Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM STEVEN

JOHNSON DAN RESUME DI RUANG TERATAI R.S.U.D BANGIL

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH :

ARITA VINARIA RAMBU NGUJU

2018611017

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2019
LAPORAN PENDAHULUAN SINDROM STEVEN JOHNSON (SJS)

A. Pengertian Sindrom Steven Johnson (SJS)


Sindrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel
atau bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium
dan dengan keadaan umum bervariasi dan baik sampai buruk (Mansjoer, A, 2000).
Steven johnson sindrom merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. SSJ adalah sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Hamzah,
2002). Sindrom Stevens-Jhonson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau
diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung
dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif
sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu
kadang tidak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika
cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Sindrom Stevens-
Jhonson akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan
kematian seperti syok anafilaktik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa SSJ merupakan reaksi tubuh akibar hipersensitivitas
yang memunculkan tiga gejala khusus yaitu eritema, vesikel, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
baik sampai buruk.

B. Etiologi Sindrom Steven Johnson (SJS)


Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50%
penyebab SSJ adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid, lactam,
imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah quinolon, antikonvulsan
aromatik dan alopurinol. Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :

No Penyebab Keterangan
1. • Infeksivirus jamur • Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae,
• Bakteri vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma.
• Parasit • streptokokus, Staphylococcs haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis, salmonella
• Malaria
2. Obat salisilat, sulfat, penisilin, etambutol, tegretol,
tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin,
karbamazepin, kinin, analgetikatauantipiretik
3. Makanan Cokelat
4. Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
5. Lain – lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

C. Patofisiologi Sindrom Steven Johnson (SJS)


Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai
oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan.. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe
III dan IV.

Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi
akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000) .

1. Reaksi Hipersensitif tipe III.


Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen
dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

D. Tanda dan Gejala Sindrom Steven Johnson (SJS)


Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
5. Kelainan mata
Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
bola mata), konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi
kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis
dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut.

E. Komplikasi Sindrom Steven Johnson (SJS)


Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
1. Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
2. Gastroenterologi - Esophageal strictures
3. Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
4. Pulmonari – pneumonia
5. Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
6. Infeksi sitemik, sepsis
7. Kehilangan cairan tubuh, shock

F. Pemeriksaan Penunjang Sindrom Steven Johnson (SJS)


1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa. Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari
infeksi. Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
2. Histopatologi
Infiltrasi sel ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superficial
Edema dan extravasasi sel darah merah di dermis papilar.
Degenerasi hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang dianeksa Spongiosis dan edema intrasel
di epidermis.
3. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
4. Imunologi
Deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial dan pada pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Terdapat komplek imun yang mengandung IgG,
IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kombinasi.
5. Determine renal function and evaluate urine for blood.
6. Pemeriksaan elektrolit
7. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
8. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
9. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
10. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnosa.

G. Penanganan Sindrom Steven Johnson (SJS)


Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab
SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumoniae
harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5
mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul
lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu
setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).
Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL
3 x 500 mgatauhari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk
mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
proteinatauanabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.Infus dan tranfusi darah
3. Pengaturan keseimbangan cairanatauelektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus
yang disertai purpura yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
Pathways

Alergi obat2an Infeksi Neoplasma faktor fisik Makanan


mikroorganisme

Steven Johnson
Syndrome

Reaksi Alergi Type III Reaksi Alergi Type IV

Kompleks antigen & antibodi Sel T 

Terperangkap dalam jar. Limfosit & sitotoksin terlepas


Kapiler

Sel Mast 

Jaringan kapiler rusak

Akumulasi neutrofil

Reaksi Radang

Jaringan kulit dan mucosa eritema Kelainan pada mata

Kelainan selaput Inflamasi dermal dan Conjungtivitis


lendir dan ofisium epidermal

Kesulitan menelan
Nyeri G3 Persepsi sensori
Kelainan penglihatan
Intake tidak adekuat

Kelemahan Fisik G3 Integritas kulit

Nutrisi kurang dari Supply Nutrisi ke


kebutuhan tubuh jaringan otot 

Intoleraksi aktivitas
A. TINJAUAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan / sulit menelan.
2. Data Obyektif
a. Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi
yang luas, sering didapatkan purpura.
b. Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
c. Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
3. Pemeriksaan fisik
Lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus:
a. Adanya eritema yaitu area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan
jumlah darah yang teroksigenisasi pada vaskularisasi dermal.
b. Vesikel, bula dan purpura.
c. Ekimosis yaitu kemerahan yang terlokalisir atau perubahan warna
keunguan yang disebabkan oleh ekstravasasi darah ke dalam jaringan kulit
dan subkutan.
d. Ptekie yaitu bercak kecil dan berbatas tajam pada lapisan epidermis
superficial
e. Lesi sekunder yaitu perubahan kulit yang terjadi karena perubahan pada
lesi primer, yang disebabkan oleh obat, involusi dan pemulihan.
f. Kelainan selaput lender di mukosa mulut, genetalia, hidung atau anus
g. Konjungtivitis, ulkus kornea, iritis dan iridoksiklitis

4. Data Penunjang
a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
b. Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d. inflamasi pada kulit.
2. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d gangguan sistem
gastrointestinal
4. intoleransi aktivitas b.d. suplai nutrisi berkurang
5. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
c. intervensi

Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional


No
keperawatan keperawatan
1 Nyeri Setelah a. Mampu NIC:
berhubungan dilakukan mengontrol 1. Lakukan 1. Pertimbangan
dengan tindakan nyeri (tahu pengkajian intervensi
inflamasi keperawatan penyebab nyeri secara yang akan
pada kulit. 1x24 jam nyeri nyeri, mampu komprehensif dilakukan
terkontrol/me menggunakan 2. Kontrol 2. Mengurangi
mbaik tehnik lingkungan penyebab
nonfarmakolo yang dapat nyeri
NOC : gi untuk mempengaruhi meningkat
a. Pain level mengurangi nyeri seperti
b. Pain nyeri, mencari suhu ruangan,
control bantuan) pencahayaan
c. Comfort b. Melaporkan dan kebisingan
level bahwa nyeri 3. Ajarkan tehnik
berkurang non farmakologi
menggunakan untuk 3. Alternative
manajemen mengurangi mengurangi
nyeri nyeri nyeri dengan
c. Mampu 4. Monitor TTV potensi diri
mengenali sebelum dan 4. Mengetahui
nyeri (skala, sesudah kondisi
intensitas, pemberian fisiologi
frekuensi dan analgesic
tanda nyeri) pertama kali
5. Tingkatkan
istirahat 5. Mengurangi
nyeri karena
aktivitas
2 Gangguan Setelah a. Perfusi NIC:
integritas dilakukan jaringan baik a. jaga kebersihan a. mencegah
kulit b.d. tindakan b. Integritas kulit kulit agar tetap terjadinya
Inflamasi keperawatan yang baik bisa bersih dan kering infeksi
dermal dan 1x24 jam dipertahankan b. mobilisasi pasien b. mencegah
epidermal integritas kulit (sensasi, setiap 2 jam dekubitus
dapat elastisitas, sekali c. kemerahan
dipertahankan temperature, c. monitor kulit merupakan
hidrasi akan adanya salah satu
NOC: pigmentasi) kemerahan tanda infeksi
tissue integrity d. menjaga
(skin and kelembapan
mocus d. oleskan lotion kulit
membranes) atau minyak pada
daerah yang e. nutrisi yang
tertekan baik akan
e. monitor status membantu
nutrisi pasien penyembuhan

3. Ketidakseimb Setelah a. Mampu NIC:


angan nutrisi dilakukan mengidentifik 1. Kaji adanya 1. Menghindari
kurang dari tindakan asi kebutuhan alergi makanan adanya reaksi
kebutuhan keperawatan nutrisi alergi
berhubungan 1x24 jam b. Tidak terdapat 2. Monitor tipe dan 2. Aktivitas
dengan nutrisi pasien tanda-tanda jumlah aktivitas dapat
gangguan dapat malnutrisi yang biasa membuat
sistem terpenuhi dilakukan metabolisme
gastrointestin meningkat
al NOC: 3. Monitor
a. Nutritional perubahan 3. Memantau
status pigmentasi hidrasi
b. Weight
control 4. Monitor 4. Lingkungan
lingkungan dapat
selama makan mempengaruh
i motivasi
untuk makan
5. Monitor turgor 5. Monitor
kulit hidrasi
4 Intoleransi Setelah 1. Berpartisipasi NIC:
aktivitas b.d. dilakukan dalam 1. Bantu pasien 1. aktivitas yang
Suplai nutrisi tindakan kegiatan fisik untuk mudah
berkurang keperawatan 2. Tanda vital mengidentifikasi dilakukan
1x24 jam normal aktivitas yang yang tidak
toleransi mampu dilakukan membebani
aktivitas jantung
meningkat 2. aktivitas yang
2. Bantu untuk yang tidak
NOC memilih aktivitas membebani
Activity yang sesuai jantung
Tolerance dengan
kemampuan fisik 3. memudahkan
untuk
3. Bantu mendapatkan
mengidentifikasi sumber
untuk selama
mendapatkan aktivitas
sumber yang
diperlukan ketika 4. meningkatkan
beristirahat percaya diri
4. Bantu pasien pasien
untuk
mengembangkan 5. mengetahui
motivasi diri adanya tanda
tanda
5. Monitor respon itoleransi
fisik selam aktivitas
beraktivitas.
5 Gangguan Setelah 1. Mengenal NIC :
persepsi dilakukan gangguan 1. Tentukan 1. Penemuan dan
sensori: tindakan sensori dan ketajaman penanganan
kurang keperawatan berkompensasi penglihatan, awal
penglihatan 1x24 jam terhadap kemudian catat komplikasi
b.d perubahan. apakah satu atau dapat
konjungtifitis NOC 2. Mengidentifik dua mata mengurangi
improve visual asi/memperbai terlibat. resiko
acuity ki potensial Observasi kerusakan
bahaya dalam tanda-tanda lebih lanjut
lingkungan. disorientasi.

2. Orientasikan 2. Meningkatkan
klien tehadap keamanan
lingkungan. mobilitas
dalam
lingkungan.
3. Perhatikan
tentang suram 3. Cahaya yang
atau penglihatan kuat
kabur dan iritasi menyebabkan
mata, dimana rasa tak
dapat terjadi nyaman
bila setelah
menggunakan penggunaan
tetes mata. tetes mata
4. Letakkan dilator
barang yang 4. Komunikasi
dibutuhkan/posi yang
si bel pemanggil disampaikan
dalam dapat lebih
jangkauan/posis mudah
i yang tidak diterima
dioperasi. dengan jelas.
5. berikan
lingkungan
yang aman bagi 5. mencegah
pasien cedera pada
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Djuanda, Adi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Doengos, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media
Aesculapius : Jakarta
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi
2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai