Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS RAWAT INAP

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Systemic Lupus Erythematosus pada Anak

Disusun Oleh:

Jean R. Pandie, S.Ked


1408010066

Pembimbing:

dr. Tjahyo Suryanto, Sp.A, M. Biomed


dr. Irene K. L. A. Davidz, Sp.A., M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
Laporan kasus rawat inap ini diajukan oleh :

Nama : Jean R. Pandie, S.Ked

NIM : 1408010066

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan dihadapan para pembimbing klinik

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif

di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

Pembimbing Klinik

1. dr. Tjahyo Suryanto, Sp.A., M.Biomed 1. ………………….

Pembimbing Klinik I

2. dr. Irene K. L. A. Davidz, Sp.A., M. Kes 2. ………………….

Pembimbing Klinik II

Ditetapkan di :Kupang

Tanggal : Oktober 2019


LAPORAN KASUS RAWAT INAP
SLE pada Anak
Jean Riani Pandie, S. Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Tjahyo Suryanto, Sp.A, M. Biomed.
dr. Irene K. L. A. Davidz, Sp.A, M. Kes.

A. PENDAHULUAN
Penyakit Tidak Menular (PTM) diketahui sebagai faktor utama
penyebab kematian tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang
meninggal karena PTM. Saat ini angka kejadian penyakit PTM terus meningkat,
diantaranya termasuk Systemic Lupus Eritematous (SLE) atau dibahasa Indonesia-
kan menjadi Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik


di Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0.9 – 3.1 per 1000.000
populasi/tahun. Prevalensi kasar sebesar 4.3-45.3 per 100.000 populasi. The Lupus
Fondation of America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di Amerika
dan setidaknya 5 juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan terjadi sekitar 16
ribu kasusu baru Lupus.

Indonesia memiliki jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat


belum diketahui. Prevalensi SLE di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar
0.5% terhadap total populasi. Penyakit Lupus dapat menyerang siapa saja. Lupus
menyerang perempuan produktif (15-44 tahun) namum kaum pria, kelompok
anak-anak dan remaja juga dapat terkena Lupus. Penyakit ini menyerang semua
ras, namun lebih sering ditemukan pada ras kulit berwarna. Penelitian mengenai
penyakit Lupus di Amerika tahun 2013 mendapatkan bahwa Lupus ditemukan
pada perempuaan kulit berwarna (afrika Amerika, Hispanik/Latin, Asia, penduduk
asli Amerika, Alaska, Hawaii dan Kepulauan Pasifik lainnya) sebanyak 2-3 kali
lebih banyak dibandingkan perempuan ras Kaukasoid.
B. LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
a. Pasien
Nama : An. SHB
Tanggal lahir/ Usia : 05 Maret 2002/17 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Bakunase
No. RM : 482392
b. Ayah
Nama : Tn PB (meninggal tahun 2016)
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Bakunase
c. Ibu
Nama : Ny. SN
Usia : 58 tahun
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS
Alamat : Bakunase

2. EARLY WARNING SYSTEM (EWS)

Komponen Score

Keadaan Umum Interaksi biasa 0

Kardiovaskular Tidak sianosis / CRT <3s 0

Respirasi Pernapasan dalam parameterRR sesuai 0


usia per menit, retraksi (-)
Total 0

Skor 0 : Pasien dalam kondisi stabil, monitoring secara rutin, jika diperlukan per
4 jam, dan jika perlu assessment oleh dokter jaga bangsal.

3. ANAMNESIS (Heteroanamnesis dan Autoanamnesis pada ibu kandung


pasien dan pasien tanggal 27 September 2019 di ruang rawat inap
Kenanga)
i) Keluhan utama : Lemas seluruh badan
ii) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak laki-laki datang kontrol ke poli anak dengan ibunya
dengan keluhan lemah pada seluruh badan yang sudah dirasakan sejak lama
namun makin lemah dalam 1 minggu terakhir. Lemah terus-menerus,
sempat tidak bisa bangun dari tempat tidur kemarin pagi karena lemah kaki.
Selain lemah, seluruh badan juga terasa nyeri tertusuk. Nyeri saat bergerak,
berkurang dengan tidur. Keluhan lain muncul sariawan pada bagian dalam
mulut pasien, yaitu di bibir bawah dan langit-langit pasien. Pasien hanya
dapat makan makanan yang lunak seperti bubur atau makanan berkuah.
Sakit kepala (+) mual (+) muntah (-), nyeri ulu hati (+), demam saat ini (-)
namun memiliki riwayat demam 2 hari lalu, batuk-pilek (-), sesak (-), nyeri
menelan (-), nyeri dada terutama saat batuk atau menarik nafas panjang (+).
Pasien BAB 1 kali sehari, konsistensi lunak. BAK 3-4 kali sehari. Keluhan
ini bukan pertama kalinya, namun sudah pernah dirasakan berulang-ulang.
iii) Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien didiagnosa SLE sejak tahun 2016 saat berumur 14 tahun,
dengan keluhan awal sulit bangun dari tempat tidur karena nyeri yang
dirasakan pada persendian dan tidak tertahankan, selain itu pasien juga
mengeluh rambut rontok hingga takut botak. Keluarga pasien lalu membawa
pasien ke rumah sakit dan mendapat perawatan rawat inap dan didiagnosa
dengan Systemic Lupus Erythematosus. Kemudian sejak awal April 2017,
pasien mengeluh muncul ruam kemerahan di hidung sampai ke pipi dan
makin meluas sehingga diperiksakan juga ke poli kulit dan didiagnosa
Cutaneus SLE. Selain itu pasien juga dikonsulkan ke poli jantung karena
memiliki keluhan nyeri dada kiri dan didiagnosa sebagai Atrial Fibrilasis
Paroksismal. Pasien juga memiliki riwayat club foot pada kaki kiri dan telah
dikoreksi pada usia 4 tahun.
iv) Riwayat Pengobatan :
Pasien sementara meminum obat Metylprednisolon 2x8 mg. Ruam
yang telah mejadi luka pada wajah pasien diberi obat Desoksimetason salep
2 x 1 topikal dan Omeprazole 1 x 4 mg bila mual.
v) Riwayat alergi :
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan, obat-obatan atau
lainnya.
vi) Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang megalami keluhan yang sama dengan
pasien.
vii) Riwayat Kehamilan dan persalinan :
Ibu hamil cukup bulan (9 bulan 10 hari) dan selama hamil ibu sering
berkunjung ke puskesmas untuk melakukan ANC. Selama kehamilan ibu
sehat, tidak ada penyakit berat apapun. Setelah itu, ibu melahirkan pasien
secara normal pervaginam di tempat praktek bidan. Anak (pasien) lahir
langsung menangis. Berat badan lahir 3900 gram. Pasien lahir dengan cacat
bawaan pada kaki (club foot).
viii) Riwayat Pemberian ASI :
Pasien minum ASI saja dari 0-5 bulan. Mulai 5 bulan sampai usia 1
tahun, ASI ditambah makanan pendamping biskuit yang diberi air hangat
dan dibuat seperti bubur. 1-2 tahun masih ASI dan sudah makan makanan
meja.
ix) Riwayat Nutrisi :
Saat ini pasien 1 hari makan 3-4 kali, dengan nasi lembek atau bubur
(sendok nasi), sayur berkuah (± 1/2 porsi), dan ikan kuah (± 1 ekor) kadang
telur rebus (1 buah) atau daging berkuah.
x) Riwayat Imunisasi :
Pasien sudah mendapatkan imunisasi HbO, Polio (1,2,3,4), BCG,
Pentabio (1,2,3), Campak 1x pada usia 9 bulan.
xi) Riwayat Sosial dan Lingkungan :
Pasien adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Saat ini pasien
duduk di bangku pendidikan SMA kelas 3 jurusan IPS di SMA N 1 Kupang.
Pasien tetap mengikuti kegiatan olahraga di sekolah, sekali seminggu
dengan intensitas 1-2 jam di lapangan. Cita-cita pasien belum pasien
pikirkan.

4. PEMERIKSAAN FISIK
i) Keadaan umum: tampak sakit sedang
ii) Kesadaran: compos mentis (E4M6V5)
iii) Tanda-tanda vital:
- Tekanan Darah :100/60 mmHg
- Nadi : 85x/menit, reguler, kuat angkat
- Pernapasan: 30x/menit regular
- Suhu: 36,8oC
iv) Status gizi
Antropometri
- Berat badan: 41 Kg
- Tinggi badan : 162 cm
- Lingkar kepala : 52 cm (normocephal)
Interpretasi menurut curva CDC 2000
- BB/TB = 41/51x100 = 80,39% (gizi sedang)

Status generalis :

a. Kepala : deformitas (-), normocephal, macula hiperpigmentasi


region frontal sinistra (akibat paparan matahari)
b. Rambut : rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
c. Mata : sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva pucat
(+/+), pupil isokor, RCL +/+
d. Hidung : tampak macula hiperpigmentasi multipel pada hidung (+)
meluas hingga pipi kiri dan kanan, rhinorhea (-/-), epistaksis (-/-)
e. Telinga : otorrhea (-/-), deformitas (-/-)
f. Bibir : mukosa bibir kering, pucat (-), sianosis (-)
g. Mulut : tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring: hiperemis (-), glositis
(-), gusi berdarah (-), stomatitis pada palatum dan labia inferior (+)
h. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
i. Paru :
Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris, retraksi(-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus D=S
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
j. Jantung :
Inspeksi : jejas (-), scar (-), ictus cordis terlihat (-)
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea axilla anterior sinistra
Perkusi : batas jantung kanan atas  ICS 2 parasternal dextra
batas jantung kiri atas  ICS 2 parasternal sinistra
batas jantung kiri  ICS 5 linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I-II tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-)
k. Abdomen :
Inspeksi : tampak cembung, tidak ada jejas, scar dan keloid.
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal,
Palpasi : supel, distensi (-), nyeri tekan (-), hepar ukuran 7 cm,
ujungnya tumpul, permukaan rata.
Perkusi : timpani
l. Ekstremitas :
- Ekstremitas atas: hangat, CRT <3 detik
- Ekstremitas bawah: hangat, CRT < 3 detik
- motorik 4444/4444
- edema (-/-)
- hipotonus
m. Kulit : Pucat (+), turgor kulit normal

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium Darah
Tanggal Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Interpre
Rujukan tasi
12 -09-2019 Darah rutin
(RSUD Yohanes)
Hemoglobin 13,7 g/dL 10,8-15,6 normal
Jumlah eritrosit 4,70 10^6/ul 3,80-5,80 normal
Hematokrit 39.6 % 33,0-45,0 rendah
MCV 84,3 fL 69,0-93,0 normal
MCH 29,1 Pq 22,0-34,0 normal
MCHC 34,6 g/L 32,0-36,0 normal
Jumlah Lekosit 4,06 10^3/ul 4,50-13,50 rendah
Hitung Jenis
Eosinofil 0,0 % 1,0-5,0 rendah
Basofil 0,5 % 0-1 normal
Netrofil 73,4 % 25,0-60,0 tinggi
Limfosit 18,5 % 25,0-50,0 rendah
Monosit 7.6 % 2-8 normal
Jumlah Trombosit 160 10^3/ul 143-392 normal
Natrium Darah 134 mmol/L 132-147 normal
Kalium Darah 3,7 mmol/L 3,5-4,5 normal
Klorida Darah 115 mmol/L 96-111 tinggi
Ca Ion 1.130 mmol/L 1.120-1.320 normal
Total Ca 2,4 mmol/L 2,1-2,55 normal
GDS 100 mg/dL 70-150 normal
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

10-01-2018 ANA (IF) Pola : Cytoplasmic < 1 : 100


(Prodia) Speckled, titer > 1 : 1000

Interpretasi: Pola dapat ditemukan pada keadaan primary billiary Cholangitis


(PBC), Systemic Autoimmune Rheumatic Disease, SLE,
Polimyositis/Dermatomyositis, Raynauds Syndrome.

6. DIAGNOSIS KERJA :
Systemic Lupus Erythematosus

Terapi :
a. Farmakologi
- IVFD D5 1/2 NS 1000 cc/24 jam
- IV Ondansentron 2x8 mg inj
- IV Metamizole 3x500 mg
- PO Metylprednisolon 2x8 mg
- Nystatin 3CI
- F75 8x50 cc
- Desoksimetasone Zalp 2x1 topikal (untuk pipi dan hidung) dioles tiap
selesai mandi
b. Non-farmakologi
- KIE untuk tetap makan walaupun susah makan. Makan sedikit tapi sering
dapat diterapkan.
7. FOLLOW UP PASIEN

28-10-19 29-09-19 30-09-19


S Lemah pada seluruh badan Lemah sudah berkurang, Tidak ada keluhan.
+ nyeri mulut karena nyeri pada mulut juga sudah
sariawan. berkurang.
O KU : tampak sakit sedang KU : tampak sakit sedang KU : tampak sakit sedang
TD : 100/70mmHg TD : 100/70mmHg TD : 100/60mmHg
Suhu : 36,6ºc Suhu : 37,0ºc Suhu : 36,7ºc
Nadi : 89x/menit Nadi : 85x/menit Nadi : 84x/menit
Frekuensi napas : Frekuensi napas : 19x/menit Frekuensi napas :
22x/menit Mulut : bercak sudah tampak 20x/menit
Mulut : tampak bercak sedikit kemerahan, bengkak Mulut : bercak sudah
keputihan berbentuk bulat (-) tampak sedikit
ukuran biji jagung pada Tonus T2/T2 kemerahan, bengkak (-)
bibir bawah bagan dalam Kekuatan 4/4 Tonus T2/T2
dan gusi (+), bengkak (+) Kekuatan 5/5
Tonus T1/T1
Kekuatan 4/4
A SLE SLE SLE
P IVFD D5 1/2 NS 1000 IVFD D5 1/2 NS 1000 cc/24 PO Metylprednisolon 2x8
cc/24 jam jam mg
IV Ondansentron 2x8 mg IV Ondansentron 2x8 mg inj Nystatin 3C I
inj IV Metamizole 3x500 mg Desoksimetasone Salep
IV Metamizole 3x500 mg PO Metylprednisolon 2x8 (untuk pipi dan hidung)
PO Metylprednisolon 2x8 mg dioles tiap selesai mandi.
mg Nystatin 3C I KRS
Nystatin 3C I Desoksimetasone Salep
Desoksimetasone Salep (untuk pipi dan hidung)
(untuk pipi dan hidung) dioles tiap selesai mandi.
dioles tiap selesai mandi.
8. Resume
Pasien anak laki-laki umur 17 tahun 6 bulan datang kontrol ke poli
anak dengan ibunya mengeluh lemah pada seluruh badan yang dirasakan
sejak lama namun makin lemah dalam 1 minggu terakhir. Lemah terus-
menerus, sempat tidak bisa bangun dari tempat tidur karena dirasakan lemah
pada kaki 2 hari yang lalu. Nyeri seluruh badan seperti tertusuk-tusuk.
Selain itu muncul banyak sariawan pada bagian dalam mulut pasien. Pasien
juga sulit makan karena nyeri, sakit kepala (+), Mual muntah (-), batuk-
pilek (-), nyeri telan (-), nyeri dada (+). BAB BAK normal. Keluhan ini
bukan pertama kalinya, namun sudah sering dirasakan.
9. Diagnosa Definitif

- Sistemik Lupus Eritematosus


10. Prognosis

- Qua Ad vitam : dubia


- Qua Ad fungtionam : dubia
- Qua Ad sanactionam : dubia
C. DISKUSI
Dilaporkan pasien seorang anak laki-laki umur 17 tahun 6 bulan datang
dengan keluhan lemah seluruh badan dan luka sariawan pada tanggal 27
September 2019. Pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien kemudian didiagnosa Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

SLE atau LES adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum
diketahui penyebabnya, dan memiliki gambaran klinis yang luas dan tampilan
perjalanan penyakit yang beragam. Lainnya menyatakan LES merupakan penyakit
autoimun yang menyebabkan inflamasi sistemik pada berbagai sistem organ
bersifat kronis disertai serangkaian eksaserbasi dan remisi yang silih berganti. Hal
ini sering mengakibatkan kekeliruan dalam mengenali penyakit LES, sampai
dengan menyebaban keterlambatan dalam diagnosis dan penatalaksanaannya.

SLE lebih sering terjadi pada perempuan usia produktif (15-44 tahun)
namun penyakit Lupus dapat menyerang siapa saja. Laki-laki, kelompok anak-
anak dan remaja juga dapat terkena SLE. Menurut buku imunologi FK UI,
perbandingan perempuan dan laki-laki mencapai 5-9:1. Pada kasus ini, pasien
merupakan seorang anak laki-laki dan pertama kali dialami saat masih berusia 14
tahun.

Faktor risiko penyakit LES terdiri dari faktor genetik, imunologi dan
hormonal, serta lingkungan yang berperan dalam perjalanan penyakit. Faktor
genetik yang dimaksud diketahui bahwa sekitar 7% pasien LES memiliki keluarga
dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis LES. Oleh karena
itu faktor genetik merupakan salah satu faktor risiko LES. Pada pasien ini untuk
riwayat penyakit keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa atau
terdiagnosa LES, yang artinya pasien termasuk 93% pasien LES dengan tidak
adanya keluarga dekat yang terkena LES.

Faktor yang berperan lainnya adalah faktor hormonal yaitu pada perempuan.
Pada perempuan angka pertumbuhan penyakit LES meningkat sebelum periode
menstruasi atau selama kehamilan mendukung hormon khususnya estrogen
menjadi pencetus penyakit LES. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara
pasti peran hormon yang menjadi penyebab besarnya prevalensi LES pada
perempuan pada periode tertentu. Pada pasien ini tidak terdapat hormon estrogen
yang diduga penyebab kejadian LES karena pasien merupakan seorang laki-laki.

Faktor lain yang berperan adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan


diantaranya infeksi, stres, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultraviolet (matahari) dan penggunaan obat-obat tertentu,
merokok, paparan Kristal silica, merupakan faktor pemicu timbulnya LES. Pada
pasien ini, faktor lingkungan yang mungkin meningkatkan risiko timbulnya LES
adalah stres dan cahaya ultraviolet (matahari). Pasien merupakan seorang siswa
SMA sekarang dengan aktivitas seperti belajar dalam ruangan, mengerjakan tugas
baik di rumah ataupun di sekolah, serta kegiatan olahraga di luar ruangan yang
menyebabkan pasien harus terkena sinar matahari siang minimal sekali seminggu
dengan intensitas 1-2 jam di lapangan. Saat ini pasien juga sedang duduk
dibangku kelas 3 SMA yang artinya dalam persiapan ujian akhir sekolah, saat
ditanya cita-citanya, pasien mengatakan tidak ada cita-cita yang mungkin merujuk
pada ketidakpedulian terhadap masa depannya karena sakit yang diderita
bertahun-tahun.

Manifestasi penyakit LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan


mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf dan sistem imun. Oleh
karena itu manifestasi penyakit LES sangat beragam dengan perjalanan penyakit
yang bervariasi dan memiliki risiko kematian yang tinggi hingga 67% lebih tinggi
dari populasi normal, sehingga memerlukan pengobatan yang lama dan seumur
hidup. Untuk itu diperlukan pengenalan diri serta penatalaksanaan yang tepat.
Banyak yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk waktu lama atau
bahkan tidak sama sekali sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang parah.
Gejalan ringan SLE, terutama nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat menghambat
rutinitas kehidupan. Karena itu pasien dengan LES bisa merasa tertekan, depresi,
dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan. Berikut gejala yang sering
muncul dari semua pasien tanpa memandang jenis kelamin adalah:
- Keletihan
- Nyeri kepala
- Nyeri atau bengkak sendi
- Demam
- Anemia
- Nyeri dada ketika menarik nafas panjang
- Ruam kemerahan pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-
kupu (Malar butterfly rash)
- Sensitif terhadap cahaya atau cahaya matahari (fotosensitivitas)
- Rambut rontok sampai kebotakan (alopecia)
- Perdarahan
- Jari berubah menjadi pucat atau kebiruan ketika dingin (fenomena
Raynaud)
- Sariawan di mulut atau ulcerasi di hidung
Pada pasien, ini, gejala yang menjadi keluhan utama adalah keletihan/lemah
seluruh badan dan muncul sariawan di mulut. Pada anamnesis terdapat gejala
lainnya yaitu sakit kepala, riwayat demam, nyeri di dada ketika menarik nafas
panjang atau batuk juga dikeluhkan. Anamnesis riwayat penyakit terdahulu,
pasien dan ibunya mengatakan gejala awal pasiel yaitu sulit bangun dari tempat
tidur karena nyeri yang dirasakan pada persendian dan tidak tertahankan, selain
itu pasien juga mengeluh rambut rontok hingga takut botak (alopesia).
Dilanjutkan dengan muncul ruam merah pada hidung sampai pipi, Pada
pemeriksaan fisik tampak bekas luka (macula hiperpigmentasi) pada hidung dan
pipi pasien yang artinya terdapat riwayat ulcerasi pada hidung. Pasien ini sudah
ada keluhan yang mengarah pada kelainan jantung menurut riwayat penyakit
sebelumnya. Pasien juga mengeluh agak nyeri dada bila batuk terlalu kuat atau
menarik nafas panjang, kemungkinan terdapat sedikit efusi pericardial, namun
pada pemeriksaan fisik, jantung pasien masih dalam batas normal, sehingga
pemeriksaan lanjut yang mungkin dapat dilakukan adalah foto thorax AP Lateral
untuk melihat jantung pasien.
Diagnosis banding LES harus memikirkan kemungkinan infeksi, keganasan,
paparan toksin dan penyakit multisistem lainnya. Pasien dapat didiagnosis LES
bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria diagnosis LES menurut American
College of Rheumatology (ACR). Kriteria pada pasien yang termasuk didalamnya
adalah ruam malar (butterfly rash), fotosensitif (bercak di kulit yang timbul
bertambah akibat paparan sinar matahari), ulkus mulut, dan tes ANA (+). Dari
keempat kriteria/gejala tersebut, pasien dapat langsung didiagnosa SLE.

Seperti yang tercantum dalam kriteria ACR, pemeriksaan penunjang yang


dapat dilakukan yaitu pemeriksaan imunologi dan tes ANA. Meskipun
nonspesifik, antibodi antinuclear (ANA) yang positif ditemukan lebih dari 97%
pasien dengan LES, biasanya dengan titer yang tinggi. Karena sensitivitasnya
yang tinggi, antibodi antinuclear yang negatif memiliki nilai prediksi negatif yang
tinggi untuk LES. Adanya antibodi terhadap double stranded DNA harus
dipikirkan kemungkinan LES karena antibodi ini ditemukan pada sebagian besar
pasien LES dan hampir eksklusif untuk penyakit ini. Titer antibodi anti-double
stranded DNA dapat diukur dan bervariasi berdasarkan aktivitas penyakit.
Antibodi terhadap Sm (Smith) (+) spesifik untuk LES dan ditemukan hanya lebih
kurang 30% pasien. Antibodi-antibodi dapat meningkatkan risiko thrombosis
arteri dan vena dapat dideteksi dengan adanya antibodi antikardiolipin, dan hasil
Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) positif palsu. Pada pasien ini, tes
yang dilakukan sehingga didagnosis LES adalah tes ANA dengan hasil pola
Cytoplasmic Speckled dengan titer > 1:1000. Karena sensitivitasnya yang tinggi
pasien dengan hasil positif pada ANA dapat didiagnosa LES sehingga memulai
perawatan dan pengobatan penyakit LES.

