. Keseluruhan peristiwa
yang terdapat di dalam bab ini menceritakan tentang Abu yang
dituding melakukan tindakan subversif.
Pada bagian keenam, Abu yang semula terus-menerus
melakukan penolakan terhadap permintaan Mesin Politik. Pada
bagian ketujuh, kini Abu harus menghadapi tindakan semena-mena
yang dilakukan oleh Mesin Politik. Seperti pada kutipan di bawah
ini:
Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse
Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-
Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS.23
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. “Kami dari
Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,”
kata Abu seperti sudah mengharapkan.24
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.25
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.26
Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor
Kepolisian Karangmojo. Mereka berjajar di muka kantor.
Mereka membentangkan spanduk-spanduk. “Bebaskan AKS.”
[....] Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk
keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu
Kasan Sapari dikeluarkan.27

23
Kuntowijoyo, op. cit., h. 164.
24
Ibid., h. 165.
25
Ibid., h. 174.
26
Ibid., h. 175.
27
Ibid., h. 176.
Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog
polisi serta dialog Mesin Politik yang terletak di bab 11
menggambarkan peristiwa Abu yang sempat ditahan. Dalam hal
ini, Abu dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindakan
subversif dan polisi yang menangani kasus Abu mengalami
kebingungan terhadap tindakan yang dilakukan pihak penguasa
(Mesin Politik/partai randu) kepada Abu. Pihak penguasa
memanfaatkan pekerjaan polisi untuk melancarkan rencananya.
Pada tahap klimaks ini, pengarang memunculkan tokoh polisi,
kerumuman mahasiswa, dan pengurus HAM cabang Surakarta serta
Ikadin untuk memberikan dukungan kepada Abu dan membantu
proses pembebasan tokoh utama yang tidak terbukti bersalah.

5) Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian dalam novel MPU karya Kuntowijoyo
ini, mulai terjadi penurunan klimaks dan konflik-konflik dalam
cerita yang ada di bab 12-17. Bab 12 yang berjudul “Sajak-Sajak
Cinta”, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”, bab 14 yang
berjudul “Bumi Gonjang-Ganjing Langit Megap-Megap”, bab 15
yang berjudul “Warisan”, bab 16 yang berjudul “Cangik Bertanya
Pada Limbuk”, dan bab 17 yang berjudul “Tuhan, Beri Kami Ilmu
yang Bermanfaat Tuhan, Hindarkan Kami Dari Malapetaka”.
Keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam bab ini menceritakan
tentang perubahan sosial dan budaya.
Namun, pada bab 12 dan 13 tentang peristiwa penceritaan
sorot balik, cerita beralih ke masa lalu. Bab 12 yang berjudul
“Sajak-Sajak Cinta” menggambarkan peristiwa Abu yang membuat
puisi dalam bahasa Jawa untuk Lastri saat berada dalam tahanan.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Abu Kasan Sapari menulis geguritan-puisi bebas bahasa Jawa
dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia
tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan
mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan
sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan
Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba
waktunya.28

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator


menggambarkan peristiwa Abu yang membuat kumpulan puisi
dengan nama Geguritan Asmarandana. Dalam hal ini, puisi tersebut
merupakan bentuk rasa cinta Abu kepada Lastri yang tertuang
dalam puisi yang dituliskannya.
Sedangkan, bab 13 yang berjudul “Mencari Akar”
menggambarkan peristiwa kakek Abu yang bercerita tentang kisah
hidup nenek moyangnya kepada Abu. Seperti pada kutipan di
bawah ini:
(Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek
bercerita). Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan. Eyang
pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin
[....]29

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator


menggambarkan peristiwa desa yang dahulu ditempati oleh nenek
moyang kakek Abu menjadi desa perdikan yaitu desa yang
memiliki hak untuk tidak membayar pajak.
Pada bagian keempat, Abu Kasan Sapari yang semula
mendalang untuk mendukung calon yang bermusuhan dengan
Mesin Politik. Pada bagian kedelapan, kini Abu tidak lagi
mendalang untuk calon yang berhadapan dengan Mesin Politik.
Seperti pada kutipan di bawah ini:
Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya
untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat
keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan
Abu ‘dalang politik anti- Randu’. [....] Taktik Ki Manut
Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan
sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’, julukan
‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’
lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan

28
Ibid., h. 181.
29
Ibid., h. 195.
kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di
Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan
Sapari, “Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas
sekarang.”30

