TINJAUAN PUSTAKA
Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau
tanah rendah‘ (Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007). Sedangkan kata
lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang
tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003).
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir
sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50
cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk
wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau
dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai.
Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling
dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul
semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau
dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan
peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton.
Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering
disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).
Beragam istilah digunakan untuk sebutan rawa lebak, misalnya di Jambi,
Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan disebut rawang atau lebung; di Riau
disebut payo atau lumo; di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan disebut
baruh dan watun; Kalimantan Timur disebut rapak atau kelam. Sedangkan Mac
Kinnon et al. (2000) menyebut rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir
yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya dan selalu
mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan
sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga
banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung
(stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa lebak pada musim
hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun,
pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat
mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam
keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.
Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa (swamps)
dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau
rawa pedalaman (non tidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
64/PRT/1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) rawa
pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak.
Sedangkan menurut Subagjo (2006) tipologi rawa lebak didasarkan pada
ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama
genangan
Lama Ketinggian genangan (cm)
genangan
< 50 50 - 100 > 100
< 3 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak tengahan
3 – 6 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak dalam
> 6 bulan Lebak dangkal Lebak dalam Lebak dalam
Sumber: Subagjo (2006)
Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam
arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama
genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis
pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua
tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah.
Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa,
sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.
Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan
sebutan watun (arti lahan rawa lebak), yaitu watun I, II, III dan IV (Anwarham,
1989; Ar-Riza, 2000). Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut
hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut:
Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul
(1 depa = 1,7 meter), dengan hidrotopografinya relatif paling
tinggi.
Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk
dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih
rendah dari watun I.
Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk
dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih
rendah dari watun II.
Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir
watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah.
Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak
dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung
(deepwater land).
Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam
tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah
terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan
klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut.
Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat
pengaruh dari sungai sehingga tinggi
rendahnya genangan sangat
ditentukan oleh muka air sungai.
Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan
ditentukan oleh besar kecilnya curah
hujan dan air rembesan (seepage) dari
sekitarnya.
Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan
ditentukan oleh besar kecilnya curah
hujan, rembesan, dan juga sungai
sekitarnya.
Lahan rawa lebak (Noor, 2007) termasuk ekologi lahan basah (wetland)
yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang. Bentuk
wilayah yang menyerupai cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase
yang jelek. Lahan rawa lebak merupakan dataran banjir sungai dengan beda
muka air antara musin hujan dan musin kemarau lebih dari 2 meter, disamping
itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 - 5 meter di atas
permukaan laut. Fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah yang
berlereng 4 – 10 persen, sehingga tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut
air laut (Irianto, 2006). Tanah lahan rawa lebak dapat berupa tanah organik
(gambut), tanah mineral endapan sungai, dan endapan marin. Pada tanah
gambut, kematangan gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan
pada tanah mineral tekstur umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat
berdebu, dengan konsistensi lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik
(matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali,
berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya
kurang dari 15 persen (Permentan No 14 tahun 2009).
Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan
antara 2 000-3 000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah =
bulan yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3 - 4 bulan
kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm).
Bulan basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April,
sedangkan bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu
udara pada kawasan ini berkisar antara 24 - 32oC dan kelembaban nisbi 80-90%.
Pengaruh iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai
kawasan terbuka. Penguapan pada kawasan terbuka cukup tinggi, sehingga
suhu udara dapat mencapai 35 - 40oC (Ismail et al., 1996; Arifin et al., 2006
dalam Noor, 2007).
2.4 Produktivitas