Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PALEOMORFOLOGI GUNUNG KRAKATAU

Krakatau purba merupakan pegunungan vulkanik aktif yang berada di antara


pulau sumatera dan pulau jawa. Gunung Krakatau sudah ada sejak zaman purba dan
pernah terjadi letusan. Kisah dahsyatnya letusan Gunung Krakatau ternyata pernah
terjadi di tahun 416 Sebelum Masehi. Cerita ini dilukiskan dalam Kitab Pustaka Raja
Purwa. Isinya antara lain menyatakan:
“Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada
pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian
datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan
seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke
timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah
menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera”.
Tulisan ini pernah menjadi pegangan bagi sejumlah ahli di dunia untuk
menggambarkan betapa dahsyatnya letusan tersebut di masa lalu. Meski begitu, dalam
penelitian yang dilakukan David Keys, Ken Wohletz dan rekan-rekannya meyakini
tanggal yang tertera dalam Kitab tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Mereka yakin, letusan Krakatau justru berlangsung di tahun 535, sebab tak ada
bukti yang mengarahkan letusan terjadi di tahun 416 Sebelum Masehi. Letusan ini
memberikan mengubah iklim dunia selama 535-536. Hal itu dicatat oleh sejarawan
Kerajaan Bizantium di Eropa pada 536 di tengah pertempurannya dengan suku Vandal,
Jerman.
Gambar 4.2. Penampang berarah barat – timur yang menghipotesiskan runtuhnya
kaldera akibat letusan Krakatau Purba dan menyebabkan terbentuknya Selat Sunda
pada abad ke-6 (Keys, 1999).

Berdasarkan catatan teks jawa kuno tersebut, morfologi Krakatau tahap pertama
yaitu krakatau purba diperkiraan menjulang setinggi 2000 m. Ledakan Krakatau Purba
diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa
mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer
setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Gambar 4.2. Pulau Jawa dan Sumatra ketika masih bersatu (atas). Setelah letusan
dahsyat Krakatau terbentuk kaldera besar yang dan terbentuk dua pulau besar,
masing-masing Pulau Sumatra dan Pulau Jawa, bawah (Keys, 1999).
Letusan gunung krakatau purba tersebut menghancurkan dan menenggelamkan
2/3 bagian krakatau purba. Morfologi Krakatau memasuki tahap kedua, menyisakan 3
pulau, yaitu Pulau Rakata, Pulang Panjang, dan Pulau Sertung. Pulau-pulau besar kecil
masih banyak berserakan di Selat Sunda. Sumatra dan Jawa masih bergandeng menjadi
satu. Perbatasan antara Swarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa itu
masih berupa suatu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi. Demikian
menurut catatan para pelaut Arab dan Cina (van Bemmelen, 1952, hal. 126-127).
Pertumbuhan lava yang terjadi didalam kaldera rakata membentuk 2 puncak
vulkanik, yaitu Danan dan Perbuatan, membentuk morfologi Krakatau tahap ketiga.
Pada 11 Agustus, kapten angkatan darat Belanda, H.J.G. Ferzenaar, diperintahkan
menyurvei Krakatau untuk kepentingan topografi militer. Dia melewatkan dua hari di
sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu
secara detial, termasuk titik-titik berwarna merah yang menjadi pusat semburan.

Gambar 4.3. Peta Krakatau tahun 11 Agustus 1883, yang merupakan peta terakhir
yang pernah dibuat sebelum letusan dahsyat yang menghancurkan Pulau Rakata
beberapa minggu setelahnya.
Setelah itu barulah Krakatau mengalami erupsi lagi yang tercatat terjadi pada
tanggal 27 Agustus 1883. Pada saat ini teknologi sudah mulai berkembang sehingga
tercatat dengan cukup jelas. Suara letusan terdengar sejauh 4.500 km, tinggi asap 80
km, energi yang dikeluarkan 1 X 1025 erg.

Gambar 4.4. Bentuk kepulauan Krakatau sebelum dan sesudah letusan tahun 1883.

Letusan tersebut menyisakan sebagian pulau Rakata dengan membentuk


kaldera di antara pulau Panjang, Rakata, dan Sertung, menjadi morfologi tahap ketiga.
Selama sekitar 43 tahun kemudian, barulah terlihat (tahun 1927) ternyata
aktivitas kaldera tersebut masih aktif dan terus memperbarui bentuknya yang ditandai
dengan munculnya gunung Anak Krakatau di tengah kaldera tersebut, memasuki
morfologi tahap keempat. Gunung anak Krakatau terus tumbuh dengan kecepatan
pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi
sekitar 20 kaki. Ketinggian anak krakatau saat ini adalah 450 meter.

Gambar 4.5. Krakatau sebelum (area titik-titik) dan setelah letusan 1883, serta lokasi
munculnya gunung Anak Krakatau
Referensi:
Keys, 1999. Catastrophe: A Quest for the Origins of the Modern World, Ballentine
Books, New York).
Winchester’s, S. 2003. Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883.
http://vulcan.wr.usgs.gov

Anda mungkin juga menyukai