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator yang terletak


di bab 14 dan 15 menggambarkan peristiwa kehidupan Abu yang
sudah berjalan normal kembali jauh dari hal-hal yang berbau
politik. Pada bagian kedelapan tahap penyelesaian ini, pengarang
memunculkan tokoh Ki Manut Sumarsono untuk membantu tokoh
utama dalam memperoleh persepsi positif dari warga desa sekitar.
Pada bagian ketiga, Abu yang semula diceritakan terikat
dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam
kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan
mitos, mistik, dan klenik. Pada bagian kesembilan, kini Abu tidak
lagi mengalami keterikatan dengan mantra dan mulai sadar
terhadap realitas kehidupan yang harus dijalaninya. Seperti pada
kutipan di bawah ini:
Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya bahwa seusai
salat dia ingin bicara. [....] “Apa susahnya? Bawa saja ular itu
ke kebun binatang.”
“Ular mudah, Pak. Tetapi saya terikat dengan mantranya.”
“Mantra?”
“Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra.
Mantra harus diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba.
Kalau tidak saya kena bebendu (malapetaka), tidak akan mati-
mati meski tua-renta.” “Jangan percaya! Itu gombal, itu
sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib
memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern,
bukan zamannya mantra lagi.”31
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan
mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup
menanggung.32
“Rencana sampeyan apa?”

30
Ibid., h. 229.
31
Ibid., h. 259.
32
Ibid., h. 270.
“Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin.”
Ia berketetapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang
dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.33

Kutipan di atas diungkapkan melalui narator dan dialog


antara Abu dengan Haji Syamsuddin dan Abu dengan Lastri yang
terletak di bab 16 dan 17 menggambarkan peristiwa perlawanan
Abu terhadap mitos. Dalam hal ini, Abu berencana untuk
membuang mantra dan melepaskan ular dengan membawa ke
kebun binatang. Abu berketetapan hati untuk mengubah
kehidupannya dengan melepaskan diri dari hal-hal yang berbau
mistik. Abu yang semula selalu mempertanyakan apakah pekerjaan
barunya itu akan menjauhkan atau mendekatkannya pada tradisi
Ronggowarsito yang selalu menghibur rakyat dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup. Kini, Abu selalu menjadikan ruh semangat
Ronggowarsito dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Bahkan, Abu selalu bertekad untuk meneruskan tradisi
Ronggowarsito untuk menghibur rakyat dan mengajarkan
kebijaksanaan hidup.
d. Latar dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo di
antaranya:
- Latar tempat: desa Palar, desa Kemuning, desa Tegalpandan
(rumah sewa Abu dan pasar), dan karangmojo.
- Latar waktu: latar waktu penceritaan yang terdapat dalam novel
MPU disusun secara episodik berdasarkan tahapan-tahapan
kehidupan Abu, yaitu kilas balik pertemuan ibu-bapak Abu –
kelahiran Abu – sekolah - lulus sekolah – kerja - Abu menikah
dan harus memilih istri/ilmunya. Latar waktu penceritaan dalam
novel MPU tidak digambarkan secara jelas. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap kejadian yang ada dalam novel dapat terjadi kapan
pun dan dimana pun dari waktu ke waktu. Namun, berdasarkan

33
Ibid., h. 271.
latar waktu historis yang terdapat dalam novel MPU dapat
digambarkan secara jelas yaitu pada tahun 1997 masa pemilihan
umum nasional, sebelum Reformasi, saat situasi politik di
Indonesia sedang menghangat dan terasa hingga ke pedesaan-
pedesaan.
- Latar sosial: secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai
kehidupan yang tenteram, damai dan jauh dari perubahan yang
dapat menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang semula
tenteram dan damai berubah menjadi kacau. Desa Tegalpandan
digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik
sosial. Dalam hal ini, tokoh Abu Kasan Sapari memang
mengenyam pendidikan yang maju, sarana mobilitas, dan
kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Namun,
Abu memiliki prinsip bahwa tidak semua tindakan yang
mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu saja.
Demokrasi yang otoriter dan mengesampingkan rakyat kecil harus
dilawan karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan.
e. Pada novel Mantra Penjinak Ular, pengarang menggunakan sudut
pandang persona ketiga: “dia” mahatahu (narator mengetahui
segalanya dan serba tahu). Hal ini dapat terlihat melalui kutipan di
bawah ini:
“Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak
Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan
bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’
itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai
pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur.
Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah
kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu
mendapat pujian dari Gubernur.”34

Dengan menggunakan sudut pandang “dia” Kuntowijoyo


memposisikan diri dengan tidak secara langsung memerankan salah
satu tokoh pelaku cerita. Namun, pengarang seolah-olah mengetahui

34
Ibid., h. 30.
dan dapat menjelaskan secara rinci tindakan dan perasaan yang
dialami oleh setiap tokoh. Pemilihan sudut pandang ini membuat
pengarang lebih leluasa mengeksplorasi sisi batin Abu untuk
kemudian menciptakan konflik. Hal tersebut menunjukkan penguatan
terhadap cara pandang mengenai suatu permasalahan yang terjadi
dalam cerita.

