Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN

10 DIAGNOSA KEPERAWATAN GANGGUAN JIWA

DI SUSUN OLEH :

NAMA : NANIK KUSUMAWATI

NIM : A32019075

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG

TAHUN AJARAN 2019/2020


1) ISOLASI SOSIAL
A. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya
(Damaiyanti, 2008)
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000)
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena
orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida, 2012)
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 1993 dikutip Budi Keliat, 2001)
B. Tanda dan gejala
a. Gejala subjektif
- Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
- Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
- Klien merasa bosan
- Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Klien merasa tidak berguna
- Klien mengatakan lebih suka sendiri
b. Gejala objektif
- Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
- Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
- Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
- Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
- Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara
berulang-ulang
- Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
- Ekspresi wajah tidak berseri
- Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
- Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
- Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
(Trimelia, 2011: 15)
C. Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
2) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
3) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas
mempengaruhi adalah otak . Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada
keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita skizofrenia.
b. Faktor presipitasi
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal
jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
2) Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain.
(Damaiyanti, 2012: 79)
D. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau
isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien
dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan
kecemasan.(Prabowo, 2014: 112)
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan
dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan
dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk 2009)
E. Pohon masalah
Resiko gangguan persepsi sensori Effect
Halusinasi

Isolasi sosial Core Problem

Gangguan konsep diri : HDR Cause


F. Diagnosa keperawatan
Isolasi sosial menarik diri
G. Tujuan : SP 1 Individu
Mengenal masalah isolasi sosial (tanda, gejala, penyebab dan akibat isolasi sosial) dan
menjelaskan mendemontrasikan, dan melatih cara berkenalan.
H. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu...saya perawat A yang berjaga dari jam 7
sampai jam 2 siang nanti, nama siapa ibu? Senang di panggil apa?
b. Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?”
c. Validasi
“kegiatan apa saja yang ibu sudah lakukan untuk mengatasi perasaan tersebut?”
d. Kontrak (waktu, tempat topik dan tujuan)
“baiklah kita akan bercakap cakap membahas tentang interaksi ibu dengan orang
lain, tujuannya agar ibu dirumah dapat berinteraksi dengan baik. Kita akan
bercakap cakap dimana? 20 menit ya bu?”
2. Fase kerja
“apa yang menyebabkan ibu sering mengurung diri? Ohh ibu merasa sendirian. Saat
di rumah, ibu tinggal dengan siapa? Siapa yang paling dekat dengan ibu? Apa yang
menyebabkan ibu dekat dengan orang tersebut? Apa yang membuat ibut tidak dekat
dengan mereka?” “apa saja kegiatan yang biasa ibu lakukan saat bersama keluarga?
Bagaimana dengan teman teman yang lain? Apakah ada pengalaman yang tidak
menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain? Apakah yang menghambat ibu
dalam berteman atau bercakap cakap dengan orang lain? Menurut ibu apa saja
keuntungannya kalau kita mempunyai teman? Wah benar....ada teman bercakap
cakap ya bu, apa lagi bu? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) jadi banyak
juga ruginya tidak mempunyai teman ya bu? Kalau begitu apakah ibu ingin belajar
cara berkenalan dengan orang lain agar ibu mempunyai teman? Nah untuk
memulainya sekarang kita latihan berkenalan dengan saya dulu ya, “begini bu untuk
berkenalan dengan orang lain kita memberi salam, menyebutkan nama dan nama
panggilan yang kita sukai serta asal kita darimana, ini saya contohkan selamat pagi,
nama saya A, senang di panggil A, asal saya bogor “selanjutnya ibu menanyakan
nama yang di ajak kenalan” contohnya begini : nama ibu siapa? Senang di panggil
apa? Asalnya dari mana? Ayo ibu coba! Misalnya saya belum kenalan dengan ibu
ya, coba kenalan dengan saya!” ya...bagus sekali bu! Coba sekali lagi, ya..bagus
sekali ibu” “ setelah ibu berkenalan dengan orang lain ibu bisa melanjutkan bercakap
cakap tentang hal hal yang menyenangkan ibu bicarakan, misalnya tentang cuaca,
hobi, keluarga, pekerjaan dan sebagainya. Nahh, bagaimana kalau sekarang kita
latihan berkenalan dengan pasien lain? (dampingi pasien saat bercakap cakap)
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah latihan berkenalan hari ini?”
b. Evaluasi obyektif
“coba peragakan lagi cara berkenalan dengan orang lain?” “baik bu dalam satu
hari mau berapa kali ibu latihan berkenalan dengan orang lain? Dua kali? Baiklah
jam berapa ibu akan latihan?
c. Rencana tindak lanjut
“ini ada jadwal, kita isi jam 11.00 dan 15.00 kegiatan ibu adalah berkenalan
dengan orang lain, jika ibu melakukannya sendiri ceklis di M (melakukan), B
(Bantuan), T (tidak melakukan)
d. Kontrak yang akan datang
“kapan kita akan bertemu lagi? Besok? Yaa besok kita akan melakukan kegiatan
selanjutnya yaitu latihan berkenalan dengan dua orang dan bercakap cakap dalam
melakukan kegiatan harian, mau jam berapa?mau dimana? Saya rasa cukup ya
bu, sampai bertemu besok.”

2) HARGA DIRI RENDAH


A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri. ( Yosep,2009)
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan. ( Towsend,2008)
Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. ( Keliat BA,2006)

B. Jenis
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga
diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa
sebagai seseorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan
melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya disertai oleh evaluasi
diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri. Gangguan diri atau
harga diri rendah dapat terjadi secara :
a) Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai
suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi
harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang
tidak menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)
b) Kronik
Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D &
Iskandar, 2012)
C. Tanda dan gejala
a. Data subyektif
- Klien mengatakan malu
- Klien mengatakan tidak mampu melakukannya
- Klien mengatakan tidak berguna
b. Data obyektif
- Sulit bergaul
- Menghindari kesenangan
- Merusak diri
- Pesimis
- Berpakaian tidak rapih
D. Penyebab
a. Faktor prediposisi
- Penolakan dari orang tua
- Kegagalan yang selalu berulang
- Selalu bergantung pada orang lain
- Orang tua selalu curiga kepada anaknya
- Tidak percaya
b. Faktor presipitasi
- Trauma
- Frustasi
- Depresi
- Penganiayaan seksual
E. Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjadi tidak mau ataupun tidak mampu
bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri, isolasi sosial
menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang
maladaptif, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DEPKES, RI 1998
: 336)
F. Pohon masalah
Isolasi sosial : menarik diri Effect

Gangguan konsep diri : HDR Core Problem

Gangguan citra tubuh Cause


G. Diagnosa keperawatan utama
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
H. Tujuan : SP 1 Individu
Mengenal masalah harga diri rendah kronik dan mendiskusikan kemampuan dan aspek
positif yang masih di miliki
I. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu...saya perawat A yang dinas pagi ini”
b. Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?”
c. Kontrak waktu
“baiklah bagaimana kalu kita bercakap cakap mengenai penyebab, tanda gejala,
proses terjadinya dan akibat harga diri rendah kronik serta kemampuan positif
yang ibu miliki dan kegiatan yang pernah dilakukan ibu? Tujuannya agar ibu
mengetahui kondisi ibu saat ini dan cara mengatasinya, bagaimana apakah bapak
setuju? Baiklah kita mau bercakap cakap dimana? Berapa lama? 30 menit?
2. Fase kerja
“saya perhatikan akhir akhir ini ibu sering menyendiri, aktivitasnya menurun,
murung, menghindar dari orang lain, ragu melakukan kegiatan, saat di ajak bicara
kontak mata kurang, jalan menunduk, apa yang menyebabkan ibu seperti ini?
Baik...ibu mengatakan bahwa ibu merasa tidak mampu, malu, tidak berguna. Apa
yang terjadi sebelumnya sam ibu? Apa ibu sudah tau akibat jika ibu terus begini?
Baiklah coba sekarang ibu sebutkan apa saja kemampuan yang ibu miliki?
Bagus...apa lagi? Saya buat daftarnya ya! Apa pula kegiatan rumah tangga yang ibu
biasa lakukan? Merapihkan kamar? Mencuci piring? Menyapu? Mengepel? Wahhh
bagus sekali ada lima kemampuan dan kegiatan yang ibu miliki”
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah bercakap cakap? Ibu ternyata memiliki banyak
kemampuan yang dapat di lakukan di rumah sakit ini, salah satunya merapihkan
tempat tidur”
b. Evaluasi obyektif
“coba sebutkan kemampuan positif yang ibu miliki?”
c. Rencana tindak lanjut
“sekarang, mari kita membuat jadwal harian ibu, mau berapa kali sehari melatih
kemampuan ibu?”
d. Kontrak yang akan datang
“kapan kita akan bertemu lagi? Besok jam 10.00 Mau dimana? Kegiatan selanjutnya
kita akan membahas kemampuan yang masi dapat di gunakan ya bu? Saya rasa cukup
untuk hari ini ya bu, selamat istirahat.”

3) HALUSINASI
A. Pengertian
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129)
Halusinasi adaah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang
berbicara.(Kusumawati & Hartono, 2012:102)
B. Halusinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu, diantaranya:
a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara
orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa
yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya, gambaraan
geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan komplesk. Bayangan
bias bisa menyenangkan atau menakutkan
c. Halusinasi Penghidung (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk, amis,
dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-kadang terhidu
bau harum. Biasnya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.
e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis, dan
menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
(Yosep Iyus, 2007: 130)
g. Halusinasi Viseral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
a) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis. Misalnya sering
merasa diringa terpecah dua.
b) Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang dialaminya seperti
dalam mimpi. (Damaiyanti, 2012 : 55-56)
C. Tanda dan gejala halusinasi antara lain :
1. Data subyektif
a) Mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus yang tidak nyata
b) Melihat gamgar tanpa ada stimulus tidak nyata
c) Mencium bau tanpa stimulus
d) Merasa ada sesuatu di kulitnya
e) Takut pada gambar yang di lihatnya dan suara yang di dengarnya
2. Data obyektif
a) Bicara dan tertawa sendiri
b) Melempari barang
c) Memukul sesuatu
d) Menangis tidak jelas
D. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang dapat
bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
4) Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien
lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyataa menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
padapenyakit ini. (Prabowo, 2014: 132-133)
b. Faktor presipitasi
1) Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi
stress.(Prabowo, 2014 : 133)
4) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.
E. Akibat
Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan ingkungan. Ini
diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk
melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya.( Prabowo, 2014: 134)
F. Pohon masalah
Resiko perilaku kekerasan Effect

Perubahan persepsi sensori Core Problem

Isolasi sosial : menarik diri Cause


G. Diagnosa keperawatan utama
Gangguan persepsi sensori : halusinasi
H. Strategi pelaksanaan
Pertemuan ke 1
1. Kondisi pasien :
DS :
- klien mengatakan mendengarkan bisikan bisikan saat sedang sendirian
- Klien mengatakan melihat bayangan saat malam hari
DO :
- Klien tampak bergumam sendiri
- Klien tampak sedih dan murung
- Klien sering menyendiri
2. Diagnosa keperawatan : gangguan persepsi sensori : halusinasi
3. Tujuan : SP 1 Individu
mengenal halusinasi (isi, frekuensi,waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan respon
terhadap halusinasi) dan menjelaskan, mendemonstrasikan, mengontrol halusinasi
dengan menghardik
4. Strategi pelaksanaan :
1. Fase orientasi
a. Salam :
“selamat pagi pak...perkenalkan nama saya perawat A. Nama bapak siapa?
Senang di panggil apa?
b. Evaluasi/validasi
“apa yang bapak rasakan hari ini?”
“apa yang sedang bapak lakukan?”
c. Kontrak dan waktu
“nah...bagaimana kalau kita bercakap cakap?” “ bapak ingin bercakap cakap
disini atau di luar?” “selama 30 menit cukup ya pak?” “baik kita akan bercakap
cakap tentang apa yang terjadi di rumah sehingga bapak dapat di bawa kesini
ya pak, sehingga kita nanti dapat menemukan tindakan keperawatan yang tepat
untuk membantu bapak?”
d. Fase kerja
“coba bapak ceritakan yang terjadi di rumah sehingga bapak di bawa ke sini?
Jadi bapak mendengar suara suara ya pak? Apa yang suara suara itu katakan
kepada bapak? Kapan suara suara itu muncul? Seberapa sering bapak
mendengarnya? Apa yang bapak rasakan saat suara itu muncul? Apa yang
bapak lakukan untuk mengurangi suara tersebut? Berarti saya dapat
menyimpulkan bahwa suara suara itu muncul pada malam hari, dan sangat
mengganggu bapak. Saya lihat bapak sering bicara dan tertawa sendiri?
Nah...apa yang bapak alami dan rasakan merupakan halusinasi, ada 4 cara untuk
mengontrol suara suara tadi ya pak...yaitu mengardik, minum obat, bercakap
cakap dan melakukan aktivitas. Sekarang kita belajar satu cara untuk
mengilangkan suara suara tadi yaitu menghardik, sekarang bayangkan suara itu
terdengar oleh bapak cara menghardiknaya adalah seperti tutup telinga,
kemudian katakan “ pergi...kamu suara palsu...saya tidak mau mendengarnya”
setelah itu bapak beristighfar agar lebih tenang” “ sekarang saya akan
memperagakannya, bayangkan suara suara itu terdengar kemudian saya
lakukan seperti ini (peragakan cara menghardik). Nah...sekarang bapak coba
lakukan kembali seperti yang saya lakukan tadi, wah...bagus sekali pak...coba
ulangi sekali lagi...betul pak...
e. Fase terminasi
1. Evaluasi subyektif
“bagaimana latihan bapak setelah kita latihan cara menghardi suara suara?”
2. Evaluasi obyektif
“coba apa yang bapak pelajari tadi?”
3. Rencana tindak lanjut
“berapa kali bapak mau latihan menghardik? Bagaimana kalau 3 kali
sehari? Pada jam 08.00-12.00-17.00 dan jika suara suara tadi masih
terdengar? Kita masukan ke jadwal harian bapak ya?”
4. Kontrak pertemuan selanjutnya
“bagaimana kalau kita besok bertemu lagi? Mau jam berapa ya pak? Mau
disini atau di luar? Nah besok kita berbincang bincang kegiatan selanjutnya
ya pak...sampai ketemu besok...selamat siang”

4) RESIKO PERILAKU KEKERASAN


A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang
berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015:137).
B. Tanda dan gejala
a. Data subyektif
- Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
- Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
- Klien mengungkapkan perasaan jengkel
- Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa
tercekik dan bingung
- Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
- Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
b. Data obyektif
- Muka merah dan tegang
- Mata melotot atau pandangan tajam
- Tangan mengepal
- Rahang mengatup
- Wajah memerah dan tegang
- Postur tubuh kaku
- Pandangan tajam
- Jalan mondar mandir
C. Penyebab
a. Faktor predisposisi
- Faktor biologis
- Faktor genetik
- Cycardian rytme
- Faktor biokimia
- Brain area disorder
b. Faktor presipitasi
- Respon Adaptif : respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang
berlaku.
- Respon Maladaptif : Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan kenyataan sosial
D. Akibat
Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang meakukan tindakan yang
dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami
perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku
(Kartikasari, 2015: hal 140)
E. Pohon masalah
Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain effect

Resiko perilaku kekerasan core problem

Halusinasi cause

F. Diagnosa keperawatan utama


Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
G. Tujuan : SP 1 Individu
Mengenal penyebab, tanda gejala apa yang dilakukan akibat marah dan latihan fisik
pukul kasur dan bantal
H. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu...” sya perawat A, saya senang di panggil
perawat A, siapa nama ibu? Senang di panggil apa? Saya akan merawat ibu dari
jam 08.00-14.00”
b. Evaluasi
“bagaimakan perasaan ibu hari ini? Apa yang terjadi dirumah sehingga ibu di
bawa ke rumah sakit?”
c. Validasi
“untuk mengatasi itu apa yang ibu lakukan? Ibu sudah latihan apa saja?”
d. Kontrak waktu dan tempat
“baiklah sekarang kita akan bercakap cakap tentang mengatasi marah ibu
ya...tujuannya agar ibu dapat mengontrolnya dengan baik, kita perlu waktu 30
menit ya...tempatnya mau disini atau di luar? Apakah ibu bersedia?”
2. Fase kerja
“baikla ibu...tadi ibu mengatakan bahwa ibu sering marah marah, kalau saya boleh
tahu apa yang sering menyebabkan ibu marah? Sewaktu ibu ingin marah biasanya
apa tanda tandanya? Setelah marah ke suami apa akibatnya? Lalu, apa yang ibu
rasakan setelah itu, apakah ibu menyesal? Baiklah...untuk mengontrol marah ada
beberapa cara ya bu yaitu dengan cara latihan fisik tarik nafas dalam dan pukul
bantal atau kasur, kedua latihan minum obat secara teratur, ketiga latihan bicara
yang benar, keempat latihan melakukan kegiatan spiritual. Dari keempat latihan
tersebut, kita akan melakukan latihan fisik dulu ya bu...baiklah latihan yang
pertama kita lakukan yaitu latihan tarik nafas dalam caranya “coba ibu hirup udara
melalui hidung, tahan sebentar kemudian keluarkan dari mulut di lakukan sehari
5x” coba saya praktekan dulu ya bu...ibu bisa melihat. “coba sekarang ibu
praktekan cara tarik nafas dalam tersebut, seperti yang saya contohkan tadi” ya
bagus sekali bu...nah sekarang kita latihan pukul bantal dan kasur, jadi kalau ibu
lagi kesal ingin memukul seseorang luapkan marahnya pada bantal dan kasur yang
ada di ruangan ini, ibu perhatikan saya dulu, baru ibu lakukan...ya sekarang ibu
coba lakukan pukul bantal dan kasur...bagus sekali....nah sekarang kita buat jadwal
kegiatannya ya bu, mau jam berapa aja melakukan latihan fisik dan nafas dalam
dan pukul bantal kasur.
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu...setelah kita bercakap cakap tentang cara mengontrol
perasaan marah dengan latihan fisik tarik nafas dalam dan pukul bantal kasur?
b. Evaluasi obyektif
Coba ibu...sebutkan kembali ada berapa cara untuk mengontrol marah dengan
latihan fisik? Bagus sekali buu....
c. Rencana tindak lanjut
“nahh..ibu dapat melakukan tarik nafas dalam 5x sehari dan pukul bantal 5x
sehari jangan lupa laksanakan semua latihan dengan teratur sesuai jadwal ya
bu...”
d. Kontrak pertemuan selanjutnya
“baik bu...kapan kita akan bertemu lagi? Besok kita akan latihan cara
selanjutnya yaitu mengontrol marah dengan latihan minum obat ya bu...ibu mau
jam berapa? Mau dimana? Baik bu saya cukupkan kegiatan hari ini, sampai
jumpa besok, selamat istirahat”

5) DEFISIT PERAWATAN DIRI


A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk
melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum secara
mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012)
B. JENIS
Menurut (Damaiyanti, 2012) jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas
perawatan diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sendiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri
C. Tanda dan gejala
a. Data subyektif
- Klien mengatakan malas mandi
- Klien mengatakan membersihkan diri itu tidak penting
b. Data obyektif
- Ketidakmampuan membersihkan badan
- Tidak mampu berdandan
- Tidak mampu makan dengan benar
- Tidak mempu membersihkan kamar mandi setelah BAB dan BAK
D. Penyebab
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
E. Akibat
1. Dampak fisik : Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
tidak terpeliharanya kebersihan perorangandengan baik, gangguan 12 fisik yang
seering terjadi adalah: gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial : Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine
adalah gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan
harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)
F. Pohon masalah
Resiko perilaku kekerasan effect

Defisit perawatan diri core problem

Harga diri rendah kronik cause

G. Diagnosa keperawatan utama


Defisit perawatan diri
H. Tujuan : SP 1 Individu
Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara cara merawat diri dan melatih pasien
tentang cara cara perawatan kebersihan diri.
I. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi? Nama saya perawat A, dengan ibu siapa?
Senang di panggil apa?”
b. Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini? Selama di rumah sakit saya yang akan
merawat ibu...”
c. validasi
“dari tadi saya lihat ibu sering menggaruk garuk badan? Gatel? Apakah hari ini
ibu sudah mandi? Sudah mengganti pakaian? Nah...sekarang kita bercakap
cakap tentang pentingnya menjaga kebersihan tubuh ya bu?”
d. kontrak
“kita mau bercakap cakap dimana? Disini? Ya kurang lebih kita membutuhkan
waktu 30 menit ya bu...”
2. fase kerja
“dalam sehari ibu mandi berapa kali? Apakah hari ini ibu sudah mandi? Menurut
ibu apa sih pentingnya mandi? Apa alasan ibu sehingga ibu tidak merawat diri? “
“kira kira tanda tanda apa saja kalau orang tidak merawat diri dengan baik ? badan
gatal, kudis, kurap, panu dan lain lain? Bagus ya...itu semua salah satu akibat tidak
mandi...kalau kita tidak teratur dalam merawat diri maka tanda gejala yang sudah
ibu sebutkan tadi akan muncul, bagaimana kalo sekarang kita belajar mandi? Saya
yang akan membimbing ibu untuk merawat diri? Kita ke kamar mandi ya bu...bagus
sekali...nah sekarang buka pakaian ibu dan gantung. Coba ibu siram seluruh badan
ibu dari rambut sampai kaki lalu ambil sampo gosolan ke kepala sampai merata
hindda bersih, bagus sekali buu...selanjutnya ambil sabun, gosokan di seluruh tubuh
hingga merata sampai bersih, selanjutnya di siram dengan air dari kepala sampai
kaki ya bu...jangan lupa menggosok gigi pakai pasta gigi, gosok seluruh gigi bapak
mulai dari depan hingga belakang atas dan bawah. Lalu kumur kumur hingga bersih,
terakhir siram lagi seluruh tubuh ibu sampai bersi lalu di keringkan pakai handuk.
Yak bagus sekali ya bu sudah bisa melakukannya...selanjutnya ibu pakai baju bersih,
sekarang kita sisir rambut ibu, nah...sekarang ibu sudah bersih dan wangi.
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah mandi dan mengganti pakaian?”
b. Evaluasi obyektif
“coba ibu sebutkan cara cara mandi yang benar setelah ibu coba lakukan tadi?”
c. Kontrak
“saya rasa pertemuan kali ini saya cukupkan ya bu...kapan kita akan bertemu
lagi? Besok? Mau jam berapa? Mau disini atau dimana? Ya besok kita akan
membahas kegiatan yang selanjutnya ya bu...selamat istirahat”

6) RESIKO BUNUH DIRI


A. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
B. Tanda dan gejala
a. Data subyektif
- Klien mengatakan bahwa dirinya sudah tidak di butuhkan lagi
- Klien mengatakan ingin pergi saja
- Klien mengatakan ingin mengakhiri hidupnya
b. Data obyektif
- Depresi
- Gelisah
- Agitasi
- Menarik diri
- Menarik diri dari lingkungan
C. Penyebab
1. Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
2. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
3. interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti.
4. Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
5. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
D. Akibat
Akibat perilaku bunuh diri adalah cedera atau kematian, jika perilaku bunuh diri
mengakibatkan kematian maka tindakan yang dilakukan adalah perawatan jenazah.
Cedera yang disebabkan oleh perilaku bunuh diri sangat di pengaruhi oleh cara
seseorang melakukan percobaan bunuh diri, jika perilaku bunuh diri dilakukan dengan
menggantung maka cedera yang terjadi adalah berupa jejas di leher. Jika minum racun
maka akan terjadi pencederaan di lambung.
E. Pohon masalah
Percobaan melukai diri Effect

Resiko bunuh diri Core Problem

Koping tidak efektif Cause


F. Diagnosa keperawatan utama
Resiko bunuh diri
G. Tujuan : SP 1 Individu
Bercakap cakap untuk melindungi pasien dari isyarat bunuh diri
H. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi mba, perkenalkan saya perawat A, dengan mba
siapa? Senang di panggil apa?
b. Evaluasi
“bagaimana perasaan mba ani hari ini?” saya akan menemani mba ani dari jam
08.00-14.00, nanti akan ada perawat yang lain untuk menemani mba ani”
c. Validasi
“bagaimana kalau kita bercakap cakap tentang apa yang mba ani rasakan selama
ini, saya siap untuk mendengarkan mba ani”
d. Kontrak waktu
“kita akan bercakap cakap disini saja ya mba? Kira kira 30 menit?
2. Fase kerja
“bagaimana perasaan mba ani setelah bencana tersebut terjadi? Apakah dengan
kejadian tersebut mba ani yang paling menderita? Apakah amba ani kehilangan
kepercayaan diri? Apakah mba ani merasa tidak berharga dan lebih dari pada orang
lain? Apakah mba ani mengalami konsentrasi? Apakah mba ani ingin menyakiti
diri sendiri seperti ingin bunuh diri atau menyakiti diri sendiri? Apakah mba ani
ingin mencoba bunuh diri? Apa sebabnya? (jika klien menyatakan ingin bunuh diri,
segera melakukan tindakan untuk melindungi klien). Baiklah tampaknya mba ani
memerlukan untuk menghilangkan keinginan bunuh diri, saya perlu memeriksa
seluruh kamar mba ani untuk memastikan tidak ada benda benda yang
membahayakan mba ani, nah...karena mba ani tampaknya masih memiliki
keinginan untuk bunuh diri, maka saya tidak akan membiarkan mba ani sendirian,
apakah yang mba ani lakukan kalau keinginan bunuh diri itu muncul? Ya saya
setuju, mba ani harus memanggil perawat yang bertugas ditempat ini untuk
membantu mba ani. Saya percata mba ani dapat melakukannya”
3. Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan mba ani stelah kita bercakap cakap?”
b. Evaluasi obyektif
“apa yang mba ani lakukan jika keinginan bunuh diri itu muncul?”
c. Rencana tindak lanjut
“apabila keinginan bunuh diri itu muncul mba ani harus memanggil perawat
yang berjaga di tempat ini dan mengucap istighfar, apakah mba ani sanggup
untuk melakukannya?”
d. Kontrak waktu yang akan datang
“kapan kita akan bertemu lagi? Besok, mau dimana? Disini, jam 10.00. besok
kita akan membahas kegiatan selanjuntnya ya mba ani, saya rasa cukup untuk
kegiatan hri ini, selamat pagi selamat beristirahat”.

7) WAHAM
A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta
dan keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah nabi yang menciptakan
biji mata manusia”) atau bisa pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak mungkin, contoh
masyarakat di surge selalu menyertai saya kemanapun saya pergi”) dan tetap
dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya (Purba dkk, 2008).
Kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan dengan isi pikirannya padahal
tidak sesuai dengan kenyataan. Atau kepercayaan yang telah terpaku/terpancang kuat
dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan kenyataan tetapi tetap dipertahankan.
Jika disuruh membuktikan berdasar akal sehatnya, tidak bias. Atau disebut juga
kepercayaan yang palsu dan sudah tidak dapat dikoreksi (Baihaqi, 2007).
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai
dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang
lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Direja,
2011).
B. Jenis
1. Waham kebesaran : Keyakinan secara berlebihan bahawa dirinya memiliki kekuatan
khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan
2. Waham agama : Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3. Waham curiga : Keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang mau merugikan
atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
4. Waham somatik : Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau sebagian tubuhnya
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
5. Waham nihilistik : Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulangulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
C. Tanda dan gejala
1) Data Subyektif
a) Waham kebesaran : saya ini titisan bung karno, mempunyai perusahaan dimana
mana dan uang yang berlimpah
b) Waham agama : tuhan telah menunjuk saya sebagai wali lewat mimpi maka
saya harus meneruskan amanah tuhan saya
c) Waham curiga : banyak orang yang ingin membunuh saya karena saya terlalu
cantik
d) Waham somatik : saya ini terserang penyakit kanker yang sudah sangat parah
e) Waham nihilistik : saya ini sebenarnya roh roh, kalian semua roh, orang yang
berada disini semuanya sudah mati.
2) Data obyektif
a) Perasaan malu terhadap diri sendiri
b) Tidak tepat menilai lingkungan
c) Curiga
d) Takut
e) Ekspresi wajah tegang
f) Mudah tersinggung
D. Penyebab
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi otak Menurut
Kusumawati, (2010) yaitu :
1) Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan menilai dan
menilik terganggu.
2) Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan kemampuan berespons
terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi dan gerakan tubuh) dan
perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
3) Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
4) Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi, efek,
ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas.
5) Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.
E. Akibat
Klien dengan waham dapat mencederai diri sendiri, prang lain dan lingkungan. Resiko
mencederai merupakan tindakan yang kemungkinan dapat melukai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
F. Pohon masalah
Perilaku kekerasan effect

Waham core problem

Harga diri rendah cause


G. Diagnosa keperawatan utama
Waham
H. Tujuan : SP 1 Individu
Membina hubungan saling percaya: mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi
dan cara memenuhi kebutuhan, mempraktekan pemenuhan kebutuhan yang tidak
terpenuhi.
I. Strategi pelaksanaan
1) Fase orientasi
a. Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat A, dengan ibu
siapa? Senang di panggil apa?
b. Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?” saya akan menemani ibu dari jam 08.00-
14.00, nanti akan ada perawat yang lain untuk menemani ibu”
c. Validasi
“bagaimana kalau kita bercakap cakap tentang apa yang ibu rasakan?”
d. Kontrak waktu
“berapa lama kita akan bercakap cakap? Bagaimana kalau 30 menit?tempatnya
mau disini atau di luar?”
2) Fase kerja
“saya mengerti bahwa ibu merasa adalah seorang nabi, tapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya, karena setahu saya semua nabi tidak hidup di zaman ini. Bisa kita
lanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terputus? Tampaknya ibu gelisah sekali,
bisa bapak ceritakan kepada saya apa yang ibu rasakan? O...jadi ibu merasa takut
nanti di atur atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk mengatur diri ibu
sedniri? Siapa menurut ibu yang sering mengatur ngatur ibu? Jadi teman ibu yang
sering mengatur ngatur? Juga adik ibu yang lain? Kalau ibu sendiri sudah punya
rencana dan jadwal untuk diri sendiri? Coba tuliskan rencana dan jadwal tersebut
bu...wah...bagus sekali, jadi setiap harinya ibu ingin ada kegiatan di luar rumah
sakit karena bosan kalau di rumah sakit terus ya...?”
3) Fase terminasi
a. Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap cakap?”
b. Evaluasi obyektif
“apa saja tadi yang telah di bicarakan? Wah bagus sekali bu...”
c. Rencana tindak lanjut
“bagaimana kalau jadwal ini ibu coba lakukan, setuju bu? Sehari mau berapa
kali? 3 kali ya? Jam berapa? Baik ibu, kita tulis dijadwal harian ibu ya….”
d. Kontrak waktu yang akan datang
“kapan kita akan bertemu lagi? Besok, mau dimana? Disini, jam 08.00 besok
kita akan membahas kegiatan selanjuntnya ya bu.., saya rasa cukup untuk
kegiatan hari ini, selamat pagi selamat beristirahat”.

8) Ansietas
A. Pengertian
Ansietas adalah perasaan was-was, khawatir,atau tidak nyaman seakan-akan
akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman Ansietas berbeda dengan rasa
takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap ssuatu yang berbahaya,
sedangkan ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut (Keliat, 2012).
Ansietas merupakan pengalaman emosi dan subjektif tanpa ada objek yang spesifik
sehingga orang merasakan suatu perasaan was-was (khawatir) seolah-olah ada sesuatu
yang buruk akan terjadi dan pada umumnya disertai gejala-gejala otonomik yang
berlangsung beberapa waktu (Stuart dan Laraia,1998) dalam buku (Pieter,dkk,2011).
Sedangkan menurut (Riyadi&Purwanto,2010) Ansietas adalah suatu perasaan takut
yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai gejala
fisiologis, sedangkan pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan yang
bermakna dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa ansietas adalah respon seseorang berupa rasa
khawatir , was-was dan tidak nyaman dalam menghadapi suatu hal tanpa objek yang
jelas.
B. Jenis
1. Ansietas ringan
Respons-respons fisiologis orang yang mengalami ansietas ringan adalah
sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut,
bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung. Respons kognitif orang yang
mengalami ansietas ringan adalah lapang persepsi yang melebar, dapat menerima
rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan
masalah secara efektif. Adapun respons perilaku dan emosi dari orang yang
mengalami ansietas adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan,
suara kadang-kadang meninggi.
2. Ansietas sedang
Respon kognitif orang yang mengalami ansietas sedang adalah lapang
persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus pada apa yang
menjadi perhatian. Adapun respons perilaku dan emosi adalah gerakan yang
tersentak-sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman .
3. Ansietas berat
Respons-respons fisiologis ansietas berat adalah napas pendek, nadi dan
tekanan darah darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur,
dan mengalami ketegangan. Respon kognitif pada orang yang mengalami ansietas
berat adalah lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan
masalah. Adapun respons perilaku dan emosinya terlihat dari perasaan tidak aman,
verbalisasi yang cepat, dan blocking.
4. Panik
Respons-respons fisiologis panik adalah napas pendek, rasa tercekik, sakit
dada, pucat, hipotensi dan koordinasi motorik yang sangat rendah. Sementara
respons-respons kognitif penderita panik adalah lapang persepsi yang sangat
pendek sekali dan tidak mampu berpikir logis. Adapun respons perilaku dan
emosinya terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan dan berteriak-
teriak, blocking, kehilangan kontrol diri dan memiliki persepsi yang kacau (Herry
Zan Pieter, 2011)
C. Tanda dan gejala
1. Cemas
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
4. Gangguan pola tidur
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
6. Keluhan somatik ( rasa sakit pada obat dan tulang, pendengaran berdenging,
berdebar-debar, sesak napas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit
kepala dan sebaginya).
D. Penyebab (Presipitasi dan Predisposisi)
1. Faktor Predisposisi
a) Biologis
1) Latar belakang genetik : riwayat ansietas dalam keluarga, sensitivitas laktat,
kembar monozigot 5 x > dizigot, sindrom kromosom 13 terkait dengan
gangguan panik, sakit kepala berat, hipotiroid
2) Status nutrisi : BB kurang (terlalu kurus) atau lebih dari BB ideal (overweight)
b) Kondisi kesehatan secara umum : memiliki riwayat penyakit fisik
1) Riwayat penyakit kanker (semua jenis kanker)
2) Riwayat gangguan pada paru-paru : (seperti ada pada penyakit paru obstruksif
kronik, oedema paru, sumbatan jalan nafas, asma, embolus)
3) Riwayat gangguan jantung (Penyakit jantung bawaan atau demam rhematik,
riwayat serangan jantung, dan hipertensi, kondisi arteriosclerosis)
4) Riwayat penyakit endokrin (Hipertiroid, hipoglikemi, hipotiroid,
premenstrual sindrom, menopause)
5) Riwayat penyakit neurologis (Epilepsi, Huntington’s disease, Multiple
Sclerosis, Organic Brain Syndrome)
6) Riwayat penyakit gastrointestinal : Gastritis, Ulkus Peptik, CH
7) Riwayat penyakit integumen : Herpes, Varisela, Eskoriasis
8) Riwayat penyakit muskuloskletal : Fraktur dengan Amputasi
9) Riwayat penyakit reproduksi : Impoten, Frigid, Infertil
10) Riwayat penyakit kelamin : Gonorhoe, Sipilis
11) Riwayat penyakit imunologi : HIV/AIDS, Sindrom Steven Johnson
c) Riwayat penggunaan zat: intoksikasi : obat antikolinergik, aspirin, kafein, kokain,
halusinogen termasuk phenchiclidine, steroid dan simpatomimetik
d) Riwayat putus zat : alkohol, narkotik, sedatif-hipnotik
2. Faktor Presipitasi
a) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang
akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
b) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri
dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
E. Akibat
Ansietas dapat berakibat pada penarikan diri dari lingkungan sekitar yang
mengakibatkan sering menyendiri dan harga diri rendah.
F. Pohon masalah

Isolasi Sosial, Harga Diri Rendah

Gangguan perilaku: kecemasan Core Problem

Koping individu tidak efektif

Stressor

G. Diagnose Keperawatan
Ansietas
H. Tujuan : SP 1 Individu
Pengkajian ansietas dam melath teknik relaksasi (Tarik nafas dalam dan distraksi)
I. Strategi Pelaksanaan
1) Fase orientasi
a) Salam teraupetik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat A, dengan ibu
siapa? Senang di panggil apa?
b) Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?” saya akan menemani ibu dari jam 08.00-
14.00, nanti akan ada perawat yang lain untuk menemani ibu”
c) Validasi
“bagaimana kalau kita bercakap cakap tentang apa yang ibu rasakan?”
d) Kontrak waktu
“berapa lama kita akan bercakap cakap? Bagaimana kalau 30 menit?tempatnya
mau disini atau di luar?”
2) Fase kerja
”Coba Mbak ceritakan apa yang mbak rasakan?”

”Oh, jadi Mbak merasa gelisah, cemas karena harus dirawat di RS?”

”Apakah sebelumnya Mbak pernah mengalami sakit sehingga perlu dirawat di RS?”

”Jadi Mbak baru pertama kali dirawat di RS ?”

“Selama ini, bila Mbak punya masalah yang mengganggu, apa yang Mbak lakukan?”

”Jadi kalau Mbak punya masalah, Mbak akan memikirkan terus masalah itu sehingga
Mbak merasa gelisah, tidak bisa tidur, tidak nafsu makan?”

“Apakah sebelumnya Mbak pernah mengalami masalah yang Mbak anggap cukup
berat?”

“Apakah Mbak mampu menyelesaikan masalah tersebut?”

“Wah, baik sekali, berarti dulu Mbak pernah mampu menyelesaikan masalah yang
cukup berat, saya yakin sekali Mbak sekarang juga akan mampu menyelesaikan
kecemasan yang Mbak rasakan”

“Baiklah Mbak, bagaimana kalau sekarang kita coba latihan relaksasi dengan cara
tarik nafas dalam, ini merupakan salah satu cara yang cukup mampu untuk
mengurangi kecemasan yang mbak rasakan. Bagaimana kalau kita latihan sekarang,
Saya akan lakukan, mbak perhatikan saya, lalu mbak bisa mengikuti cara yang sudah
saya ajarkan. Kita mulai ya mbak.”

“Mbak silakan duduk dengan posisi seperti saya. Pertama-tama, mbak tarik nafas
dalam perlahan-lahan, setelah itu tahan nafas dalam hitungan tiga setelah itu bapak
hembuskan udara melalui mulut dengan meniup udara perlahan-lahan. Nah,
sekarang coba mbak praktikkan. Wah bagus sekali, mbak sudah mampu
melakukannya. Mbak bisa melakukan latihan ini selama 5 sampai 10 kali sampai
mbak merasa relaks atau santai”
3) Fase terminasi
a) Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap cakap?”
b) Evaluasi obyektif
“apa saja tadi yang telah di bicarakan? Wah bagus sekali bu...”
c) Rencana tindak lanjut
“bagaimana kalau jadwal ini ibu coba lakukan, setuju bu? Sehari mau berapa
kali? 3 kali ya? Jam berapa? Baik ibu, kita tulis dijadwal harian ibu ya….”
d) Kontrak waktu yang akan datang
“kapan kita akan bertemu lagi? Besok, mau dimana? Disini, jam 08.00 besok
kita akan membahas kegiatan selanjuntnya ya bu.., saya rasa cukup untuk
kegiatan hari ini, selamat pagi selamat beristirahat”.

9) Ketidakberdayaan
A. Pengertian
Ketidakberdayaan adalah persepsi bahwa tindakan seseorang secara signifikan
tidak akan mempengaruhi hasil, persepsi kurang kendali terhadap situasi saat ini atau
situasi yang akan segera terjadi (NANDA Internasional 2012).
Menurut Carpenito (2009), ketidakberdayaan adalah kondisi ketika individu atau
kelompok merasakan kurangnya kontrol personal terhadap sejumlah kejadian atau
situasi tertentu akan mempengaruhi tujuan dan gaya hidupnya.
Ketidakberdayaan adalah keadaan dimana individu dengan kondisi depresi, apatis
dan kehilangan kontrol yang diekspresikan oleh individu baik verbal maupun non
verbal. Kondisi depresi merupakan salah satu masalah yang berakibat pada kondisi
psikososial dengan ketidakberdayaan. Kondisi ketidakberdayaan pada individu terjadi
bila individu tidak dapat mengatasi solusi dari masalahnya, sehingga individu percaya
hal tersebut diluar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut (Townsend, 2010).
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketidaberdayaan
adalah suatu keadaan dimana seorang individu merasa kurang kontrol terhadap suatu
kejadian atau situasi yang diekspresikan baik verbal maupun non verbal.
B. Jenis
Stephenson (1979) dalam Carpenito (2009) menggambarkan dua jenis
ketidakberdayaan yaitu:
1) Ketidakberdayaan Situasional
Ketidakberdayaan yang muncul pada sebuah peristiwa spesifik dan mungkin
berlangsung singkat.
2) Ketidakberdayaan Dasar (trait powerlessness)
Ketidakberdayaan yang bersifat menyebar, mempengaruhi pandangan, tujuan, gaya
hidup dan hubungan.
C. Tanda dan gejala
1) Data Subjektif :
a) Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kemampuan
mengendalikan atau mempengaruhi situasi
b) Mengungkapkan tidak dapat menghasilkan sesuatu
c) Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustasi terhadap ketidakmampuan untuk
melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya
d) Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran
e) Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri
2) Data Objektif :
a) Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan
b) Tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan saat diberikan kesempatan
c) Enggan mengungkapkan perasaan sebenarnya
d) Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas,
ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah
e) Gagal mempertahankan ide/pendapat yang berkaitan dengan orang lain ketika
mendapat perlawanan
f) Apatis dan pasif
g) Eksprsi uka murung
h) Bicara dan gerakan lambat
i) Tidak berlebihan
j) Nafsu makan tidak ada atau berlebihan
k) Menghindari orang lain
D. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
a) Biologis
i) Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua menderita
gangguan jiwa)
ii) Gaya hidup (tidak merokok, alkhohol, obat dan zat adiktif) dan Pengalaman
penggunaan zat terlarang
iii) Menderita penyakit kronis (riwayat melakukan general chek up, tanggal
terakhir periksa)
iv) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang mengganggu
pelaksanaan aktivitas harian pasien
v) Adanya riwayat sakit panas lama saat perkembangan balita sampai kejang-
kejang atau pernah mengalami riwayat trauma kepala yang menimbulkan
lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic.
vi) Riwayat menderita penyakit yang secara progresif menimbulkan
ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS
b) Psikologis
i) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat tinggal
ii) Ketidakmampuan mengambil keputusan dan mempunyai kemampuan
komunikasi verbal yang kurang atau kurang dapat mengekspresikan
perasaan terkait dengan penyakitnya atau kondisi dirinya
iii) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat penyakit yang secara progresif
menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker
terminal atau AIDS
iv) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah dicapai)
v) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan kehidupannya yang
sekarang
vi) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga remaja yang terlalu otoriter
atau terlalu melindungi/menyayangi
vii) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten selama tahap
perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam mengembangkan
hobi dan aktivitas sehari-hari
viii) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai
saksi
ix) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas,
rasa takut akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya
x) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.
c) Sosial budaya
i) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan
ii) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai kecenderungan
yang sama untuk mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran yang
dijalankan dalam kehidupannya
iii) Pendidikan rendah
iv) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau
orang terdekat yang berlangsung lebih dari 6 bulan)
v) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai kontrol
(misalnya kontrol lokus internal)
vi) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan orang lain,
tidak mampu berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara aktif,
enggan bergaul dan kadang menghindar dari orang lain
vii) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat
viii) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun secara
pasif.
2) Faktor Presipitasi
Faktor ppresipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi
ketidakberdyaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal
dimana pasien kurang dapat menerima perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.
Kondisi eksternal biasanya keluarga dan masyarakat kurang mendukung atau
mengakui keberadaannya yang sekarang terkait dengan perubahan fisik dan
perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi kurang lebih 6 bulan terakhir, dan
waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau hampir bersamaan, dengan
jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai kualitas yang berat. Hal tersebut
dapat menstimulasi ketidakberdayaan bahkan memperberat kondisi
ketidakberdayaan yang dialami oleh klien. Faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan faktor presiptasi timbulnya ketidakberdayaan adalah sebagai berikut:
1) Biologis
i) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu, Program
pengobatan yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka panjang,
sulit dan kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
ii) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir
iii) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan
kejang atau trauma kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal,
temporal dan limbic
iv) Terdapat gangguan sistem endokrin
v) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau
vi) Mengalami gangguan tidur atau istirahat
vii) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik dan gender
viii) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan
2) Psikologis
i) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis
ii) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas sosial
yang berdampak pada keputusasaan.
iii) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan pekerjaan.
iv) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan
melakukan tanggungjawab peran.
v) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan orang lain.
3) Sosial budaya
i) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan atau
kehidupannya yang sekarang.
ii) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada dalam
lingkungan perawatan kesehatan).
iii) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakitnya maupun penyebab
yang lain
iv) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau
orang terdekat yang berlangsung dalam 6 bulan terakhir)
v) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
vi) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya dan
ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.
E. Akibat
Ketidakberdayaan disebabkan dari berbagai hal yang dapat menyebabkan :
1) Cenderung menyendiri dan menarik diri
2) Upaya yang rendah
3) Berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan
4) Berisiko mencederai diri sendiri
F. Pohon masalah

