Anda di halaman 1dari 84

32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk dapat memberikan penjelasan yang mendalam dalam menjawab

permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian ini tentu saja dibutuhkan kajian-

kajian teoritis yang mendalam khususnya mengenai teori-teori administrasi publik.

Pada dasarnya tujuan penggunaan teori-teori menurut Walter L. Wallace (1994) ada

dua yaitu : 1) Menjelaskan generalisasi empiris yang telah diketahui yakni

meringkaskan masa lalu suatu ilmu dan 2). Meramalkan generalisasi empiris yang

masih belum diketahui yakni mengarahkan masa depan suatu ilmu.

Penggunaan teori-teori selain sebagai bentuk rumusan pengetahuan lengkap

(understanding and knowledge) kita tentang sesuatu (thing) juga diarahkan sebagai

pedoman atau pegangan (guidance) didalam menjelaskan fenome-fenome yang

terjadi dalam masyarakat. Akhirnya dengan penggunaan teori-teori yang relevan

dengan permasalahan yang ada akan membantu peneliti mencapai tujuan yang

diinginkan.

Secara sistematis, kajian teori ini akan diawali dengan beberapa hasil

penelitian tentang kebijakan participatory governance dalam peningkatan kualitas

kesehatan yang terkait dengan tema penelitian ini sehingga dapat dipetakan dengan

jelas posisi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya baik perbedaan dan

persamaannya.Selanjutnya akan dibahas mengenai kajian perkembangan paradigma

administrasi publik kemudian dilanjutkan tentang pembahasan New Governance


33

untuk memperdalam perkembangan governance dalam tata kelola administrasi

publik. Serta akan dibahas mengenai konsep dan perkembangan pelayanan publik

untuk lebih mendalami posisi pelayanan publik dalam kerangka governance. Kajian

teori selanjutnya adalah mengenai partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik

dengan kerangka participatory governance. Kajian yang terakhir akan membahas

mengenai kualitas layanan khususnya kualitas layanan kesehatan yang

mengutamakan pelanggan.

A. Penelitian Terdahulu

1. Don Scott dan Peter Vitartas (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Don Scott dan Peter Vitartas (2008) yang

berjudul “The role of imvolvement and attachment in satisfaction with local

government services”.

Penelitian ini menghubungkan antara variable keterlibatan masyarakat,

keterikatan dan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik di pemerintahan

lokal di New South Wales City di Australia. Penelitian dilakukan dengan pendekatan

kuantitatif dengan mengambil sample sebanyak 3000 responden. Alat analisis yag

digunakan adalah Chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang rendah antara keterlibatan

masyarakat dengan kepuasan pelayanan publik (-0.10). Sedangkan hubungan antara

keterikatan masyarakat dalam organisasi dengan kepuasan kuat (0.25). Artinya

kepuasan pelayanan publik yang dirasakan masyarakat yang ikut dalam organisasi
34

lebih besar daripada mereka yang tidak terlibat dalam organisasi hal ini sangat

mendukung kinerja pemerintah lokal.

Pada akhirnya hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan

kepuasan pengguna layanan maka pemerintah lokal perlu untuk menyediakan sarana

keterlibatan dan organisasi yang mendukungnya.

Kesimpulan: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitative

dengan mengambil beberapa sampel untuk mengga,mbarkan keterlibatan masyarakat

dalam pelayanan public yang diberikan oleh pemerintah sehingga hasil penelitian

yang didapatkan belum mampu menggambarkan keseluruhan opini masyarakat

sebagai pengguna layanan public oleh karena itu akan lebih baik jika hasil kuesioner

yang telah disebarkan juga dikonfirmasi kepada beberapa responden tentang alasan

mengapa masyarakat tidak dilibatkan dalam organisasi dan harapan apa yang ingin

diperoleh masyarakat terkait tentang pelayanan public

2. Risako Ishil, Farhard Hossaim dan J. Rees (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Risako Ishil, Farhard Hossaim dan J. Rees

(2008) yang berjudul “Participation in Decentralized Local Governance : Two

Contrasting Cases from the Philippines”.

Penelitian ini dilakukan di Philipina dengan mengambil dua kasus di dua

pemerintahan kota yaitu di Kota Naga dan Kota Marikina dalam hal peningkatan

partisipasi masyarakat untuk mengurangi kemiskinan.


35

Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah : a) bagaimana

menggerakkan partisipasi masyarakat, dan b) dampak partisipasi terhadap

pengurangan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua kota ini

menggunakan model yang berbeda dalam memberikan fasilitas partisipasi masyarakat

dalam pengentasan kemiskinan. Kota Naga lebih banyak menggunakan model

“participatory governance” dan di Kota Marikina lebih menggunakan model

“governance with trust” namun dua model ini sama-sama efektif dalam pelaksanaan

kebijakannya.

Walaupun dua kota ini menggunakan model yang berbeda tetapi kedua kota

ini mempunyai tujuan yang sama dalam usahanya untuk mencapai good governance

yaitu menciptakan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dan lembaga sosial

lokal lainnya dalam hal budaya, politik dan pendidikan.

Kesimpulan: Penelitian ini menggunakan model yang berbeda dalam

memberikan fasilitas partisipasi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan. Kota

Naga lebih banyak menggunakan model “participatory governance” dan di Kota

Marikina lebih menggunakan model “governance with trust” walaupun dua model

ini sama-sama efektif dalam pelaksanaan kebijakannya akan tetapi tidak dijelaskan

alasan kenapa menggunakan model yang berbeda untuk kedua kota tersebut.

3. Himani Kaul, Shivangi Gupta, Vinnie Jauhari (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Himani Kaul, Shivangi Gupta, Vinnie Jauhari

(2008), An Insight into service processes in public and private hospitals in India.
36

Penelitian ini dilakukan di India yakni melalui studi penelitian pada Rumah Sakit

Swasta dan Negeri di India. Penelitian ini mengkaji tentang proses pelayanan yang

diberikan kepada pasien di Rumah Sakit.Tujuan Penelitian ini ingin mengetahui

sejauh mana tingkat kepuasan pasien di Rumah Sakit terhadap pelayanan Rumah

Sakit.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Pasien cenderung memilih Rumah Sakit

Swasta daripada Rumah Sakit Negeri. Kepuasan yang dirasakan oleh pasien terhadap

pelayanan Rumah Sakit Swasta lebih tinggi dibandingkan kepuasan pada pelayanan

Rumah Sakit Negeri. Kenyamanan dan kebersihan, sarana, ketersediaan infor-masi

pada rumah sakit mempengaruhi kepuasan pelanggan rumah sakit. Sebagian besar

pasien Rumah Sakit ditepi kota tidak dapat memuaskan pelanggannya, sehingga

memerlukan strategi pengelolaan Rumah Sakit yang lebih baik. Penelitian ini

menggunakan Metode Kuantitatif dengan unit analisis individu yakni pasien di

Rumah Sakit Swasta dan pasien di Rumah Sakit Negeri di India.

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa Pasien cenderung memilih

Rumah Sakit Swasta daripada Rumah Sakit Negeri. Kepuasan yang dirasakan oleh

pasien terhadap pelayanan Rumah Sakit Swasta lebih tinggi dibandingkan kepuasan

pada pelayanan Rumah Sakit Negeri. Kenyamanan dan kebersihan, sarana,

ketersediaan infor-masi pada rumah sakit mempengaruhi kepuasan pelanggan rumah

sakit.Akan tetapi penelitian ini tidak memberikan rekomendasi khususnya bagi rumah

sakit negeri mengenai strategi apa yang harus dilakukan agar dapat bersaing

memberikan kepuasan kepada pelanggan rumah sakit.


37

4. Md. Shahriar Akter, moh. Upal, Umme Umi, (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Md. Shahriar Akter, moh. Upal, Umme Umi,

(2008) yang berjudul “Service Quality Perception and Satisfaction a study over

sub-urban Public Hospital Bangladesh”

Penelitian ini dilakukan di Bangladesh yakni studi penelitian pada Rumah

Sakit di Bangladesh. Tujuan Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana tingkat

kepuasan pasien di Rumah Sakit terhadap pelayanan Rumah Sakit. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa persepsi kualitas jasa dan kepuasan terhadap pelayanan

Rumah Sakit Negeri dikota pinggiran Banglades yang dirasakan tidak memuaskan.

Penelitian ini menggunakan Metode Kuantitatif dengan unit analisis individu yakni

pasien di Rumah Sakit Negeri di Kota Banladesh, adapun peneliti melakukan

Analisis Gap (harapan dan persepsi)

Pengukuran kepuasan pasien dengan menggunakan 5 demensi

SERVQUALyang digunakan dalam penelitian ini adalah responsiveness, assurance,

communication, discipline, baksheesh tingkat harapan akan mempengaruhi persepsi

kepuasan.

Kesimpulan: Penelitian ini menggunkan Analisis Gap (harapan dan persepsi)

dalam mengukur tingkat kepuasan pelanggan rumah sakit sehingga persepsi masing-

masing individu dalam menilai layanan rumah sakit yang diterima akan berdeda satu

sama lain oleh karena itu sebaiknya penelitian berikutnya mampu melihat kualitas

layanan rumah sakit yang sesungguhnya melalui wawancara mendalam kepada setiap

pelanggan rumah sakit.


38

5. Gauvin and Ross (2012)

Penelitian yang dilakukan oleh Gauvin and Ross (2012) yang berjudul

“Citizen Participation in Health Impact Assessment : Overview of Issues”. Penelitian

ini dilakukan di Canada yakni studi penelitian pada layanan kesehatan di Canada.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat partisipasi warga

dalam evaluasi kinerja layanan kesehatan di Canada. Penelitian ini menggunakan

metode analisis Kualitative dengan fokus penelitian pada pola partisipasi warga,

proses keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan terkait evaluasi

kinerja pelayanan kesehatan di Canada.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gagasan partisipasi masyarakat

bertumpu pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip praktek HIA yaitu demokratisasi

proses pengambilan keputusan, penguatan pemberdayaan masyarakat, membuat

keputusan berdasarkan pengetahuan lokal, dan perumusan rekomendasi yang

berkelanjutan. Partisipasi warga, sementara yang lain fokus pada partisipasi sebagai

sarana untuk mengumpulkan informasi yang relevan tentang pengetahuan, nilai-nilai

atau pengalaman warga yang dapat menambah praktek HIA tersebut.

Penelitian ini merekomendasikan bahwa salah satu upaya mengembangkan

dan menggunakan kerangka kerja evaluasi proses diawali dengan memfasilitasi

evaluasi strategi partisipasi warga Negara dan merumuskan model partisipasi warga

dalam layanan kesehatan di Canada.

Kesimpulan: Penelitian ini ingin mengetahui pola partisipasi warga, proses

keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan terkait evaluasi kinerja


39

pelayanan kesehatan di Canada.Akan tetapi tidak dilakukan kajian secara mendalam

mengenai strategi partisipasi warga Negara dan merumuskan model partisipasi warga

dalam layanan kesehatan di Canada.

6. Showell (2011)

Penelitian ini dilakukan oleh Showell (2011) yang berjudul Citizens, patients

and policy: a challenge for Australia’s national electronic health record. Penelitian

ini dilakukan di Australia terhadap tanggapan masyarakat terkait kebijakan e-sistem

informasi layanan kesehatan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pemberlakuan kebijakan

kesehatan dan mengidentifikasi aktor professional yang terlibat dalam desain dan

implementasi e-sistem informasi kesehatan yang akan diterapkan pada layanan

kesehatan di Australia. Hasil penelitian ini meunjukkan bahwa kebijakan yang

mengatur PCEHR terkait catatan kesehatan secara elektronik merupakan hasil

rancangan dari politisi, birokrat dan teknokrat, dengan sedikit memperhatikan sikap

dan harapan pasien melalui organisasi dan kekuasaan yang dimilikinya akan tetapi

kebijakan ini tidak memperhatikan kebutuhan warga Negara yang bukan pasien

layanan kesehatan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kuantitative dengan fokus

penelitian pada implementasi kebijakan e-sistem informasi layanan kesehatan.

Rekomendasi penelitian ini menunjukkan bahwa pada studi penelitian berikutnya

sebaiknya selain memperhatikan kebutuhan warga Negara sebagai pasien dan warga
40

Negara umum yang bukan pasien karena warga Negara umum juga turut serta

membayar pajak dan sebaiknya juga mendapatkan layanan kesehatan yang sama.

Kesimpulan: Penelitian ini mengidentifikasi pemberlakuan kebijakan

kesehatan dan mengidentifikasi aktor professional yang terlibat dalam desain dan

implementasi e-sistem informasi kesehatan yang akan diterapkan pada layanan

kesehatan di Australia.Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa warga Negara

tidak dilibatkan dalam kebijakan kesehatan tersebut sehingga sangat terlihat dominasi

peran aktor professional padahal masyarakat memiliki hak untuk terlibat dan berperan

aktif dalam pelayanan kesehatan.

7. Bathgate (2011)

Penelitian Bathgate (2011) yang berjudul “Consumer participation in health

Understanding consumers as social participants” Penelitian ini dilakukan di

Melbourne yakni dengan melakukan studi terhadap pola partisipasi konsumen

layanan kesehatan di Melbourne. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

pola partisipasi konsumen layanan kesehatan dari berbagai kelas sosial serta

mengidentifikasi strategi untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan layanan

kesehatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan konsumen dalam

kebijakan kesehatan sangat penting untuk dilakukan karena kebijakan terkait strategi

memenuhi kebutuhan konsumen, mengalokasikan sumber daya dan mengembangkan

layanan kesehatan serta kebijakan terkait pengurangan biaya –biaya pelayanan


41

kesehatan. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa kurangnya evaluasi hasil

keterlibatan konsumen dalam kebijakan kesehatan. Rekomendasi penelitian ini

menyimpulkan bahwa studi penelitian berikutnya sebaiknya lebih menunjukkan

keberhasilan dan kegagalan proses keterlibatan masyarakat dalam perumusan

kebijakan layanan kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian

Kualitatif.

Kesimpulan: Penelitian ini seharusnya mengkaji lebih dalam tentang faktor-

faktor apa yang menghambat proses keterlibatan masyarakat dalam perumusan

kebijakan layanan kesehatan, sehingga dapat memberikan rekomendasi kepada

pemerintah bagaimana pola partisipasi masyarakat dan strategi untuk memenuhi

kebutuhan konsumen akan layanan kesehatan.

8. Catherine, et al. (2006)

Catherine, et al. (2006) melakukan penelitian dengan judul “ Improving

health care quality for racial/ethnic minorities: a systematic review of the best

evidence regarding provider and organization interventions”. Penelitian dilakukan di

The Institue of Medicine (IOM) Amerika.

Peneliti melakukan pencarian elektronik dan manual dari tahun 1980 sampai

Juni 2003 untuk mengidentifikasi percobaan terkontrol acak atau percobaan

terkontrol bersamaan. Penelitian difokuskan untuk menentukan karakteristik

penelitian, hasil, dan kualitas. Penilaian didasarkan pada kriteria sangat baik, baik,

adil atau miskin. Ukuran hasil utama adalah bukti efektivitas dan biaya strategi untuk
42

meningkatkan kualitas kesehatan atau mengurangi kesenjangan dalam perawatan

untuk minoritas ras / etnis.

Meskipun kesadaran ketidakadilan dalam kualitas kesehatan, sedikit yang

diketahui tentang strategi yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan bagi populasi

etnis minoritas. Penelitian melakukan tinjauan literatur sistematis dan analisis untuk

mensintesis temuan terkontrol. Studi mengevaluasi intervensi ditargetkan pada

penyedia layanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan atau mengurangi

kesenjangan dalam perawatan untuk minoritas ras / etnis.