3. Unsur-unsur ekstrinsik (nilai-nilai budaya, moral, agama, sosial dll) dalam


novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo.
a. Nilai budaya: nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat
daerah dalam novel ini yaitu adat daerah yang bernuansa kejawaan.
Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu
berupa kritik terhadap budaya Jawa. Hal tersebut dapat terlihat dari
kutipan berikut ini:
“Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora
mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu35

b. Nilai moral: Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap


moral yang wajib dilakukan. Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel
MPU juga merupakan pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg
karena ada maksud lain yang tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak
menghalang-halangi usaha kotor (politik uang dan pemaksaan) Mesin
Politik mendapat suara terbanyak. Hal tersebut dapat terlihat dari
kutipan berikut ini:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak.36

c. Nilai agama: dalam novel MPU, Kuntowijoyo juga memberi amanat


agar manusia tidak berlaku syirik. Abu Kasan Sapari berjalan hilir

35
Ibid., h. 28.
36
Ibid., h. 162-163.
mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk
mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah
menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun
kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon
tumbang. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini:
“Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah
dikatanya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD
menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat
Lastri.37

d. Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti


kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Kutipan
novel MPU berikut ini merupakan penggalan nilai pendidikan sosial.
Dalam novel MPU, Abu sering ikut ronda atau siskamling. Hal
tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut ini:
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli
filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun)
hidup.38

4. Konflik sosial dalam novel Mantra Penjinak Ular karya Kuntowijoyo


Dalam novel ini, wujud konflik sosial yang terjadi disebabkan beberapa
permasalahan, antara lain: keyakinan, ketidakberpihakan, penindasan, dan
ketimpangan sosial. Wujud konflik sosial ini akan dibagi berdasarkan
penyebab konflik sosial di antaranya: perbedaan antar-individu, benturan
antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik, dan perubahan
sosial dan budaya.
a. Konflik Pemikiran: Keyakinan (Perbedaan Antar-Individu)
Dalam novel MPU, konflik ini terjadi antara tokoh Abu Kasan
Sapari sebagai tokoh utama dengan Lastri sebagai tokoh pendukung dan
kerumunan warga desa. Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan
mengenai keyakinan. Dalam novel ini, Abu memercayai mantra penjinak
ular dengan berbagai pantangan atas ilmunya sehingga ia memiliki

37
Ibid., h. 218.
38
Ibid., h. 127.
kelebihan menjinakkan ular. Dapat dikatakan bahwa Abu meyakini bahwa
mantra yang berhubungan dengan mitos, mistik, dan klenik sebagai
sesuatu yang benar, dimana agama sering bercampur dengan tradisi
budaya turun-temurun, seperti yang telah dibahas pada analisis latar
tempat dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an [....] Ada laku yang harus
dijalankan, pantangan yang tak boleh dilanggar. Laku-nya
adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga
hari. Wewaler-nya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh
melangkahi ular.”39
[...] Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan
tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana
asalnya. Jadi, orang terpilih itu memang sudah dalam jangkauan
tangan, membuatnya gembira. [...] Ia bertekad untuk
melaksanakan semua petunjuk orang tua itu.40
Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu
mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka
itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-
laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari
kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa
menyembuhkan orang yang digigit ular.41

Motif Abu Kasan Sapari memelihara ular karena memiliki


keyakinan terhadap mitos yang bersifat syirik berupa kepercayaan
terhadap binatang. Pada dasarnya, tujuan Abu memelihara ular sebagai
simbol alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan yang menjadi basis
perasaan dan pemikiran Abu. Bagi Abu, ular itu seperti alam dan
lingkungan yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh. Cinta ular
berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu. Lastri yang mengetahui
tujuan Abu tersebut tidak lagi mempermasalahkan ular tersebut, seperti
yang telah dibahas pada analisis latar tempat. Hal tersebut dapat terlihat
dari kutipan di bawah ini:
Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular
praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan
tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena
rintangan.

