Dalam Pembelajaran
March 10, 2017restudesriyanti Strategi Pembelajaran Leave a comment
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak
untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan kecakapan atau
pengetahuan ,sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan
karsa manusia tersebut untuk menjadi yang lebih baik ke depan. Belajar berarti sebuah
pembaharuan menuju pengembangan diri individuagar kehidupannya bisa lebih baik dari
sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang
manusia dengan lingkungan tersebut.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara
tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).
Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat
menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan
eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).
B.Rumusan Masalah
1. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina,
memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham
atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk,
2001:3).
Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis.
Menurut Wheatley (1991: 12) berpendapat dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat
adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dari pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang
lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalamanbelajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Teori pembelajaran konstruktivisme ini sama halnya dengan model pembelajaran experiental
learning, yaitu suatu model dimana, proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar
untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung.
Experiental Learning adalah : proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi
pengalaman. Hasil Pengetahuan dari kombinasi menggenggam dan mentransformasikan
pengalaman (Kolb, 1984).
Teori Konstruktivistik memandang bahwa belajar adalah mengonstruksi makna atas informasi
dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Belajar yang bersifat konstruktif ini sering
digunakan untuk menggambarkan jenis belajar yang terjadi selama penemuan ilmiah dan
pemecahan masalah kreatif di dalam kehidupan sehari-hari. Pada teori ini juga memandang
peserta didik sebagai individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila sudah dianggap tidak
dapat digunakan lagi. Hal ini memberikan implikasi bahwa peserta didik harus terlibat aktif
dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan
tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang
dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu
akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
1. Karakteristik konstruktivisme
Menurut Konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti, wacana,
dialog, pengalaman fisik, dll. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan
pengalaman atau informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa
sehingga pengetahuannya berkembang. Karakteristik konstruktivisme:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat,
dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah
dimiliki.
2. Konstruksi arti merupakan proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu mengadakan rekonstruksi.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu proses pengembangan
pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru. Belajar bukanlah suatu hasil
perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri, yang menuntut penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam kesenjangan
yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa, yaitu konsep-
konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
1. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar
adalah:
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-
mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam
benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori
perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997:49).
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan
ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan
tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema
baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan
ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada
tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
2. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi
kelas
5. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan
dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait
bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,
sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan
oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan
sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam
konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7)
mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal
yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut:
Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan adanya proses
evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar. Pada mulanya siswa
memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian spontan merupakan pengertian
yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami
perubahan menuju pengertian yang logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses
penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan
yang besar dari pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang
radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep
yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 50). Dengan
asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan
dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang tidak
cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam akomodasi oleh kaum
konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal.
Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti bahwa dalam
proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang itu tidak
sekali jadi, melainkan merupakan proses berkembang yang terus menerus. Dalam perkembangan
itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada
pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi.
Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik membentuk
pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan
peserta didik dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep
sangat membantu karena mendorong pendidik untuk menciptakan suasana dan keadaan yang
memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada peserta didik sehingga pemahaman mereka
lebih sesuai dengan pengertian ilmuan.
2. Teori Skema
Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk
mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau memecahkan persoalan (galam Suparno,
1997:55) . Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi atau
skema yang terdiri atas suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu
membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan yang
lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Belajar menurut teori skema adalah
mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau
skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema adalah abstraksi mental
seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun
memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar
agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang menurut
Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana
pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara
skema-skema itu.
Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada,
baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme
Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema
tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu
tersimpan dan tersusun.
David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningful learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi
bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini
terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan
pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar (Suparno, 1997: 54).
Menurut Bruner, “pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru
berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10) menyatakan bahwa
“mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri
mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan.
Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98)
bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama
adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang belajar akan
berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan
tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme,
yaitu:
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa
literatur yaitu sebagai berikut.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri pembelajaran yang
konstruktivis adalah sebagai berikut:
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang
program, implementasi program dan evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal
siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana
diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang
miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan
konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini
merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu :
(a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c)
restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka
dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi
perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi
siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten
digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa
dalam bentuk modul.
BAB III
PENUTUP
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada dalam
diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berfikir
secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah. Beberapa prinsip
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis diantaranya bahwa observasi dan mendengar
aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk
mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat
dievaluasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin diwujudkan
melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa
yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’. Dalam konstruktivis proses
pembelajaran senantiasa ”problem centered approach” dimana guru dan siswa terikat dalam
pembicaraan yang memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.
Daftar Pustaka