Penelitian menemukan bahwa dua puluh tujuh studi memenuhi kriteria untuk

diperiksa. Hampir semua (n = 26) berlangsung di perawatan pengaturan utama, dan

sebagian besar (n = 19) difokuskan pada peningkatan penyediaan layanan

pencegahan. Hanya dua penelitian yang dirancang khusus untuk memenuhi

kebutuhan ras / etnis minoritas pasien. Semua 10 studi yang menggunakan sistem

pengingat penyedia untuk penyediaan layanan standar (kebanyakan preventif)

melaporkan hasil yang menguntungkan. Strategi berkualitas berikut menunjukkan

peningkatan hasil yang baik, tetapi digunakan hanya sebagian kecil yaitu melalui

dokter untuk memberikan layanan pencegahan langsung kepada pasien (2 dari 2 studi

yang menguntungkan), penyedia pendidikan saja (2 dari 2 studi yang

menguntungkan), penggunaan kuesioner terstruktur untuk menilai remaja perilaku

kesehatan (1 dari 1 studi yang menguntungkan), dan penggunaan terjemahan simultan

jarak jauh (1 dari 1 studi yang menguntungkan). Intervensi mempekerjakan lebih dari

satu strategi utama yang digunakan dalam 9 studi dengan hasil yang tidak konsisten.
43

Ada data terbatas pada biaya dari strategi ini, karena hanya satu studi melaporkan

data biaya.

Ada beberapa strategi yang menjanjikan beberapa hal yang dapat

meningkatkan kualitas perawatan kesehatan bagi kaum minoritas ras / etnis, tetapi

kurangnya studi khusus menargetkan daerah penyakit dan proses perawatan yang

disparitas sebelumnya telah didokumentasikan. Penelitian lebih lanjut dan dana yang

dibutuhkan untuk mengevaluasi strategi yang dirancang untuk mengurangi perbedaan

dalam kualitas kesehatan bagi minoritas ras / etnis.

Sedangkan beberapa strategi yang lain menjanjikan beberapa hal yang dapat

meningkatkan kualitas perawatan kesehatan bagi kaum minoritas ras / etnis, tetapi

kurangnya studi khusus menargetkan daerah penyakit dan proses perawatan yang

memiliki kesenjangan. Badan penelitian harus menjadi prioritas nasional karena akan

membantu dalam alokasi perawatan klinis pengambilan keputusan dan sumber daya

kesehatan.

Kesimpulan: Penelitian ini memberikan gambaran baru bahwa pelayanan

kesehatan di Amerika ternyata masih diwarnai oleh perbedaan dan kesenjangan ras,

hal ini akan sangat menarik dan sebaiknya penelitian berikutnya memberikan

rekomendasi bagaimana agar system layanan kesehatan diberlakukan secara adil dan

dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat


44

9. King (2012)

King (2012) melakukan penelitian dengan judul “Increasing College-Going

Rate, Parent Involvement, and Community Participation in Rural Communities”.

Penelitian in dilakukan pada SMA di kabupaten Appalachian pedesaan di Mississippi.

Penelitian ini menguji persepsi pemimpin hibah yang didukung proyek yang

bertujuan meningkatkan tingkat perguruan siswa SMA di kabupaten Appalachian

pedesaan di Mississippi untuk menentukan faktor-faktor yang paling mempengaruhi

tingkat perguruan terbuka, partisipasi orang tua dalam kegiatan sekolah, dan

partisipasi masyarakat. Analisis tanggapan para pemimpin untuk pertanyaan-

pertanyaan yang berkaitan dengan barang-barang ini menunjukkan bahwa perguruan

kunjungan dan lokakarya persiapan ACT yang dianggap memiliki dampak terbesar

pada peningkatan tingkat perguruan tinggi akan di sekolah. Tidak ada faktor yang

dianggap sebagai memiliki dampak paling pada peningkatan tingkat perguruan tinggi

akan di sekolah. Faktor yang mempengaruhi orang tua dan partisipasi masyarakat

termasuk peristiwa dan lokakarya untuk orang tua, khususnya yang melibatkan

anggota masyarakat sebagai mentor.Kata kunci: College kehadiran, siswa SMA,

lingkungan keluarga, aspirasi akademik, pendidikan pedesaan, partisipasi orang tua,

partisipasi masyarakat.

Para pemimpin dari masing-masing sebelas hibah didukung proyek yang

bertujuan meningkatkan tingkat perguruan siswa SMA di kabupaten Appalachian

pedesaan di Mississippi diminta untuk mengisi formulir laporan tahunan sebagai

bagian dari kondisi ofthe menerima hibah. Sepuluh pemimpin proyek memberikan
45

peneliti izin untuk menyertakan respon mereka untuk penelitian masa depan. Dua

pemimpin proyek tersebut yangmenjawab bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya

melaksanakan proyek selama tahun dan tidak memberikan tanggapan atas semua

pertanyaan.

Peneliti menganalisis tanggapan yang diberikan oleh pemimpin masing-

masing dan mencatat pola dalam data. Tanggapan diperiksa untuk menentukan

persepsi para pemimpin mengenai faktor-faktor yang mereka rasakan berdampak

pada tingkat perguruan tinggi akan di sekolah mereka, partisipasi orang tua dalam

kegiatan sekolah, dan partisipasi masyarakat.

Analisis data menunjukkan bahwa peserta dianggap faktor-faktor tertentu

sebagai lebih berpengaruh daripada yang lain dalam mempengaruhi tingkat perguruan

tinggi. Faktor-faktor yang terdaftar dengan jumlah terbesar dari responden sebagai

memiliki dampak paling besar pada perguruan tinggi-akan harga yang kunjungan

kampus , mengikuti workshop dan persiapan ACT. Dua responden masing-masing

terdaftar pada workshop / lokakarya menyediakan bantuan IMA berhubungan dengan

kehadiran perguruan tinggi untuk personil sekolah.

Lokakarya bantuan keuangan memiliki dampak dengan memberikan bantuan

kepada orang tua dan siswa, banyak dari mereka adalah asing dengan tidak hanya

selesainya dokumen, tetapi juga penggunaan komputer. Satu responden mencatat,

“The FAFSA malam yang sangat penting, karena FAFSA bisa sulit untuk menavigasi

dan memiliki mentor ada untuk membantu keluarga membantu memastikan bahwa

mereka akan menyelesaikan dokumen.” Responden lain mencatat bahwa karena


46

lokakarya mereka pada bantuan keuangan, “orang tua menyadari bantuan keuangan

untuk kuliah yang tersedia.”

Sementara responden yang terdaftar beberapa faktor yang mereka dianggap

memiliki dampak paling pada peningkatan tingkat perguruan tinggi akan di sekolah,

ada kesamaan dan tidak ada satu faktor yang diidentifikasi lebih dari sekali. Item

yang terdaftar termasuk. bantuan keuangan lokakarya. Satu responden mencatat,

“Banyak orang tidak ingin bekerja pada komputer dan tidak nyaman dengan format

acara tersebut. Karena keengganan untuk bekerja pada komputer, banyak peserta

ingin instruktur untuk bekerja langkah-demi-langkah pada versi kertas dari aplikasi.”

Responden menyatakan metode yang sukses untuk mendorong partisipasi

masyarakat. Salah satu responden menunjukkan bahwa email anggota masyarakat

dengan permintaan tidak bekerja, sementara membuat permintaan satu-satu adalah

lebih efektif. Seorang pemimpin mencatat manfaat untuk mencari dan menghubungi

relawan potensi masyarakat yang tidak mungkin telah terlibat dalam kegiatan

pelayanan masyarakat lainnya dan dengan demikian memiliki lebih banyak waktu

untuk berbakti kepada siswa. Responden juga menunjukkan pentingnya kunjungan

kampus, ACT lokakarya persiapan, lokakarya yang berkaitan dengan kehadiran

perguruan tinggi untuk personil sekolah, bantuan ACT sign-up dan transportasi untuk

ACT situs pengujian, dan kunjungan oleh perwakilan perguruan tinggi. Ini sesuai

dengan rekomendasi oleh Pusat Nasional untuk Evaluasi Pendidikan (2009)

Sehubungan dengan masalah perilaku mahasiswa di kampus perguruan

mengunjungi saran adalah bahwa dalam masa depan, hanya siswa yang memenuhi
47

syarat untuk menghadiri kuliah yang akan diizinkan untuk berpartisipasi dalam

kunjungan ke perguruan tinggi itu. Salah satu responden menunjukkan bahwa acara

sosial mentor memiliki dampak paling, dia melanjutkan untuk menyatakan bahwa

mentor kegiatan yang disukai di mana mereka terlibat langsung dalam membantu

para siswa bukan hanya bersosialisasi. Mungkin siswa dan mentor merasa tidak

nyaman atau bahwa mereka tidak menggunakan waktu dengan bijaksana ketika

bersosialisasi.

10. Jeff Harwood & Renato Schibeci (2008)

Jeff Harwood & Renato Schibeci (2008) melakukan penelitian dengan judul

“Community Participation in Australian Science and Technology Policy: The Case of

Nanotechnology”. Penelitian ini dilakukan di Australia dengan mengambil studi pada

kasus Nanoteknologi.

Nanoteknologi secara luas dianggap untuk menawarkan keunggulan

kompetitif yang sangat besar untuk negara-negara yang memiliki pengetahuan dan

kemampuan untuk memanfaatkan potensinya. Seperti di banyak negara lain,

kebijakan nanoteknologi Australia masih dalam tahap awal dan tertinggal penelitian

internasional di lapangan. Kami meneliti peran keterlibatan masyarakat dalam

pengembangan nanoteknologi di Australia, dan berpendapat bahwa jika Australia

adalah untuk menetapkan kebijakan nanoteknologi berkelanjutan, maka harus

memperluas perspektif dan lebih hati-hati mempertimbangkan aspek sosial, etika dan

lingkungan dari nanoteknologi.


48

Pada artikel ini, kita mempertimbangkan prospek partisipasi masyarakat asli

dalam kebijakan nanoteknologi dan menyimpulkan bahwa ini adalah tidak semua

positif. Hal ini sangat disayangkan karena, seperti yang kita jelaskan dalam bagian

pertama dari artikel, peningkatan jumlah peneliti mengakui kontribusi bahwa anggota

masyarakat dapat membuat ilmu pengetahuan dan kebijakan teknologi. Bagian kedua

dari artikel menjelaskan bahwa masyarakat secara efektif dikeluarkan dari

berpartisipasi dalam kebijakan nanoteknologi Australia. Akhirnya, kami

menyimpulkan bahwa selama pertumbuhan ekonomi diberi bobot lebih besar

daripada tujuan demokrasi, partisipasi masyarakat asli tidak mungkin terpisahkan

dengan kebijakan nanoteknologi Australia. The mengabaikan partisipasi masyarakat

dalam kebijakan nanoteknologi menunjukkan bahwa Australia muncul ditakdirkan

untuk mengulangi kesalahan yang ditandai munculnya kebijakan bioteknologi. Warga

negara biasa dapat memberikan kontribusi positif terhadap kebijakan publik jika

mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam apa yang mereka anggap

lingkungan reseptif dan simpatik. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa warga

biasa bisa memiliki apa PRC sering disebut kontekstual atau pengetahuan lokal.

Penelitian menunjukkan penemuan bahwa orang sering lebih sadar apa yang

terjadi di lingkungan lokal mereka daripada para ilmuwan yang dikirim untuk

mempelajari fenomena tertentu. Sementara para ilmuwan umumnya lebih mahir

mengukur aspek yang berbeda dari fenomena tersebut, penduduk setempat kadang-

kadang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang keanehan kondisi setempat. Sama

pentingnya, mereka, setidaknya, sama-sama dilengkapi dengan baik untuk


49

mempertimbangkan implikasi etis, pribadi dan regional keputusan kebijakan.

Partisipasi publik yang asli belum terpisahkan dengan kebijakan nanoteknologi

Australia. Proses inklusioner deliberatif (DIP) mendorong dialog dan

mengembangkan saling pengertian, jarang digunakan oleh para pembuat kebijakan.

Keprihatinan yang diangkat oleh individu dan kelompok dilaporkan dan sopan

diberhentikan sebagai sakit informasi dan promosi 'kesadaran masyarakat' berfokus

pada kebutuhan yang dirasakan untuk membujuk masyarakat tentang manfaat dari

nanoteknologi dan mengurangi defisit kognitif yang ada dalam masyarakat. Penelitian

survei digunakan untuk memastikan tingkat pemahaman masyarakat dan persetujuan,

dengan harapan bahwa sektor ini akan menghindari kesalahan yang terkait dengan

munculnya teknologi gen.

Sementara penelitian juga menemukan bahwa kantong dukungan untuk

partisipasi masyarakat yang sejati, pembuat kebijakan umumnya mendukung proses

konsultasi publik tanda yang mencegah masyarakat dari serius berpartisipasi dalam

kebijakan nanoteknologi Australia. Ilmu pengetahuan dan teknologi kebijakan tidak

muncul dalam kekosongan kebijakan, melainkan, mereka konsisten dengan mode

tertentu pemerintahan dan gaya pelengkap kebijakan yang dapat berbeda-beda di

sektor kebijakan.

Dukungan luas di kalangan politik Australia untuk negara liberal-minimal dan

'manajemen publik baru' mendasari bukan hanya tujuan ekonomi tertentu, tetapi juga

hak peran ahli tertentu dan pembuat kebijakan atas warga negara. Oleh karena itu,
50

perbedaan antara partisipasi masyarakat dan konsultasi publik bukanlah masalah

semantik, tetapi pemerintahan.

Prospek untuk nanoteknologi sukses kebijakan-yang menyajikan lintasan

pertumbuhan jangka panjang ke atas dengan manfaat tersebar luas ke seluruh

masyarakat-tidak mungkin di bawah rezim kebijakan saat ini. Kebijakan saat ini lebih

menekankan unsur-bisnis inovasi dengan mengorbankan dimensi sosial dan politik

yang mempengaruhi keberlanjutan jangka panjang dari teknologi inovatif. Ilmu

pengetahuan dan inovasi kebijakan yang pembuat kebijakan dalam hal Australia

sebagai penting untuk kepentingan nasional sudah bertemu oposisi yang cukup besar

dari para pemangku kepentingan dan anggota masyarakat. Misalnya, oposisi terhadap

bioteknologi telah memaksa badan pemerintah Australia, Bioteknologi Australia,

untuk memastikan tingkat dan sifat dukungan / oposisi dalam survei reguler dan

untuk merancang strategi yang mempromosikan penerimaan publik dari bioteknologi.

Skeptisisme publik juga telah diarahkan terhadap kebijakan pemerintah pada efek

rumah kaca ditingkatkan salinitas, dan teknologi informasi dan komunikasi. Benar

atau salah, banyak anggota masyarakat tidak mempercayai analisis yang diberikan

oleh pemerintah Persemakmuran dan departemen.

Penelitian ini juga merekomendasikan bahwa jika Australia adalah untuk

menetapkan kebijakan nanoteknologi berkelanjutan, maka harus memperluas

perspektif dan lebih hati-hati mempertimbangkan aspek sosial, etika dan lingkungan

dari nanoteknologi. Kami mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi bersama melalui

kemajuan teknologi, namun, hal ini tampaknya tidak mungkin asalkan pemerintah
51

Australia tetap dengan apa yang pada dasarnya pendekatan teknis dan sosial eksklusif

untuk menstimulasi inovasi dalam nanoteknologi. Sementara oposisi terhadap

nanoteknologi masih 'tipis di tanah', itu mulai muncul dan pemerintah

Persemakmuran dan Negara akan melakukannya dengan baik untuk

memperlakukannya dengan hormat. Untuk melakukan sebaliknya akan risiko

mengasingkan orang yang cukup untuk menempatkan pada risiko harapan mencapai

pembangunan jangka panjang ekonomi dan kemakmuran.

11. Alexandar, et al. (2012)

Alexandar et al. (2012) melakukan penelitian dengan judul “Measures for

Improving the Quality of Health Care”. Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran,

Universitas Niš,, Serbia.

Penelitian menemukan bahwa kualitas dan keamanan di sektor kesehatan

“bergandengan tangan”, yang berarti bahwa kedua komponen yang tak dapat

dipisahkan, peningkatan kualitas sering akan mempengaruhi keamanan yang lebih.

Kualitas pelayanan yang baik akan berhasil diterapkan di organisasi yang sudah

memiliki “budaya kualitas”, yaitu, di mana sistem nilai karyawan konsisten dengan

komitmen mereka untuk menyediakan layanan kesehatan berkualitas tinggi.

Organisasi harus memiliki komitmen strategis yang jelas untuk menyediakan layanan

yang berkualitas pada semua tingkatan organisasi.

Kualitas dan keselamatan bukan merupakan elemen tambahan dalam

memberikan pelayanan, namun membuat tanah yang Dengan demikian, kualitas dan
52

keamanan harus dibangun ke dalam organisasi. Pasien kepuasan, kualitas pelayanan

dan manajemen sumber daya yang efisien menjadi “suci trinitas” dari kesehatan

modern perawatan, ketat berorientasi pasien, yang bertujuan untuk mengurangi biaya

sambil meningkatkan kualitas sistem di seluruh dunia Healthcare mencoba untuk

mengembangkan strategi baru, pelaksanaan yang akan mengarah pada hasil akhir -

peningkatan kualitas kesehatan. Sistem kesehatan kami sebagian besar didasarkan

pada institusi perawatan kesehatan negara tanpa kompetisi serius dan nyata, yang

mengarah ke kurangnya minat dalam memantau indikator kualitas dan pendekatan

sepenuhnya diformalkan.

Peneliti memberikan rekomendasi bahwa perlu untuk memberikan

pertimbangan penuh terhadap pelaksanaan perubahan penting dalam sistem

perawatan kesehatan tanpa jatuh ke dalam perangkap formalisasi lengkap dari

pendekatan, yang mungkin untuk mencapai hanya dengan tindakan sistemik pada

setiap operator terpisah dari sistem perawatan kesehatan. Pendekatan ini tidak hanya

mencakup reformasi perawatan kesehatan, tetapi reformasi dalam sistem pendidikan

juga. Pengenalan model kontemporer dan metode untuk perbaikan kesehatan dalam

sistem kesehatan Serbia harus diikuti oleh satu prasyarat dasar, yaitu, pengenalan

kompetisi.

12. Wessels et al. (2008)

Wessels et al. (2008) melakukan penelitian dengan judul “Mediating Voices:

Community Participation in the Design of E-Enabled Community Care Services”.

Penelitian ini dilakukan di Inggris.


53

Di Inggris, teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk

mengaktifkan layanan multiagency komunitas bagi anak-anak. Kebijakan publik

pendukung bahwa praktisi serta pengguna harus dilibatkan dalam pembentukan

layanan termasuk sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman mereka.

Artikel ini membahas bagaimana sekelompok ilmuwan sosial dan komputer yang

dikembangkan metodologi formasi sosial untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat

awam dalam desain e-enabled layanan masyarakat peduli. Studi longitudinal

menyesuaikan metode kualitatif untuk memahami kesejahteraan masyarakat dan

mendorong partisipasi dalam desain sistem komunikasi. Dengan mengeksplorasi

perspektif praktisi kesejahteraan dan keluarga, pentingnya terletak dan percakapan

dimediasi dalam perawatan masyarakat diidentifikasi. Pendekatan Percakapan

fasilitatif penelitian kemudian membawa perspektif masyarakat tersebut, serta

perspektif ICT, ke dalam proses desain e-enabled layanan.

Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa ad hoc penggunaan teknologi

oleh keyworkers untuk berkomunikasi dengan profesional perawatan lain untuk

menghasilkan tindakan terkait kesejahteraan. Secara umum, penggunaan berbagai

teknologi khas di berbagai jenis pekerjaan ponsel. Namun, beberapa dari pekerjaan

ini tidak serumit dan kehidupan-kritis sebagai pekerjaan masyarakat multiagency dan

beberapa layanan telah mengembangkan perangkat genggam yang memiliki pranala

ke infrastruktur ICT untuk mendukung mobilework (misalnya, otoritas layanan

lokal). Karena layanan multiagency muncul dan tidak memiliki sistem komunikasi

yang terintegrasi, pekerja kunci dikembangkan sendiri ad hoc menggunakan


54

pengaturan telepon, sistem online, face-to-face percakapan, catatan tulisan tangan,

dll. Konteks ini komunikasi adalah dibangun ruang yang pekerja kunci diciptakan

untuk terletak face-to-face percakapan di tempat-tempat seperti rumah keluarga,

rumah sakit, sekolah dan kelompok bermain. Metode ad hoc mengkonfigurasi

komunikasi, bagaimanapun, adalah tidak memadai untuk mendukung kepedulian

masyarakat, karena kurangnya koordinasi dan keterpaduan dalam hal baik organisasi

dan teknologi bisa memperkenalkan ke dalam kesenjangan multiagency sistem yang

dapat menciptakan risiko dan kesalahan dalam pemberian perawatan.

Hasil utama dari penelitian ini adalah pengembangan metodologi formasi

sosial. Didorong oleh pemahaman kita tentang pentingnya baik percakapan terletak

dan dimediasi dalam kesejahteraan masyarakat, pendekatan kami menyelenggarakan

formasi sosial peneliti akademis, anggota masyarakat seperti orang tua dan anak-

anak, pekerja perawatan, pembuat kebijakan, dan desainer sistem. Dalam formasi

sosial ini, penelitian ini memiliki kepekaan etnografis yang menggunakan berbagai

metode kualitatif. Fleksibilitas dalam desain penelitian memungkinkan untuk posisi

(re-) dinamis peneliti untuk memahami suara dan tindakan sebagai percakapan dalam

membentuk ICT dan dengan demikian mengatasi beberapa suara dan perspektif.

Salah satu kontribusi dari proyek AMASE adalah pengembangan lebih lanjut

dari pendekatan partisipatif masyarakat dalam Kerangka Nasional Inggris untuk

multi-lembaga Program Lingkungan (Framework for Multi-agency Environment /

FAME). Program ini telah menghasilkan kerangka kerja umum dan demonstran

software untuk mendukung pengembangan multiagency dan operasi, termasuk jasa


55

multiagency anak-anak. Perkembangan ini berakar pada pengetahuan yang didapat di

proyek AMASE oleh praktisi, pembuat kebijakan, dan desainer bahwa sistem

komunikasi sekaligus manusia, sosial, kelembagaan, dan teknis. Dengan demikian

para peneliti menemukan bahwa AMASE masyarakat pengguna dapat secara

konseptual sesuai dengan pendekatan sosial untuk membentuk teknologi, dan

karenanya melalui komunitas pengguna pembentukan metodologi sosial bisa mulai

belajar untuk berpartisipasi dalam proses desain. Pemahaman ini menginformasikan

pendekatan kami untuk desain yang secara aktif berusaha untuk menanamkan

teknologi dalam praktek kerja kepedulian masyarakat melalui metodologi formasi

sosial.

Dengan pendekatan ini, FAME generik framework digunakan untuk

mengembangkan ICT sistem komunikasi untuk multiagency bekerja secara nasional,

termasuk layanan multiagency bahwa proyek AMASE telah bekerja dengan. Kita

melihat temuan penelitian kami sebagai memperdalam pemahaman proses desain

masyarakat dalam evolusi desain partisipatif bermakna sebagai bagian dari

masyarakat informasi dan dimediasi inklusif. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

memahami bagaimana membangun dan mempertahankan komunitas riset dan

kapasitas desain. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan tentang bagaimana cara

terbaik untuk memasukkan anak-anak dan keluarga dalam metodologi formasi sosial.
56

13. Smismans (2008)

Smismans (2008) melakukan penelitian dengan judul “New Modes of

Governance and the Participatory Myth”. Penelitian ini meneliti masalah

pemerintahan baru di Eropa.

Salah satu argumen yang paling umum tentang 'baru pemerintahan' adalah

bahwa hal itu ditandai dengan heterarchy bukan oleh hirarki, menciptakan mode

horisontal pemerintahan di antara para aktor - publik dan swasta - yang melibatkan

semua pihak terkait. Sering implisit dan kadang-kadang eksplisit, argumen ini terkait

dengan klaim normatif demokrasi yang memuji fitur partisipatif tertentu 'baru

pemerintahan' dibandingkan dengan 'pemerintahan lama'. Menggunakan sebagai studi

kasus kesehatan kerja Eropa dan kebijakan keselamatan, ditandai dengan pergeseran

dari 'tua' untuk 'baru pemerintahan' sejak tahun 1990, artikel ini memperingatkan kita

bahwa salah satu harus sangat enggan dalam membuat klaim normatif pada

pemerintahan baru. Analisis mode pemerintahan baru seperti comitology, jaringan

lembaga, dan dialog sosial di bidang ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang

lebih horizontal dan heterarchical tidak berarti pemerintahan otomatis lebih

partisipatif dalam hal melibatkan aktor-aktor masyarakat sipil dan semua pemangku

kepentingan.

Peneliti melakukan wawancara dengan 20 pelaku kebijakan aktif di bidang

tertentu kesehatan kerja Masyarakat dan kebijakan keselamatan. Wawancara semi-

terstruktur dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan posisi kelembagaan

tertentu yang diwawancarai. Masing-masing dari mereka mengambil antara 30 menit


57

dan 1,5 jam. Beberapa aktor kunci dihubungi lagi setelah wawancara untuk klarifikasi

dan memperbarui, khususnya di Komisi dan di antara perwakilan mitra sosial Eropa.

Dalam Komisi, empat pejabat diwawancarai dalam direktorat untuk kesehatan dan

keselamatan kerja (berbasis di Luksemburg) dan yang merupakan bagian dari

Pekerjaan DG dan Urusan Sosial.

Penelitian ini menemukan bahwa dialog sosial Eropa memiliki beberapa

potensi di bidang OH & S, tetapi terutama terbatas pada dokumen yang lembut,

penyesuaian sektoral dan non-teknis masalah OH & S. Dengan demikian akan salah

untuk percaya bahwa Eropa OH & kebijakan S akan menjadi contoh utama dari

pemerintahan heterarchical yang mengikat perjanjian kolektif Eropa di tingkat

crosssectoral dan sektoral akan menjadi aturan dan di mana OH & S standar di Uni

Eropa umumnya akan didefinisikan dalam multi-tingkat selfregulatory tawar sistem

mitra sosial. Selain itu, sebagai teknik konsultasi untuk memastikan partisipasi

stakeholder berdasarkan metode Community, dialog sosial di bidang ini telah

menciptakan lebih banyak masalah daripada telah menciptakan nilai tambah.

Modus baru pemerintahan akan lebih 'partisipatif' daripada 'mode tua' dengan

melibatkan lebih berhasil stakeholder. Kasus Kebijakan Komunitas OH & S telah

digunakan karena merupakan contoh yang jelas dari kebijakan regulasi Eropa yang

sejak tahun 1990 telah dimaksudkan untuk menempatkan kurang tekanan pada

Metode Komunitas hirarkis dan akan lebih mengandalkan pemerintahan horisontal

yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Namun, kebijakan instrumen dibuat

tepat untuk meninggalkan pembuatan kebijakan di tangan para pemangku


58

kepentingan, seperti Badan dan dialog sosial, tidak memberikan hasil yang

diharapkan, karena para pemangku kepentingan tidak terlibat cukup (Badan), struktur

konsultasi ada yang marah (social dialog konsultasi), atau alat memiliki batas yang

melekat di bidang kebijakan (negosiasi dimensi dialog sosial). OH & S kebijakan

telah demikian tidak berkembang menjadi contoh pemerintahan horisontal di mana

standar keselamatan akan ditentukan oleh para pemangku kepentingan dalam sistem

multi-level dan di mana pelaksanaannya akan dipastikan dengan pertukaran informasi

dan praktik terbaik di antara mereka. Selain itu, alih-alih memperkuat partisipasi

semua pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, pergeseran ke instrumen

kebijakan baru dan persuasif pembuatan kebijakan sering muncul terutama untuk

mengatasi administrasi nasional (seperti dalam kasus comitology dan Badan) dan

untuk memimpin ke tingkat tertentu 'technocratisation' dari OH & S pembuatan

kebijakan (di comitology tertentu dan SCOEL).

Penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat sipil mengungkapkan

kepuasan pelaku dengan keterlibatan mereka di bawah Metode Komunitas tetapi jauh

lebih penting tentang mode asumsi baru yang partisipatif pemerintahan. Ini tidak

berarti bahwa masyarakat harus mengesampingkan instrumen kebijakan lain, tetapi

memperingatkan kita bahwa salah satu harus sangat enggan berdebat bahwa modus

baru dari pemerintahan ditandai dengan sifat mereka sangat partisipatif. Pemerintahan

yang lebih horisontal dan heterarchical tidak berarti pemerintahan otomatis lebih

partisipatif berhasil melibatkan semua pemangku kepentingan.


59

14. Gaynor (2010)

Gaynor (2010) melakukan penelitian dengan judul “Between Citizenship and

Clientship: The Politics of Participatory Governance in Malawi”.

Penelitian ini menggambarkan politik bagaimana kontemporary Malawian di

tingkat lokal terdiri dari campuran kompleks dari yang lama dan baru. Lembaga

berkembang dan kegiatan anggota jaringan di tingkat kabupaten, artikel menunjukkan

bagaimana, dalam perjuangan berkelanjutan untuk sumber daya untuk kehidupan

sehari-hari, normatif wacana partisipasi dan representasi digabungkan dengan budaya

yang lebih tradisional dan praktek dalam membentuk, pencetakan dan, pada akhirnya,

diusulkan, menyegarkan badan politik kontemporer di Malawi, membawa politik

keluar dari negara dan ke dalam domain publik sesuai dengan tradisi komunitarian

kewarganegaraan.

Penelitian ini memfokuskan perhatian seperti pada 'politik life' sehari-hari di

Malawi sebagai dimediasi, selama 6 tahun antara tahun 2000 dan 2006, oleh jaringan

sipil utama yang terlibat awalnya di Malawi PRS proses, Malawi Economic Justice

Network (MEJN). Menggambar pada pengalaman dan perjalanan tersinggung

jaringan dan anggotanya selama periode ini, artikel menggambarkan bagaimana

politik kontemporer terdiri dari campuran kompleks dari yang lama dan yang baru, di

mana, dalam perjuangan berkelanjutan untuk sumber daya untuk kehidupan sehari-

hari, normatif wacana partisipasi dan representasi yang dikombinasikan dengan

budaya yang lebih tradisional dan praktek dalam membentuk, cetakan dan, diusulkan,

akhirnya menyegarkan lembaga politik kontemporer di Malawi.


60

Penelitian ini menemukan bahwa politik patronase, budaya dan praktek

klientelisme itu menimbulkan cenderung membangkitkan salah satu dari dua reaksi

dari komentator. Ada orang-orang yang, berfokus pada, lembaga formal impor

pemerintahan, menyalahkan bagi banyak (jika tidak semua) dari penyakit Afrika, dan

ada orang-orang yang menutup mata mereka dan memilih untuk mengabaikan

keberadaannya sama sekali. Namun kenyataannya adalah bahwa budaya ini,

meskipun tidak berubah atau tidak berubah, tetap bertahan. Impor wholescale dan

superimposisi model baru dan budaya, tidak peduli seberapa baik dimaksudkan, tidak

akan mudah atau cepat menyebabkan kematian mereka. Tantangannya Oleh karena

itu menjadi salah satu dari keterlibatan dengan politik kontemporer dari kehidupan

sehari-hari - baik di arena formal tetapi juga pada kurang terlihat mikro-situs

perjuangan dan kontestasi. Dalam upaya untuk memahami dinamika kehidupan

politik kontemporer, perhatian kita perlu beralih ke bagaimana berinteraksi lama dan

baru, dan apa varian baru muncul.

Dalam kasus Malawi, penelitian ini juga menemukan bahwa varian

terhibridisasikan tertentu melayang di suatu tempat antara clientship dan

kewarganegaraan. Dan, bertentangan dengan nuansa yang lebih negatif dari banyak

literatur ilmu politik, berita tidak semuanya buruk. Sementara broker dan klien

menghidupkan varian ini dapat dicirikan sebagai aktor tradisional yang beroperasi di

dalam dan memperkuat tradisional hirarkis, budaya asimetris, akuntabilitas yang

sedang berlangsung dan respon yang dibutuhkan oleh klien broker bisa dibilang

merupakan bentuk yang lebih terbuka, demokratis dan bertanggung jawab


61

pemerintahan daripada yang diberikan oleh lima atau tujuh-tahunan pemungutan

suara boxcontests. Pengalaman MEJN ini telah cukup menunjukkan varian

terhibridisasikan Malawi untuk memiliki cek sendiri inbuilt dan saldo, di mana

akuntabilitas dan legitimasi tetap merupakan tantangan yang berkelanjutan untuk para

pelaku di semua tingkatan. Selain itu unsur broker budaya politik Malawi dan

praktek, bila dikombinasikan dengan wacana baru tentang partisipasi dan representasi

telah, di kali, terbukti sangat efektif dalam membuka ruang politik dan affording

suara (meskipun masih dimediasi melalui broker saat ini) ke banyak sampai sekarang

tak bersuara yang mencerminkan isu-isu keprihatinan masyarakat luas daripada yang

berkaitan dengan posisi mereka masing-masing.

15. Kendal (2007)

Kendal (2007) melakukan penelitian dengan judul “Parental And Community

Participation In Improving Educational Quality In Africa: Current Practices And

Future Possibilities”

Di banyak negara di Afrika Selatan dan Timur, pembangunan internasional

pembiayaan dan keterlibatan dalam pendidikan, khususnya pendidikan dasar, telah

meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir. Pembangunan internasional

pendanaan untuk pendidikan, tidak pernah menjadi fokus utama dalam pembiayaan

pembangunan awal, menurun secara signifikan setelah krisis minyak tahun 1970-an

dan Kebijakan Penyesuaian Struktural dari tahun 1980-an. Tahun 1990 Konferensi

Dunia tentang Pendidikan untuk Semua digembar-gemborkan era baru dalam


62

pembiayaan pembangunan pendidikan internasional, pemrograman, dan berteori.

Pendidikan untuk Semua kerangka kerja (EFA) difokuskan terutama pada kebutuhan

untuk memperluas layanan pendidikan dasar formal untuk populasi sebelumnya tidak

terlayani. Ini ditata dua thread pusat untuk merasionalisasi ekspansi tersebut. Yang

pertama adalah ekonomistik: tingkat-of-return studi yang dilakukan di akhir 1980-an

oleh para ekonom, terutama dari Bank Dunia, menyatakan bahwa investasi negara

dalam pendidikan dasar dan khususnya pendidikan dasar untuk anak perempuan -

memiliki tingkat masyarakat yang sangat tinggi dari pengembalian Pendekatan

berbasis hak cenderung menganggap bahwa ketentuan tersebut akan menghasilkan

hasil politik dan sosial tertentu yang berkaitan dengan, misalnya, pemberdayaan,

kesetaraan, dan demokratisasi politik.

Penelitian in menemukan bahwa peningkatan partisipasi dalam rangka

meningkatkan kualitas mungkin bahwa banyak pekerjaan yang saat ini dilakukan

untuk meningkatkan kualitas pendidikan hanya dangkal berpotongan dengan

communities, parents, childrens, dan Teachers ' harian pendidikan pengalaman dan

keinginan. Ketika hal itu terjadi berpotongan, seperti dalam kasus proyek SMC-EQ,

ukuran dan ruang lingkup umumnya terbatas.

Program-program tersebut menunjukkan, bagaimanapun, bahwa kualitas

pendidikan, seperti yang didefinisikan oleh aktor lokal dan non-lokal yang beragam,

dapat diperkuat oleh pendekatan partisipatif yang baik. Partisipasi tersebut juga dapat

menjadi pusat untuk menciptakan masyarakat jangka panjang, orang tua, dan

dukungan siswa untuk dan keterlibatan di sekolah. Ini bukanlah hal kecil di benua di
63

mana sejumlah negara telah mengalami angka partisipasi menurun selama 15 tahun

terakhir. Program seperti SMC-EQ juga menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif

yang baik mulai dari awal. Mereka membuat tempat di mana orang tua dan

masyarakat, pembuat kebijakan dan guru, perencana keuangan dan kelompok aktivis

bisa berbicara tentang gajah di ruang di saat upaya mutu pendidikan: siapa yang akan

memutuskan apa sekolah dasar yang seharusnya untuk mencapai?

Melalui kemitraan dengan aktor negara dan internasional untuk mengatur

agenda untuk apa pendidikan dasar diharapkan capai dan bagaimana prestasi tersebut

harus diukur, secara signifikan bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Partisipasi

tersebut akan membutuhkan model-model baru dari perencanaan pengembangan

pendidikan dan praktek dan kemungkinan akan menghasilkan model pendidikan dan

kualitas pendidikan yang, setidaknya sebagian, tidak terlihat seperti mereka yang

berkuasa mengharapkan. Dan itu, pada akhirnya, adalah apa yang seharusnya berarti

partisipasi dan persis bagaimana kualitas pendidikan harus terlihat.

16. Speer (2012)

Speer (2012) melakukan penelitian dengan judul “Participatory Governance

Reform: A Good Strategy for Increasing Government Responsiveness and Improving

Public Services?”

Mekanisme tata pemerintahan yang partisipatif telah dipromosikan secara luas

di negara-negara berkembang. Mereka mengaku membawa beberapa manfaat

kebijakan publik, termasuk akuntabilitas meningkat, respon pemerintah yang lebih


64

tinggi, dan pelayanan publik yang lebih baik. Kajian literatur menunjukkan bahwa

bukti klaim ini adalah positif, namun terbatas. Selain itu, ini menunjukkan bahwa

memungkinkan dan memotivasi warga dan pejabat publik untuk membuat pengaturan

tata pemerintahan yang partisipatif bekerja sebagai mekanisme akuntabilitas yang

efektif adalah perusahaan yang menantang di kebanyakan negara berkembang. Oleh

karena itu, lebih komparatif lintas-kasus penelitian berdasarkan sampel menengah

dan besar diperlukan untuk menilai apakah pengaturan tata kelola partisipatif dapat

meningkatkan respon pemerintah dan kualitas pelayanan.

Penelitian ini menemukan dampak positif dari pemerintahan partisipatif pada

respon pemerintah, kualitas layanan, dan, pada akhirnya, kesejahteraan. Namun,

sejumlah tantangan metodologis mempersulit mengukur hubungan sebab akibat

antara tata pemerintahan yang partisipatif dan ini hasil. Tantangan-tantangan ini

meningkat seiring rantai kausal, yang tercermin dalam literatur dengan beberapa bukti

yang tersedia pada respon pemerintah, kurang pada kualitas layanan, dan hampir

tidak ada pada kesejahteraan. Sebagian besar studi yang ada menemukan bahwa tata

pemerintahan yang partisipatif membawa manfaat kebijakan publik, tetapi ada juga

beberapa studi yang tidak menemukan efek seperti itu.

Kondisi tata pemerintahan partisipatif yang efektif terjadi dalam semua empat

literatur. Sebuah konsensus yang luas telah tercapai di seluruh literatur tentang

pentingnya masyarakat sipil yang mampu dan termotivasi dan aktor pemerintah untuk

melaksanakan tata pemerintahan yang partisipatif secara efektif. Namun, empat helai

literatur menekankan sejumlah faktor yang berbeda, seperti modal sosial,


65

ketidaksetaraan, dan insentif institusional, untuk menjelaskan perbedaan dalam

kondisi ini.

Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa manfaat kebijakan publik

pemerintahan partisipatif pada akuntabilitas pemerintah dan responsif tetap harus

dibuktikan dan menerapkan tata pemerintahan yang partisipatif secara efektif

kemungkinan akan menantang sebuah perusahaan di banyak tempat. Apakah perlu

melakukan usaha ini perlu dinilai oleh pengambil keputusan politik untuk konteks

masing-masing. Tentu saja, penilaian ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan

semua potensi manfaat tata pemerintahan yang partisipatif, termasuk warga

diberdayakan dan diperkuat sistem demokrasi yang belum tercakup dalam artikel ini.

17. Coelho et al. (2011)

Coelho et al. (2011) melakukan penelitian dengan judul “Participatory

Governance And Development: In Search Of A Causal Nexus”.

Penelitian ini membahas nexuses kausal antara tata pemerintahan yang

partisipatif dan pembangunan melalui debat teoritis dan penelitian empiris yang

menyelidiki hubungan ini. Ini dimulai dengan membahas literatur tentang partisipasi

dan kemudian pergi untuk menangani dengan kontribusi yang paling relevan dengan

perdebatan internasional tentang pembangunan. Selanjutnya, berangkat dari dua

penjelasan utama yang disajikan dalam studi tentang demokrasi partisipatif - desain

kelembagaan dan mobilisasi sosial - menganalisis bukti empiris yang mendukung

hubungan antara partisipasi dan pembangunan. Akhirnya, dalam terang diskusi ini,
66

beberapa kesimpulan disajikan mengenai perhubungan kausal mampu mendukung

kepercayaan dalam hubungan berpotensi saleh antara partisipasi dan pembangunan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pencapaian koordinasi dan efektivitas

kebijakan melalui partisipasi di satu sisi melibatkan fine tuning dari karakteristik

desain kelembagaan ruang partisipatif dan, di sisi lain, lintasan agen dan organisasi

dan, khususnya, implikasinya terhadap gaya aktivisme mereka mengadopsi. Tata

pemerintahan yang partisipatif dapat membuat perbedaan sementara memperkuat

betapa pentingnya adalah bahwa kita mempertimbangkan peran dari kedua semacam

tindakan kolektif untuk mempertahankannya serta semacam desain insentif untuk

mencegah kelompok-kelompok terorganisir dari mengambil alih. Faktor-faktor ini

membuat dialog antara unsur-unsur itu, sebagai literatur dibahas sebelumnya dan

sebagian besar studi kasus yang dijelaskan menunjukkan, telah terlalu sering

dianalisis secara terpisah.

Perkembangan dan partisipasi sosial dan bertanya, apakah dan bagaimana

partisipasi mempengaruhi pembangunan. Para pengandaian teoritis dan empiris basis

dibahas memberikan kontribusi penting mengenai fitur desain dan kondisi mobilisasi

sosial yang diperlukan untuk membawa keuntungan pribadi dan publik lebih dekat.

Pandangan institusionalis partisipasi, inklusi serta koordinasi harus dijamin oleh

desain kelembagaan yang mampu mengurangi biaya partisipasi dan dengan

menghubungkan kontribusi dari bidang partisipatif dengan proses pengambilan

keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Untuk peneliti mempelajari partisipasi


67

dalam hal mobilisasi sosial, inklusi ini hanya akan terjadi sebagai akibat dari proses

yang memberdayakan pelaku kurang disukai.

Penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman partisipatif positif dapat

memberikan kontribusi ke arah yang lebih perencanaan wilayah inklusif dan

kebijakan yang lebih sosial yang efektif. Sejalan dengan perdebatan mengenai

pembangunan yang menyoroti pentingnya koordinasi dan kemampuan dan analisis

yang menunjukkan bahwa kebijakan distributif mendukung masyarakat miskin

mungkin memiliki eksternalitas positif pada ukuran pasar internal, produktivitas

tenaga kerja, dan akumulasi modal manusia.

Mengevaluasi tingkat mobilisasi masyarakat, memilih antara model yang

berbeda dari aksi partisipatif, mengakui fitur desain yang tepat, memahami insentif

yang tersedia bagi pejabat publik untuk melaksanakannya, dan menghindari

penangkapan yang langkah-langkah yang perlu diambil oleh mereka yang tertarik

dalam mempromosikan hubungan positif antara partisipasi dan pembangunan.

Diharapkan bahwa diskusi yang disediakan dalam makalah ini dapat memotivasi

lanjut penelitian empiris yang ketat, karena bukti akan menjadi dasar untuk

memajukan pemahaman kita tentang implikasi dari fitur yang berbeda dari partisipasi

dan pengembangan dan konsekuensi yang dihasilkan dalam membina hubungan ini.

Hasil penelitian terdahulu yang disajikan pada uraian di atas secara ringkas

dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.


68

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


1 Don Scott dan Peter The role of  Hubungan yang rendah antara
Vitartas (2008) imvolvement and keterlibatan masyarakat dengan kepuasan
attachment in pelayanan publik (-0.10). Sedangkan
satisfaction with hubungan antara keterikatan masyarakat
local government dalam organisasi dengan kepuasan kuat
services. (0.25). Artinya kepuasan pelayanan
publik yang dirasakan masyarakat yang
ikut dalam organisasi lebih besar
daripada mereka yang tidak terlibat
dalam organisasi hal ini sangat
mendukung kinerja pemerintah lokal.
 Untuk meningkatkan kepuasan pengguna
layanan maka pemerintah lokal perlu
untuk menyediakan sarana keterlibatan
dan organisasi yang mendukungnya.

2. Risako Ishil, Participation in  Dua kota yaitu Kota Naga dan Kota
Farhard Hossaim Decentralized Local Marikina menggunakan model yang
dan J. Rees (2008) Governance : Two berbeda dalam memberikan fasilitas
Contrasting Cases partisipasi masyarakat dalam
from the Philippines pengentasan kemiskinan. Kota Naga
lebih banyak menggunakan model
“participatory governance” dan di Kota
Marikina lebih menggunakan model
“governance with trust” namun dua
model ini sama-sama efektif dalam
pelaksanaan kebijakannya.
 Walaupun dua kota ini menggunakan
model yang berbeda tetapi kedua kota ini
mempunyai tujuan yang sama dalam
usahanya untuk mencapai good
governance yaitu menciptakan sinergitas
antara pemerintah dan masyarakat dan
lembaga sosial lokal lainnya dalam hal
budaya, politik dan pendidikan.
3 Himani Kaul, An Insight into  Pasien cenderung memilih Rumah Sakit
Shivangi Gupta, service processes in Swasta daripada Rumah Sakit Negeri.
Vinnie Jauhari public and private Kepuasan yang dirasakan oleh pasien
(2008) hospitals in India terhadap pelayanan Rumah Sakit Swasta
lebih tinggi dibandingkan kepuasan pada
pelayanan Rumah Sakit Negeri.
69

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


Kenyamanan dan kebersihan, sarana,
ketersediaan informasi pada rumah sakit
mempengaruhi kepuasan pelanggan
rumah sakit. Sebagian besar pasien
Rumah Sakit ditepi kota tidak dapat
memuaskan pelanggan, sehingga
memerlukan strategi pengelolaan
RSyang lebih baik.
4 Md. Shahriar Akter, Service Quality  Persepsi kualitas jasa dan kepuasan
moh. Upal, Umme Perception and terhadap pelayanan Rumah Sakit Negeri
Umi, (2008) Satisfaction a study dikota pinggiran Banglades yang
over sub-urban dirasakan tidak memuaskan
Public Hospital
Bangladesh
5 Gauvin and Ross Citizen  Gagasan partisipasi masyarakat
(2012) Participation in bertumpu pada nilai-nilai dasar dan
Health Impact prinsip-prinsip praktek HIA yaitu
Assessment : demokratisasi proses pengambilan
Overview of Issues keputusan, penguatan pemberdayaan
masyarakat, membuat keputusan
berdasarkan pengetahuan lokal, dan
perumusan rekomendasi yang
berkelanjutan. Partisipasi warga,
sementara yang lain fokus pada
partisipasi sebagai sarana untuk
mengumpulkan informasi yang relevan
tentang pengetahuan, nilai-nilai atau
pengalaman warga yang dapat
menambah praktek HIA tersebut.
 Salah satu upaya mengembangkan dan
menggunakan kerangka kerja evaluasi
proses diawali dengan memfasilitasi
evaluasi strategi partisipasi warga
Negara dan merumuskan model
partisipasi warga dalam layanan
kesehatan di Canada.
6 Showell (2011) Citizens, patients  Kebijakan yang mengatur PCEHR terkait
and policy: a catatan kesehatan secara elektronik
challenge for merupakan hasil rancangan dari politisi,
Australia’s national birokrat dan teknokrat, dengan sedikit
electronic health memperhatikan sikap dan harapan pasien
record melalui organisasi dan kekuasaan yang
dimilikinya akan tetapi kebijakan ini
70

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


tidak memperhatikan kebutuhan warga
Negara yang bukan pasien layanan
kesehatan.
7 Bathgate (2011) Consumer  Keterlibatan konsumen dalam kebijakan
participation in kesehatan sangat penting untuk
health dilakukan karena kebijakan terkait
Understanding strategi memenuhi kebutuhan konsumen,
consumers as social mengalokasikan sumber daya dan
participants mengembangkan layanan kesehatan serta
kebijakan terkait pengurangan biaya –
biaya pelayanan kesehatan. Temuan
penelitian ini juga menunjukkan bahwa
kurangnya evaluasi hasil keterlibatan
konsumen dalam kebijakan kesehatan.
8 Catherine, et al. Improving health  Dua puluh tujuh studi memenuhi
(2006) care quality for kriteria untuk diperiksa. Hampir
racial/ethnic semua (n = 26) berlangsung di
minorities: a perawatan pengaturan utama, dan
systematic review sebagian besar (n = 19) difokuskan
of the best pada peningkatan penyediaan layanan
evidence pencegahan. Hanya dua penelitian
regarding yang dirancang khusus untuk
provider and memenuhi kebutuhan ras / etnis
organization minoritas pasien. Semua 10 studi
interventions yang menggunakan sistem pengingat
penyedia untuk penyediaan layanan
standar (kebanyakan preventif)
melaporkan hasil yang
menguntungkan. Strategi berkualitas
berikut menunjukkan peningkatan
hasil yang baik.
9. King (2012) Increasing  Peserta dianggap faktor-faktor
College-Going tertentu sebagai lebih berpengaruh
Rate, Parent daripada yang lain dalam
Involvement, and mempengaruhi tingkat perguruan-
Community tinggi. Faktor-faktor yang terdaftar
Participation in dengan jumlah terbesar dari
Rural responden sebagai memiliki dampak
Communities paling besar pada perguruan tinggi-
akan harga yang kunjungan kampus ,
mengikuti workshop dan persiapan
71

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


ACT. Dua responden masing-masing
terdaftar pada workshop / lokakarya
menyediakan bantuan IMA
berhubungan dengan kehadiran
perguruan tinggi untuk personil
sekolah.
10 Jeff Harwood & Community  Kantong dukungan untuk partisipasi
Renato Schibeci Participation in masyarakat yang sejati, pembuat
(2008) Australian Science kebijakan umumnya mendukung
and Technology proses konsultasi publik tanda yang
Policy: The Case mencegah masyarakat dari serius
of berpartisipasi dalam kebijakan
Nanotechnology nanoteknologi Australia. Ilmu
pengetahuan dan teknologi kebijakan
tidak muncul dalam kekosongan
kebijakan, melainkan, mereka
konsisten dengan mode tertentu
pemerintahan dan gaya pelengkap
kebijakan yang dapat berbeda-beda di
sektor kebijakan.
11 Aleksandar, et al. Measures for  Kualitas dan keselamatan bukan
(2012) Improving the merupakan elemen tambahan dalam
Quality of Health memberikan pelayanan, namun
Care membuat tanah yang Dengan
demikian, kualitas dan keamanan
harus dibangun ke dalam organisasi.
Pasien kepuasan, kualitas pelayanan
dan manajemen sumber daya yang
efisien menjadi “suci trinitas” dari
kesehatan modern perawatan, ketat
berorientasi pasien, yang bertujuan
untuk mengurangi biaya sambil
meningkatkan kualitas sistem di
seluruh dunia Healthcare mencoba
untuk mengembangkan strategi baru,
pelaksanaan yang akan mengarah
pada hasil akhir - peningkatan
kualitas kesehatan.
12 Wessels et al. Mediating Voices:  AMASE masyarakat pengguna dapat
(2008) Community secara konseptual sesuai dengan
72

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


Participation in pendekatan sosial untuk membentuk
the Design of E- teknologi, dan karenanya melalui
Enabled komunitas pengguna pembentukan
Community Care metodologi sosial bisa mulai belajar
Services untuk berpartisipasi dalam proses
desain. Pemahaman ini
menginformasikan pendekatan kami
untuk desain yang secara aktif
berusaha untuk menanamkan
teknologi dalam praktek kerja
kepedulian masyarakat melalui
metodologi formasi sosial.
13 Smismans (2008) New Modes of  Modus baru pemerintahan akan lebih
Governance and 'partisipatif' daripada 'mode tua'
the Participatory dengan melibatkan lebih berhasil
Myth stakeholder. Kasus Kebijakan
Komunitas OH & S telah digunakan
karena merupakan contoh yang jelas
dari kebijakan regulasi Eropa yang
sejak tahun 1990 telah dimaksudkan
untuk menempatkan kurang tekanan
pada Metode Komunitas hirarkis dan
akan lebih mengandalkan
pemerintahan horisontal yang
melibatkan semua pemangku
kepentingan.
14 Gaynor (2010) Between  Politik Patronase, Budaya Dan
Citizenship and Praktek Klientelisme Itu
Clientship: The Menimbulkan Cenderung
Politics of Membangkitkan Salah Satu Dari Dua
Participatory Reaksi Dari Komentator. Ada Orang-
Governance in Orang Yang, Berfokus Pada,
Malawi Lembaga Formal Impor
Pemerintahan, Menyalahkan Bagi
Banyak (Jika Tidak Semua) Dari
Penyakit Afrika, Dan Ada Orang-
Orang Yang Menutup Mata Mereka
Dan Memilih Untuk Mengabaikan
Keberadaannya Sama Sekali.
73

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


15 Kendal (2007) Parental And  Peningkatan partisipasi dalam rangka
Community meningkatkan kualitas mungkin
Participation In bahwa banyak pekerjaan yang saat ini
Improving dilakukan untuk meningkatkan
Educational kualitas pendidikan hanya dangkal
Quality In Africa: berpotongan dengan communities,
Current Practices parents, childrens, dan Teachers '
And Future harian pendidikan pengalaman dan
Possibilities keinginan. Ketika hal itu terjadi
berpotongan, seperti dalam kasus
proyek SMC-EQ, ukuran dan ruang
lingkup umumnya terbatas.
16 Speer (2012) Participatory  Dampak positif dari pemerintahan
Governance partisipatif pada respon pemerintah,
Reform: A Good kualitas layanan, dan, pada akhirnya,
Strategy for kesejahteraan. Namun, sejumlah
Increasing tantangan metodologis mempersulit
Government mengukur hubungan sebab akibat
Responsiveness antara tata pemerintahan yang
and Improving partisipatif dan ini hasil. Tantangan-
Public Services? tantangan ini meningkat seiring rantai
kausal, yang tercermin dalam literatur
dengan beberapa bukti yang tersedia
pada respon pemerintah, kurang pada
kualitas layanan, dan hampir tidak
ada pada kesejahteraan. Sebagian
besar studi yang ada menemukan
bahwa tata pemerintahan yang
partisipatif membawa manfaat
kebijakan publik, tetapi ada juga
beberapa studi yang tidak
menemukan efek seperti itu.
17 Coelho et al. Participatory  Pencapaian koordinasi dan efektivitas
(2011) Governance And kebijakan melalui partisipasi di satu
Development: In sisi melibatkan fine tuning dari
Search Of A karakteristik desain kelembagaan
Causal Nexus ruang partisipatif dan, di sisi lain,
lintasan agen dan organisasi dan,
khususnya, implikasinya terhadap
gaya aktivisme mereka mengadopsi.
74

No Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian


Tata pemerintahan yang partisipatif
dapat membuat perbedaan sementara
memperkuat betapa pentingnya
adalah bahwa kita
mempertimbangkan peran dari kedua
semacam tindakan kolektif untuk
mempertahankannya serta semacam
desain insentif untuk mencegah
kelompok-kelompok terorganisir dari
mengambil alih.

B. Pengertian Partisipasi

Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat

dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation”

yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan (John M. Echols & Hasan Shadily,

2000: 419).

Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam

proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan

dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi,

serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil -hasil pembangunan (I Nyoman

Sumaryadi, 2010: 46).

Pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh Fasli Djalal dan Dedi

Supriadi, (2001: 201-202) dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat

keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk

penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi
75

dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji

pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

H.A.R.Tilaar, (2009: 287) mengungkapkan partisipasi adalah sebagai wujud

dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi

dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan

mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan

masyarakatnya.

Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38) mengklasifikasikan

partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu :

a. Partisipasi Langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam

proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan

pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap

keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.

b. Partisipasi tidak langsung

Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya.

Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 61-63)

membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu pertama, partisipasi dalam

pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi

dalam pengambilan pemanfaatan. Dan Keempat, partisipasi dalam evaluasi.

Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama

berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan


76

atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Wujud partisipasi dalam

pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut menyumbangkan gagasan atau

pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap

program yang ditawarkan.

Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya

dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam

pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya

baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan.

Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam

pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang

berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari

output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase keberhasilan

program.

Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan

dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam

evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah

direncanakan sebelumnya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa

partisipasi adalah keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan

dan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.

C. Pelayanan Publik
77

Pelayanan merupakan terjemahan dari kata “servis” yang sering juga

diterjemahkan menjadi jasa. Menurut Kotler (1995), jasa adalah setiap tindakan atau

kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya

tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Tekanan pengertian

publik lebih diarahkan kepada pengguna jasa pelayanan yang dilakukan oleh seorang

pelayan publik dalam hal ini pemerintah sebagai organisasi publik.

Pelayanan Umum dapat didefinisikan, segala bentuk pelayanan yang

dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Pusat, di daerah, dan lingkungan Badan Usaha

Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik

dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Keputusan MENPAN Nomer

63/2003).

Mengikuti definisi tersebut diatas, pelayanan publik atau pelayanan umum

dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang

publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan

dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan

Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan .

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai bentuk jasa pelayanan, baik dalam

bentuk barang publik maupun jasa publik. Menurut Howlett dan Ramesh (1995:33)

membedakan adanya empat macam barang/jasa, yaitu :


78

a) Barang/jasa Privat, adalah barang/jasa yang mempunyai derajat eksklusivitas dan

derajat keterhabisannya sangat tinggi. Seperti makanan, potong rambut yang

dapat dibagi-bagi untuk beberapa pengguna tetapi tidak tersedia lagi untuk orang

lain apabila telah dikonsumsi seseorang.

b) Barang/Jasa Publik adalah barang/jasa yang mempunyai derajat eksklusivitas

dan derajat keterhabisannya rendah, seperti penerangan jalan atau keamanan,

yang tidak dapat dibatasi penggunaannya dan tidak habis meskipun telah

dinikmati oleh banyak pengguna.

c) Peralatan atau barang/jasa semi publik, adalah barang/jasa yang mempunyai

derajat eksklusivitas tinggi, tetapi derajat keterhabisannya rendah. Contoh

jembatan atau jalan raya yang tetap masih bisa dipakai oleh pengguna lain

setelah dipakai seseorang, tetapi memungkinkan untuk dilakukan penarikan

biaya kepada setiap pengguna

d) Barang dan Jasa Milik bersama, adalah barang/jasa yang mempunyai derajat

eksklusivitas rendah, tetapi derajat keterhabisannya tinggi. Contoh ikan di laut

yang kuantitasnya berkurang setelah terjadinya pemakaian, tetapi tidak mungkin

dilakukan penarikan biaya secara langsung kepada orang yang menikmatinya.

Pelayanan publik seperti yang sebutkan diatas diberikan oleh organisasi

publik, menurut Islamy (1988), Organisasi publik memang berbeda dengan

Organisasi Non Publik, dimana tugas utama organisasi publik adalah service making

sedangkan organisasi non publik adalah profit making.


79

Menurut Kasim (1993), organisasi publik memang berbeda dengan organisasi

bisnis, karena organisasi publik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Organisasi

publik tidak sepenuhnya otonom tetapi dikuasai faktor-faktor eksternal. (2)

Organisasi publik secara resmi diadakan untuk pelayanan masyarakat. (3) Organisasi

publik tidak dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar sehingga merugikan

organisasi publik lain. (4) Kesehatan organisasi publik di ukur melaluhi : kontribusi

terhadap tujuan politik dan kemampuan mencapai hasil maksimum dengan

sumberdaya yang tersedia. (5) Kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan

memberikan pengaruh politik yang negatif/merugikan.

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik dapat juga

dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat adalah semua

penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, contoh

rumah sakit swasta, perguruan tinggi swasta.

2) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik, yang dibedakan

menjadi dua bersifat primer dan sekunder. Pelayanan publik oleh pemerintah dan

bersifat primer, adalah semua jenis barang/jasa publik yang diselenggarakan

pemerintah sebagai satu-satunya penyelenggara dan pengguna tidak ada pilihan

lain, contoh : pelayanan perijinan, pelayanan keimigrasian. Pelayanan publik oleh

pemerintah dan bersifat sekunder adalah semua jenis barang/jasa publik yang

diselenggarakan pemerintah, tetapi pengguna dapat memilih karena adanya


80

beberapa penyelenggara layanan, contoh : asuransi tenaga kerja, pelayanan

pendidikan.

Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis

penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, adalah :

a) Adaptabilitas layanan, derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan

perubahan yang diminta pengguna.

b) Posisi tawar pengguna, semakin tinggi posisi tawar pengguna, maka semakin

tinggi peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.

c) Type pasar, karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan

yang ada dan hubungannya dengan pengguna.

d) Locus control, karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang control atas

transaksi, apakah penguna ataukah penyelenggaraan pelayanan.

e) Sifat pelayanan, menunjukan kepentingan pengguna atau penyenggara pelayanan

yang lebih dominan.

Perbedaan ketiga bentuk pelayanan publik dapat dilihat pada tabel dibawah

ini :
81

Tabel 2.2. Karakteristik Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penyelenggara pelayanan public


Karakteristik Publik
Privat
Sekunder Primer
Adaptabilitas Sangat tinggi Rendah Sangat Rendah
Posisi Tawar Pengguna Sangat tinggi Rendah Sangat Rendah
Bentuk/tipe pasar Kompetisi Oligopoli Monopoli
Locus Kontrol Klien Provider Pemerintah
Sifat pelayanan Dikendalikan Dikendalikan Dikendalikan
Klien Provider Pemerintah
Sumber : Ratminto (2006:12)

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pokok antara pelayanan

publik yang diselenggarakan swasta dan organisasi publik yang bersifat primer adalah

bahwa dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta posisi klien sangat

kuat (empowered). Sebaliknya dalam pelayanan primer yang diselenggarakan

organisasi publik, posisi klien sangat lemah (powerless).

Strategi Pelayanan publik menurut Kevin P. Keams seperti yang dikutip

Islamy (2002:3) ada tiga macam pendekatan yang bisa dipakai untuk menyusun

strategi dalam mewujudkan tujuan baik organisasi publik maupun privat, yaitu : (1)

pendekatan analitis (analytical approach) yang merekomendasikan penggunaan

analysis logic and in-depth guna meningkatkan kemampuan strategi untuk

menyesuaikan tujuan organisasi dengan lingkungannya, (2) pendekatan visioner

(visioning approach) berangkat dari visi pemimpin terhadap organisasi dan atas dasar

itu menetapkan sumber-sumber dan kompensasi yang diperlukan untuk mewujudkan


82

visi tersebut, dan (3) pendekatan incremental (incremental approach) menetapkan

strategi tahap demi tahap guna mengatasi masalah dan peluang pemunculannya dan

memperkenankan semua strategi dan taktik bersama digunakan diseluruh bagian

organisasi. Menurut Islamy (2002) pendekatan incremental lebih cocok dipakai

didalam organisasi pemerintahan karena peluang terjadinya tawar menawar

(bargaining), kompromi (compromising) dan manuver politik (politic maneuvering)

ada disana.

Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah yang harus

diimplementasikan secara adil dan dinamis. Secara adil artinya bahwa layanan publik

itu harus diberlakukan sama untuk semua orang. Secara dinamis artinya layanan

publik itu harus mengikuti alur perkembangan tuntutan masyarakat pengguna layanan

yang semakin lama cenderung menuntut proses layanan yang lebih profesional.

Layanan publik yang professional merupakan tuntutan jaman sebagai dampak

perkembangan ilmu dan teknologi (IPTEK).

Pelayanan publik adalah merupakan hak dari setiap warga negara, maka

implikasi dari hak ini merupakan kewajiban bagi negara-pemerintah untuk

memenuhinya. Pelayanan publik merupakan isu yang sangat strategis karena interaksi

antara pemerintah dan warganya. Reformasi pelayanan publik membutuhkan

perbaikan yang menyeluruh dan sistematik. Hal ini diperlukan untuk menghadapi

tantangan agar pelayanan publik dapat mengakomodasi perbedaan kebutuhan

pelayanan setiap warga negara. Kecenderungan semakin meningkatnya kebutuhan

akan pelayanan publik maka perlu perhatian dan keperdulian birokrasi pelayanan
83

publik. Konsep birokrasi “tipe ideal” menurut Weber, mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut : 1) kegiatan sehari-hari yang dibutuhkanuntuk mencapai tujuan-tujuan

organisasi didistribusikan melaluhi cara yang telah ditentukan dan dianggap sebagai

tugas-tugas resmi, 2) pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hierarkhis, 3)

pelaksanaan tugas diatur oleh suatu peraturan-peraturan abstrak yang konsisten dan

mencakup juga penerapan aturan-aturan ini di dalam kasus-kasus tertentu, 4) seorang

menjabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya formal dan tidak bersifat pribadi,

5) pekerjaan dalam suatu organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan

dilindungi dari kemungkinan pemecatan sepihak, 6) tipe organisasi administratif yang

murni berciri birokrasi yang bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang

tertinggi. Model Birokrasi “tipe ideal” menurut Weber (dalam Blau, Mayer, 1997), ini

memberikan dasar bahwa dalam memberikan kepastian pelayanan melaluhi

peraturan-peraturan yang ditetapkan secara konsisten atau dengan standart operating

procedur. Standar pelayanan ini adalah merupakan bagian dari instrumen

birokratisasi. Standar pelayanan dibuat sebagai pegangan bagi aparat penyelenggara

layanan dan warga penggunanya agar mereka dapat berinteraksi dengan saling

menghargai keberadaan masing-masing. Pelayanan administrasi pada saat ini juga

telah banyak menggunakan standar dalam memberikan pelayanan contoh misalnya

dengan adanya Standar ISO.

Badan ISO (International Organization for Standardization) memiliki komite

teknik yang bertanggungjawab terhadap standarisasi dan pengembangan Sistem

Manajemen Mutu di dunia ISO 9001:2000 adalah suatu standar internasional untuk
84

sistem manajemen kualitas, yang merupakan sertifikasi dalam bidang manajemen.

ISO 9001: 2000 memfokuskan terhadap perbaikan kinerja, penggunaan struktur baru

yang memdasar pada pendekatan proses, pengurangan prosedur terdokumentasi,

penekanan pada pemenuhan kepuasan pelanggan. ISO 9001:2000 menetapkan

persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu

sistem manajemen kualitas, yang bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi akan

memberikan produk (barang dan/atau jasa) yang memenuhi persyaratan yang

ditetapkan.

D. Dimensi Kualitas Pelayanan

Ada beberapa pendapat mengenai dimensi dalam melihat kualitas pelayanan,

dimana kualitas tersebut sangat multidimensional. Untuk lebih jelas tentang dimensi

kualitas pelayanan publik dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.3. Dimensi Kualitas Pelayanan


Garvin’s Evans&Linds Parasuraman et Coddington’s JCAHO
Product ay’s service al. SERQUAL Dimensions Dimentions
Dimensions dimensions Dimensions
Performance Time Tangibles Warmth/caring/ Efficacy
Features Timeliness Realibility concern Appropriateness
Reliability Completeness Responsiveness Medical Staff Efficiensy
Conformance Courtesy Competence Technology – Respect & Caring
Durability Consistency Courtesy Equipment Safety
Serviceability Accessibility & Credibility Specialization/ Continuity
Aesthetics convenience Security Services Availale Effectiveness
Perceived Accuracy Access Out Come Timeliness
quality Responsiveness Communication Availability
Understanding the
customer
Sumber : Sower (2001) & Zeithaml (1990)
85

Menurut Garvin (1984), ada 8 demensi dalam melihat sebuah produk tersebut

dapat dikatakan berkualitas, yaitu : 1) Performance / Capaian / hasil kerja, mengacu

pada karakteristik operasional yang utama dari suatu produk. Dimensi ini kombinasi

unsur-unsur mutu dari produk dan dasar pendekatan pemakaian. 2) Features / roman

muka, Roman muka adalah "bell and whistles" dari produk, karakteristik sekunder

yang melengkapi produk dasar yang berfungsi. Roman muka, seperti capaian produk,

melibatkan atribut yang terukur dan objektif. 2) Reliability / Keandalan,

mencerminkan kemungkinan dari suatu kekurangan produk di dalam suatu periode

tertentu dari waktu. Ukuran memerlukan produk yang digunakan untuk periode yang

sama, lebih relevan bagi barang tahan lama dibanding produk dan jasa yang

dikonsumsi dengan segera. 3) Conformance /Kesesuaian , suatu yang terkait dari

mutu adalah Kesesuaian, atau tingkat derajat kesesuaian suatu karakteristik

operasional dan disain produk dibandingkan dengan standart yang ada, dan

melibatkan kedua unsur internal dan eksternal. 4) Durability/ Ketahanan, suatu

ukuran dari lamanya produk dapat digunakan, mempunyai kedua dimensi yaitu :

teknis dan ekonomi. Ketahanan jadi lebih sukar untuk menginterpretasikan ketika

perbaikan dimungkinkan dan lamanya produk dapat digunakan akan berbeda dengan

mengubah kondisi-kondisi ekonomi. 5) Serviceability/Pelayanan, atau kecepatan,

kehormatan, dan kemampuan memperbaiki. Konsumen/pelanggan tidak hanya terkait

pada suatu rincian produk, tetapi juga tentang waktu yang diperlukan pada layanan

perbaikan, menjaga ketepatan waktu melayani janji ketemu, sifat alami personil

layanan, dan frekwensi melayani panggilan atau pekerjaan perbaikan yang gagal.. 6)
86

Aesthetics/ keindahan. Dua dimensi yang terakhir dari mutu adalah kebanyakan

subyektif. Keindahan bagaimana rupa, muka produk, rasa, keserasian, bau adalah

dengan jelas berbagai hal dari penilaian pribadi, dan cerminan dari pilihan individu.

7) Perceived Quality /kwalitas yang dirasakan. Dalam keadaan ini, produk akan

dievaluasi lebih sedikit pada karakteristik yang objektif mereka dibanding atas

gambaran, iklan, atau merek dagang.

Secara bersama-sama, delapan dimensi utama kualitas adalah suatu jangkauan

luas dari konsep. Beberapa dari dimensi melibatkan atribut produk yang yang terukur,

yang lain mencerminkan pilihan individu secara subyektif.

Menurut Evans & Lindsay’s (dalam Sower, 2001), bahwa dimensi kualitas

suatu pelayanan ada delapan yaitu : 1) Time/waktu yang disediakan dalam

memberikan pelayanan. 2) Timeliness / ketepatan waktu dalam memberikan

pelayanan.3) Competeness / kelengkapan dalam memberikan pelayanan. 4) Courtesy /

keramahan dalam memberikan pelayanan. 5) Consistency / konsistensi atau ketaatan

dalam memberikan pelayanan. 6) Accessibility & convenience / kemudahan dan

kenyamanan dalam memberikan pelayanan. 7) Accuracy / Ketelitian dalam

memberikan pelayanan . 8) Responsiveness / daya tanggap dalam memberikan

pelayanan

Penelitian empirik tentang kualitas pelayanan Parasuraman (1985), Imri et al.

(2002), Hsieh at al. (2002), Wisniewski (2005) mengevaluasi bahwa ada 5 demensi

dari Servqual yaitu : Pertama tangibles (fasilitas fisik), yaitu penampilan fisik

bangunan serta sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan termasuk


87

tempat/dimana pelayanan itu diberikan serta penampilan petugas saat memberikan

pelayanan. Kedua, responsiveness (daya tanggap), yaitu kemudahan petugas untuk

dihubungi, kemauan atau respon secara proaktif dari petugas untuk membnerikan

pelayanan pada pelanggan. Ketiga, reliability (kehandalan), yaitu kecakapan/

kemampuan dan keakuratan petugas dalam memberikan pelayanan, serta tepat waktu

dalam memberikan pelayanan. Keempat, Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan,

kesopanan dan sikap untuk dapat dipercaya yang dimiliki petugas sehingga tidak

menimbulkan keraguan dan resiko yang mungkin timbul akibat pelayanan yang

diberikan. Kelima, Emphaty (empati), yaitu kemampuan untuk memahami kebutuhan

pelanggan meliputi keperdulian/perhatian dari petugas secara individual terhadap

pengguna layanan.

Dari 5 dimensi ini dapat dikembangkan lebih rinci lagi menjadi 10 dimensi.

Zeithaml, (1990) yang menjelaskan tentang dimensi pelayanan, secara rinci 10

demensi dari Serqual adalah sebagai berikut : 1) Tangibles: tampilan fasilitas fisik,

peralatan, bahan, tercetak dan visual. 2) Reability kemampuan mewujudkan

pelayanan secara tepat seperti yang dijanjikan. 3) Responsiveness : keinginan

membantu pelanggan untuk menyediakan pelayanan yang segera. 4) Competence :

petugas memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memberikan

pelayanan. 5) Courtesy : Petugas yang ramah, respek, penuh perhatian dan

bersahabat. 6) Credibility: penyedia layanan dapat dipercaya. 7) Security, rasa aman,

terbebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan. 8) Access : pelayanan mudah

didatangi/diperoleh dan dihubungi, 9) Communication : Suka mendengar


88

pelanggannya dan menghargai komentar; senantiasa menjaga agar pelangganya

memperoleh informasi dan bahasa yang mereka fahami. 10) Understanding the

customer : berusaha mengenali/ memahami pelanggan dan kebutuhan-kebutuhanya.

Menurut Coddington (1987), kualitas tidaklah digambarkan dengan cara yang

sama oleh pasar, dan rumah sakit. Baik dalam untung maupun rugi, masing-masing

dari kelompok kunci memutuskan konsumen/pelanggan, pemberi kerja/majikan,

konsultan kesejahteraan karyawan, dokter, datang dengan mempunyai persepsi

tersendiri tentang apa itu kualitas pelayanan. Dimensi disusun menurut arti penting

dari pandangan konsumen terhadap kualitas pelayanan, yaitu : 1) Warmth/

caring/concern, (kehangatan/keramahan, kepedulian, perhatian yang diberikan dalam

memberikan pelayanan). 2) Medical Staff (staff medis yang memberikan pelayanan) .

3) Technology – Equipment. ( Teknologi / Peralatan yang dipakai dalam memberikan

pelayanan). 4). Specialization / Services, ( lingkup /spesialisasi dari layanan yang

tersedia ) 5) Out Come (hasil dari pelayanan yang diberikan)

Seperti dengan kebanyakan pelayanan, permintaan dan persepsi dari mutu

untuk pelayanan kesehatan pada hakekatnya berbeda-beda antar segmen yang

berbeda dari pasar konsumen. Konsumen, lebih kaya cenderung untuk lebih sering

membedakan antar rumah sakit dan berkeinginan mengeluarkan biaya untuk tinggal

pada rumah sakit pilihan mereka. Persepsi dari manfaat atasan kerja dan personnal

para manajer dan manfaat perantara sangat erat pada konsumen

Key Quality Characteristics Assessment for Hospital (KQCAH) skala, adalah

identifikasi dan pengukuran dari kunci karakteristik kualitas yang mempengaruhi


89

kepuasan pelanggan. Rumah Sakit tidak mempunyai suatu instrumen sah dan yang

dapat dipercaya untuk mengukur kualitas jasa. Karena itu sulit untuk rumah sakit

untuk meningkatkan mutu secara efektif.

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations

(JCAHO), mempunyai 9 dimensi dalam melihat kualitas pelayanan di Rumah Sakit,

dimensi tersebut adalah:1) Efficacy/ kemanjuran. 2) Appropriateness / kepantasan. 3)

Efficiency / efisiensi. 4) Respect & Caring / menghormati & kepedulian. 5) Safety

./keselamatan. 6) Continuity/kesinambungan. 7) Effectiveness/.efektivitas. 8)

Timeliness / Ketepatan Waktu. 9) Availability / Ketersediaan.

Dari uraian diatas terlihat bahwa dimensi kualitas pelayanan menurut Garvin’s

(1984), lebih melihat pada kualitas produk secara fisik dan teknis. Sedangkan untuk

pelayanan lebih menekankan pada perbaikan/servis produk ketika ada kerusakan pada

produk tersebut.

Coddington (1987), dari dimensi kualitas tersebut nampak bahwa kualitas

pelayanan di rumah sakit dilihat sangat teknis dan bersifat kuantitatif, hanya satu

dimensi yaitu dimensi pertama yang melihat dari sisi pelanggan.

Sedangkan untuk 3 pendapat yang lain yaitu Evans & Lindsay’s (1984),

Parasuraman et al. (1985, 2005), JCAHO (2001) mempunyai banyak kesamaan dan

lebih melihat kualitas pelayanan dari sudut pandang pelanggan. Kesamaannya ketiga-

tiganya telah memasukan dimensi waktu pelayanan, keramahan/perhatian/

keperdulian dalam pelayanan, kemudahan akses pelayanan, kepastian dan ketelitian

dalam pelayanan dan keamanan dalam pelayanan.


90

Dari ketiga pendapat tentang dimensi kualitas pelayanan yang lebih lengkap

dalam hal melihat hubungan antara penyedia layanan dan pelanggannya adalah

Serqual yang dikemukankan oleh Parasuraman (1985, 2005) dengan 10 dimensi

kualitas pelayanan. Di negara maju dimensi pelayanan tangibles ( tampilan fasilitas

fisik, peralatan, bahan, tercetak dan visual) mempunyai nilai yang terendah dan

sedangkan dimensi Reability ( kemampuan mewujudkan pelayanan secara tepat

seperti yang dijanjikan) merupakan dimensi yang paling penting.

Sehubungan dengan penilaian kualitas pelayanan maka Morgan dan

Murgatroyd (1994) mengambarkan dengan The Triangle of Service Quality,

pengembangan dari dua model Lewis (1987) untuk sector perdagangan dan analisa

kualitas sector jasa seperti yang diajukan Donabedian untuk pelayanan kesehatan.

Adapun The Triangle of Service Quality, adalah sebagai berikut :

Interpersonal component

Procedures/environment/ Technical/profesional

Proses component component

Gambar 2.1. The Triangle of Service Quality


Sumber : Warella (2004:74)
91

Model ini merupakan segitiga sama sisi dimana puncaknya adalah

Interpersonal component. dari suatu pelayanan, sedangkan pada sisi sebelah kiri dari

segitiga adalah konteks fisik, prosedur dan komponen proses. Pada sisi kanan adalah

kompenen teknis atau profesionalitas dalam menyampaikan pelayanan. Asumsi model

ini adalah perlunya dipertahankan keseimbangan dari ketiga komponen tersebut di

dalam menyediakan suatu pelayanan yang baik. Misalnya terlalu menekankan pada

proses dan prosedur akan memberikan kesan pelayanan yang berbelit-belit dan rumit.

You are number one and we are here to process you using our procedures. Terlalu

menekankan pada komponen interpersonal akan menimbulkan persepsi bahwa

penyedia jasa kurang memperhatikan profesionalitas pelayanan. We love you and we

try hard but we don’t necessarily know what we are doing. Terlalu menekan pada

aspek professional dan teknis dari pelayanan akan memberikan kesan bahwa

pelayanan dilakukan secara professional namun tidak ada perhatian khusus secara

individual. We know exactly what we can do and how to do it, but we don’t care about

you much as an individual.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kualitas pelayanan adalah tingkat

kesesuaian antara harapan/keinginan dan persepsi dari pelayanan yang diterima oleh

pelanggan atau klien. Menurut Parasuraman et al. (1990) Model Serqual meliputi

analisis adanya lima kemungkinan gap yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi

mengenai mutu pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau administrasi

Negara, yaitu : Pertama, Gap persepsi manajemen (Not what customer expect), yaitu

adanya perbedaan pelayanan menurut persepsi dan harapan masyarakat dengan


92

penyedia (pemerintah). Paling tidak menyedia jasa memahami apa yang diharapkan

oleh pelanggannya.

Kedua, Gap spesifikasi kualitas pelayanan yaitu kesenjangan antara persepsi

penyedia jasa mengenai spesifikasi kualitas pelayanan yang diperlukan masyarakat

baik menyangkut biaya, waktu kecepatan maupun kebenaran informasi pelayanan.

Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini adalah komitmen aparatur yang belum

memadai terhadap kualitas pelayanan, persepsi mengenai ketidaklayakan, kurang

standar tugas serta tidak terdapatnya penentuan tujuan.

Ketiga, Gap kinerja pelayanan (delivery gap) yaitu kesenjangan antara

spesifikasi kualitas pelayanan dan waktu pelayanan dari aparatur pemerintah kepada

masyarakat. Zeithaml (1990) menyebutkan ada tujuh factor yang menyumbang pada

kesenjangan ini, yaitu : ketidakjelasan peran, konflik peran, ketidak cocokan pegawai

dengan tugas yang dikerjakan, ketidak cocokan antara teknologi dengan tugas yang

dilaksanakan, ketidak cocokan system pengendalian atasan , kekurangan pengawasan,

dan ketiadaan kerja tim.

Keempat, Gap komunikasi eksternal pada pelanggan (communications gap),

yaitu kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Kesenjangan

ini terjadi karena tidak memadainya komunikasi horizontal dan adanya

kecenderungan untuk memberikan janji – janji yang muluk-muluk.

Kelima, Gap dalam pelayanan yang dirasakan (service gap), yaitu perbedaan

persepsi antara pelayanan yang dirasakan publik dan yang diharapkan publik .

Kesenjangan ini dapat timbul karena pengalaman masa lalu , kebutuhan pribadi

tertentu, pembicaraan dari mulut ke mulut serta komunikasi eksternal. Model lima
93

gap ini dan tempatnya dalam manajemem pelayanan dapat dilihat pada gambar 3

berikut ini :

Customers/Pelanggan

Komunikasi Kebutuhan Pengalaman


Komunikasi Kebutuhan Pengalaman
Gethok Tular Pribadi Masa Lalu
Gethok Tular Pribadi Masa Lalu

Pelayanan yang
Pelayanan yang
Diharapkan
Diharapkan

GAP 5

Pelayanan yg diterima
Pelayanan yg diterima

Providers/
Pelayanan yg GAP 4 Komunikasi Eksternal
Pelayanan yg Komunikasi Eksternal
diberikan pada Pelanggan
diberikan pada Pelanggan

GAP 3
GAP 1

Spesifikasi
Spesifikasi
Kualitas Pelayanan
Kualitas Pelayanan

GAP 2

Penyelenggara Persepsi Manajemen atas


Persepsi Manajemen atas
Harapan Pelanggan
Harapan Pelanggan

Gambar 2.2. Model Konseptual Servqual


Sumber: Parasuraman, et al (1985)

Keterangan :
94

_______ = hubungan antar faktor dalam proses pelayanan


.............. = faktor kesenjangan pelayanan yang akibatkan gap
- - - - - - - = pemisah antara pelanggan dan penyelenggara pelayanan
Sesuai dengan Paradigma The New Public Service, menurut Denhardt &

Denhardt (2003) untuk bisa memberikan pelayanan yang bermutu (service quality)

pemerintah perlu memperhatikan 8 prinsip pelayanan yang bermutu, yaitu: Pertama

Convenience, ukuran yang menunjukkan tingkat pelayanan yang diberikan

pemerintah dapat diakses dan tersedia dengan mudah oleh warga. Kedua Security,

ukuran yang menunjukkan tingkat pelayanan yang diberikan menjadikan warga

merasa aman dan yakin bila menggunakannya. Ketiga, Reability, menilai tingkat

pelayanan pemerintah dapat disediakan secara benar dan tepat waktu.

Keempat, Personal attention : mengukur sejauh mana pelayanan pemerintah

dapat diinformasikan oleh aparat dengan tepat kepada warga dan aparat bisa

bekerjasama dengan mereka untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Kelima,

Problem –solving approach : mengukur sejauh mana aparat pelayanan mempu

menyediakan informasi bagi warga untuk mengatasi masalahnya.. Keenam,

Fairness : ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya bahwa pemerintah telah

menyediakan pelayanan dengan cara yang adil bagi semua orang. Ketujuh, Fiscal

Responsibility : ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya bahwa pemerintah

telah menyediakan pelayanan dengan cara menggunakan uang publik dengan penuh

tanggungjawab. Kedelapan, Citizen Influence : mengukur sejauh mana warga merasa

bahwa mereka dapat mempengaruhi mutu pelayanan yang mereka terima dari

pemerintah.
95

Selanjutnya Zeithaml (1990) mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya gap.

Misalnya gap 1 (gap persepsi manajemen) atau adanya perbedaan antara harapan-

harapan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan-harapan konsumen

terjadi karena factor-faktor sebagai berikut : a) kurangnya riset pemasaran dan tidak

dimanfaatkannya riset pemasaran, b) kurang efektifnya komunikasi ke atas didalam

organisasi penyelenggara pelayanan, c) terlalu banyak tingkatan manajemen.

Gap 2 (gap persepsi kualitas) atau perbedaan antara persepsi manajemen

tentang harapan-harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang

dirumuskan disebabkanoleh faktor berikut ini : a) lemahnya komitmen manajemen

terhadap kualitas pelayanan, b) tidak tepatnya persepsi tentang feasibilitas, c) tidak

tepatnya standarisasi tugas, d) kurang tepatnya perumusan tujuan.

Gap 3 (gap penyelenggaraan pelayanan) yaitu perbedaan pelayanan yang

diberikan dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang telah dirumuskan, timbul

karena: a) adanya ketidak jelasan peran, b) Adanya konflik peran, c) tidak cocoknya

karakteristik pekerja dengan pekerjaan, d) tidak cocoknya teknologi dengan

karakteristik pekerjaan, e) tidak tepatnya system pengawasan, f) lemahnya control, g)

lemahnya kekompakan tim.

Gap 4 (gap komunikasi pasar ) atau adanya perbedaan antara pelayanan yang

diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen terjadi factor: a)

kurangnya komunikasi horizontal, b) adanya kecenderungan untuk mengobral janji.

Gap 5 (gap kualitas pelayanan) atau perbedaan pelayanan yang diharapkan

oleh konsumen dengan pelayanan yang senyatanya diterima atau dirasakan oleh

konsumen, terjadi sebagai akibat dari akumulasi empat macam gap tersebut diatas.
96

Faktor yang menyebabkan terjadinya gap dan hubungan diantara gap dapat

dilihat pada gambar dibawah ini:

Marketing Research
operation

Upward
Gap 1
Communication

Levels of
Management

Management
Commitment to
Service Quality
Gap2
Task
Goal Standardization
Setting Tangibles

Perception of
Reliability
Feasibility

Team work Gap 5 Service


Quality Responsivenes
s
Employee-Job Fit
Assurance
Technology –Job Fit
Empathy
Perceived Control Gap 3

Supervisor Control
Systems

Role Conflict

Role Ambiguity

Horizontal
Communication
Gap 4
Propensity to
Overpromise
97

Gambar 2.3. The extended Gap Model of Services Quality


Sumber : Zeithaml.et al. (1990:131)
Berdasarkan gambar tersebut di atas dapat diidentifikasi factor-faktor yang

mempengaruhi kinerja pelayanan, yaitu : Strategi pelayanan, petugas yang

berorientasi pada pelanggan, system pelayanan yang berorientasi pada pelanggan,

komitmen manajemen, perumusan tujuan organisasi, standarisasi tugas, kepaduan

tim, kesesuaian orang-pekerjaan, kesesuaian teknologi – pekerjaan, realisasi kontrol,

kejelasn peran, konflik peran, tingkatan manajemen (Ratmino & Winarsih, 2006).

Sejak tahun 1993, berbagai usaha pemerintah untuk memperbaiki dan

meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dan sekaligus menyangkut citra

aparatur menuju yang lebih positif telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan

pemerintah adalah memperbaiki system dan tata laksana pelayanan, yaitu

berpedoman pada Keputusan MENPAN No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata

Pelayanan Umum yang intinya mengenalkan pola pelayanan umum yang baik untuk

dipakai sebagai acuan oleh semua instansi Pemerintah dalam menata mekanisme

pelayanan masyarakat di bidang masing-masing.

Kreteria yang dipakai untuk melakukan penilaian kualitas pelayanan publik

sesuai dengan Keputusan MENPAN No. 81 Tahun 1993 adalah:

1. Kriteria Kualitatif dengan cakupan :

a. Kesederhanaan, yaitu bahwa prosedur/tatacara pelayanan diselenggarakan

secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan

mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.


98

b. Kejelasan dan kepastian, yaitu yang menyangkut: : 1) Prosedur/tatacara

pelayanan, 2) persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun

administrative, 3) unit kerja dn atau pejabat yang berwenang dan

bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, 4) rincian biaya/tariff

pelayanan dan tatacara pembayarannya, 5) jadwal waktu penyelesaian

pelayanan.

c. Keamanan, yaitu bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberikan

keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hokum bagi

masyarakat.

d. Keterbukaan, yaitu prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat

penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian

biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib

diinformasikan secara luas, agar mudah diketahui oleh masyarakat oleh

masyarakat, baik diminta maupun tidak.

e. Efisiensi yaitu bahwa : 1) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal

yang terkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap

memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan

yang diberikan. 2) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan,

dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan

mempersyaratkan adanya kelengkapan persyarat dari satuan kerja/ Instansi

Pemerintah lain yang terkait.


99

f. Ekonomis, yaitu bahwa pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara

wajar dengan memperhatikan : 1) nilai barang atau jasa pelayanan

masyarakat tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran, 2)

kondisi atau kemampuan masyarakat untuk membayar, 3) ketentuan

peraturan perundangan yang berlaku.

g. Keadilan yang merata, yaitu bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus

diusahakan seluas mungkin dengan kontribusi yang merata dan

diberlakukan.

h. Ketepatan waktu, yaitu bahwa pelaksanaan pelayanan public dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

2. Kriteria Kuantitatif, adalah sebagai berikut :

a. Jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (perhari, perbulan atau

pertahun) serta perkembanganpelayanan dari waktu ke waktu, apakah

menunjukkan peningkatan atau tidak.

b. Lamanya waktu pemberian pelayanan,

c. Ratio/perbandingan jumlah pegawai/ tenaga yang ada dengan jumlah

warga/masyarakat yang meminta pelayanan untuk menunjukan tingkat

produktifitas kerja.

d. Pengunaan perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah

pelayanan.
100

e. Frekuensi keluhan dan / atau pujian dari masyarakat mengenai kinerja

pelayanan yang diberikan, baik melaluhi mass media maupun melauhi

kotak-kotak saran yang tersediakan.

f. Penilaian fisik lainnya misalnya kebersihan dan kesejukan lingkungan

motivasi kerja pegawai dan lain-lain aspek yang mempunyai pengaruh

langsung terhadap kinerja pelayanan masyarakat.

Kualitas pelayanan umum yang dilaksanakan dinilai berdasarkan kreteria

tersebut diatas. Dalam penilaian ini diberikan penghargaan Abdisatyabakti bagi

instansi yang dianggap kualitas kinerjanya baik. Penghargaan diberikan diharapkan

dapat mendorong aparatur untuk meningkatkan kualitas pelayanan public mereka.

Selanjutnya adanya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada

Masyarakat, yang berintikan intruksi kepada MENPAN untuk melakukan koordinasi,

konsolidasi terhadap semua pimpinan instansi pemerintah untuk berupaya

meningkatkan pelayanan aparatur kepada masyarakat. Tindak lanjutnya adalah

dengan memilih kantor Pelayanan di Pusat atau Daerah sebagai Unit Pelayanan

Percontohan. Sebagai penghargaan atas keberhasilan kinerja pelayanan yang telah

dicapai, kepada Unit Pelayanan dengan memberi penghargaan Abdisatyabakti.

Hal ini didukung dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

menyebutkan asas-asas pelayanan publik, yaitu : asas kepastian hukum, asas tertib
101

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsional, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Pemerintah menyatakan bahwa hakekat pelayanan publik adalah pemberian

pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur

pemerintah sebagai abdi masyarakat. Dari pernyataan tersebut maka dipandang

sangat penting penerapan konsep kualitas dalam pelayanan kepada masyarakat, hal

ini tercermin dari dikeluarkannya Surat KEPMENPAN Nomer

63/KEP/M/PAN/7/2003, bahwa pelayanan publik harus mempunyai prinsip:

1. Kesederhanaan, prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami

dan dilaksanakan.

2. Kejelasan, (a). persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik, (b). unit

kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan

pelayanan dan penyelesaian, (c).rincian biaya pelayanan publik dan tata cara

pembayaran.

3. Kepastian waktu, pelakjsanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun

waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar , tepat dan sah.

5. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan

kepastian hukum.

6. Tanggung jawab, pemimpin penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang

ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaran pelayanan dan penyelesaian

keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.


102

7. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja,

peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan

sarana teknologi tekekomunikasi dan informatika.

8. Kemudahan Akses, tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai

mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi

telekomunikasi dan informatika

9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, Pemberian pelayanan harus bersifat

disiplin, sopan dan santun, ramah sertamemberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang

tunggu yang nyaman, bersih , rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta

dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet, tempat

ibadah dan lain-lain.

Selanjutnya dalam KepMenPan ini juga memuat bahwa setiap

penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan. Standar

pelayanan merupakan ukuran yang bibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Standar

pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi :

1. Prosedur pelayanan, prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan

penerima pelayanan termasuk pengaduan.

2. Waktu penyelesaian, waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan

permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.


103

3. Biaya pelayanan, biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan

dalam proses pemberian pelayanan.

4. Produk pelayanan, hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan.

5. Sarana dan Prasarana, penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai

oleh penyelenggara pelayanan publik.

6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan, kompetensi petugas pemberi pelayanan

harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengatahuan, keahlian, ketrampilan,

sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

Berdasarkan prinsip dan standar pelayanan tersebut diatas, dalam Keputusan

Menpan No: KEP/ 25/ M.PAN/2004, dijelaskan tentang Indeks Kepuasan Masyarakat

(IKM), adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang

diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat

masyarakat dalam memperolrh pelayanan dari aparat dengan membandingkan

harapan dan kebutuhanya. Ada 14 unsur yang dianggap relevan sebagai unsur

minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran IKM yang meliputi:

1) Prosedur pelayanan,yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2) Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang

diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan pelayanannya.

3) Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang

memberikan pelayanan (nama, jabatan serta wewenang dan tanggung jawabnya).


104

4) Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan

pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

5) Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung

jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6) Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang

dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada

masyarakat.

7) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam

waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.

8) Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak

membedakan golongan /status masyarakat yang dilayani.

9) Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling

menghargai dan menghormati.

10) Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya

biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

11) Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang bibayarkan

dengan biaya yang telah ditetapkan.

12) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.


105

13) Kenyamanan Lingkungan yaitu, kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang

bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa amam kepada penerima

pelayanan.

14) Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat pelayanan lingkungan unit

penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat

merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang

diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

Undang-undang yang terbaru tentang pelayanan publik adalah Undang-

undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang ini dibentuk

karena : 1) peran negara yang berkewajiban melayani setiap warga negara dan

penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, 2) membangun kepercayaan

masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayana publik

merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan

seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. 3)

Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan

penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dalam penyelnggaraan pelayanan

publik, diperlukan norma hukum yang jelas.

Undang-undang ini, memberikan dasar bagi penyelenggara pelayanan publik,

dan menyebutkan tentang asas penyelenggaraan pelayanan publik yang terdiri dari :

a) kepentingan umum, b) kepastian hukum, c) kesamaan hukum, d) keseimbangan

hak dan kewajiban, e) keprofesionalan, f) partisipatif, g) persamaan perlakuan / tidak

diskriminatif, h) keterbukaan, i) akuntabilitas, j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi


106

kelompok rentan, k) ketepatan waktu dan l) kecepatan, kemudahan dan

keterjangkauan. Hal ini membuktikan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan

pelayanan publik kepada masyarakat.

Penyelenggara pelayanan publik dalam UU No. 25 Tahun 2009, juga wajib

menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampunan penyelenggara,

kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Komponen dasar standar pelayanan,

meliputi : a) dasar hukum, b) persyaratan, c) sistem, mekanisme dan prosedur, d)

jangka waktu penyelesaian, e) biaya/tarif, f) produk pelayanan, g) sarana, prasarana,

dan/atau fasilitas, h) kompetensi pelaksana, i) pengawasan internal, j) penanganan

pengaduan, saran, dan masukan, k) jumlah pelaksana, l) jaminan pelayanan, m)

jaminan keamanan, n) evaluasi kinerja pelaksana.

Dalam memberikan pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada prinsip-

prinsip pelayanan publik yang berbasis pelanggan. Prinsip-prinsip tersebut terdapat

pada prinsip pelayanan prima (Islamy,2002), yaitu dengan :

Pertama, Reponsiveness: Setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan

yang akan disediakan oleh pemerintah harus relevan dan signifikan sesuai dengan apa

yang dibutuhkan masyarakat.

Kedua, Accessibility : setiap jenis, produk, proses dan mutu pelayanan yang

disediaakan oleh pemerintah dapat diakses sedekat mungkin dan sebanyak mungkin

oleh pengguna pelayanan (masyarakat).


107

Ketiga, Continuity : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat

pengguna pelayanan.

Keempat, Technicality : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah harus ditangani oleh petugas yang benar-benar memiliki

kecakapan teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan

kemantapan aturan, system, prosedur dan instrumen pelayanan baku.

Kelima, Profitability : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah harus benar-benar dapat memberikan keuntungan ekonomi

dan sosial kepada pemerintah dan masyarakat.

Keenam, Equitability : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah harus tersedia dan dapat diakses dan diberikan secara adil

dan merata kepada segenap anggota tanpa terkecuali.

Ketujuh, Transparancy : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan

yang diberikan oleh pemerintah dilakukan secara transparan sehingga masyarakat

pengguna pelayanan dapat menggunakan hak dan kewajibannya atas pelayanan

tersebut denganb baik dan benar.

Kedelapan, Accountability : setiap jenis, produk, proses, dan mutu pelayanan

yang diberikan oleh pemerintah pada akhirnya aparat pemerintah itu mempunyai

tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada masyarakat.


108

Kesembilan, Effectiveness and Efficiency : setiap jenis, produk, proses, dan

mutu pelayanan yang diberikan oleh pemerintah harus dilaksanakan secara berhasil

serta sesuai dengan biaya dan manfaat sebagaimana yang inginkan oleh masyarakat.

Pelayanan Publik Bidang Kesehatan telah didukung dengan Undang-Undang

No. 23 Tahun 1992 tentang Sistem Kesehatan Masyarakat. UU ini telah mengatur

berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan, baik yang mencakup, filosofi,

pengaturan antara hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab, upaya-upaya

kesehatan maupun SDM. Dalam UU tersebut telah ditetapkan bahwa pembangunan

kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Derajat kesehatan yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi

dan mungkin dapat dicapai pada suatu saat, sesuai dengan kondisi dan situasi serta

kemampuan yang nyata dari setiap orang sehingga harus diterjemahkan sebagai

sebuah upaya yang bersifat terus menerus. Pemerintah mempunyai tanggung jawab

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seoptimal mungkin, yang

dilakukan secara menyeluruh, terpadu serta berkesinambungan. Untuk itu salah satu

tugas pemerintah yang paling penting dalam sektor kesehatan adalah

menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata serta terjangkau oleh seluruh lapisan

masyarakat. Meningkatkan derajat kesehatan merupakan modal awal yang sangat

strategis bagi pengembangan dan pembinaan SDM Indonesia sehingga dapat dipakai

sebagai modal dan asset pembangunan.


109

Filosofi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termuat pada pasal 10

dimana upaya kesehatan dilakukan melalui pendekatan promotive (pemeliharaan,

peningkatan kesehatan), preventive (pencegahan penyakit), curative (penyembuhan

penyakit) dan rehabilitative (pemulihan kesehatan) yang dilakukan secara

menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan

yang optimal (pasal 4) dan pemerintah bertangung jawab untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat (pasal 9). Berdasarkan undang-undang ini, upaya kesehatan

meliputi : Kesehatan Keluarga, perbaikan Gizi, Pengamanan Makanan dan Minuman,

Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, Kesehatan Jiwa, Pemberantasan Penyakit,

Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan , Penyuluhan Kesehatan,

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Pengamanan zat Adiktif,

Kesehatan Sekolah, Kesehatan Olah raga, Pengobatan Tradisional, Kesehatan Mata.

UU No. 23 Tahun 1992 ini juga telah mengatur adanya sangsi bagi para

pelaku tindakan medis untuk menjamin keamanan pasien sebagai konsumen atas jasa

yang diberikan oleh tenaga medis maupun perlindungan bagi tenaga kesehatan dalam

menjalankan tugas sesuai dengan profesinya (pasal 53, 54 dan 55). Pada pasal 53 ayat

(1), disebutkan secara tegas bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Pasal 54

ayat (1) menyebutkan bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan

atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.

Begitu pula dengan adanya pasal 55 ayat (1) yang menjamin kemungkinan adanya
110

pemberian ganti rugi bagi pasien atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan tenaga

kesehatan.

Dalam bidang kesehatan juga telah disusun Standar Pelayanan Minimal

(SPM) Nasional bidang kesehatan yang sangat terkait dengan Indikator Sehat 2010,

karena baik SPM bidang kesehatan maupun Indikator Indonesia sehat 2010 sama-

sama memberikan target yang harus dicapai dalam pelayanan publik bidang

kesehatan. Indikator Sehat 2010 dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu ;

a) indikator derajat kesehatan yang merupakan hasil akhir yang terdiri atas

indikator-indikator mortalitas, morbiditas dan status gizi,

b) indikator hasil antara yang terdiri atas indikator keadaan lingkungan, perilaku

hidup masyarakat, akses dan mutu pelayanan kesehatan,

c) indikator proses dan masukan yang terdiri atas indicator-indikator pelayanan

kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan dan konstribusi sektor-

sektor terkait.

Dalam Pelayanan Kesehatan yang diberikan Rumah Sakit di Indonesia ada

pedoman tentang standar minimun pelayanan yang berdasarkan kepada Keputusan

Menteri Kesehatan No. 228/MENKES/SK/III/2002 tentang Pedoman Penyusunan

Standar Pelayanan Minimum Rumah Sakit yang Wajib dilaksanakan Daerah. Standart

Pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen

rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik

rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit.
111

Indikator adalah merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat

menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur

kinerja rumah sakit ada beberapa indikator, yaitu:

1. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang

memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap

dan lain-lain.

2. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya

kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-lain.

3. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah

yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.

4. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan

sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan

lain-lain.

5. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit

maupun penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih

murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.

6. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas

misalnya angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan

masyarakat, meningkatnya kesejahteraan karyawan.

Manfaat Standar Pelayanan Minimal adalah : Pertama, bagi masyarakat: a).

tersedia pelayanan yang terjangkau dan berkesinambungan, b). Pelayanan bermutu


112

dan sesuai standart, c) Meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat. d)

Melindungi hak asasi masyarakat dibidang kesehatan.

Kedua, bagi Rumah Sakit : a). akuntabilitas rumah sakit kepada pemerintah

daerah. b). Pemacu untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja rumah

sakit. c). Memudahkan rumah sakit untuk menentukan strategi. d). Dapat dijadikan

salah satu dasar untuk menghitung besarnya subsidi kepada rumah sakit oleh

pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan masyarakat.

Ketiga, bagi Pemerintah Kabupaten/Kota: a). Adanya akuntabilitas pelayanan

kesehatan. b). Merupakan rujukan dalam rangka melakukan pembinaan diwilayahnya.

c). Mengetahui hal-hal yang harus di fsilitas oleh Kabupaten/Kota. d). Mengetahui

ruang kewenangan dalam bidang kesehatan daerah Kabupaten Kota. e). Merupakan

acuan yang dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pembinaan.

E. Kerangka Pikir Penelitian

Perkembangan konsep administrasi publik melahirkan paradigma baru “The

New Public Management” (Osborne dan Gaebler, 1996; Osborne dan Plastrik, 1997)

dan “The New Public Service” (Denhardt & Denhardt, 2003). Kedua pendekatan ini

melahirkan gagasan tentang kepemerintahan yang baik. Kepemerintahan yang baik

adalah mewujudkan kinerja yang nyata yang didasari oleh prinsip partisipasi, efisien

dan efektivitas, keadilan, akuntabilitas, transparansi, responsivitas, kesamaan dan

kepastian hukum (Dwiyanto,2004).


113

Tantangan untuk menjalankan pemerintahan dengan efektif, efisien dan

ekonomis telah mengubah peran pemerintah dari sekedar memberikan pelayanan

seadanya secara rutin menjadi melayani semua kebutuhan pelayanan masyarakat

dengan mutu yang tinggi (high quality services). Konsekuensi dari tuntutan tersebut

adalah berbagai upaya dengan berbagai inovasi baru untuk meningkatkan standar

kinerja pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan atau malah bisa melebihi

keinginan dan harapan masyarakat.

Model kebijakan Partisipatory Governance dalam pelayanan kesehatan p

layak untuk dikembangkan (Pollit,1999) yaitu karena : 1) transaksi yang terjadi antara

penyedia dan pengguna pelayanan di sektor publik itu cenderung lebih kompleks

daripada yang dihadapi oleh pengguna pelayanan di pasar normal, 2) para konsumen

disektor publik itu bukan sekedar konsumen tetapi mereka itu juga merupakan warga

negara yang tentunya hal ini mempunyai implikasi –implikasi unik tertentu. Rumah

Sakit sebagai institusi penyedia pelayanan kesehatan juga masih sangat perlu

mengembangkan pelayanan yang berkualitas sesuai harapan para pelanggan.

Pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat dilihat dari dimensi-dimensi

kualitas pelayanan secara teoritis menurut Parasuraman et al. (1995), Coddington

(1987), JCAHO (2001). Secara Undang-undang dan peraturan adalah 1) Undang-

undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, 2) Kepmenpan No. 63 / Tahun

2003, IKM (2004), 3) SPM Rumah Sakit Daerah 2002.

Dalam Model Konseptual Servqual, prose pelayanan ada 5 kemungkinan

terjadinya gap yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi akan kualitas


114

pelayanan. Kualitas`pelayanan adalah tingkat kesesuaian antara harapan/ keinginan

dan persepsi dari pelayanan yang diterima oleh pelanggan. Perlu adanya upaya untuk

menghilangkan perbedaan persepsi (gap) tentang kualias pelayanan antara penyedia

layanan dengan pelanggan. Sebagai upaya adalah dengan meningkatkan kesesuaian

pada pemenuhan kebutuhan dan harapan pada berbagai dimensi-dimensi kualitas

pelayanan. Pemenuhan dimensi kualitas pelayan yng sesuai dengan kebutuhan dan

harapan masyarakat akan memberikan persepsi yang positif terhadap kualitas

pelayanan yang diberikan. Berdasarkan latar belakang, kajian pustaka dan hasil

penelitian terdahulu yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka penelitian ini

akan menggunakan kerangkaPartisipatori Governance


berpikir sebagaimana
Partisipatori Governance digambarkan dalam skema
berikut ini :
Aspirasi
AspirasiMasyarakat
Masyarakat

Dimensi
DimensiPelayanan
Pelayanan

1. Prosedur Pelayanan (Service Procedur) 9. Keamanan (Safety


1. Prosedur Pelayanan (Service Procedur) 9. Keamanan (Safety
2. Biaya Pelayanan ( Service Charge) 10. Pelayanan mudah diperoleh (Access)
2. Biaya Pelayanan ( Service Charge) 10. Pelayanan mudah diperoleh (Access)
3. Produk Pelayanan ( Product Service) 11. Komunikasi (Comunication)
3. Produk Pelayanan ( Product Service) 11. Komunikasi (Comunication)
4. Sarana dan Prasarana (Tangibles) 12. Mengerti terhadap pasien
4. Sarana dan Prasarana (Tangibles) 12. Mengerti terhadap pasien
5. Kompetensi petugas (Competence) (understanding the costumer)
5. Kompetensi petugas (Competence) (understanding the costumer)
6. Keadilan ( Justice) 13. kemanjuran (Efficacy)
6. Keadilan ( Justice) 13. kemanjuran (Efficacy)
7. Reabilitas (Reability) 14. Ketepatan Waktu (Time liness)
7. Reabilitas (Reability) 14. Ketepatan Waktu (Time liness)
8. Keinginan Petugas Membantu 15. Keramahan,Menghormati,keperdulian,
8. Keinginan Petugas Membantu 15. Keramahan,Menghormati,keperdulian,
(Responsiveness) (Courtesy Respect & Caring)
(Responsiveness) (Courtesy Respect & Caring)
16. Kenyamanan (Freshness)
16. Kenyamanan (Freshness)

Kebutuhan
Kebutuhandan Pelayanan
dan PelayananPublik
Publik RSUD
RSUDPenyedia
Penyedia
Harapan Masyarakat Bidang Kesehatan Layanan
Harapan Masyarakat Bidang Kesehatan Layanan
Pelanggan Kesehatan
Pelanggan Kesehatan

Pelayanan
PelayananKesehatan
KesehatanBerkualitas
Berkualitas
115

Gambar 2.4. Kerangka Pikir Penelitian


Sumber : Data Diolah (2012)

Anda mungkin juga menyukai