39
Kuntowijoyo, op. cit., h. 20-21.
40
Ibid., h. 22.
41
Ibid., h. 56.
“Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular
itu,” katanya “Ular hanya lambang.”
Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan
angan-angannya. Jadi, kata Lastri:
“Saya sudah tahu lambang apa.”
“Tahu? Apa, coba!”
“Lingkungan.”42

Dalam hal ini, Abu yang merasa tersudutkan dan menganggap


kejadian itu hanyalah sebuah kesalahpahaman saja memilih untuk tidak
berhadapan langsung dan berkontak fisik dengan warga desa. Dalam novel
ini, Abu lebih memilih menghindari konflik daripada harus melakukan
perlawanan secara langsung. Pada akhirnya, permasalahan tersebut dapat
terselesaikan dengan jaminan Abu terhadap keselamatan warga desa
dengan cara tidak akan membiarkan ular peliharaannya itu terlepas, seperti
yang telah dibahas pada analisis latar tempat dapat terlihat dari kutipan di
bawah ini:
Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat
RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan
membiarkan ularnya lepas.43

Jika menemui masalah demikian, seharusnya meminta bantuan


orang ketiga sebagai mediator untuk mencari jalan keluar. Melalui
musyawarah bersama, dapat ditemukan solusi untuk kedua belah pihak.
b. Konflik Gagasan dan Konflik Fisik: Ketidakberpihakan dan
Penindasan (Benturan Antar-Kepentingan)
Dalam novel ini, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik.
Konflik ini disebabkan karena adanya perbedaan tujuan kepentingan.
Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai
ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis dan penindasan.
Pertama, ketidakberpihakan profesi dalang dalam politik praktis. Sikap
politik Abu pun sebenarnya sudah jelas terlihat dengan tidak berpolitik
praktis dan memisahkan antara kesenian dari politik, seperti kutipan di
bawah ini:

42
Kuntowijoyo, op. cit., h. 136-137.
43
Ibid., h. 136.
“....orang-orang tua terutama yang peduli politik yang
menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik.”44
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg
jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan
jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya
keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.”45

Bahkan, Abu berani melakukan penolakan terhadap berbagai


tawaran dari Mesin Politik. Abu juga sangat berpegang teguh pada
pendirian bahwa kesenian adalah dunianya sehingga tidak boleh diganggu
oleh siapapun termasuk penguasa dan Abu pun tetap mempertahankan
bidang kesenian yang ditekuninya itu. Kutipan di atas telah dibahas pada
analisis bagian penokohan.
Hal tersebut dilakukan Abu bertujuan untuk menjadikan profesi
dalang yang ditekuninya itu dapat memberikan penyadaran dan
pencerahan serta pendidikan politik kepada warga desa melalui gerakan
moral yang disampaikan lewat media kesenian yaitu wayang kulit. Abu
tidak ingin warga desa menjadi objek dan korban dari kekuasaan tingkat
atas. Namun, tujuan Abu itu mendapatkan tentangan dari Mesin Politik.
Mesin Politik digambarkan oleh pengarang memiliki kedudukan sebagai
pihak elit penguasa yang berarti para pengambil kebijakan di tingkat pusat
atau aparatur negara (pemerintahan) yang memiliki otoritas tertinggi.
Dalam novel, hal ini berkaitan dengan bagian penokohan yang diusung
Kuntowijoyo ketika kedudukan Mesin Politik disalahgunakan untuk
melakukan paksaan dan penyingkiran sehingga timbul korban di kalangan
massa (rakyat). Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Aku tahu biang keroknya,” kata fungsionaris kesenian DPD
Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari.
Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo
supaya Abu diproses sesuai rencana.46

44
Ibid., h. 150.
45
Ibid., h. 162-163.
46
Ibid., h. 174.
Kedua, penindasan. Motif Mesin Politik yang sering kali
melakukan penindasan terhadap Abu hanya semata-mata karena alasan
politik dan loyalitas pada partai penguasa. Mesin Politik menggunakan
kesenian sebagai alat politik untuk berkampanye, seperti yang telah
dibahas pada analisis tema (lihat h. 45).
Dalam hal ini, pihak penguasa (Mesin Politik) menghalalkan segala
cara agar keinginannya dapat terpenuhi termasuk menuntut Abu agar tidak
menghalang-halangi usahanya dalam melakukan politik uang dan
pemaksaan. Peristiwa di atas, dapat dilihat dari perkembangan alur dari
mulai tahap pemunculan konflik sampai peningkatan konflik (lihat h. 75
dan 78), terjadi ketika Abu yang nekat memberikan dukungan kepada
cakades dan ditawarkan jabatan sebagai caleg oleh Mesin Politik.
Sifat Mesin Politik yang terkenal angkuh dan maunya menang
sendiri, secara perlahan telah menimbulkan terjadinya konflik sosial antara
Mesin Politik dengan Abu. Hal ini disebabkan karena aturan yang
dipaksakan Mesin Politik yang setiap saat membayang-bayangi Abu agar
memberikan dukungan penuh kepada calon yang dipilih Mesin Politik
dalam berbagai pemilihan di desa. Selain itu, perbedaan tujuan
kepentingan antara Abu dengan Mesin Politik telah menimbulkan
penindasan yang terus saja muncul ke permukaan terutama pada tokoh
Abu. Hal ini tidak lain karena adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha
keras ingin menguasai daerah melalui berbagai pemilihan di desa.
Unsur-unsur penindasan pun selalu diperlihatkan Mesin Politik
kepada Abu. Pada akhirnya, permasalahan tersebut berakhir setelah Abu
ditangkap dan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian,
tidak ada laporan tertulis. [....] Kepala Polisi merundingkan soal
Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, “Sudah
kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita
diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral.” Mereka
bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan.47

Dalam novel ini, Abu lebih banyak menghindari konflik fisik


ketimbang harus melakukan perlawanan secara langsung. Ia lebih memilih
untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan, tanpa demonstrasi turun ke
jalan, dan tanpa tindakan provokatif yaitu melalui kesenian wayang.
c. Konflik Pandangan dan Konflik Fisik: Ketimpangan Sosial dan
Keyakinan (Perubahan Sosial dan Budaya)
Dalam novel ini, konflik terjadi antara Kismo Kengser dengan
penguasa (Mesin Politik) dan Abu Kasan Sapari dengan Haji Syamsuddin.
Penyebab konflik ini dipicu oleh permasalahan mengenai ketimpangan
sosial dan keyakinan. Pertama, ketimpangan sosial. Konflik terjadi antara
Kismo Kengser dengan penguasa (Mesin Politik). Motif Kismo Kengser
yang mengkritik penguasa (Mesin Politik) melalui pidatonya, karena sudah
banyaknya permasalahan berupa monopoli ekonomi, keserakahan dan
ketidakadilan. Pembahasan bagian ini telah dilakukan pada analisis tema,
seperti pada kutipan di bawah ini:
Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah
kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai
konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain, tapi oleh
bangsa sendiri. [....] Ia mulai lagi dengan pidatonya: “Kismo
Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera
ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana.
Persengkokolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk
memeras rakyat. Hutan kita dibabat habis, bukit dikapling,
digusur semena-mena.”48

Dalam novel ini, Kismo Kengser, Abu, dan warga desa


mempunyai tujuan kepentingan untuk memperoleh pengakuan status
sosial yaitu bebas dari tekanan-tekanan rezim Orde Baru dengan hidup
dalam kedamaian serta terlepas dari belenggu kesulitan ekonomi dan
politik. Dengan hadirnya Kismo Kengser yang mengkritik
pemerintah/penguasa/Mesin Politik telah menimbulkan konflik sosial di

47
Ibid, h. 175.
48
Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular, (Jakarta: Kompas, 2000), h. 212-213.
antara keduanya. Meskipun, konflik antar keduanya tidak berhadapan
secara langsung tetapi berpengaruh pada perilaku warga desa maupun
rakyat.
Kedua, keyakinan. Konflik terjadi antara Haji Syamsuddin
dengan Abu Kasan Sapari. Motif Haji Syamsuddin yang tidak
memercayai mitos seperti mantra dan kepercayaan terhadap binatang
karena mengarah kepada hal-hal syirik. Abu yang semula diceritakan
terikat dengan mantra dan berada dalam lingkungan masyarakat Islam
kejawen masih memercayai mantra yang berhubungan dengan mitos,
mistik, dan klenik. Kini, Abu tidak lagi mengalami keterikatan dengan
mantra dan mulai sadar terhadap realitas kehidupan yang harus
dijalaninya. Melalui dialog antara Abu dengan Haji Syamsuddin telah
membuat Abu tersadar bahwa mantra yang telah terikat padanya telah
membuat susah hidupnya dan orang lain sehingga masalah tersebut dapat
terselesaikan. Abu pun memutuskan untuk meninggalkan ular itu, seperti
yang telah dibahas pada alur bagian tahap penyelesaian.
Pada waktu itu terdengar azan subuh. Abu mendengar suara di
samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang
dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata
mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia
bermaksud memutuskan mata rantai mantra itu, tidak
mengajarkan mantra pada siapa pun.49

Konflik yang mempunyai fungsi positif juga terjadi di dalam


novel dilihat dari pengaruh konflik sosial terhadap sikap masyarakat desa
yang semula tunduk menjadi berbalik melakukan perlawanan terhadap
penindasan, menuntut keadilan atas hak-hak rakyat atau warga desa
melalui demo untuk menyampaikan aspirasinya dan perlawanan terhadap
mitos, mistik, dan klenik yang sudah seharusnya beralih kepada
kehidupan modern sesuai dengan zamannya. Dengan demikian, konflik
ini dapat termasuk dalam fungsi positif karena telah menimbulkan
perubahan sikap masyarakat.

