Anda di halaman 1dari 13

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Rawa Lebak

Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau
tanah rendah‘ (Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007). Sedangkan kata
lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang
tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003).
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir
sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50
cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk
wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau
dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai.
Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling
dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul
semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau
dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan
peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton.
Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering
disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).
Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak, misalnya di Jambi,
Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau
disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan disebut
baruh dan watun; Kalimantan Timur disebut rapak atau kelam. Sedangkan Mac
Kinnon et al. (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir
yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya dan selalu
mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan
sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga
banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung
(stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa lebak pada musim
hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun,
pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat
mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam
keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.
Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa (swamps)
dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau
rawa pedalaman (non tidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
64/PRT/1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) rawa
pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak.
Sedangkan menurut Subagjo (2006) tipologi rawa lebak didasarkan pada
ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama
genangan
Lama Ketinggian genangan (cm)
genangan
< 50 50 - 100 > 100
< 3 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak tengahan
3 – 6 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak dalam
> 6 bulan Lebak dangkal Lebak dalam Lebak dalam
Sumber: Subagjo (2006)

Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam
arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama
genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis
pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua
tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah.
Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa,
sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.
Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan
sebutan watun (arti lahan rawa lebak), yaitu watun I, II, III dan IV (Anwarham,
1989; Ar-Riza, 2000). Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut
hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut:
Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul
(1 depa = 1,7 meter), dengan hidrotopografinya relatif paling
tinggi.
Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk
dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih
rendah dari watun I.
Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk
dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih
rendah dari watun II.
Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir
watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah.
Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak
dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung
(deepwater land).
Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam
tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah
terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan
klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut.
Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat
pengaruh dari sungai sehingga tinggi
rendahnya genangan sangat
ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan
ditentukan oleh besar kecilnya curah
hujan dan air rembesan (seepage) dari
sekitarnya.
Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan
ditentukan oleh besar kecilnya curah
hujan, rembesan, dan juga sungai
sekitarnya.

2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak

Lahan rawa lebak (Noor, 2007) termasuk ekologi lahan basah (wetland)
yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang. Bentuk
wilayah yang menyerupai cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase
yang jelek. Lahan rawa lebak merupakan dataran banjir sungai dengan beda
muka air antara musin hujan dan musin kemarau lebih dari 2 meter, disamping
itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 - 5 meter di atas
permukaan laut. Fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah yang
berlereng 4 – 10 persen, sehingga tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut
air laut (Irianto, 2006). Tanah lahan rawa lebak dapat berupa tanah organik
(gambut), tanah mineral endapan sungai, dan endapan marin. Pada tanah
gambut, kematangan gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan
pada tanah mineral tekstur umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat
berdebu, dengan konsistensi lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik
(matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali,
berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya
kurang dari 15 persen (Permentan No 14 tahun 2009).
Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan
antara 2 000-3 000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah =
bulan yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3 - 4 bulan
kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm).
Bulan basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April,
sedangkan bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu
udara pada kawasan ini berkisar antara 24 - 32oC dan kelembaban nisbi 80-90%.
Pengaruh iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai
kawasan terbuka. Penguapan pada kawasan terbuka cukup tinggi, sehingga
suhu udara dapat mencapai 35 - 40oC (Ismail et al., 1996; Arifin et al., 2006
dalam Noor, 2007).

2.3 Sumberdaya Lokal

Sumberdaya (resources) mempunyai banyak pengertian diantaranya


adalah (1) persediaan, baik cadangan maupun yang baru; (2) suatu input dalam
proses produksi; (3) suatu atribut dari lingkungan yang menurut anggapan
manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi oleh
keadaan sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan; (4) sebagai hasil penilaian
manusia terhadap unsur-unsur lingkungan hidup yang diperlukannya; dan dapat
pula didefenisikan (5) sebagai unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun
hayati, yang diperlukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya dan
memenuhi kebutuhannya (Soerianegara, 1979).
Sumberdaya (resources) yang ada dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk
yaitu (1) sumberdaya manusia; (2) sumberdaya alam; dan (3) sumberdaya
teknologi. Sumberdaya manusia adalah sumberdaya yang dalam hal ini dapat
dimaknai sebagai subyek (pelaku) sekaligus obyek, yang mempunyai peran
sangat penting dalam memanfaatkan, mengelola dan memelihara sumberdaya
yang ada. Sedangkan sumberdaya alam (natural resources) adalah semua
aspek lingkungan yang bukan buatan manusia dan terdapat pada permukaan
bumi, di udara, di dalam bumi, di laut, di dalam laut, di dasar dan di bawah dasar
laut (Zen, 2001).
Selanjutnya, sumberdaya teknologi yang secara definisi dimaknai sebagai
hasil buah pikir dari suatu pengetahuan. Teknologi itu sendiri merupakan bagian
dari budaya. Teknologi secara luas dapat terdiri dari, tecnoware (perangkat
teknis), humanware (perangkat manusia), inforware (perangkat informasi) dan
orgaware (perangkat organisasi). Keempat komponen tersebut, selalu berperan
dalam sebuah proses transformasi, tepatnya dalam merubah suatu input menjadi
output (Sasmojo, 2001). Input atau masukan menurut (Sewoyo, 2001) dapat
berupa bahan baku alami (bahan mineral, bahan biologis), dan atau bahan
setengah jadi (bahan kimia, bahan bangunan, bahan pakaian). Sedangkan
output atau keluaran dapat berupa barang-barang konsumsi (makanan, obat,
peralatan, perabotan).
Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan sumberdaya lokal, yaitu (1)
sumberdaya manusia dengan segala pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki
oleh masyarakat lokal, tradisional atau asli; (2) sumberdaya alam adalah
sumberdaya yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dimana mereka telah
berinteraksi secara turun temurun; dan (3) sumberdaya teknologi adalah
sumberdaya hasil olah-pikir dan uji-coba yang telah mereka lakukan, dan
kemudian menjadi semacam pengetahuan/teknologi mereka tentang sistem alam
yang terakumulasi melalui proses yang cukup panjang untuk selanjutnya
diwariskan secara lisan. Biasanya hasil uji-coba dalam bentuk teknologi tersebut
menurut Mitchell (2000), tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Dan
akhirnya, bagaimana ketiga sumberdaya lokal tersebut dapat dimanfaatkan
secara optimal dalam kegiatan usahatani di rawa lebak.

2.4 Produktivitas

Produktivitas diartikan sebagai keinginan manusia untuk meningkatkan


mutu kehidupan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk meningkatkan mutu
kehidupan supaya terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Produktivitas dapat
pula diartikan sebagai ukuran efisiensi, efektivitas dan kualitas dari setiap sumber
yang digunakan selama produksi berlangsung dengan membandingkan jumlah
yang dihasilkan (keluaran) dengan setiap sumberdaya yang digunakan
(masukan). Unsur-unsur produktivitas: (1) efisiensi, produktivitas sebagai rasio
keluaran dengan masukan merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya
(masukan) terencana dengan pemakaian masukan yang sebenarnya. Jadi
pengertian efisiensi berorientasi pada masukan. Efisiensi dapat dipahami
sebagai kegiatan penghematan sumber-sumber dalam kegiatan produksi, seperti
penghematan pemakaian bahan, uang, tenaga kerja, waktu, air dan sebagainya;
(2) efektivitas, menggambarkan seberapa jauh target yang ditetapkan dapat
tercapai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Efektivitas berorientasi pada
keluaran; dan (3) kualitas, masukan dan kualitas proses akan menentukan
kualitas keluaran. Keluaran yang berkualitas baik, akan meningkatkan rasio
keluaran dengan masukan dalam nilai tambah, berarti meningkatkan
produktivitas.
Dalam konteks pertanian, produktivitas berperan penting dalam mencapai
kecukupan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan sangat ditentukan
oleh berbagai faktor diantaranya adalah ketersediaan air, kondisi lahan, input
produksi dan pemeliharaan.

2.5 Pendapatan Petani

Pendapatan adalah seluruh penerimaan dapat berupa uang atau barang


dari hasil usaha atau produksi. Pendapatan rumahtangga dapat diartikan sebagai
jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan subsistem. Pendapatan
formal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Sedangkan
pendapatan subsistem adalah penghasilan yang diperoleh dari faktor produksi
yang dinilai dengan uang (Mulyanto dan Ever, 1982). Pendapatan rumahtangga
dapat juga didefenisikan sebagai seluruh penerimaan yang didapat setiap
rumahtangga atau lebih disederhanakan adalah sebagai balas jasa dari faktor-
faktor ekonomi (Anonim, 2000). Ada keterkaitan yang erat antara pendapatan,
faktor produksi dan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Selanjutnya
menurut (Tjahyono, 1987) besarnya pendapatan petani dapat berasal dari
usahatani dan non tani .
Mosher dalam Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa semua petani
menginginkan kesentosaan dalam keluarganya. Sehingga kebutuhan keluarga
selalu dapat dipenuhi semuanya. Oleh karena itu, petani akan selalu berusaha
untuk meningkatkan intensitas usahataninya dengan berbagai cara agar supaya
pendapatannya menjadi meningkat. Berkaitan dengan hal ini, Pendapatan dari
usahatani diperoleh dengan menjumlahkan semua pendapatan yang diperoleh
dari usahatani yang dilakukannya. Sedangkan penghasilan dari luar usahatani
diperoleh dari penjumlahan seluruh penghasilan sampingan yang dilakukan di
luar usahatani.
Menurut Soekartawi (2002) perubahan tingkat pendapatan akan
mempengaruhi banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat
pendapatan rumah tangga yang rendah, dengan tingkat pengeluaran rumah
tangga lebih besar dari pendapatan, maka tingkat konsumsi tidak hanya dibiayai
oleh pendapatan mereka saja, melainkan dari sumber lain seperti tabungan yang
dimiliki, penjualan harta benda, atau pinjaman bentuk lain. Biasanya semakin
tinggi tingkat pendapatan, maka konsumsi yang dilakukan rumah tangga akan
semakin besar pula. Bahkan seringkali dijumpai dengan bertambahnya
pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi
kualitas barang yang diminta juga bertambah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani ditinjau dari
faktor sosial dan ekonomi antara lain adalah tingkat pendidikan, jarak kebun dari
rumah, jam kerja efektif, jumlah tenaga kerja dan input produksi. Tingkat
pendidikan merupakan modal utama, dengan jenjang pendidikan formal yang
lebih tinggi, maka besar kemungkinannya untuk dapat menerima inovasi maupun
gagasan-gagasan baru yang dapat memperbaiki kegiatan usahatani.
Pengambilan keputusan untuk menghindari risiko usahatani dapat dilakukan
dengan tingkat pendidikan yang memadai (Hermanto, 2005).

2.6 Analisis Usahatani

2.6.1 Indikator kelayakan usahatani

Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan


dibidang pertanian. Menurut Pujosumarto (1995), kriteria investasi yang dapat
digunakan dalam menilai kelayakan suatu kegiatan usaha dapat dilakukan
antara lain melalui cara perhitungan, revenue cost ratio (R/C ratio) atau benefit
cost ratio (B/C ratio).
Analisis usahatani yang dimaksudkan adalah analisis biaya dan
pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi
tanaman dan pendapatan. Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang
dikeluarkan petani selama proses produksi dalam setiap jenis tanaman yang
diusahakan. Secara garis besar biaya tersebut dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak
tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani
yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun
yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan
tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil
(pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan
alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi, 2002).
Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan
harga produksi, diperlukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai
berikut :
• Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap
• Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap
• Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap
• Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap
• Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi
meningkat 20%
Produksi tetap dan harga produksi naik 20%
Produksi turun dan harga produksi naik 20%

2.6.2 Kebutuhan Hidup Layak

Pengertian kemiskinan menurut versi pemerintah sangat beragam, antara


lain menurut: (1) BKKBN, kemiskinan adalah suatu keadaan keluarga miskin
prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak
mampu makan dua kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
bekerja dan bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak
mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan; (2) BPS, kemiskinan
adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya
kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari, dan (3) Bappenas (2002), kemiskinan
mencakup unsur-unsur: (a) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar
(pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, transportasi, dan
sanitasi); (b) kerentanan; (c) ketidakberdayaan; (d) ketidakmampuan
menyalurkan aspirasinya; sedangkan (4) Sajogyo (1977) mengemukakan bahwa
ukuran garis kemiskinan untuk wilayah Indonesia dispesifikasi atas tiga tingkat
kemiskinan yang mencakup konsepsi ‗Nilai Ambang Kecukupan Pangan‘ yaitu
miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam
(Rp/bln) yang ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga
dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di
perdesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat
pengeluaran rumah tangga di daerah perdesaan berkisar antara 240 – 320 kg
per orang per tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar antara 360 –
480 kg per orang per tahun.
Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, yakni
apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan,
tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi,
asuransi dan tabungan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan
bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal
senilai beras 320 kg per th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5
(Sinukaban, 2007).

2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan

Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi


dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang
dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi,
panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Rifai
dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari
alam, tenaga kerja dan modal yang diperuntukan bagi produksi di lapangan
pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang
atau sekumpulan orang-orang. Defenisi usahatani menurut Fardiyanti dalam
Sunarso (2005) adalah kegiatan dibidang pertanian yang mengorganisasikan
alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi dibidang pertanian.
Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya
alam, modal dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang
bermanfaat bagi manusia.
Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam,
faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal
menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi
yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan
produksi. Modal dalam usahatani yaitu:
1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul
saluran air.
2. Bangunan-bangunan seperti; kandang ternak, lumbung, gudang.
3. Alat-alat pertanian dan mesin; alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu,
cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan
mesin pemungut hasil.
4. Tanaman dan ternak.
5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari, bibit, pupuk, obat, pengendali
hama dan penyakit tanaman.
6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan.
Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan
usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi dan
mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga
produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Dalam pengambilan
keputusan, patani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu:
1. Penentuan perkembangan harga
Penentuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan
diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada
harga yang berlaku;
2. Kombinasi beberapa cabang usaha
Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan
dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan
keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun;
3. Pemilihan cabang usaha
Penentuan cabang usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan
ekonomi seperti: luas lahan usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah,
persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, keadaan harga
diwaktu cabang usaha itu menghasilkan;
4. Penentuan cara produksi
Penentuan cara produksi terdiri atas: penentuan jumlah dan jenis pupuk
yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam dan lain sebagainya;
5. Pembelian sarana produksi yang diperlukan
Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak
digunakan untuk membeli makanan, pupuk atau membeli peralatan;
6. Pemasaran hasil pertanian
Masalah pemasaran yang sering dihadapi petani adalah waktu, tempat,
cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat
yang digunakan dan lain-lain;
7. Pembiayaan usahatani
Biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan
biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya
hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen); dan
8. Pengelolaan modal dan pendapatan
Perubahan usahatani kearah yang lebih komersiil untuk memperoleh
peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal
yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi
kebanyakan ditujukan untuk komsumsi keluarga.
Usahatani dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu subsistem dan
komersial. Usahatani subsistem diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dengan penggunaan alat yang masih sederhana, sedangkan usahatani
komersial lebih berorientasi bisnis dan diarahkan pada pemenuhan permintaan
pasar agar keuntungan yang diperoleh semakin besar.
Sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya
menerapkan teknologi yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan
eksternalitas negatif pada lingkungan baik lingkungan biofisik maupun lingkungan
sosial ekonomi pada tingkat mikro maupun makro. Menurut Adnyana (2001)
beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan
sistem usahatani berkelanjutan, yaitu (1) sistem usahatani yang ingin dicapai
sedapat mungkin diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya internal untuk
mensubtitusi penggunaan sumberdaya eksternal; (2) mengurangi penggunaan
pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya yang tidak dapat pulih; (3)
menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal; (4) memperluas penerapan
rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk meningkatkan kesuburan tanah,
pengendalian hama penyakit, meningkatkan produktivitas dan menekan risiko;
dan (5) mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta
penanaman tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan
kesuburan tanah.
Menurut Suryana et al. (1998) konsep berkelanjutan mengandung
pengertian bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara
kelestarian sumberdaya alan dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan
pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability),
antara lain dengan mengembangkan sistem usahatani konservasi, penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertanian. Perlu pula diterapkan prinsip
pengembangan sistem usahatani berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri
bahwa sistem usahatani perlu memiliki kemampuan merespon perubahan pasar,
inovasi teknologi yang terus-menerus, menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup (Departemen Pertanian, 2001).
Menurut Pambudy (1999) sejalan dengan perkembangan pembangunan
bidang pertanian, kegiatan usahatani perlu pula dilaksanakan melalui
pendekatan teknis, terpadu, dan agribisnis: (1) pendekatan teknis, dilakukan
dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian dengan upaya: (a) penggunaan bibit
unggul; (b) menekan kejadian hama dan penyakit tanaman melalui kegiatan
penolakan, pencegahan, penyelidikan, pemberantasan, dan pengendalian
penyakit, dan (c) penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman; (2)
pendekatan terpadu, dengan cara melakukan pembinaan secara pasif melalui
tiga penerapan teknologi, yaitu teknologi produksi, ekonomi dan sosial.
Penerapan teknologi produksi dilakukan melalui: perbaikan mutu bibit,
pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengelolaan tanah. Sebagai
pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi
berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran, sedangkan penerapan teknologi
sosial dilakukan dengan mengorganisir petani dalam kelompok tani dan koperasi;
dan (3) Pendekatan agribisnis, sistem agribisnis berarti pemanfaatan tanah atau
lahan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usahatani yang berorientasi
pada peningkatan pendapatan petani. Sistem agribisnis juga merupakan
kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan
(dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa yang terkait dalam
suatu kluster industri (industrial cluster) yang mencakup empat subsistem
(Saragih, 2000). Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis
hulu (upstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan
perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pupuk, dan pestisida;
(2) subsistem agribisnis budidaya pertanian (on-farm agribussiness), yaitu
kegiatan ekonomi yang selama ini disebut sebagai kegiatan budidaya pertanian;
(3) subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan
ekonomi yang mengola dan memperdagangkan hasil pertanian; (4) subsistem
jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa
bagi kegiatan usahatani seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, Balai
Penyuluh Pertanian (BPP), kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan
penelitian.
Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu
yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu: (1) subsistem pengadaan dan
distribusi sarana dan prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input
produksi pada subsistem budidaya; (2) subsistem produksi atau usahatani, yang
akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, jagung dan
lain-lain; (3) subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan (4) subsistem
pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah dan
lain-lain.

2.8 Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan

Indikator keberlanjutan adalah alat yang digunakan untuk memberikan


infomasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas sebuah sistem
di masa mendatang dari berbagai level tujuan (ekologi, ekonomi, sosial),
penggunaannya dianggap penting karena menjadi informasi bagi perencanaan
dan pengembangan sistem selanjutnya.
Walker dan Router (1996) menggolongkan indikator ini dalam dua tipe,
yaitu (1) indikator kondisi, yaitu indikator yang menjelaskan kondisi sistem pada
saat ini relatif terhadap kondisi yang diharapkan, dan (2) indikator trend, yaitu
indikator yang menjelaskan perubahan dalam sistem berdasarkan waktu
sehingga dapat digunakan untuk memonitor kecenderungan yang akan terjadi di
dalam sistem. Chen et al., (2002) merekomendasikan indikator untuk menilai
keberlanjutan pertanian berdasarkan tekanan populasi, degradasi lingkungan,
penggunaan sumberdaya yang tidak efesien dan manajemen sumberdaya yang
tidak tepat. Food Agriculture Organization (FAO, 2000) menggunakan indikator
seperti rasio lahan pertanian terhadap populasi, proporsi lahan irigasi, produksi
pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik untuk
menilai situasi umum dari produksi pertanian di Negara-negara berkembang.
Beragamnya indikator yang digunakan, menunjukkan bahwa pemilihan indikator
harus disesuaikan dengan tujuan dan karateristik sistem yang sedang dihadapi.
Pemilihan indikator yang tepat adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan
analisis keberlanjutan sistem yang akan dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai