PENYAKIT DALAM
SEPSIS
PEMBIMBING:
dr. Pandji Mulyono., Sp.PD., K-EMD.FINASIM
PENYUSUN:
Mellyana Vivirianti 20170420108
Orlando Pikatan 20170420132
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul “SEPSIS” ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penyusunan referat
ini merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan sebagai bagian
dari kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAL dr. Ramelan
Surabaya. Tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini, terutama kepada
dr. Pandji Mulyono.,Sp.PD.,K-EMD.FINASIM yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dalam penyusunan
referat agar lebih baik.
Kami menyadari jika referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran tentunya kami harapkan dapat membuat referat
ini menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Referat ini akan akan membahas lebih dalam tentang sepsis ditinjau dari
definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, komplikasi dan penatalaksanaan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
2.1.1 Definisi
2.1.2 Etiologi
4
infeksi malaria fulminan, tetanus fulminan, infeksi amuba fulninan, demam
berdarah viral, leptospirosis, demam tifoid, dan hiperinfeksi yang
disebabkan oleh strongiloidosis.7
5
2.1.3 Patogenesis
Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak berasal dari
stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram negatif maupun eksotoksin gram
positif. Struktur lipid A dari lipolisakarida (LPS, dapat juga disebut
endotoksin) yang merupakan komponen utama dari membran terluar
bakteri gram negatif bertanggung jawab terhadap toksisitas bakteri dan
reaksi inflamasi. Respon yang dihasilkan terhadap endotoksin mencakup
interaksi kompleks dari makrofag, neutrofil, monosit, limfosit, platelet dan
sel endotel yang dapat mempengaruhi hampir semua organ. Sebuah
protein dari penjamu (LPS-binding protein) berikatan dengan lipid A dan
membawa LPS menuju CD14 yang terdapat pada permukaan monosit,
makrofag dan meutrofil. LPS kemudian akan diteruskan ke MD-2 yang
berikatan dengan toll like receptors 4 (TLRs4) untuk membentuk sebuah
kompleks molekuler yang mengirimkan sinyal pengenalan LPS ke bagian
dalam dari sel. Sinyal ini akan secara cepat memicu produksi dan
pelepasan dari mediator-mediator, seperti tumor necrosis factor (TNF),
yang akan memperkuat dan mengirimkan sinyal LPS ke sel dan jaringan
lain. 5
6
Kemampuan host untuk mengenali molekul mikroba tertentu dapat
mempengaruhi potensi dari pertahanan diri dan patogenesis dari sepsis
berat. Sebagai contoh, MD-2-TLR4 paling baik mendeteksi LPS yang
memiliki lipid A dengan rantai hexaacyl. Kebanyakan dari bakteri gram
negatif komensal aerob dan non-aerob yang dapat mencetuskan sepsis
berat dan syok septik (sebagai contoh E. coli, Klebsiella dan Enterobacter)
memiliki struktur lipid A dengan rantai hexaacyl ini. Saat patogen –patogen
ini menginvasi penjamu, biasanya melalui epitel pelindung yang rusak,
patogen-patogen ini biasanya terbatas di jaringan subepitel dan
menyebabkan respon inflamasi lokal. Patogen-patogen ini tampaknya
menyebabkan sepsis berat umumnya dengan mencetuskan inflamasi lokal
yang berat daripada dengan bersirkulasi di aliran darah.10
7
berkontribusi dalam pertahanan penjamu. Kemokin, terutama interleukin
(IL)-8 dan IL-17, menarik neutrofil sirkulasi ke tempat infeksi. IL-1
menunjukkan aktifitas serupa dengan IL-1 , interferon (IFN) , IL-12, IL- 17
dan sitokin proinflamasi lainnya dan mungkin berinteraksi secara sinergis
satu dengan yang lainnya.5
8
menetralkan atau menginaktifasi signal mikrobial. Diantara molekul-molekul
ini adalah faktor intrasel (contohnya penekan dari cytokine signaling 3 and
IL-1 receptor–associated kinase 3) yang menurunkan produksi mediator
proinflamasi oleh neutrofil dan makrofag; sitokin anti- inflamasi (IL-10. IL-4)
dan molekul yang berasal dari essential polyunsaturated fatty acids (lipoxin,
resolvin dan protektin) yang mendorong terjadinya pemulihan jaringan.