49
Kuntowijoyo, op. cit., h. 270.
Rubrik Penilaian Tes Tertulis dan Tugas Terstruktur
No. Aspek yang dinilai Rentang Nilai Keterangan

1. Ejaan yang sesuai dengan kaidah 0-30


bahasa Indonesia

2. Kesesuaian penulisan jawaban 0-30


dengan topik yang dipilih

3. Bobot isi 0-40

Jumlah 100

Rubrik Penilaian Sikap


No. Nama Religius Tanggungjawab Disiplin Proaktif Jujur
1.
2.
3.
4.
5.
Dst.

Keterangan:
1 = Kurang
2 = Cukup
3 = Baik
4 = Sangat baik

Penilaian Kelompok

Kelas :
Nama Kelompok :
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Tanggal Penilaian :
No. Aspek yang menjadi Nilai
Penilaian A B C D
1. Keaktifan tiap anggota
kelompok dalam menyusun
tugas.
2. Keaktifan tiap anggota
kelompok dalam
mempresentasikan hasil
diskusi kelompok.
3. Kerja sama antar anggota
kelompok.
4. Ketuntasan kelompok dalam
mengerjakan tugas.
5. Keberanian tiap anggota
kelompok dalam
menyampaikan pendapat.
6. Tingkat perhatian peserta
didik pada kelompok lain
yang sedang presentasi.

Petunjuk:
Lembar penilaian kelompok ini diisi oleh guru untuk menilai masing-masing
kelompok dalam menyelesaikan tugas. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom nilai
sesuai dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing peserta didik dalam
kelompok dengan kriteria sebagai berikut:
Baik sekali (A) : skor 85-90
Baik (B) : skor 75-80
Cukup (C) : skor 65-70
Kurang (D) : skor 55-60

Mengetahui, Jakarta, 13 Februari 2017


Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran,

NIP. NIP.
URAIAN MATERI

1. Menurut Tarigan (dalam Antilan) mengemukakan bahwa kata novel berasal


dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti
baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya
seperti puisi dan drama.50 Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa novel dapat
mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih
banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang
membangun novel itu. Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti plot,
tema, penokohan, dan latar secara umum dapat dikatakan lebih rinci dan
kompleks.51 Novel bersifat realistis dan berkembang dari bentuk-bentuk
naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar atau biografi, kronik atau sejarah.
Dengan kata lain, novel berkembang dari dokumen-dokumen.52
2. Unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut
pandang).
a. Menurut Wahyudi Siswanto, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.
Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya
rekaan yang diciptakannya. Tema berkaitan dengan hubungan antara
makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.53
Menurut Robert Stanton, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek
kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi
cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan
berdampak.54
b. Menurut Pujiharto, istilah ‘tokoh’ biasa dipergunakan untuk menunjuk
pada pelaku cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di

50
Antilan Purba, op. cit., h. 62.
51
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 13-14.
52
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 283.
53
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 161.
54
Robert Stanton, op. cit., h. 41.
dalam cerita.55 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.56 Dilihat dari
fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki
perwujudan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Tokoh protagonis
menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan
pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi
dengan tokoh protagonis secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat
fisik ataupun batin.57
c. Menurut Sugihastuti, alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan
dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke
arah klimaks dan selesaian.58 Menurut Melani Budianta, peristiwa-
peristiwa yang menjalinnya ada yang penting untuk jalannya cerita dan
ada yang tidak penting, namun saling melengkapi untuk dijadikan kisah itu
menarik.59 Tasrif dalam (Nurgiyantoro) mengklasifikasikan tahapan plot
menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu antara lain:60
1. Tahap Situation: tahap penyituasian, yaitu pengarang mulai
melukiskan suatu keadaan, berisi pelukisan dan pengenalan situasi
latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pemberian
informasi awal, dan lainnya terutama berfungsi untuk melandastumpui
cerita.
2. Tahap Generation cicumstances: tahap pemunculan konflik. Masalah-
masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik
mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya
konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

