Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan industrialisasi yang berlangsung cepat melalui penerapan
teknologi maju baik dalam bentuk mekanisasi maupun modernisasi interaksi
antara mesin sebagai alat produksi, manusia sebagai tenaga kerja pengoperasian
mesin, dan lingkungan kerja tempat berlangsungnya proses produksi harus
dapat
berjalan serasi, agar dapat dicapai produktivitas yang sebaik-baiknya bagi
perusahaan. Proses kemajuan ini memerlukan tingkat keselamatan dan
kesehatan
kerja yang lebih tinggi (Tarwaka, 2008).
Rumah sakit oleh World Health Organization atau disingkat WHO (1957)
diberikan batasan yaitu suatu bahagian menyeluruh (Integrasi) dari organisasi
dan
medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat
baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau
pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat
pelatihan
tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial (Asta, 2008).
Penyelenggaraan pelayanan radiologi umumnya dan radiologi diagnostik
khususnya telah dilaksanakan di berbagai sarana pelayanan kesehatan, mulai
dari
sarana pelayanan kesehatan sederhana, seperti puskesmas dan klinik-klinik
swasta,
maupun sarana pelayanan kesehatan yang berskala besar seperti rumah sakit
kelas
A. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi
dewasa ini telah memungkinkan berbagai penyakit dapat dideteksi dengan
menggunakan fasilitas radiologi diagnostik yaitu pelayanan yang menggunakan
radiasi pengion dan non pengion (Kepmenkes 1014/Menkes/SK/XI/2008).
Menurut Tim Bapeten (2003a), kecelakaan radiasi merupakan suatu keadaan
tidak normal yang timbul karena tidak terkendalinya sumber radiasi yang secara
langsung atau tidak langsung dapat membahayakan jiwa, kesehatan dan harta
benda. Kecelakaan radiasi mempunyai ciri adanya medan radiasi yang tinggi
atau
terjadinya pelepasan zat radioaktif yang tidak dapat dikendalikan dalam jumlah
cukup besar sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan efek yang serius
atau
kematian (Bapeten, 2003a)
Efek radiasi tergantung dari dose ekivalen yang diterima, dose rate, jaringan
terkena, jumlah atau luasnya area terpajan. Sekecil apapun radiasi yang diterima
akan berpengaruh karena akan terakumulasi. Secara alami sel kita juga
mempunyai kemampuan untuk memperbaiki apabila ada kerusakan, tentu saja
tergantung seberapa parah kerusakan yang diderita. Sesuai dengan kenyataan
tersebut maka dosis radiasi kecil yang diberikan secara berkala akan
menimbulkan
efek berbeda jika radiasi diberikan sekaligus dalam dosis besar (Taspirin, 2009).
RSUD Dr. Moewardi Surakarta sebagai rumah sakit pemerintah memiliki
Instalasi Radiodiagnostik yang menggunakan pesawat sinar-X mendeteksi
berbagai penyakit yang menggunakan radiasi pengion dan non pengion.
Berdasarkan hal tersebut RSUD Dr. Moewardi Surakarta mempunyai komitmen
untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)

B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini dapat
dibuat rumusan masalah: Bagaimanakah Proteksi Radiasi di Instalasi
Radiodiagnostik RSUD Dr. Moewardi Surakata?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Proteksi Radiasi di Instalasi
Radiodiagnostik RSUD Dr. Moewardi Surakata.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Rumah Sakit
Diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi terhadap Proteksi
Radiasi di Instalasi Radiodiagnostik sehingga dapat mewujudkan lingkungan
rumah sakit dan tempat kerja yang aman dan sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit toLANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Radiodiagnostik
Pada era maju sekarang ini, umumnya layanan radiologi telah
dikelompokkan menjadi 2 (dua) prosedur, yaitu radiologi diagnostik dan
intervensional. Radiologi diagnostik adalah cabang ilmu radiologi yang
berhubungan dengan penggunaan pesawat sinar-X untuk prosedur
diagnosis, sedangkan radiologi intervensional adalah cabang ilmu
radiologi yang berhubungan dengan penggunaan pesawat sinar-X untuk
memandu prosedur perkutaneus seperti pelaksanaan biopsi, pengeluaran
cairan, pemasukan kateter, atau pelebaran terhadap saluran atau pembuluh
darah yang menyempit (Togap, 2006).
Radiodiagnostik merupakan salah satu cabang ilmu yang
dikembangkan setelah ditemukannya sinar-X oleh Wilhem Conrad
Rontgen pada tahun 1895. Pemanfaatan sinar-X di radiodiagnostik adalah
sebagai penegak diagnosa suatu kelainan atau penyakit. Dan sejak itu
radiodiagnostik menjadi salah satu pemeriksaan dalam dunia kedokteran
(Tris, 2011).
2. Radiasi
a. Pengertian radiasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Radiasi merupakan salah satu bahaya potensial yang ada di sarana
kesehatan. Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi
dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium
(Taspirin, 2009).
Radiasi yang ada di tempat kerja dan mempunyai pengaruh
kepada tenaga kerja dan pekerjaannya terdiri dari:
1) Radiasi elektromagnetis, yaitu gelombang-gelombang mikro
(microwave), radiasi laser, radiasi panas, sinar ultraviolet, sinar
infra merah, sinar-X dan sinar gamma.
2) Radiasi radioaktif, yaitu sinar-sinar dari bahan radioaktif
.
Radiasi elektromagnetik dalam bidang medik adalah radiasi yang
dikeluarkan peralatan seperti pesawat sinar-X, sinar gamma, gelombang
micro, inframerah, ultraviolet, maupun pesawat ultrasonografi
(Taspirin, 2009).
Radiasi di Instalasi radiodiagnostik rumah sakit digunakan untuk
sumber pelayanan kepada pasien yang membutuhkan radiasi untuk
membantu menegakkan diagnose penyakit, komponen lainnya yaitu
pekerja radiasi, masyarakat umum yang terdiri dari keluarga pasien dan
tenaga medis lainnya (Taspirin, 2009).
b. Sumber Radiasi
Semua individu menerima radiasi alami namun saat ini berbagai
tes diagnostik merupakan sumber terbesar pajanan radiasi sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
harus dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi radiasi tersebut.