Inaktivasi enzim oleh sinyal molekul mikrobial (mis : LPS) dapat dibutuhkan
untuk memulihkan homeostasis; acyloxyacyl hydrolase yang merupakan
enzim leukosit terbukti menghambat terjadinya inflamasi yang
berkepanjangan dengan menginaktivasi LPS pada tikus.9,10
9
untuk menempel pada endotel pembuluh darah, melepaskan neutrofil dari
endotel dan dengan demikian berkontribusi terhadap leukositosis
sementara menghambat adhesi neutrofil-endotelial pada organ yang tidak
mengalami inflamasi. Bukti-bukti yang tersedia dengan demikian
menunjukkan bahwa respon sistemik tubuh terhadap kerusakan dan infeksi
biasanya menghambat inflamasi di dalam organ-organ yang jauh dari
tempat terjadinya infeksi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa
respon-respon ini dapat memiliki efek imunosupresi.4
10
tetapi endotelium vaskuler juga tampaknya memiliki peran aktif. Stimulus
seperti TNF- menginduksi sel endotelial vaskular untuk memproduksi dan
melepaskan sitokin, molekul prokoagulan, faktor aktivasi platelet, nitrik
oksida (NO) dan mediator lainnya. Sebagai tambahan, molekul sel adhesi
menyebabkan penempelan neutrofil kepada sel endotel. Sementara respon
ini dapat menyebabkan penarikan fagosit ke tempat infeksi dan aktivasi dari
komponen antimikrobial, aktivasi sel endotel juga dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, trombosis mikrovaskular, DIC dan
hipotensi.4
11
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifetasi klinis dari sepsis biasanya tidak spesifik yang diawali dengan
gejala konstitusional berupa demam, menggigil, rasa lelah, malaise, gelisah
atau kebingungan yang dapat tumpang tindih dengan gejala dan tanda dari
penyakit yang mendahului atau infeksi primer penderita. Manifestasi klinis
dari sepsis bervariasi pada setiap penderita, sebagai contoh pada beberapa
individu, sepsis dapat menyebabkan hipotermi atau tidak menyebabkan
perubahan suhu tubuh yang biasanya ditemukan pada neonatus, pasien
dengan usia lanjut dan pasien dengan uremia atau yang sering
mengkonsumsi alkohol, sedangkan pada individu yang lain sepsis
menyebabkan hipertermi.10
12
menunjukkan infeksi oleh V. vulnificus,sedangkan pada pasien dengan lesi
serupa yang baru-baru saja mengalami luka gigitan anjing dapat dicurigai
sebagai infeksi oleh Capnocytophaga canimorsus or C. cynodegmi.
Eritroderma yang menyeluruh pada pasien sepsis dapat menunjukkan toxic
shock syndrome yang disebabkan oleh S. aureus or S. pyogenes.5
13
2.1.5 Diagnosis
Melalui anamnesis dan pengambilan riwayat medis yang cermat, kita dapat
mengetahui faktor resiko yang dapat menyebabkan infeksi pada pasien
seperti riwayat penggunaan kateter atau instrumensasi yang
berkepanjangan, riwayat luka bakar atau luka yang terbuka, riwayat
paparan terhadap agen infeksius dan faktor resiko terjadinya penurunan
imunitas dari pasien sehingga mudah terjadi infeksi. Perlu juga diketahui
riwayat penyakit yang baru-baru ini diderita oleh pasien seperti infeksi
gastrointestinal, infeksi traktus respiratori, infeksi urogenital dan infeksi di
tempat lainnya.5
Tidak terdapat uji laboratorium yang spesifik untuk sepsis. Uji laboratorium
meliputi hitung jenis leukosit, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, tes fungi hati, kadar asam laktat, arterial
14
blood gas (ABG), elektrokardiogram dan foto toraks. Pada sepsis awal,
ditemukan leukositosis dengan shift ke kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat pula terjadi leukopenia,
peningkatan profil lipid dan hipoksemia yang dapat dikoreksi dengan
pemberian oksigen. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratori.
Terjadi juga hiperglikemia pada pasien diabetes. Apabila sepsis berlanjut,
akan terjadi perburukan trombositopenia disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, atau keberadaan D-dimer yang merupakan
penanda terjadinya DIC. Aminotransferase akan meningkat dan terjadi
azotemia dan hiperbilirubinemia. Peningkatan serum laktat terjadi sebagai
akibat dari lelahnya otot pernafasan. Alkalosis respiratori akan digantikan
oleh asidosis metabolik. Hipoksemia tidak lagi dapat dikoreksi bahkan
dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis.4
2.1.6 Komplikasi
15
Adult respiratory distress syndrome (ARDS) dengan insidensi 2-8%
DIC dengan insidensi 8-18%
Gagal ginjal akut dengan insidensi 9-23%
Perdarahan usus
Gagal hati dengan insidensi 12%
Disfungsi sistem saraf pusat dengan insidensi 19%
Gagal jantung
Kematian 7
2.1.7 Managemen
16
2. Eradikasi dari infeksi:
Terapi antibiotik perlu segera diberikan bahkan sebelum
patogen diindetifikasi, akan tetapi pemberian antibiotik tidak boleh
dilakukan sebelum didapatkan sampel yang adekuat untuk kultur.
Perlu diperhatikan untuk jenis antimikrobial yang diberikan, karena
antimikrobial tertentu diyakini dapat menyebabkan pelepasan lebih
banyak LPS sehingga memperburuk keadaan pasien. Antimikrobial
yang tidak menyebabkan perburukan kondisi pasien adalah
karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida dan
kuinolon. Terapi yang digunakan adalah terapi kombinasi
menggunakan dua atau lebih regimen atibiotik sampai patogen yang
menyebabkan sepsis diketahui. Diperlukan regiman antibiotik
dengan spektrum luas. Penggunaan kombinasi penisilin dengan -
laktamase atau sefalosporin generasi ketiga dengan aminoglikosida
biasanya cukup adekuat pada sebagian besar kasus. Setelah hasil
kultur dan sensitivitas didapatkan maka terapi dirubah menjadi terapi
rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.5,6,9
Pemberian terapi amfoterisin B, flukonazole atau caspofungin
diberikan pada infeksi yang diduga disebabkan oleh jamur atau pada
pasien immunocompromised yang mengalami demam yang
berkelanjutan 96 jam setelah pemberian atibiotik. Terapi antiviral
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang menjalani transplantasi
organ atau sumsum tulang satu bulan sebelumnya.9
3. Terapi Suportif:
Pemberian nutrisi merupakan terapi yang penting berupa
makro dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari omega-3 dan
golongan nukelotida yaitu glutamin sedangkan mikronutrien berupa
vitamin dan trace element. Pemberian suplemen nutrisi dapat
mengurangi dampak dari hiperkatabolisme protein pada pasien
dengan sepsis berat yang berkepanjangan. Pemberian nutrisi yang
merupakan pilihan untuk pasien sepsis adalah melalui jalur enteral.
17
Keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain untuk
mempertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari
translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian
kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi baru. Pemberian heparin sebagai profilaksis terjadinya deep
vein trombosis (DVT) diindikasikan untuk pasien yang tidak
mengalami perdarahan aktif atau koagulopati. Pengontrolan ketat
kadar gula darah pada beberapa percobaan menunjukkan
penyembuhan dari penyakit kritis akan tetapi penggunaan insulin
untuk menurunkan kadar gula darah sampai dengan 100-120 mg/dl
tidak meningkatkan angka kelangsungan hidup bahkan
membahayakan bagi pasien.11
Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai <150
mg/dl dengan melakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan empat hari. Pasien yang
menggunakan insulin intravena harus dimonitor gula darahnya agar
tidak terjadi hipoglikemi. Stress ulcer dapat dicegah dengan
pemberian profilaksis berupa H2 receptor antagonist atau proton
pump inhibitor. Penggunaan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan)
yang merupakan antikoagulan menurunkan risiko relatif kematian
dengan disfungsi organ akut.5,6,9
18
DAFTAR PUSTAKA
19
20