55
Pujiharto, op. cit., h. 43-44.
56
Melani Budianta, op. cit., h. 86.
57
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 261-262.
58
Sugihastuti, op. cit., h. 36.
59
Melani Budianta, op. cit., h. 87.
60
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210.
3. Rising action: tahap peningkatan konflik. Konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi, internal, eksternal, atau keduanya, pertentangan-
pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah dan tokoh
yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
4. Climax: tahap klimaks. Konflik dan pertentangan yang terjadi, yang
dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik
intensitas puncak. Klimaks cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh
utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik
utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari
satu klimaks.
5. Tahap Denoument: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
d. Menurut Burhan Nurgiantoro, latar atau setting atau yang disebut juga
dengan landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat hubungan waktu
sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.61 Menurut Mursal Esten, latar sebagai tempat dan waktu
terjadinya peristiwa-peristiwa, sementara peristiwa-peristiwa terjadi oleh
adanya aksi tokoh dan konflik yang ada di dalam dan antar tokoh.62
Pujiharto menjabarkan secara detail, latar bisa mengacu pada 1) lokasi
geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan
detail interior ruang; 2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; 3)
waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis,
musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan religius, moral, intelektual,
sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.63 Unsur latar dalam Burhan

61
Ibid., h. 302.
62
Mursal Esten, op. cit., h. 113.
63
Pujiharto, op. cit., h. 48.
Nurgiantoro dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan
sosial.64
1. Latar tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu
haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat
dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3. Latar sosial-budaya
Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan social masyarakat disuatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
e. Menurut Wahyudi Siswanto, sudut pandang dapat diartikan sebagai cara
pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.65
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut
pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan Burhan
Nurgiyantoro. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut
berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk
persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah
persona kedua.66 Berikut ini adalah macam-macam sudut pandang:
a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak
pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-
tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut
pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

64
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 314-322.
65
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 152.
66
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 347-359.
“Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia”
terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya,
namun terbatas hanya pada seorang tokoh).
b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak
pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang
persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku”
(tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya
sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan
teknik “kau” biasanya dipakai “mengoranglainkan” diri sendiri, melihat
diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita
fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan
atau penyebutan.
d) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang
dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu
tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas
dalam karyanya. Pengertian sudut pandang dari berbagai pendapat pada
ahli sebelumnya menitikberatkan bahwa sudut pandang adalah cara atau
pandangan pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita meliputi; pertama, sudut
pandang persona ketiga: “dia”, kedua, sudut pandang persona pertama:
“aku”, ketiga, sudut pandang campuran.
3. Unsur-unsur ekstrinsik nilai-nilai (budaya, moral, agama, sosial dll).dari
pembacaan penggalan novel.
a. Menurut Friska Rahayu dalam artikel e-journal yang berjudul
“Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Hangtuah Ksatria
Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami” mengemukakan
bahwa nilai moral adalah suatu pengukur apa yang baik dan apa yang
buruk dalam kehidupan masyarakat, juga dapat diartikan sebagai sikap
atau perilaku, tindakan, kelakuan seseorang pada saat mencoba
melakukan sesuatu hal dan memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya.67
b. Menurut Nuning Juniarsih, nilai budaya adalah konsep abstrak
mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam
kehidupan manusia.68
c. Menurut Amir Syamsuddin, nilai-nilai agama berasal dari Tuhan.
Fungsi dari nilai-nilai agama ialah petunjuk cara hidup yang benar dan
sehat bagi manusia semenjak lahir sampai meninggal dunia.69
d. Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia pada
sebuah masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk.70
4. Karya sastra sering kali dikaitkan dengan realitas sosial yang melibatkan
banyak konflik di dalamnya, tentu benar adanya mengingat keduanya tidak
bisa dipisahkan. Wellek dan Warren, menyatakan bahwa konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan
yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. 71 Konflik akan
terjadi apabila tidak adanya lagi kesepakatan mengenai sebuah keinginan
yang tidak tercapai dan tidak adanya kesepakatan antara individu satu
dengan individu lainnya. Hal ini biasanya sering terjadi pada kehidupan
nyata masyarakat yang selalu menghindari maupun harus menghadapi hal
tersebut. Sebuah karya sastra yang menampilkan berbagai macam
peristiwa sangat erat kaitannya dengan konflik. Peristiwa akan mampu
menciptakan konflik dan konflik akan memicu adanya peristiwa lainnya.

67
Friska Rahayu, Jurnal berjudul “Analisis Nilai-Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
Hangtuah Kstaria Melayu Diceritakan Kembali Oleh Nunik Utami”, Artikel E-Journal, 2013.
68
Nuning Juniarsih, Jurnal berjudul “Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat
Lokal Suku Sasak Di Kawasan Wisata Senggigi Pulau Lombok”, Agroteksos, Vol. 17, 2007.
69
Amir Syamsuddin, Jurnal berjudul “Pengembangan Nilai-Nilai Agama dan Moral pada
Anak Usia Dini., Jurnal Pendidikan Anak, 2012, h. 112.
70
Lintang Arzia Nurrachim, Nilai Sosial, http://www.repo.isi-
dps.ac.id/1168/1/Nilai_Sosial diunduh pada hari Minggu, 15-1-2017.
71
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., h. 285.
Nurgiyantoro, menyatakan bahwa peristiwa dan konflik biasanya berkaitan
erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan
konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa juga. Ada peristiwa tertentu
yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik,
berbagai peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya sebagai
akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi
peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat.72
Menurut M. Atho secara umum konflik sosial pada hakikatnya
adalah suatu keadaan di mana sekelompok orang dengan identitas yang
jelas, terlibat pertentangan secara sadar dengan satu kelompok lain atau
lebih, karena mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan, baik dalam nilai
maupun dalam klaim terhadap status, kekuasaan, atau sumber-sumber
daya yang terbatas dan dalam prosesnya ditandai oleh adanya upaya pihak-
pihak yang terlibat untuk saling menetralisasi, mencederai, atau bahkan
mengeliminasi posisi atau eksistensi lawan.73
Bentuk konflik sebagai bentuk peristiwa dapat pula dibedakan ke
dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal
(external conflict) dan konflik internal (internal conflict). Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu
yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin
lingkungan manusia atau tokoh lain. Dengan demikian, konflik eksternal
dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik (physical
conflict) dan konflik sosial (social conflict). Konflik fisik adalah konflik
yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dan lingkungan alam.
Sebaliknya, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan kontak sosial
antarmanusia. Antara lain berwujud masalah perburuhan, penindasan,
percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.
Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam

72
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 180.
73
M. Atho Mudzhar, “Pluralisme, Pandangan Ideologis, dan Konflik Sosial Bernuansa
Agama” dalam Moh. Soleh Isre (Editor), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2003), h. 2.
jiwa seorang tokoh cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami
manusia dengan dirinya sendiri. Konflik itu lebih merupakan
permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat
adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang
berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin
banyak disoroti dalam novel yang lebih banyak mengeksplorasi berbagai
masalah kejiwaan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.74
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan
atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power)
yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak
merata di masyarakat. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih
mempertegas akar dari timbulnya konflik di antaranya:75
1. Perbedaan antar-individu; di antaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. Di dalam
realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan karakter tersebutlah yang memengaruhi
timbulnya konflik sosial.
2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
Benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha,
sehingga banyak di antara kelompok pengusaha saling
memperebutkan wilayah pasar dan perluasan wilayah untuk
mengembangkan usahanya. Adapun benturan kepentingan politik lihat
lagi konflik kepentingan.
3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan
perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala di
mana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai
pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur

74
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 181-182.
75
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 361-362.
sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku.
Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah “semau gue”
yang berakibat pada benturan antarkepentingan baik secara individual
maupun kelompok.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Indah Komalasari lahir di Blitar, 26 Juni 1993. Anak kedua dari Alm. H. M.
Koharuddin, SH. M.Si. dengan Dra. Hj. Iceu Aisah, M. Pd. ini tinggal bersama
orang tua di Jalan Semanan Raya Kp. Lamporan Rt. 08 Rw. 08 No. 173 Kel.
Semanan Kec. Kalideres Jakarta Barat. Memulai pendidikan dasar pada tahun
1999-2005 di SDN 08 Pagi Semanan Jakarta Barat, lalu melanjutkan pendidikan
tingkat SMP pada tahun 2005-2008 di MTSN 8 Jakarta Barat, kemudian
melanjutkan pendidikan tingkat SMA pada tahun 2008-2011 di MAN 12 Jakarta
Barat, dan melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi negeri pada tahun
2011-sekarang di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari kecil penulis
memiliki cita-cita menjadi guru dan dipercaya untuk meneruskan cita-cita serta
perjuangan sang ibu yang juga seorang guru bahasa Indonesia. Hal itu pula yang
membuat penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai