Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

PENYAKIT DALAM
SEPSIS

PEMBIMBING:
dr. Pandji Mulyono., Sp.PD., K-EMD.FINASIM

PENYUSUN:
Mellyana Vivirianti 20170420108
Orlando Pikatan 20170420132

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RSAL DR. RAMELAN
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul “SEPSIS” ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penyusunan referat
ini merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan sebagai bagian
dari kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAL dr. Ramelan
Surabaya. Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini, terutama kepada
dr. Pandji Mulyono.,Sp.PD.,K-EMD.FINASIM yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dalam penyusunan
referat agar lebih baik.
Kami menyadari jika referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran tentunya kami harapkan dapat membuat referat
ini menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................. 3
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 4
2.1 Sepsis ............................................................................................. 4
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 4
2.1.2 Etiologi ..................................................................................... 4
2.1.3 Patogenesis ............................................................................. 6
2.1.4 Manifestasi Klinis ................................................................... 12
2.1.5 Diagnosis ............................................................................... 14
2.1.6 Komplikasi.............................................................................. 15
2.1.7 Managemen ........................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan puncak dari interaksi kompleks dari imunitas


penderita, reaksi inflamasi dan koagulasi dan mikroorganisme yang
menginfeksi. Sepsis adalah penyakit yang heterogen, aktivasi proses
inflamasi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan progresi sepsis menjadi
sepsis berat dan dapat berujung pada terjadinya syok septik.1

Sepsis merupakan penyebab utama kematian di intensive care units (ICU)


di seluruh dunia. Dilaporkan lebih dari 34.000 kematian disebabkan oleh
sepsis di Amerika. Sebuah penelitian di India dilakukan untuk mengetahui
insidensi dari sepsis berat. Dari total 1.344 pasien yang masuk ke Intensive
Care Unit (ICU), total pasien yang masuk dengan sepsis berat adalah 13%.
Terjadi peningkatan insidensi sepsis akibat dari kemajuan medik di seluruh
dunia seperti misalnya penggunaan kateter intravaskular yang
berkepanjangan, peningkatan dalam implan material bagian tubuh buatan
seperti sendi atau katup jantung buatan dan penggunaan obat-obat
imunosupresif atau agen kemoterapi.1,2,3

Referat ini akan akan membahas lebih dalam tentang sepsis ditinjau dari
definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, komplikasi dan penatalaksanaan.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis
2.1.1 Definisi

Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang masih dicurigai secara


klinis atau telah terbukti disertai dengan adanya SIRS. SIRS adalah
manifestasi klinis dari inflamasi sistemik dengan dua atau lebih kriteria
adalah:5

1. Suhu >38oC atau <36oC

2. Denyut jantung >90x/menit

3. Laju nafas >20x/menit atau PaCO2 <32mmhg

4. Hitung leukosit >12.000mm3 atau <4000/mm3 , atau band >10%.

Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,


hipoperfusi atau hipotensi. Yang termasuk di dalam hipoperfusi adalah
asidosis laktat, oliguria atau perubahan status mental akut. Akan tetapi
hipoperfusi tidak terbatas pada ketiga hal tersebut saja. Syok septik
didefinisikan sebagai sepsis berat dengan hipotensi walaupun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat.6

2.1.2 Etiologi

Di negara barat, penyebab paling sering dari sepsis adalah infeksi


bakteri. Bakteri gram positif yang paling sering menyebabkan sepsis adalah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae sedangkan bakteri
gram negatif yang paling sering menyebabkan sepsis adalah Escherichia
coli, Klebsiella sp. dan Pseudomonas aeruginosa. Walaupun bakteri-bakteri
ini juga sering ditemukan pada kultur darah pasien dengan sepsis di daerah
tropis, perlu dipertimbangkan penyebab lain yang dapat menyebabkan
sepsis. Penyebab potensial sepsis yang mematikan di negara tropis adalah

4
infeksi malaria fulminan, tetanus fulminan, infeksi amuba fulninan, demam
berdarah viral, leptospirosis, demam tifoid, dan hiperinfeksi yang
disebabkan oleh strongiloidosis.7

Lokasi yang umumnya menjadi sumber infeksi pada pasien dengan


sindroma sepsis adalah traktus respiratori, traktus genitourinaria, traktus
gastrointestinal dan traktus hepatobilier. Lokasi lain yang lebih jarang
menjadi sumber infeksi adalah jalur intravena, cairan infus, luka operasi,
pemakaian kateter jangka panjang dan ulkus dekubitus.8

Sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif merupakan flora


normal di dalam traktus gastrointestinal yang menyebar ke struktur yang
berdekatan seperti pada peritonitis akibat perforasi apendiks atau flora
normal yang berpindah dari perineum ke urethre atau kandung kemih.
Fokus infeksi sepsis yang disebabkan bakteri gram negatif lainnya adalah
berasal dari traktus genitourinarium dan saluran empedu. Sepsis yang
disebabkan oleh bakteri gram positif biasanya disebabkan oleh infeksi pada
kulit, saluran respiratori dan luka terbuka seperti pada luka bakar.5

Telah terjadi perubahan bakteriologi dari sepsis dalam dekade


terakhir. Bakteri gram negatif seperti contohnya Enterobacteriaceae spp.
dan Pseudomonas spp. yang sebelumnya merupakan penyebab utama dari
sepsis telah digantikan oleh bakteri gram positif yang saat ini menyebabkan
lebih dari 50% dari kasus sepsis. Staphylococcus spp. adalah bakteri yang
paling sering ditemukan pada kultur darah, diduga karena terjadinya
peningkatan prevalansi dari pemakaian jangka alat-alat dengan akses vena
dan bahan-bahan prostetik implan. Dengan alasan yang sama, kejadian
sepsis fungal yang disebabkan oleh Candida spp. meningkat secara
dramatis dalam dekade terakhir. Sepsis yang berhubungan dengan P
aeruginosa, Candida,atau infeksi campuran dari beberapa organisme
memiliki angka mortalitas yang tinggi.2

5
2.1.3 Patogenesis

Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak berasal dari
stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram negatif maupun eksotoksin gram
positif. Struktur lipid A dari lipolisakarida (LPS, dapat juga disebut
endotoksin) yang merupakan komponen utama dari membran terluar
bakteri gram negatif bertanggung jawab terhadap toksisitas bakteri dan
reaksi inflamasi. Respon yang dihasilkan terhadap endotoksin mencakup
interaksi kompleks dari makrofag, neutrofil, monosit, limfosit, platelet dan
sel endotel yang dapat mempengaruhi hampir semua organ. Sebuah
protein dari penjamu (LPS-binding protein) berikatan dengan lipid A dan
membawa LPS menuju CD14 yang terdapat pada permukaan monosit,
makrofag dan meutrofil. LPS kemudian akan diteruskan ke MD-2 yang
berikatan dengan toll like receptors 4 (TLRs4) untuk membentuk sebuah
kompleks molekuler yang mengirimkan sinyal pengenalan LPS ke bagian
dalam dari sel. Sinyal ini akan secara cepat memicu produksi dan
pelepasan dari mediator-mediator, seperti tumor necrosis factor (TNF),
yang akan memperkuat dan mengirimkan sinyal LPS ke sel dan jaringan
lain. 5

Peptidoglikan dan lipopeptida dari bakteri menimbulkan respon yang


secara keseluruhan mirip dengan respon yang ditimbulkan LPS. Molekul-
molekul tersebut akan ditransfer oleh CD14 dan berinterkasi dengan TLR
yang berbeda. Terdapat 11 jenis TLR yang berbeda yang telah
terindentifikasi sejauh ini pada manusia. Protein lain yang penting dalam
proses pengenalan invasi patogen adalah nucleotide-binding
oligomerization domain-containing protein (NOD) 1 dan 2 yang akan
mengenali fragmen yang berlainan dari peptidoglikan bakteri, komponen
komplemen awal (jalur alternatif), dan lektin yang berikatan dengan
mannose dan C-reactive protein yang mengaktifkan komplemen melalui
jalur klasik. 9

6
Kemampuan host untuk mengenali molekul mikroba tertentu dapat
mempengaruhi potensi dari pertahanan diri dan patogenesis dari sepsis
berat. Sebagai contoh, MD-2-TLR4 paling baik mendeteksi LPS yang
memiliki lipid A dengan rantai hexaacyl. Kebanyakan dari bakteri gram
negatif komensal aerob dan non-aerob yang dapat mencetuskan sepsis
berat dan syok septik (sebagai contoh E. coli, Klebsiella dan Enterobacter)
memiliki struktur lipid A dengan rantai hexaacyl ini. Saat patogen –patogen
ini menginvasi penjamu, biasanya melalui epitel pelindung yang rusak,
patogen-patogen ini biasanya terbatas di jaringan subepitel dan
menyebabkan respon inflamasi lokal. Patogen-patogen ini tampaknya
menyebabkan sepsis berat umumnya dengan mencetuskan inflamasi lokal
yang berat daripada dengan bersirkulasi di aliran darah.10

Sedangkan Pengenalan molekul mikroba oleh fagosit jaringan


mencetuskan terjadinya produksi dan/atau pelepasan dari sejumlah
molekul penjamu (seperti sitokin, kemokin, prostanoid, leukotriene dan
lainnya) yang menyebabkan peningkatan airan darah ke jaringan yang
terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah lokal,
mengerahkan neutrofil ke tempat infeksi dan menghasilkan sakit. Respon
sistemik diaktivasi oleh komunikasi humoral dan/atau neural dengan
hipotalamus dan batang otak; respon ini meningkatkan pertahanan lokal
dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang terinfeksi,
meningkatkan jumlah neutrofil yang bersirkulasi, dan menaikkan level dari
9
sejumlah molekul di pembuluh dari yang memiliki fungsi anti-infeksi.

Sitokin dapat memiliki efek endokrin, parakrin dan autokrin. TNF-


menstimulasi leukosit dan sel endotel pembuluh darah untuk melepaskan
sitokin lainnya, untuk mengeskpresikan molekul permukaan sel yang
memperbanyak adesi neutrofil-endotel pada tempat infeksi dan
meningkatkan produksi prostaglandin serta leukotriene. Level TNF- di
pembuluh darah mengalami peningkatan pada pasien dengan sepsis berat
atau syok septik. TNF- walaupun berfungsi sebagai mediator sentral,
hanya merupakan satu dari begitu banyak molekul proinflamatori yang

7
berkontribusi dalam pertahanan penjamu. Kemokin, terutama interleukin
(IL)-8 dan IL-17, menarik neutrofil sirkulasi ke tempat infeksi. IL-1
menunjukkan aktifitas serupa dengan IL-1 , interferon (IFN) , IL-12, IL- 17
dan sitokin proinflamasi lainnya dan mungkin berinteraksi secara sinergis
satu dengan yang lainnya.5

Trombosis intravaskular, sebuah tanda dari respon inflamasi lokal,


dapat membantu mencegah invasi mikroba dan penyebaran infeksi dan
inflamasi ke jaringan lain. IL-6 dan mediator lainnya mendorong terjadinya
koagulasi intaravaskular dengan menginduksi monosit dan sel endotel
pembuluh darah untuk mengekspresikan faktor jaringan. Saat faktor
jaringan diekspresikan pada permukaan sel, ia akan berikatan dengan
faktor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang dapat mengkonversi
faktor X dan IX menjadi bentuk aktif. Hasil yang didapatkan adalah aktivasi
dari jalur pembekuan ekstrinsik dan intrinsik, menyebabkan pemuncakan
dari produksi fibrin. Pembekuan juga terjadi akibat gangguan fungsi jlaur
inhibisi protein C-protein S dan deplesi antitrombin dan protein C dan S,
sedangkan fibrinolisis dihambat oleh peningkatan level inhibitor aktivator
plasminogen 1. Hal ini dapat menyebabkan kecenderungan yang menyolok
pada deposisi fibrin intravaskular, trombosis dan pendarahan;
kecenderungan ini paling sering terlihat pada pasien dengan infeksi
endotelial intravaskular seperti meningococcemia. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa faktor jaringan yang mengekspresikan mikropartikel yang berasal
dari leukosit berpotensi sebagai pencetus koagulasi intravaskular. Aktivasi
sistem-kontak terjadi selama sepsis tetapi berkontribusi lebih kepada
terjadinya hipotensi dibandingkan dengan terjadinya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC).4

Pengenalan mikroba yang menginvasi oleh penjamu di dalam


jaringan subepitel akan secara khusus mengaktifkan respon imun yang
secara cepat membunuh patogen. Respon imun ini kemudian akan mereda
untuk memberikan kesempatan pemulihan jaringan. Proses anti- inflamasi
yang membantu meredakan proses inflamasi mencakup molekul yang

8
menetralkan atau menginaktifasi signal mikrobial. Diantara molekul-molekul
ini adalah faktor intrasel (contohnya penekan dari cytokine signaling 3 and
IL-1 receptor–associated kinase 3) yang menurunkan produksi mediator
proinflamasi oleh neutrofil dan makrofag; sitokin anti- inflamasi (IL-10. IL-4)
dan molekul yang berasal dari essential polyunsaturated fatty acids (lipoxin,
resolvin dan protektin) yang mendorong terjadinya pemulihan jaringan.
Inaktivasi enzim oleh sinyal molekul mikrobial (mis : LPS) dapat dibutuhkan
untuk memulihkan homeostasis; acyloxyacyl hydrolase yang merupakan
enzim leukosit terbukti menghambat terjadinya inflamasi yang
berkepanjangan dengan menginaktivasi LPS pada tikus.9,10

Badan pengirim sinyal yang menghubungkan pengenalan mikrobial


dengan respon seluler lebih tidak aktif di darah dibandingkan dengan di
jaringan. Sebagai contoh, walaupun LPS- binding protein memiliki peran
dalam mengenali kehadiran LPS di jaringan, pada plasma protein ini juga
mencegah terjadinya pengiriman sinyal LPS dengan mentransfer molekul
LPS kedalam partikel lipoprotein plasma yang mengambil bagian dari lipid
A sehingga LPS tidak dapat berinteraksi dengan sel. Pada keadaan dimana
konsentrasi LPS-binding protein tinggi di dalam darah, LPS-binding protein
juga menginhibisi respon monosit terhadap LPS dan bentuk sirkulasi dari
CD14 melepaskan LPS yang berikatan dengan permukaan monosit. 10

Respon sistemik terhadap infeksi juga mengurangi respon selular


terhadap molekul mikrobial. Level dari sitokin anti-inflamasi sirkulasi
(contoh: IL-10) meningkat bahkan pada pasien dengan infeksi ringan.
Glukokortikoid menginhibisi sintesis in vitro sitokin oleh monosit;
peningkatan level kortisol darah pada awal respon sistemik memiliki peran
inhibisi yang sama. Epinefrin menginhibisi respon TNF- terhadap
pemasukan endotoksin pada penjamu dan secara bersamaan
memperbanyak dan mempercepat pelepasan IL-10; protaglandin E2
memiliki efek “pemograman ulang” yang sama terhadap respon dari
monosit sirkulasi kepada LPS dan agonis bakterial lainnya. Kortisol,
epinefrin, IL-10 dan C-reactive protein menurunkan kemampuan neutrofil

9
untuk menempel pada endotel pembuluh darah, melepaskan neutrofil dari
endotel dan dengan demikian berkontribusi terhadap leukositosis
sementara menghambat adhesi neutrofil-endotelial pada organ yang tidak
mengalami inflamasi. Bukti-bukti yang tersedia dengan demikian
menunjukkan bahwa respon sistemik tubuh terhadap kerusakan dan infeksi
biasanya menghambat inflamasi di dalam organ-organ yang jauh dari
tempat terjadinya infeksi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa
respon-respon ini dapat memiliki efek imunosupresi.4

Respon pada fase akut menyebabkan peningkatan konsentrasi dari


begitu banyak molekul yang memiliki efek anti-inflamasi di dalam darah.
Sebagai contoh, level reseptor antagonis IL-1 di dalam darah sering kali
melebihi level dari IL-1 sirkulasi dan kelebihan ini dapat menginhibisi
pengikatan IL-1 dengan reseptornya. Level yang tinggi dari reseptor TNF
terlarut menetralkan TNF- yang memasuki sirkulasi. Protein fase akut lain
adalah inhibitor protease atau antioksidan yang dapat menetralkan molekul
berbahaya yang dilepaskan oleh neutrofil dan sel inflamasi lainnya.
Peningkatan produksi hepcidin oleh hati akan mendorong terjadinya
pelepasan zat besi di dalam hepatosit, sel epitel intestinal dan eritrosit; efek
ini akan mengurangi pengambilan zat besi oleh mikroba serta berkontribusi
terhadap terjadinya anemia normositik normokrom yang berhubungan
dengan inflamasi.5

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa respon lokal dan


sistemik terhadap agen infeksius memberikan keuntungan-keuntungan
yang penting bagi penjamu. Penjelasan tentang bagaimana respon-respon
ini berkontribusi terhadap kematian (sebagai contoh terjadinya
maladaptasi) masih menjadi tantangan besar untuk penelitian sepsis. 10

Banyak penelitian yang menunjukkan keterlibatan kerusakan endotel


yang menyebarluas sebagai mekanisme utama terjadinya disfungsi
multiorgan. Mediator-mediator yang berasal dari leukosit dan platelet-
leukocyte-fibrinthrombi dapat berkontribusi terhadap kerusakan vaskuler,

10
tetapi endotelium vaskuler juga tampaknya memiliki peran aktif. Stimulus
seperti TNF- menginduksi sel endotelial vaskular untuk memproduksi dan
melepaskan sitokin, molekul prokoagulan, faktor aktivasi platelet, nitrik
oksida (NO) dan mediator lainnya. Sebagai tambahan, molekul sel adhesi
menyebabkan penempelan neutrofil kepada sel endotel. Sementara respon
ini dapat menyebabkan penarikan fagosit ke tempat infeksi dan aktivasi dari
komponen antimikrobial, aktivasi sel endotel juga dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, trombosis mikrovaskular, DIC dan
hipotensi.4

Oksigenasi jaringan dapat menurun selagi terjadi penurunan jumlah


kapiler fungsional oleh obstruksi luminal akibat pembengkakan sel endotel,
penurunan pembentukan eritrosit sirkulasi, leukocyte-platelet-fibrinthrombi
atau kompresi dari cairan edema. Di sisi lain, penelitian menggunakan
orthogonal polarization spectral imaging terhadap mikrosirkulasi di lidah
menemukan bahwa perubahan aliran kapiler yang berhubungan dengan
sepsis dapat dibalikkan dengan pemberian asetilkolin ke permukaan lidah
atau dengan pemberian nitroprusside intravenously; observasi ini
menunjukkan neuroendokrin sebagai dasar dari hilangnya pengisian
kapiler. Penggunaan oksigen oleh jaringan dapat juga terganggu oleh
keadaan “hibernasi” dimana produksi ATP berkurang selagi terjadi
penurunan fosforilasi oksidatif; NO dapat bertanggung jawab terhadap
induksi respon ini.9

Organ-organ dengan fungsi yang menurun akibat sepsis biasanya


tampak normal pada otopsi. Nekrosis atau trombosis hanya sedikit terlihat
dan apoptosis hanya terbatas pada organ limfoid dan trkatus
gastrointestinal. Fungsi organ juga akan kembali normal saat keadaan
pasien membaik. Poin-poin ini menunjukkan bahwa disfungsi organ yang
terjadi pada sepsis berat memiliki dasar biokemikal, bukan struktural. 10

11
2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifetasi klinis dari sepsis biasanya tidak spesifik yang diawali dengan
gejala konstitusional berupa demam, menggigil, rasa lelah, malaise, gelisah
atau kebingungan yang dapat tumpang tindih dengan gejala dan tanda dari
penyakit yang mendahului atau infeksi primer penderita. Manifestasi klinis
dari sepsis bervariasi pada setiap penderita, sebagai contoh pada beberapa
individu, sepsis dapat menyebabkan hipotermi atau tidak menyebabkan
perubahan suhu tubuh yang biasanya ditemukan pada neonatus, pasien
dengan usia lanjut dan pasien dengan uremia atau yang sering
mengkonsumsi alkohol, sedangkan pada individu yang lain sepsis
menyebabkan hipertermi.10

Hiperventilasi sering menjadi tanda awal dari sepsis. Disorientasi,


kebingungan dan gejala lain dari ensefalopati juga dapat terjadi pada awal
sepsis, khususnya pada pasien usia lanjut dan pada individu yang memiliki
kerusakan neurologis sebelumnya. Hipotensi dan disseminated
intravascular coagulation (DIC) menjadi faktor predisposisi dari terjadinya
acrocyanosis dan nekrosis iskemik jaringan perifer dengan jari tangan dan
kaki sebagai tempat yang paling umum. Selulitis, pustul, bula, atau lesi
hemoragik dapat terjadi apabila bakteri hematogen atau jamur menginfeksi
kulit atau jaringan lunak. Toksin bakteri juga dapat menyebar secara
hematogen dan menyebabkan reaksi kutan yang luas. Terkadang, lesi kulit
dapat menunjukkan patogen spesifik seperti misalnya pada sepsis dengan
petekie atau purpura, N. meningitidis (atau yang lebih jarang H. influenzae)
dapat dicurigai sebagai patogen penyebab. Lesi kulit berupa ektima
gangrenosum (lesi bula yang dikelilingi oleh edema yang mengalami
pendarahan dan nekrosis sentral) pada pasien dengan neutrofilia biasanya
disebabkan oleh P. aeruginosa. Lesi bula atau hemoragik pada pasien
sepsis yang baru-baru saja mengkonsumsi tiram mentah dapat

12
menunjukkan infeksi oleh V. vulnificus,sedangkan pada pasien dengan lesi
serupa yang baru-baru saja mengalami luka gigitan anjing dapat dicurigai
sebagai infeksi oleh Capnocytophaga canimorsus or C. cynodegmi.
Eritroderma yang menyeluruh pada pasien sepsis dapat menunjukkan toxic
shock syndrome yang disebabkan oleh S. aureus or S. pyogenes.5

Manifestasi gastrointestinal seperti rasa mual, muntah, diare dan


ileus menunjukkan gastroenteritis akut. Stress ulcer dapat menyebabkan
pendarahan dari traktus gastrointestinal bagian atas. Jaundice kolestatik
dengan peningkatan serum bilirubin (terutama bilirubin direk) dan alkaline
phosphatase dapat juga menjadi tanda yang mendahului tanda lain dari
sepsis. Disfungsi dari sel dan kanalikuli hepar mendasari sebagian besar
kasus dan hasil tes fungsi hati akan kembali normal apabila terjadi resolusi
dari infeksi. Hipotensi yang berat atau berkepanjangan dapay
menyebabkan kerusakan hati akut atau ischemic bowel necrosis.10

Metabolisme anaerobik dapat terjadi yang disebabkan oleh


banyaknya jaringan yang tidak dapat memecah oksigen secara normal dari
darah walaupun saturasi oksigen mendekati normal yang berakibat sebagai
peningkatan kadar laktat dalam darah. Peningkatan kadar laktat dalam
darah juga dapat disebabkan oleh kemampuan pembuangan laktat dan
piruvat oleh hepar dan ginjal. Pada kebanyakan pasien, terutama pada
pasien dengan diabetes, dapat terjadi peningkatan kadar gula dalam darah.
Pada beberapa pasien terjadi gangguan glukoneogenesis dan pelepasan
insulin yang berlebihan yang dapat menyebabkan hipoglikemi. Terjadi juga
inhibisi dari transthyretin dan peningkatan produksi dari C-reactive protein,
fibrinogen dan komponen dari komplemen sebagai hasil dari respon dari
sitokin pada fase akut. Kadar serum albumin mengalami penurunan
sebagai akibat dari penurunan sintesis oleh hati dan perpindahan albumin
ke ruang interstisial.5

13
2.1.5 Diagnosis

Sepsis adalah SIRS dengan bukti adanya infeksi atau kecurigaan


adanya infeksi secara klinis sehingga diagnosis sepsis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya dua atau lebih kriteria SIRS dan bukti adanya infeksi
melalui anamnesis, pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan
fisik dan uji laboratorium.6

Melalui anamnesis dan pengambilan riwayat medis yang cermat, kita dapat
mengetahui faktor resiko yang dapat menyebabkan infeksi pada pasien
seperti riwayat penggunaan kateter atau instrumensasi yang
berkepanjangan, riwayat luka bakar atau luka yang terbuka, riwayat
paparan terhadap agen infeksius dan faktor resiko terjadinya penurunan
imunitas dari pasien sehingga mudah terjadi infeksi. Perlu juga diketahui
riwayat penyakit yang baru-baru ini diderita oleh pasien seperti infeksi
gastrointestinal, infeksi traktus respiratori, infeksi urogenital dan infeksi di
tempat lainnya.5

Tanda-tanda dari sepsis berupa kenaikan suhu > 38 oC atau


penurunan suhu <36oC, kenaikan denyut jantung > 90x/menit, peningkatan
laju nafas >20x/menit atau penurunan PaCO2 <32mmHG dapat ditemukan
dari pemeriksaan fisik. Perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh
pada pasien sepsis untuk mencari tanda infeksi seperti lesi kulit. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan fisik yang spesifik apabila dicurigai terdapat infeksi
fokal seperti pada pasien dengan dugaan infeksi pelvis, dapat dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis dan genital untuk menemukan adanya abses
rektal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi
pelvis, atau prostatitis.10