Penatalaksanaan LES tergantung dari berat ringannya penyakit, dan


melibatkan banyak ahli (multidisipliner). Alat pemantau pengobatan pasien LES
adalah evaluasi klinis dan laboratoris yang sering untuk menyesuaikan obat dan
mengenali serta menangani aktivitas penyakit. LES adalah penyakit seumur hidup,
karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya. Banyak obat digunakan untuk
mengobati LES. Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat,
sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian.
Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) diberikan bila hanya mengenai kulit dan
sendi, AINS diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan hidroksiklorokuin.
Naproksen: Biasa digunakan pada anak dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, po,
dibagi 2-3 dosis. Tolmetin sodium (Tolektin): Biasa digunakan pada anak dengan
dosis 20-30 mg/kgBB/hari, po, dibagi 3-4 dosis. Salisilat: diberikan bersamaan
dengan makanan, anak <20 kg: dosis 80–90 mg/kgBB/hari po dibagi 3-4 dosis,
anak >20 kg: dosis 60–80 mg/kgBB/hari po dibagi 3-4 dosis.

Anti Malaria diberikan bila didapatkan kelainan dominan pada kulit/mukosa


dengan atau tanpa arthritis; dan gejala konstitusional umum. Hidroksiklorokuin:
Dosis inisial 6-7 mg/kg BB/hari dibagi 1-2 dosis selama 2 bulan, dilanjutkan 5
mg/kgBB/hari p.o. (maks.300 mg/hari). Merupakan zat penghemat steroid
(steroid-sparing agent).

Tatalaksana pada LES yang utama adalah kortikosteroid. Awalnya


kortikosteroid dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari) dalam dosis terbagi. Apabila klinis
membaik dan kadar anti-dsDNA serta komplemen kembali normal, dillakukan
tappering off setiap 1-2 minggu sampai dosis pemeliharan 0,25-0,3 mg/kg/hari
yang dipertahankan selama 2-3 tahun. Untuk kelainan kulit diberikan obat topikal
yaitu betametason 0,05% selama 2 minggu, selanjutnya diganti dengan
hidrokortison.

Pada pasien ini, pengobatan yang diberikan adalah kortikosteroid topical


desoksimetason salep untuk hidung dan pipinya. Untuk sistemik pasien mendapat
Metylprednisolon 2 x 8 mg tablet per oral yang diminum setiap hari. Namun pada
1 minggu terakhir pasien tidak meminum obat tersebut dan kemudian menjadi
letih/lemah dan nyeri sendi serta muncul sariwan. Maka dari hal tersebut, perlu
diperhatikan cara mengonseling keluarga pasien dan pasien untuk selalu
mengambil obat tepat waktu dan diusahakan tidak terlambat sehingga tidak
menimbulkan gejala. Untuk pemberian terapi cairan rumatan untuk pasien adalah
dengan D5 ½ Ns sesuai dengan pemberian kebutuhan cairan pada anak yaitu usia
lebih dari 6 tahun D5 ½ NS. Pasien juga diberi Ondansentron 2x8 mg injeksi
melalui infus untuk mengatasi mual, Metamizole 3x500 mg sebagai analgetik atau
anti nyeri serta Nystatin 3 kali sehari untuk mengatasi sariawan akibat jamur.

Pada penyakit LES tidak ada satu jenis pemeriksaan atau parameter tunggal
yang dapat mengklasifikasikan aktivitas penyakit LES pada suatu waktu,
sedangkan tata laksana LES juga sangat tergantung dengan tingkat aktivitas
penyakit. Pada pemantauan aktivitas penyakit LES dibuat berbagai sistem skor
yang dapat menggambarkan perjalanan aktivitas penyakit. Sistem skor yang
paling sering digunakan adalah SLEDAI (Systemic lupus erythematosus disease
activity index), dihitung setiap 3–6 bulan, atau ketika ada perubahan aktivitas
penyakit.1 Skor SLEDAI dikembangkan di Toronto pada tahun 1985. Pada sistem
skor ini terdapat 24 variabel yang menggambarkan 8 sistem organ. Skor ini
mencatat manifestasi penyakit dalam waktu 10 hari sebelum waktu pengukuran.
Masing-masing variabel diberi bobot nilai yang bervariasi, tergantung dari
beratnya manifestasi klinik yang terjadi bila organ tersebut terganggu. Pada
gangguan ginjal, gangguan neurologi dan vaskulitis memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan gangguan pada kulit. Skor maksimum SLEDAI
adalah 105.

Terdapat beberapa cara interpretasi sistem skor SLEDAI. Interpretasi skor


SLEDAI adalah sebagai berikut: no activity (SLEDAI = 0), mild activity
(SLEDAI = 1–5), moderate activity (SLEDAI = 6–10), high activity (SLEDAI =
11–19), dan very high activity (SLEDAI = 20). Interpretasi skor SLEDAI menurut
Soepriadi dan Setiawan sebagai berikut:

1. Mild/moderate flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan berikut:
perubahan nilai SLEDAI lebih dari 3, timbulnya ruam diskoid,
fotosensitivitas, vaskulitis kutaneus, lupus bulosa, ulkus nasofarings,
pleurisi, perikarditis, artritis, demam, peningkatan dosis prednison tetapi
tidak melebihi 0,5 mg/kgBB/hari, peningkatan penggunaan AINS.

2. Severe flare adalah bila terdapat salah satu dari keadaan berikut: perubahan
nilai SLEDAI lebih dari 12, timbul atau memburuknya gejala SSP,
vaskulitis, nefritis, miositis, phosphokinase (Pk) kurang dari 60.000, Hb
kurang dari 7 g/dl (atau Hb turun lebih dari 3 g/dl), memerlukan
peningkatan dosis prednison sampai 2 kali lipat, dosis prednison lebih dari
0,5 mg/kgBB/hari, membutuhkan sitoksan baru (azatioprin, MTX), dan
rawat inap karena LES.

Pada pasien ini skor SLEDAI adalah 10 yang termasuk aktivitas penyakit
moderate flare. Disarankan pasien tetap melanjutkan obat dengan peningkatan
dosis prednison tetapi tidak melebihi 0,5 mg/kgBB/hari dan peningkatan
penggunaan AINS. Pasien sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga
diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi
tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan
kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa
harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (sunblock)
setiap 2 jam. Pendidikan dan edukasi penting untuk penderita/keluarganya agar
mengerti penyakit/penyulitnya yang mungkin terjadi, serta pentingnya berobat
secara teratur. Pencegahan terhadap pemaparan sinar matahari yaitu hindari
paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam 9.00/10.00 sampai
15.00/16.00, pakaian lengan panjang, celana panjang, topi, kacamata hitam, tabir
surya (topikal) untuk blokade radiasi UVA dan UVB. Pencegahan terjadinya
osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi yaitu deteksi dini dengan MRI, diet
tinggi kalsium, vitamin D adekuat, dan olahraga.

Hal-hal yang perlu dipantau juga pada pasien yaitu respon klinis terhadap
terapi, efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang, evaluasi
komplikasi yang mungkin terjadi (kelainan jantung, paru, otak), serta
pendidikan/edukasi: penting untuk penderita dan keluarganya mengerti mengenai
penyakit serta penyulitnya yang mungkin terjadi, serta pentingnya berobat secara
teratur.

Angka harapan hidup 5 tahun kini lebih dari 90% sedangkan angka harapan
hidup 10 tahun sekitar 85%. Penyebab kematian utama pada LES antara lain
adalah infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru, dan infark jantung. Infark
jantung disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid kronis.

D. KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus SLE pada anak laki-laki umur 17 tahun 6
bulan. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Saat ini pasien sudah mendapatkan terapi. Prognosis
dubia.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel Skor SLEDAI

Anda mungkin juga menyukai