Harga Diri
Effect
Rendah

Ketidakberdayaan Core Problem

1. Disfungsi proses berduka


Causa
2. Kurangnya umpan balik
3. Umpan balik negatif yang
konsisten

G. Diagnose Keperawatan
Ketidakberdayaan
H. Tujuan : SP 1 Individu
I. Strategi Pelaksanaan
1) Fase orientasi
a) Salam terapeutik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat A, dengan ibu
siapa? Senang di panggil apa?
b) Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?” saya akan menemani ibu dari jam 08.00-
14.00, nanti akan ada perawat yang lain untuk menemani ibu”
c) Validasi
“bagaimana kalau kita bercakap cakap tentang apa yang ibu rasakan?”
d) Kontrak waktu
“berapa lama kita akan bercakap cakap? Bagaimana kalau 30 menit?tempatnya
mau disini atau di luar?”
2) Fase kerja
“Saya perhatikan tadi ibu terlihat sedih dan merenung, memangnya apa yang
dirasakan ibu saat ini? O begitu ya bu, jadi ibu merasa tidak mampu. Pada saat apa
biasanya ibu merasa tidak mampu dengan diri sendiri? Bagaimana dengan
lingkungan sekitar ibu, misalnya dari keluarga ibu, adakah hal-hal yang ibu sukai
dari mereka? Baiklah kalau begitu, sekarang bisakah ibu sebutkan kepada saya hal
apa saja yang ibu sukai dalam diri ibu? Coba ibu ingat-ingat kembali kemampuan
apa saja yang dapat ibu lakukan?”
“Sekarang bagaimana kalau saya membantu ibu untuk membuat daftar hal-hal
positif dan kemampuan apa saja yang ibu miliki. Baiklah, tadi ibu sudah
menuliskan dan menyebutkan hal positif dan kemampuan yang dimiliki. Iya bagus
sekali bu. Di sini ibu dapat melihat sendiri ibu memiliki kelebihan seperti orang
lain, tapi tergantung ibu juga, apakah ingin mengembangkan kemmapuan-
kemampuan tersebut atau tidak. Menurut ibu, kemampuan-kemampuan tersebut
perlu dikembangkan atau tidak?”
“Nah, setelah tadi kita menuliskan hal positif dan kemampuan yang ibu miliki,
menurut ibu kemampuan yang mana yang mampu untuk ibu lakukan saat ini? Wah
iya bagus sekali merapikan taman.
3) Fase terminasi
e) Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap cakap?”
f) Evaluasi obyektif
“apa saja tadi yang telah di bicarakan? Wah bagus sekali bu...”
g) Rencana tindak lanjut
“bagaimana kalau jadwal ini ibu coba lakukan, setuju bu? Sehari mau berapa
kali? 3 kali ya? Jam berapa? Baik ibu, kita tulis dijadwal harian ibu ya….”
h) Kontrak waktu yang akan datang
Nah, untuk hari ini sampai disini dulu. Besok kita akan bertemu lagi dan
membicarakan tentang kemampuan positif lain yang ibu miliki. Bagaimana,
apakah ibu bersedia? kapan kita akan bertemu lagi? Besok, mau dimana? Disini,
jam 08.00 besok kita akan membahas kegiatan selanjuntnya ya bu.., saya rasa
cukup untuk kegiatan hari ini, selamat pagi selamat beristirahat”.
10) Kehilangan
A. Pengertian
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau
keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Setiap
individu bereaksi terhadap kehilangan. Respon terakhir terhadap kehilangan sangat
dipengaruhi oleh respons individu terhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat, 2009).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung
akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek)
yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang dapat
kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik
pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan. Peristiwa
kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman
traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional
ataupun krisis perkembangan (Mubarak & Chayatin, 2007).
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan adalah
suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari
sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu
keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang dulunya ada menjadi tidak ada, baik
sebagian ataupun seluruhnya.
B. Jenis
1) Kehilangan objek eksternal (misalnya pencurian atau kehancuran akibat bencana
alam).
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah, dirawat di rumah
sakit, atau berpindah pekerjaan).
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya pekerjaan, kepergian
anggota keluarga dan teman dekat, perawat yang dipercaya, atau binatang
peliharaan).
4) Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis atau
fisik).
5) Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat, atau diri
sendiri).
C. Tanda dan gejala
Menurut Prabowo (2014), tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun
6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
D. Penyebab
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
a) Faktor Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
b) Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
c) Kesehatan mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
d) Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau berpisah dengan orang yang berarti pada masa kanak-kanak
akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa
dewasa.
e) Struktur kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan menyebabkan
rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
2) Faktor Presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan
kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti : Kehilangan sifat bio-
psiko-sosial antara lain meliputi:
a) Kehilangan kesehatan
b) Kehilangan fungsi seksualitas
c) Kehilangan peran dalam keluarga
d) Kehilangan posisi di masyarakat
e) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai
f) Kehilangan kewarganegaraan (Prabowo, 2014).
E. Akibat
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah
pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan
kompensasi yang positif (konstruktur). Apabila kondisi tersebut tidak tercapai, maka
akan berdampak pada terjadinya depresi. Pada saat individu depresi sering
menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau
bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri,
dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain: menolak makan, susah tidur, menolak
makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun (Prabowo, 2014).
F. Pohon masalah

Perubahan sensori Effect


persepsi : Halusinasi

Isolasi sosial:
menarik diri Core Problem

Koping individu
inefektif Causa

a. Kehilangan objek eksternal


b. Kehilangan lingkungan yang dikenal
c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang
berarti
d. Kehilangan suatu aspek diri
e. Kehilangan hidup
G. Diagnosa keperawatan
1) Perubahan sensori persepsi : halusinasi
2) Isolasi sosial : menarik diri
(Prabowo, 2014)
H. Tujuan SP 1 Individu
Membina hubungan saling percaya, mengenal keuntungan dan kerugian mengenal
orang lain.
I. Strategi Pelaksanaan
1) Fase orientasi
a) Salam terapeutik
“assalamualaikum/selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat A, dengan ibu
siapa? Senang di panggil apa?
b) Evaluasi
“bagaimana perasaan ibu hari ini?” saya akan menemani ibu dari jam 08.00-
14.00, nanti akan ada perawat yang lain untuk menemani ibu”
c) Validasi
“bagaimana kalau kita bercakap cakap tentang apa yang ibu rasakan?”
d) Kontrak waktu
“berapa lama kita akan bercakap cakap? Bagaimana kalau 30 menit?tempatnya
mau disini atau di luar?”
2) Fase kerja
(jika pasien baru)
“Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan mbak? Siapa
yang jarang berbincang-bincang dengan mbak? Apa yang membuat mbak jarang
bercakap-cakap dengannya?
(jika pasien sudah lama dirawat )
“Apa yang mbak rasakan selama dirawat disini? O.. mbak merasa sendirian? Siapa
saja yang mbak kenal diruangan ini” “Apa saja kegiatan yang biasa mbak lakukan
dengan teman yang mbak kenal?” “Apa yang menghambat mbak dalam berteman
atau bercakap-cakap dengan pasien yang lain?” “Menurut mbak apa saja
keuntungan kalau kita mempunyai teman? Wah benar, ada teman bercakap-cakap.
Apa lagi? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa). Nah kalau kerugiannya
tidak punya teman apa ya mbak? Ya, apa lagi? (sampai pasien menyebutkan
beberapa). Jadi banyak ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah mbak
bergaul dengan orang lain?” ”Bagus bagaimana kalau sekarang kita belajar
berkenalan dengan orang lain ?” “Begini lo mbak.. untuk berkenalan dengan orang
lain kita sebutkan dulu nama kita , asal kita dan hobi. Contoh : nama saya T asal
saya Gombong, hobi memancing.” “Selanjutnya mbak menyebutkan nama orang
yang diajak kenalan. Contohnya begini, nama bapak siapa? Senang dipanggil apa?
Asal dari mana atau hobinya apa ?” “Ayo mbak coba! Misalnya saya belum kenal
dengan ibu. Coba berkenalan dengan saya!” “Ya bagus sekali! Coba sekali lagi.
Bagus sekali” “Setelah mbak berkenalan dengan orang tersebut mbak bisa
melanjutkan percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan mbak bicarakan.
Misal tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya”.
3) Fase terminasi
a) Evaluasi subyektif
“bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap cakap?”
b) Evaluasi obyektif
“apa saja tadi yang telah di bicarakan? coba diulangi lagi... Wah bagus sekali
bu...”
c) Rencana tindak lanjut
“bagaimana kalau jadwal ini ibu coba lakukan, setuju bu? Sehari mau berapa
kali? 3 kali ya? Jam berapa? Baik ibu, kita tulis dijadwal harian ibu ya….”
d) Kontrak waktu yang akan datang
Nah, untuk hari ini sampai disini dulu. “Baik mbak, bagaimana kalau besok kita
bertemu lagi untuk berbincang-bincang dan mengajak mbak berkenalan dengan
teman saya perawat N”. Besok, mau dimana? Disini, jam 08.00 besok kita akan
membahas kegiatan selanjuntnya ya bu.., saya rasa cukup untuk kegiatan hari
ini, selamat pagi selamat beristirahat”.
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
Wijayaningsih, K. s. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta
Timur: TIM.
Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Iskandar, M. D. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Keliat. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : edisi 2. Jakarta: EGC.
Keliat, C. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta: EGC.
Sundeen, S. &. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.

Anda mungkin juga menyukai