Tidak terdapat uji laboratorium yang spesifik untuk sepsis. Uji laboratorium
meliputi hitung jenis leukosit, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, tes fungi hati, kadar asam laktat, arterial

14
blood gas (ABG), elektrokardiogram dan foto toraks. Pada sepsis awal,
ditemukan leukositosis dengan shift ke kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat pula terjadi leukopenia,
peningkatan profil lipid dan hipoksemia yang dapat dikoreksi dengan
pemberian oksigen. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratori.
Terjadi juga hiperglikemia pada pasien diabetes. Apabila sepsis berlanjut,
akan terjadi perburukan trombositopenia disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, atau keberadaan D-dimer yang merupakan
penanda terjadinya DIC. Aminotransferase akan meningkat dan terjadi
azotemia dan hiperbilirubinemia. Peningkatan serum laktat terjadi sebagai
akibat dari lelahnya otot pernafasan. Alkalosis respiratori akan digantikan
oleh asidosis metabolik. Hipoksemia tidak lagi dapat dikoreksi bahkan
dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis.4

Diagnosis etiologi sepsis yang definit dapat dilakukan dengan


melakukan biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi.
Sebaiknya dilakukan pengambilan paling sedikit dua sampel darah dalam
waktu 24 jam untuk biakan dengan volume sampel 10-20 ml pada dewasa
dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth.
Dilakukan pula pengambilan sampel dari setiap lumen kateter atau
instrumen lain pada pasien dengan pemakaian kateter jangka panjang.
Pada kebanyakan kasus, hasil kultur darah adalah negatif, hasil ini dapat
disebabkan oleh penggunaan antibiotik, organisme yang bertumbuh secara
lambat atau karena tidak adanya invasi mikroba ke aliran darah. Pada
kasus-kasus seperti ini, pengambilan sampel dapat dilakukan pada tempat
infeksi primer atau lesi kulit untuk menentukan etiologi sepsis. 5

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi dari sepsis meliputi :

15
 Adult respiratory distress syndrome (ARDS) dengan insidensi 2-8%
 DIC dengan insidensi 8-18%
 Gagal ginjal akut dengan insidensi 9-23%
 Perdarahan usus
 Gagal hati dengan insidensi 12%
 Disfungsi sistem saraf pusat dengan insidensi 19%
 Gagal jantung
 Kematian 7

2.1.7 Managemen

Penatalaksanaan sepsis meliputi tiga terapi utama, yaitu: (1)


stabilisasi pasiensecara langsung, (2) eradikasi dari infeksi dengan
pemberian antibiotik melalui jalur intravena secara adekuat dan (3) terapi
suportif.5

1. Stabilisasi pasien secara langsung:


Sirkulasi, jalan nafas dan pernafasan perlu diperhatikan pada
pasien dengan sepsis. Pemeliharaan sirkulasi dan perfusi yang
adekuat dapat dilakukan dengan pemberian cairan intravena juga
agen inatropik dan vasopresor. Pemberian cairan intravena sebagai
resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat
diberikan cairan kristaloid atau koloid. Peredaran darah terancam
dan penurunan bermakna dari tekanan darah memerlukan terapi
gabungan yang agresif dengan cairan dan agen inatropik atau
vasopresor berupa dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin atau
norepinefrin. Perlindungan jalan nafas pasien perlu dilakukan pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran atau perubahan status
mental.
Intubasi dapat dilakukan pada pasien yang memerlukan kadar
oksigen yang lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan sehingga terjadi
peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain.9,10

16
2. Eradikasi dari infeksi:
Terapi antibiotik perlu segera diberikan bahkan sebelum
patogen diindetifikasi, akan tetapi pemberian antibiotik tidak boleh
dilakukan sebelum didapatkan sampel yang adekuat untuk kultur.
Perlu diperhatikan untuk jenis antimikrobial yang diberikan, karena
antimikrobial tertentu diyakini dapat menyebabkan pelepasan lebih
banyak LPS sehingga memperburuk keadaan pasien. Antimikrobial
yang tidak menyebabkan perburukan kondisi pasien adalah
karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida dan
kuinolon. Terapi yang digunakan adalah terapi kombinasi
menggunakan dua atau lebih regimen atibiotik sampai patogen yang
menyebabkan sepsis diketahui. Diperlukan regiman antibiotik
dengan spektrum luas. Penggunaan kombinasi penisilin dengan -
laktamase atau sefalosporin generasi ketiga dengan aminoglikosida
biasanya cukup adekuat pada sebagian besar kasus. Setelah hasil
kultur dan sensitivitas didapatkan maka terapi dirubah menjadi terapi
rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.5,6,9
Pemberian terapi amfoterisin B, flukonazole atau caspofungin
diberikan pada infeksi yang diduga disebabkan oleh jamur atau pada
pasien immunocompromised yang mengalami demam yang
berkelanjutan 96 jam setelah pemberian atibiotik. Terapi antiviral
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang menjalani transplantasi
organ atau sumsum tulang satu bulan sebelumnya.9
3. Terapi Suportif:
Pemberian nutrisi merupakan terapi yang penting berupa
makro dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari omega-3 dan
golongan nukelotida yaitu glutamin sedangkan mikronutrien berupa
vitamin dan trace element. Pemberian suplemen nutrisi dapat
mengurangi dampak dari hiperkatabolisme protein pada pasien
dengan sepsis berat yang berkepanjangan. Pemberian nutrisi yang
merupakan pilihan untuk pasien sepsis adalah melalui jalur enteral.

17
Keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain untuk
mempertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari
translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian
kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi baru. Pemberian heparin sebagai profilaksis terjadinya deep
vein trombosis (DVT) diindikasikan untuk pasien yang tidak
mengalami perdarahan aktif atau koagulopati. Pengontrolan ketat
kadar gula darah pada beberapa percobaan menunjukkan
penyembuhan dari penyakit kritis akan tetapi penggunaan insulin
untuk menurunkan kadar gula darah sampai dengan 100-120 mg/dl
tidak meningkatkan angka kelangsungan hidup bahkan
membahayakan bagi pasien.11
Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai <150
mg/dl dengan melakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan empat hari. Pasien yang
menggunakan insulin intravena harus dimonitor gula darahnya agar
tidak terjadi hipoglikemi. Stress ulcer dapat dicegah dengan
pemberian profilaksis berupa H2 receptor antagonist atau proton
pump inhibitor. Penggunaan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan)
yang merupakan antikoagulan menurunkan risiko relatif kematian
dengan disfungsi organ akut.5,6,9

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Recent Advances in Sepsis Research: Novel Biomarkers and


Therapeutic Targets
2. Bloch K.C. (2010). Chapter 4. Infectious Diseases. In S.J. McPhee,
G.D. Hammer (Eds),Pathophysiology of Disease, 6e.
3. Todi S, Chatterjee S, Bhattacharyya M. “Epidemiology of Severe
Sepsis in India.” 27th International Symposium on Intensive Care and
Emergency Medicine, 2007: 25.
4. JA, Russell. “Drug Therapy : Management of Sepsis.” The New
England Journal of Medicine, 2006: 1699-1713.
5. Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam. 2009 ; 2773-2779
6. J, Soong. “Sepsis : Recognition and Treatment.” Clinical Medicine
vol.12, 2012: 276- 80.
7. TVD, Poll. “Tropical Sepsis.” 18th ECCMID, Oral presentations, 2008:
s13.
8. Schwartz B.S. Chapter 33. Bacterial & Chlamydial Infections. In M.A.
Papadakis, S.J. McPhee, M.W. Rabow (Eds), CURRENT Medical
Diagnosis & Treatment 2012. McGraw-Hill : 2012.
9. Morgan, Jr. G.E., Mikhail M.S., Murray M.J. Chapter 49. Critical Care.
In G.E. Morgan, Jr., M.S. Mikhail, M.J. Murray (Eds), Clinical
Anesthesiology, 4e. McGraw- Hill : 2006
10. Munford R.S. Chapter 271. Severe Sepsis and Septic Shock. In D.L.
Longo, A.S. Fauci, D.L. Kasper, S.L. Hauser, J.L. Jameson, J.
Loscalzo (Eds), Harrison's Principles of Internal Medicine, 18e.
McGraw-Hill
11. Widodo D, Govinda A. “Penanganan Sepsis.” Dexa Media, 2006:
110-115.

19
20

Anda mungkin juga menyukai