Walaupun radiasi ionisasi dianggap memiliki potensi bahaya, resiko ini
harus dipertimbangkan selain berbagai manfaat yang akan didapatkan
oleh pasien (Pradip, 2007).
Sumber radiasi pada sarana kesehatan yang paling sering
digunakan adalah sinar-X sedangkan partikel alpha, beta, dan gamma
hanya digunakan pada rumah sakit yang memiliki instalasi
radiodiagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir (Taspirin, 2009).
Radiasi gamma termasuk jenis radiasi elektromagnetik. Sinar
gamma identik dengan sinar-X karena keduanya termasuk radiasi
elektromagnetik, namun panjang gelombang sinar gamma lebih pendek
dibandingkan sinar-X. Gamma memiliki daya tembus paling besar
dibandingkan alpha dan beta, namun daya ionisasinya paling kecil.
Radionuklida yang dapat mengeluarkan sinar gamma adalah Cobalt
(Co-60) dan Cesium (Cs-137) (Taspirin, 2009).
Contoh alat yang digunakan dalam pemanfaatan sumber radiasi
adalah CT-scan dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Gambar 1. Salah satu alat yang digunakan dalam pemanfaatan sumber radiasi
yaitu CT-Scan
Sumber : Data Sekunder (Dokumen Tim Blog Wikipedia, 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Gambar 2. Ruang control CT-Scan dari balik tabir atau shielding.
Sumber : Data Sekunder (Dokumen Tim Blog Wikipedia, 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
3. Kecelakaan Radiasi
Menurut Peraturan Pemerintah 63 tahun 2000 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, kecelakaan radiasi
adalah kejadian yang tidak direncanakan termasuk kesalahan operasi,
kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain yang menjurus
timbulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau kontaminasi
yang melampaui batas keselamatan.
Kecelakaan radiasi merupakan suatu keadaan tidak normal yang
timbul karena tidak terkendalinya sumber radiasi yang secara langsung
atau tidak langsung dapat membahayakan jiwa, kesehatan dan harta benda.
Kecelakaan radiasi mempunyai ciri adanya medan radiasi yang tinggi atau
terjadinya pelepasan zat radioaktif yang tidak dapat dikendalikan dalam
jumlah cukup besar sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan efek
yang serius atau kematian (Tim Bapeten, 2003a).
Menurut Tim Bapeten (2003a), faktor utama kecelakaan terjadi
sebagai akibat tiga faktor utama yaitu faktor manusia, faktor instalasi atau
peralatan teknis, dan faktor sarana atau lingkungan kerja. Penyebab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
timbulnya kecelakaan yang berkaitan dengan ketiga faktor tersebut secara
umum dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu :
a. Kondisi instalasi dan lingkungan
Keadaan fisik atau lingkungan instalasi yang berbahaya sehingga
memungkinkan atau terdapat peluang terjadinya suatu kecelakaan.
Kondisi instalasi yang tidak aman ini dapat dikendalikan dengan
peralatan yang mempunyai sistem pengaman yang baik dan teruji, serta
adanya prosedur keselamatan kerja yang memadai.
b. Tindakan operator
Tindakan yang menyimpang dari operator terhadap prosedur
keselamatan dan segala ketentuan keselamatan.
Hal tersebut diatas antara lain disebabkan karena faktor-faktor
sebagai berikut :
1) Kurang pengetahuan tentang cara kerja peralatan, mesin, instalasi
atau sifat bahan yang digunakan.
2) Tidak atau kurang memiliki ketrampilan.
3) Memiliki cacat tubuh yang tidak tampak.
4) Bekerja dalam keadaan letih dan lesu.
5) Sikap dan tingkah laku kerja yang tidak sesuai ketentuan.
Menurut Tim Bapeten (2003a), potensi bahaya radiasi secara
umum dapat dibagi dalam dua kategori :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1) Potensi bahaya radiasi sebagai akibat adanya kegiatan operasi
fasilitas atau instalasi yang memanfaatkan tenaga nuklir (penelitian,
energi listrik, kesehatan, industri dan sebagainya).
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa setiap fasilitas
atau instalasi nuklir harus mempunyai izin dari BAPETEN, maka
segala resiko dan dampak radiasi yang mungkin akan terjadi telah
dihipotesiskan atau diramalkan dalam Laporan Analisis Keselamatan
(LAK) sehingga tindakan pencegahan dari potensi bahaya telah
dapat ditentukan sesuai dengan karakteristik fasilitas. Sebagai contoh
adalah pembatasan dosis, pemonitoran radiologi, pembagian daerah
kerja dan sebagainya.
2) Potensi bahaya radiasi yang timbul sebagai akibat terjadinya
kecelakaan radiasi.
Dalam kondisi ini diperlukan tindakan penanggulangan atau
intervensi untuk mengurangi penerimaan penyinaran yang lebih
tinggi agar dosis yang diterima personil serendah mungkin. Jika
kecelakaan menyebabkan tercemarnya lingkungan maka diperlukan
suatu tindakan untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti
semula.
4. Efek radiasi
Efek radiasi tergantung dari dose ekivalen yang diterima, dose rate,
jaringan terkena, jumlah atau luasnya area terpajan. Sekecil apapun radiasi
yang diterima akan berpengaruh karena akan terakumulasi. Secara alami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
sel kita juga mempunyai kemampuan untuk memperbaiki apabila ada
kerusakan, tentu saja tergantung seberapa parah kerusakan yang diderita.
Sesuai dengan kenyataan tersebut maka dosis radiasi kecil yang diberikan
secara berkala akan menimbulkan efek berbeda jika radiasi diberikan
sekaligus dalam dosis besar (Taspirin, 2009).
Efek radiasi pengion adalah mutagenik, karsinogenik dan
teratogenik. Anak-anak lebih sensitif daripada orang dewasa. Akibat buruk
dari radiasi pengion dikenal sebagai efek somatik apabila diderita oleh
orang yang terkena radiasi dan disebut efek herediter apabila dialami oleh
keturunannya (Taspirin, 2009).
Gelombang mikro mempunyai pengaruh kepada tenaga kerja yang
bekerja di daerah sumber radiasi. Pengaruhnya terutama gangguan faal
tubuh. Sindroma klinis terbagi tiga, yaitu stadium permulaan, stadium
dengan gejala-gejala menengah dan stadium lanjut. Pada stadium pertama
gejala-gejalanya adalah asthenia yang berupa perubahan vasovegetatif
jenis vagotonik. Prosesnya reversibel dan segera pulih kembali setelah
radiasi berhenti. Pada tingkat lanjut terdapat kelainan neuro-vaskuler yang
ditandai perubahan-perubahan pada tonus pembuluh darah, paroxysma,
dan kecenderungan kuatnya reaksi simpatis. Gambaran klinis menyerupai
sindroma gangguan diencephalon dengan perubahan-perubahan sangat
terlihat pada electroencephalogram. Pada tingkat ini, proses pathologis
kecil, kemungkinan dapat p
1996).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Sinar elektromagnetik lainnya menyebabkan kelainan-kelainan di
tubuh dan di kulit sesuai dengan dosisnya. Salah satu contoh kelainan
adalah luka bakar oleh sinar-X ataupun sinar gamma. Akibat-akibat
lainnya adalah impotensi, kerusakan system hemopolitik, dan leukemia.
Pencegahan dilakukan dengan pengukuran dosis tidak melebihi dosis
.
5. Pekerja radiasi
Pekerja Radiasi adalah setiap orang yang bekerja di instalasi nuklir
atau instansi radiasi pengion yang diperkirakan menerima dosis radiasi
tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum. Adapun di dalamnya
adalah Petugas Proteksi Radiasi (PPR) yaitu petugas yang ditunjuk oleh
pengusaha instalasi dan oleh Badan Pengawas yang dinyatakan mampu
melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi
(Muhtarom, 2011).
Begitu pula perhatian dalam hal tugas pokok tenaga kerja yang
berada di Instalasi Radiodiagnostik yang mampu menjadi faktor
pendukung dalam penerapan keselamatan kerja radiasi itu sendiri, antara
lain:
a. Pekerja radiasi
Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 pasal 1 no. 10,
pekerja radiasi adalah setiap orang yang bekerja di instalasi nuklir atau
instalasi yang berhubungan dengan radiasi pengion yang diperkirakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
menerima dosis radiasi tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum
(Tim Pusat K3, 2010).
Menurut Tim Pusat K3 (2010), semua pekerja Radiasi merupakan
bagian dari organisasi proteksi radiasi yang memiliki tanggung jawab
dan kewajiban terhadap keselamatan radiasi di daerah kerjanya antara
lain :
1) Mengetahui, memahami, dan melaksanakan semua ketentuan
keselamatan kerja radiasi.
2) Memanfaatkan sebaik-baiknya peralatan keselamatan radiasi yang
tersedia, bertindak secara hati-hati serta bekerja secara aman untuk
melindungi dirinya sendiri dan pekerja lain.
3) Melaporkan setiap kejadian kecelakaan bagaimanapun kecilnya
kepada Petugas Proteksi Radiasi.
4) Melaporkan setiap gangguan kesehatan yang dirasakan, yang
diduga akibat penyinaran lebih atau masuknya zat radioaktif ke
dalam tubuh pekerja.
b. Petugas Proteksi Radiasi (PPR)
Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 pasal 1 no. 9,
pekerja radiasi adalah petugas yang ditunjuk oleh Pengusaha Instalasi
Atom dan oleh Bapeten dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan
yang berhubungan dengan proteksi radiasi.
Menurut Kepmenkes RI 1014/MENKES/SK/XI/2008, petugas
proteksi radiasi merupakan bagian dari organisasi proteksi radiasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap keselamatan radiasi
di daerah kerjanya antara lain :
1) Memantau aspek operasional Proteksi dan Keselamatan Radiasi.
2) Memastikan ketersediaan dan kelayakan perlengkapan Proteksi
Radiasi, dan memantau pemakaiannya.
3) Meninjau secara sistematik dan periodik, program pemantauan di
semua tempat dimana pesawat sinar-X digunakan.
4) Memberikan konsultasi yang terkait dengan Proteksi dan
Keselamatan Radiasi.
5) Berpartisipasi dalam mendesain fasilitas radiologi.
6) Memelihara rekaman.
7) Mengidentifikasi kebutuhan dan mengorganisasi kegiatan
pelatihan.
8) Melaksanakan pelatihan penanggulangan dan pencarian keterangan
dalam hal kedaruratan.
9) Melaporkan kepada Pemegang Izin setiap kejadian kegagalan
operasi yang berpotensi Kecelakaan Radiasi.
10) Menyiapkan laporan tertulis mengenai pelaksanaan program
Proteksi dan Keselamatan Radiasi dan verifikasi keselamatan yang
diketahui oleh Pemegang Izin untuk dilaporkan kepada Kepala
Bapeten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
11) Melakukan inventarisasi zat radioaktif.
Dalam Peraturan pemerintah no 11 tahun 1975 Bab III mengenai
Petugas dan Ahli Proteksi Radiasi, antara lain:
1) Pasal 4 : setiap instalasi atom harus mempunyai sekurangkurangnya
seorang petugas proteksi radiasi.
2) Pasal 5 : setiap penguasa instalasi atom dengan persetujuan instansi
yg berwenang diwajibkan menunjuk dirinya sendiri atau orang lain
dibawahnya selaku petugas proteksi radiasi.
PPR bertanggungjawab atas segala sesuatu yang
berhubungan dengan keselamatan setiap orang dalam lingkungan
kekuasaanya kepada penguasa instalasi atom.
3) Pasal 6 : PPR berkewajiban menyusun pedoman kerja, instruksi,
dan lain-lain yang berlaku dalam lingkungan instalasi atom yang
bersangkutan.
4) Pasal 7 : untuk mengawasi ditaatinya peraturan-peraturan
keselamatan kerja terhadap radiasi perlu ditunjuk ahli PPR oleh
instalasi yang berwenang.
Ahli PPR diwajibkan memberikan laporan kepada instansi
yang berwenang dan Menteri Tenaga Kerja dan Koperasi secara
berkala.
6. Nilai Batas Dosis
Pembatasan dosis radiasi baru dikenal pada tahun 1928, yaitu sejak
dibentuknya organisasi internasional untuk proteksi radiasi (International
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Commission on Radiological Protection/ICRP). Pelopor proteksi radiasi
yang terkenal adalah seorang ilmuwan dari Swedia bernama Rolf Sievert.
Ia lahir pada tahun 1896 ketika Henri Becquerel menemukan zat radioaktif
alam. Sievert kemudian diabadikan sebagai satuan dosis paparan radiasi
dalam sistem Satuan Internasional (SI). 1 Sievert (Sv) menunjukkan
berapa besar dosis paparan radiasi dari sumber radioaktif yang diserap oleh
tubuh per satuan massa (berat), yang mengakibatkan kerusakan secara
biologis pada sel/jaringan (Fakhrul, 2008).
Ketentuan tentang Nilai Batas Dosis menurut Tim Pusat K3 (2010),
dimaksudkan untuk mengatur dengan lebih tegas nilai pemaparan dan
dosis radiasi tertinggi yang masih diizinkan untuk diterima oleh pekerja
radiasi dalam menjalankan pekerjaannya sesuai dengan Bab II pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja
Terhadap Radiasi. Setiap Pengusaha Instalasi atom diizinkan menentukan
sendiri nilai batas dosis yang sesuai dengan kondisi setempat asal tidak
melebihi nilai tertinggi yang diterapakan dalam ketentuan ini.
Dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima didasarkan atas dasar
rumus akumulasi sebagai berikut : D = 5 (N-18) dengan pengertian bahwa
D adalah dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima oleh seorang
pekerja radiasi selama masa kerjanya, dinyatakan dalam rem. N adalah
usia pekerja radiasi yang bersangkutan, dinyatakan dalam tahun.
Sedangkan 18 adalah usia daripada seseorang yang diizinkan bekerja
dalam medan radiasi, dinyatakan dalam tahun (Tim Pusat K3, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Dosis yang diizinkan untuk diterima oleh seorang pekerja radiasi
merupakan jumlah dosis yang berasal dari radiasi eksterna dan radiasi
interna, tetapi tidak termasuk dosis yang diterima dari radiasi maksudmaksud
medis. Dalam hal ini Nilai Batas Dosis yang memenuhi standard
internasional ICRP No. 60 tahun 1990 yaitu untuk petugas atau pekerja
radiasi adalah 5 mSv per tahun dengan syarat bahwa dosis rata-rata selama
lima tahun berturut-turut tidak melebihi dari 1 mSv dalam satu tahun (Tim
Pusat K3, 2010).
Dosis yang diizinkan untuk diterima oleh seorang pekerja radiasi
didasarkan atas pengaruhnya pada organ tubuh yang paling sensitif
terhadap radiasi yaitu sumsum tulang merah (red bone marrow), kelenjar
kelamin (gonad), dan tubuh secara keseluruhan. Apabila dosis akumulasi
pekerja radiasi untuk jangka waktu tertentu tidak diketahui harus dianggap
bahwa pekerja tersebut telah menerima dosis radiasi sebesar Nilai Batas
Tertinggi untuk jangka waktu tersebut (Tim Pusat K3, 2010).
Jika dosis melebihi Nilai Batas Dosis (NBD), maka dalam upayanya
sesuai ketentuan Bapeten no. 6 tahun 2010 tentang Pemantauan Kesehatan
untuk Pekerja Radiasi bagian 4 pasal 12 tentang Penatalaksanaan
Kesehatan Pekerja yang Mendapat Paparan Radiasi Berlebih, antara lain :
a. Kajian terhadap dosis yang diterima
b. Konseling
c. Pemeriksaan kesehatan dan tindak lanjut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
7. Upaya proteksi
Menurut Taspirin (2009), pengendalian adalah hal yang paling
mendasar dari proteksi radiasi. Ada tiga prinsip dalam proteksi radiasi
yaitu pengendalian waktu, jarak dan shielding.
a. Waktu
Pengaturan waktu adalah metoda penting untuk mengurangi
penerima dosis radiasi. Waktu yang digunakan untuk melakukan
pemeriksaan dengan menggunakan radiasi diusahakan secepat
mungkin.
b. Jarak
Dalam pengendalian jarak, berlaku hukum kuadrat terbalik yaitu
semakin besar jarak dari sumber maka dosis radiasi ditempat tersebut
jauh semakin kecil. Pengendalian radiasi hambur dari ruang
pemeriksaan rontgen dapat dilakukan dengan menjaga jarak minimal
3 meter dari tabung sinar X.
c. Shielding
Ruang radiologi dan kedokteran nuklir harus mempunyai
dinding dari beton yang lebih tebal atau adanya timbal pelapis
sehingga dapat menyerap semua energi radiasi yang melaluinya.
Pada jendela perlu disisipkan kaca timbal sehingga petugas dapat
mengawasi pasien selama pemeriksaan dengan aman.
Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai
Penggunaan Alat Proteksi Radiasi (Lampiran 5), antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
a. Setiap pekerja radiasi harus berlindung di belakang tabir proteksi
(tembok beton atau Pb (timah hitam)).
b. Menggunakan tabir Pb (timah hitam) yang dilengkapi dengan
kaca Pb (timah hitam).
c. Setiap pekerja radiasi memakai apron.
d. Penggunaan radiasi seefektif mungkin sehingga mengurangi
radiasi hambur.
e. Mencegah pengulangan foto.
f. Mengatur jarak antara petugas radiasi dengan sumber radiasi.
Upaya-upaya proteksi yang dilakukan oleh Instalasi
Radiodiagnostik adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan
Sesuai peraturan yang berlaku, maka pekerja radiasi harus
diperiksa kesehatannya sebelum mulai bekerja, selama bekerja
minimal setahun sekali, dan saat berhenti sebagai pekerja radiasi.
Mengingat adanya kemungkinan pindahnya seorang pekerja
radiasi ke instalasi lain, maka diperlukan suatu koordinasi
pemeriksaan kesehatan pekerja radiasi bagi instalasi-instalasi yang
menggunakan radiasi, sehingga data kesehatan sebelumnya bisa
dipindahkan dengan cara yang mudah di tempat kerja yang baru.
Data kesehatan tersebut sangat penting untuk memantau kesehatan
pekerja radiasi, masalah ansuransi maupun untuk menunjang
penanganan medik pada kasus kecelakaan radiasi (Bambang, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Pengawasan kesehatan terhadap pekerja radiasi harus
didasarkan pada prinsip-prinsip pemeriksaan kesehatan pada
umumnya. Pengawasan kesehatan meliputi :
1) Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja
Pemeriksaan ini meliputi penyelidikan terhadap riwayat
kesehatannya termasuk semua penyinaran terhadap radiasi
pengion dari pekerjaan sebelumnya yang diketahui diterimanya
atau dari pemeriksaan dengan pengobatan medik dan juga
peneyelidikan secara klinik untuk menentukan keadaan umum
kesehatannya. Pemeriksaan khusus dilakukan terhadap organ
yang dianggap peka terhadap radiasi misalnya pemeriksaan
hematologi, dermatologi, ophtalmologi, paru-paru, neurologi dan
atau kandungan (Dartini, 2007).
Pemeriksaan kesehatan sebelum masa kerja akan
memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan pekerja
radiasi pada saat akan mulai bekerja dan penyakit-penyakit apa
saja yang pernah diderita. Masukan ini akan diperlukan sebagai
bahan acuan untuk setiap perubahan keadaan kesehatan yang
terjadi di kemudian hari waktu ia bekerja di medan radiasi.
Pemeriksaan kesehatan ini pada prinsipnya sama seperti halnya di
tempat kerja lainnya, tetapi harus disertakan aspek-aspek yang
merefleksikan efek kesehatan spesifik pada pekerja radiasi.
Temuan awal harus dijadikan sebagai dasar uji kesehatan pekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
sesuai tugasnya dan sebagai referensi (pembanding) terhadap
perubahan yang terjadi selama beekrja dan sesudahnya (Tetriana
dan Evalisa, 2007).
2) Pemeriksaan kesehatan berkala selama bekerja
Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk menentukan
keadaan kesehatan pekerja dalam menjalankan tugasnya.
Pemeriksaan ini dilakukan sekurang-kurangnya satu tahun sekali
atau lebih tergantung pada kondisi penyinaran yang diterima oleh
pekerja (Dartini, 2007).
Pemeriksaan kesehatan selama masa kerja dilakukan secara
berkala minimal sekali dalam setahun. Pemaparan terhadap
radiasi dan peristiwa kontaminasi dengan zat radioaktif dapat saja
terjadi tanpa diketahui oleh si pekerja radiasi, karena itu
diperlukan usaha untuk mendeteksi akibat yang ditimbulkannya.
Di pihak lain, perubahan kondisi kesehatan pekerja radiasi dapat
nampak seolah-olah sebagai akibat radiasi pengion namun pada
kenyataannya ditimbulkan oleh penyebab lain. Frekuensi uji
berkala seharusnya minimal sekali dalam setahun, bergantung
pada umur dan kesehatan pekerja, sifat tugas, dan tingkat pajanan
terhadap radiasi (Tetriana dan Evalisa, 2007).
3) Pemeriksaan kesehatan pada waktu pemutusan hubungan kerja
Setiap pekerja radiasi pada saat memutuskan hubungan
kerja dengan instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
sumber radiasi diwajibkan menjalankan pemeriksaan kesehtaan
secara teliti dan menyeluruh atas beban instalasi yang
memanfaatkan sumber radiasi. Dokter instalasi dapat menentukan
perlunya pengawasan kesehatan setelah putusnya hubungan kerja
untuk mengawasi kesehatan orang yang bersangkutan selama
dianggap perlu atas biaya pengusaha instalasi (Dartini, 2007).
Pada waktu berhenti sebagai pekerja radiasi, pekerja
tersebut akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk
menentukan kondisi kesehatannya pada saat berhenti bekerja. Jika
diperlukan dapat diberikan pemeriksaan tambahan sebagai tindak
lanjut (follow up). Petugas kesehatan pada unit medik fasilitas
nuklir sebaiknya memahami cara dan kondisi kerja sebagai
pekerja radiasi serta bahaya radiasi yang mungkin akan
mengancamnya (Tetriana dan Evalisa, 2007).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 172/MENKES/PER/III/1991, maka pemeriksaan
kesehatan pekerja radiasi terdiri dari:
a) Pemeriksaan jasmani (fisik)
b) Pemeriksaan laboratorium
c) Pemeriksaan lain yang dianggap perlu
b. Proteksi Paparan Radiasi
Untuk menjamin kesehatan pekerja radiasi tetap dalam kondisi
aman dan terkendali maka kegiatan pemeriksaan kesehatan pekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
radiasi harus didukung juga oleh ketentuan yang mengatur cara-cara
yang aman dalam penggunaan radiasi. Di dalam Peraturan
Pemerintah no 63 tahun 2000 tentang
Terhadap gamblang
mengenai asas-asas proteksi radiasi yang terdiri dari asas justifikasi
(justification of practices), limitasi (dose limitation), dan optimisasi
(optimization of protection and safety) untuk setiap kegiatan yang
mengakibatkan penerimaan dosis radiasi pada seseorang berdasarkan
rekomendasi ICRP. Keempat asas yang telah dikenal secara luas
tersebut khususnya di lingkungan penguasa instalasi dan pengguna
adalah sebagai berikut :
1) Asas justifikasi, yaitu setiap kegiatan yang memanfaatkan
radioaktif atau sumber radiasi lainnya hanya boleh dilakukan
apabila menghasilkan keuntungan yang lebih besar kepada
seseorang yang terkena penyinaran radiasi atau bagi masyarakat,
dibandingkan dengan kerugian yang mungkin diakibatkan,
dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan faktor
lainnya yang sesuai. Dalam melakukan pengkajian perlu
diperhitungkan pula estimasi kerugian yang berasal dari
penyinaran yang tidak dapat diramalkan sebelumnya.
2) Asas limitasi, yaitu penerimaan dosis oleh seseorang tidak boleh
melampaui nilai batas dosis yang ditetapkan Badan Pengawas
(BP). Yang dimaksud nilai batas dosis disini adalah dosis radiasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama 1
(satu) tahun dan tidak bergantung pada laju dosis. Penetapan nilai
batas dosis ini tidak memperhitungkan penerimaan dosis untuk
tujuan medik yang berasal dari radiasi alam.
3) Asas optimisasi, yaitu proteksi dan keselamatan terhadap
penyinaran yang berasal dari sumber radiasi yang dimanfaatkan,
harus diusahakan sedemikian rupa sehingga besarnya dosis yang
diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari sekecil
mungkin dengan memperhatikan faktor sosial dan ekonomi.
Terhadap dosis perorangan yang berasal dari sumber radiasi harus
diberlakukan pembatasan dosis yang besarnya harus dibawah
nilai batas dosis (Tetriana dan Evalisa, 2007).
Menurut Tim Bapeten (2003a), dalam hal proteksi radiasi
khusus untuk peralatan diagnostik:
1) Penyinaran radiasi medik sekecil mungkin yang bisa dicapai
dengan tetap mendapatkan informasi diagnostik yang
diperlukan.
2) Parameter seperti tegangan, arus, posisi titik fokus, dinyatakan
secara jelas dan akurat.
3) Piranti yang secara otomatik bahwa radiasi selesai setelah
mencapai waktu tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
4) Untuk fluroskopi, piranti yang menghidupkan tabung dengan
cara ditekan terus-menerus harus dilengkapi dengan pembatas
waktu penyinaran atau pemantau dosis masuk kulit.
Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai
Proteksi Radiasi Terhadap Pasien (Lampiran 6), antara lain:
1) Pemeriksaan radiologi hanya bisa dikerjakan atas perintah dokter.
2) Menghindari pengulangan dalam pembuatan foto.
3) Membuat batasan atau mengatur kolimator sedemikian rupa
sehingga sedikit terjadi hamburan sinar radiasi.
4) Menggunakan proteksi atau apron untuk penderita, misal proteksi
untuk gonad, dan lain-lain.
5) Menghindari pemeriksaan bagi wanita hamil, kalau tidak terlalu
dibutuhkan.
6) Apabila pemeriksaan sangat dibutuhkan kepada penerita yang
sedang hamil maka bagian janin atau perut harus ditutup dengan
load, sehingga janin terhindar dari radiasi.
Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai
Proteksi Radiasi Terhadap Lingkungan (Lampiran 7), antara lain:
1) Penempatan sinar-X harus ditempatkan di ruang yang kedap
radiasi.
2) Tidak ada bocoran radiasi yang keluar dari ruangan pesawat sinar-
X baik lewat tembok dan pintu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3) Memberi tanda di setiap pintu masuk maupun pintu keluar dengan
lampu merah dalam keadaan menyala berarti sedang terjadi
pemeriksaan.
4) Memberi tanda yang bisa dibaca oleh umum bahwa ruangan
tersebut ada daerah radiasi.
5) Memberi pengertian kepada pengantar penderita agar tidak ikut
masuk kedalam ruang pemeriksaan.
c. Peralatan Protektif dan Proteksi Radiasi
Menurut Peraturan Pemerintah no 63 tahun 2000 tentang
Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion
pasal 18 tentang Peralatan Proteksi Radiasi dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1969 tentang Pemakaian Isotop Radioaktip
mempunyai peralatan teknis
yang diperlukan untuk melakukan penyimpanan isotop dengan baik,
untuk menjamin perlindungan terhadap radiasi
Peralatan protektif dan peralatan proteksi radiasi adalah
beberapa alat atau rancangan yang digunakan oleh Instalasi
Radiologi dalam hal keselamatan pekerja untuk menghindari paparan
yang melebihi nilai batas dosis. Sehingga para pekerja merasa aman
dan nyaman dalam melakukan pekerjaannya dan terjaminnya
kesehatan mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
1) Peralatan Protektif Radiasi
Sebagai peralatan protektif harus sesuai dengan rancangan
yang sudah ditentukan oleh Kepmenkes
1014/MENKES/SK/XI/2008. Pendekatan yang dipakai dalam
menetapkan jenis dan luas ruangan adalah :
a) Fungsi ruangan/jenis kegiatan
b) Proteksi terhadap bahaya radiasi bagi petugas, pasien,
lingkungan
c) Efisiensi
Disisi lain juga tercantum adanya persyaratan ruangan :
a) Letak unit/instalasi radiologi hendaknya mudah dijangkau dari
ruangan gawat darurat, perawatan intensive care, kamar bedah
dan ruangan lainnya.
b) Di setiap instalasi radiologi dilengkapi dengan alat pemadam
kebakaran dan alarm sesuai dengan kebutuhan.
c) Suhu ruang pemeriksaan 20-24 °C dan kelembaban 40 - 60 %.
d) Suhu untuk alat sesuai dengan kebutuhan alat tersebut.
Persyaratan ruangan, meliputi jenis, kelengkapan dan
ukuran/luas ruangan yang dibutuhkan sebagai berikut :
a) Ketebalan dinding
Bata merah dengan ketebalan 25 cm (duapuluh lima
sentimeter) dan kerapatan jenis 2,2 g/cm3 (dua koma dua gram
per sentimeter kubik), atau beton dengan ketebalan 20 cm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
(duapuluh sentimeter) atau setara dengan 2 mm (dua
milimeter) timah hitam (Pb), sehingga tingkat 26 Radiasi di
sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui Nilai Batas
Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per tahun).
b) Ruangan dilengkapi dengan sistem pengaturan udara sesuai
dengan kebutuhan.
c) Pintu dan ventilasi.
(1)Pintu ruangan Pesawat sinar-X dilapisi dengan timah hitam
dengan ketebalan tertentu sehingga tingkat Radiasi di
sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui Nilai
Batas Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per tahun).
(2)Ventilasi setinggi 2 (dua) meter dari lantai sebelah luar agar
orang di luar tidak terkena paparan radiasi.
(3)Di atas pintu masuk ruang pemeriksaan dipasang lampu
merah yang menyala pada saat pesawat dihidupkan sebagai
tanda sedang dilakukan penyinaran (lampu peringatan tanda
bahaya radiasi).
d) Pada tiap-tiap sambungan Pb, dibuat tumpang tindih atau
overlapping.
e) Jenis dan ukuran ruangan:
(1) Ruang penyinaran atau Ruang sinar-X
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Ukuran ruangan sesuai dengan kebutuhan atau
besarnya alat. Sedangkan untuk ruang sinar-X tanpa
fluroskopi, minimal:
(a) Alat dengan kekuatan s/d 125 KV: 4m(p) x 3m(l) x
2,8m(t)
(b) Alat dengan kekuatan >125 KV: 6,5m(p) x 4m(l) x
2,8m(t)
(c) Ruang sinar-X fluoroskopi: 7,5m(p) x 5,7m(l) x 2,8m(t)
(2) Ruang CT-Scan
Ukuran ruangan adalah 6m (p) x 4m (l) x 3m (t) dan
dilengkapi dengan:
(a) Ruang operator
(b) Ruang mesin
(c) Ruang AHU/chiller
2) Peralatan Proteksi Radiasi
a) Film Badge
Suatu alat yang lazim dipergunakan sebagai personil
monitoring yang terdiri dari sebuah paket yang berisi dua
lempeng film dental (untuk sinar-X atau gamma) atau tiga
buah lempeng film dental (untuk sinar-X dan gamma, netron)
yang dibungkus dalam suatu kertas kedap sinar dan dikenakan
dalam suatu wadah plastik atau logam yang sesuai. Kedua film
yang digunakan masing-masing terdiri dari emulsi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
sensitif dan yang satu lagi emulsi yang kurang sensitif (Tim
Bapeten, 2003a).
Proses yang terjadi pada pemonitor perorangan yang
mempergunakan film ini sama dengan proses yang terjadi pada
waktu melakukan radiografi pada bidang medis (Tim Bapeten,
2003a).
Prinsip dasar yang terjadi pada film badge adalah adanya
kehitam-hitaman pada film. Kehitam-hitaman pada film
tersebut yang kemudian diukur kerapatannya dan dibandingkan
atau diplot pada grafik standar antara kerapatan dengan dosis.
Pengukuran dosis film badge didasarkan pada fakta bahwa
radiasi pengion akan menyinari perak bromide yang terdapat
pada emulsi fotografi yang akan mengakibatkan kehitaman
pada film tersebut. Tingkat kehitaman yang juga disebut
sebagai densitas optis dari film tersebut secara tepat dapat
diukur dengan menggunakan densitometer fotolistrik yang
pembacaannya dinyatakan sebagai logaritma intensitas cahaya
yang dipancarkan melalui film tersebut. Densitas optis dari
film yang terkena radiasi secara kulitatif berhubungan dengan
besarnya penyinaran radiasi (Tim Bapeten, 2003a).
Dengan perbandingan densitas optis dari film yang
dikenakan oleh seseorang yang terkena radiasi terhadap
densitas film yang terkena radiasi dengan jumlah yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
diketahui, maka penyinaran terhadap film yang dikenakan oleh
seseorang tersebut dapat ditentukan (Tim Bapeten, 2003a).
b) Thermoliminescence Dosimeter (TLD)
Beberapa kristal termasuk CaF2 yang menggunakan Mn
sebagai pencemar (impuritas) dan LiF, memancarkan cahaya
apabila Kristal-kristal tersebut dipanaskan setelah dikenai
radiasi. Kristal-kristal tersebut dinamakan kristal
termoluminesens (kristal pendar panas) (Tim Bapeten, 2003a).
Penyerapan energi radiasi oleh kristal mengakibatkan
timbulnya atom-atom dalam kristal sehingga menghasilkan
elektron-elektron dan lubang-lubang bebas dalam kristal
pendar panas. Elektron-elektron ini ditangkap oleh pemancar
dalam kisi-kisi kristalin sehingga dapat menghalangi timbulnya
energi dalam kristal tersebut (Tim Bapeten, 2003a).
Kristal-kristal yang dipanaskan melepaskan energi yang
ditimbulkan sebagai cahaya. Pengukuran keluaran cahaya
bersamaan dengan meningkatnya suhu. Suhu dimana keluaran
cahaya maksimum terjadi merupakan suatu ukuran energi
pengikat elektron pada lubang di dalam tangkapan tersebut.
Jumlah cahaya yang diukur sebanding dengan jumlah elektron
yang ditangkap atau dengan kata lain sebanding dengan energi
yang diserap dari radiasi pengion (Tim Bapeten, 2003a).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Jadi intensitas cahaya yang dipancarkan pada saat
pemanasan kristal standar panas secara langsung sebanding
dengan dosis radiasi yang diserap oelh kristal tersebut (Tim
Bapeten, 2003a). Beberapa peralatan protektif dan peralatan
proteksi radiasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Peralatan Protektif dan Proteksi Radiasi
Jenis Rumah
Sakit
Peralatan Protektif
Radiasi
Peralatan Proteksi
Radiasi
Kelas A Lead apron, tebal 0,25-
0,5 mm Pb
Sarung tangan, 0,25-0,5
mm Pb
Kacamata Pb, 1 mm
Pelindung tiroid Pb, 1
mm Pb
Pelindung gonad Pb, 0.25
0.5 mm Pb
Tabir mobile minimal
200 cm (t)x100
cm (l) setara 2 mm Pb +
kaca Pb, ukuran kaca
sesuai kebutuhan, tebal
2 mm Pb
Surveymeter
Digital pocket
dosimeter
Film badge atau TLD
Kelas B Lead apron, tebal 0.25 -
0,5 mm Pb
Sarung tangan, 0.25 0.5
mm Pb
Kaca mata Pb, 1 mm Pb
Pelindung tiroid Pb, 1
mm Pb
Pelindung gonad Pb, 0.25
0.5 mm Pb
Tabir mobile minimal
200 cm (t)x100
cm (l) setara 2 mm Pb,
ukuran kaca
sesuai kebutuhan, tebal 2
mm Pb
Surveymeter
Digital pocket
dosimeter
Film badge atau TLD
Kelas C Lead apron, tebal 0.25 - Film badge atau TLD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
0,5 mm Pb,
Neck Pb, 0.25 0.5 mm
Pb
Gonad Pb, 0.25 0.5 mm
Pb
Kaca mata Pb, 1 mm Pb
Tabir mobile minimal
200 cm (t)x100
cm (l) setara 2 mm Pb,
ukuran kaca
sesuai kebutuhan, tebal 2
mm Pb
Kelas D Lead apron, tebal 0.25 -
0,5 mm Pb,
Kacamata Pb, 1 mm Pb
Pelindung gonad Pb, 0.25
0.5 mm
Pb
Tabir mobile minimal
200 cm (t)x100
cm (l) setara 2 mm Pb +
kaca Pb, ukuran kaca
sesuai kebutuhan, tebal
2 mm Pb
Film badge atau TLD
Sumber : Data Sekunder (Dokumen KEPMENKES
1014/MENKES/SK/XI/2008)
c) Alat Pelindung Diri
Semua alat pelindung diri harus diperhatikan dengan
seksama dan disimpan dengan baik ketika tidak digunakan.
Semua alat pelindung diri harus dalam kondisi bersih dan siap
digunakan, jadwal pemeliharaan oleh produsen harus diingat
dan dilakukan termasuk pergantian bagian yang rusak atau
terjadwal untuk diganti (Tim Pusat K3, 2009).
(1) Alat pelindung mata (Goggles)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Salah satu masalah tersulit dalam pencegahan
kecelakaan adalah pencegahan kecelakaan yang menimpa
mata. Orang yang tidak terbiasa dengan kacamata
biasanya tidak memakai perlidungan tersebut dengan
alasan mengganggu pelaksanaan pekerjaan dan
Menurut Tim Pusat K3 (2009), goggles mempunyai
fungsi untuk melindungi mata dari:
(a) Percikan bahan-bahan korosif.
(b) Kemasukan debu atau partikel-partikel yang
melayang di udara.
(c) Lemparan benda-benda kecil.
(d) Pancaran gas atau uap kimia yang dapat menyebabkan
iritasi mata.
(e) Radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion
maupun tidak mengion.
(f) Benturan atau pukulan benda keras atau benda tajam.
Menurut Tim Pusat K3 (2009), goggles mempunyai
spesifikasi atau ketentuan sebagai berikut:
(a) Tahan terhadap api.
(b) Tahan terhadap lemparan atau percikan benda kecil.
(c) Lensa tidak boleh memiliki efek distorsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
(d) Mampu menahan radiasi gelombang elektromagnetik
pada panjang gelombang tertentu.
(2) Alat pelindung tangan (Sarung tangan atau Gloves)
Sarung tangan harus diberikan kepada tenaga kerja
dengan pertimbangan akan bahaya-bahaya dan persyaratan
Menurut Tim Pusat K3 (2009), gloves mempunyai
fungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari
pajanan api, panas, dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi
mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan,
tergores, terinfeksi. Alat pelindung tangan harus sesuai
antara potensi bahaya dengan bahan sarung tangan yang
dikenakan pekerja. Potensi bahaya dan bahan sarung
tangan yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis sarung tangan sesuai potensi bahaya
Potensi bahaya Sarung tangan
Radiasi mengion Karet atau kulit yang dilapisi
dengan Pb
Benda-benda tajam atau kasar Kulit atau PVC, kulit yang
dilapisi logam kromium
Asam dan alkali yang korosif Karet
Pelarut organik Karet sintetis
Benda-benda panas Kulit atau asbes
Sumber : Data Sekunder (Dokumen Pusat K3, 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
(3) Pakaian pelindung (Apron)
Menurut Tim Pusat K3 (2009), pakaian pelindung
berfungsi untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh
dari kotoran, debu, bahaya percikan bahan kimia, radiasi,
panas, bunga api maupun api. Untuk spesifikasinya adalah
pakaian pelindung dari kulit untuk tenaga kerja yang
mengerjakan pengelasan, pakaian pelindung untuk
pemadam kebakaran, pakaian pelindung untuk pekerja
yang terpajan radiasi tidak mengion, pakaian pelindung
untuk pekerja yang terpajan radiasi mengion, pakaian
pelindung terbuat dari plastik untuk tenaga kerja yang
bekerja kontak dengan bahan kimia.
d) Surveymeter
Menurut Tim Bapeten (2003b), surveymeter adalah alat
yang digunakan untuk mengetahui tingkat radiasi di suatu
tempat dalam satuan laju dosis. Pemilihan surveymeter yang
akan digunakan harus didasarkan pada jenis radiasi, energi
radiasi, dan kondisi tempat kerja.

Anda mungkin juga menyukai