Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERBANDINGAN UMUM
ILMU FIQH DAN USHUL FIQIH
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Metodologi Studi Fiqh
Dosen Pengampu : Mohammad Bahauddin, S.Hum, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Aik Zatunni’mah (1810810044)
2. Alfika Auliana (1810810058)
3. Alma Shofianada Z. (1810810064)

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia saat ini sangatlah cepat, sehingga pemikir-pemikir Islam
sangat dibutuhkan agar dapat membantu umat Islam memilih dan memisahkan
antara hak dan yang bathil dalam bermasyarakat. Maka dari itu, sangat penting
sekali pemuda penerus bangsa ini mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqih agar
nantinya mereka dapat menyampaikan pada kaumnya bagaimana tata cara kita
bermasyarakat secara syariat.
Pertumbuhan ushul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak
zaman Rasululllah SAW. Sampai zaman tersusunnya ushul fiqih sebagai satu
bidang ilmu pada abad ke 2 hijriyah. Dizaman Rasulullah SAW, sumber hokum
Islam hanya dua yaitu Al Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus,
Rasulullah SAW menunggu turun wahyu yang menjelaskan hokum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hokum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist atau sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih?
2. Apa objek dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih?
3. Apa tujuan dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih?
4. Apa manfaat dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih?
5. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan dari ilmu fiqh dan ilmu ushul
fiqih?
6. Apa persamaan dan perbedaan dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih.
2. Untuk mengetahui objek dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih.
3. Untuk mengetahui tujuan dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih.
4. Untuk mengetahui manfaat dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqih
5. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dari ilmu fiqh dan ilmu
ushul fiqih.
6. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari ilmu fiqh dan ilmu ushul
fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Definisi ilmu fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu ilmu dan
fiqh dapat dilihat sebagai nama suatu bidang disiplin ilmu dari ilmu-ilmu
Syari`ah.
Kata “ilmu” secara mutlak memuat tiga kemungkinan arti, pertama,
rangkaian permasalahan atau hukum-hukum (teori-teori) yang dibahas dalam
sebuah bidang ilmu tertentu. Kedua, idrak (menguasai) masalah-masalah ini
atau mengetahui hukumnya dengan cara yang meyakinkan. Akan tetapi
pengertian seperti ini sesungguhnya hanya terbatas pada masalah akidah,
adapun dalam hukum-hukum fiqih tidak disyaratkan mengetahui dengan cara
demikian, cukup dengan dugaan kuat saja. Ketiga, pemahaman awal tentang suatu
permasalahan melihat tampilan luarnya. Misalnya dengan istilah ilmu nahu, orang
akan paham bahwa yang dibahas adalah sekitar permasalahan kebahasaan seperti
mubtada` itu marfu’, atau dengan istilah ilmu fiqh orang lalu paham bahwa pokok
bahasannya adalah sekumpulan hukum- hukum syari`ah praktis, dan sebagainya.1
Fiqih dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata faqaha (‫ )فقه‬yang
berarti“memahami” dan “mengerti”. Dalam peristilahan syar`i, ilmu fiqih
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar`i amali
(praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam
terhadap dalil- dalilnya yang terperinci (al-tafsili) dalam Alquran dan hadist.2
Sedangkan fiqh menurut istilah:
‫مجمو عة االحكا م الشر عية العملية المكتستبة من ادلتها التفصيلية‬
Artinya :
“Himpunan hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci”3
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Jurjani adalah sebagai berikut:

1
Enny Nasrah Pulungan, Fiqh dan Usuh Fiqh, Diktat, 2017, diakses pada tanggal 2
September 2019, http://repository.uinsu.ac.id/4435/1/FULL%20TEXT.pdf
2
Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulia, 1967), 17.
3
Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 19.
‫العلم باالحكامالشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية‬
Artinya:
"Ilmu tentang hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci".
Hukum syar`i yang dimaksud dalam definisi di atas adalah segala
perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. Adapun kata `amali dalam definisi itu
dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu
ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (`amaliyah) mukallaf dan tidak
termasuk keyakinan atau iktikad (`aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan yang
dimaksud dengan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) adalah dalil-dalil yang terdapat
dan terpapar dalam nash di mana satu per satunya menunjuk pada satu hukum
tertentu.
Adapun definisi fiqh dapat dibedakan menurut beberapa zaman, yakni:
1. Definisi fiqh pada abad I (pada masa sahabat)
Definisi fiqh dimasa ini ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah
diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqh atau ilmu fiqh
hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam
sehingga mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam
masalah fiqh. Mereka inilah yang disebut Liyatafaqqahufiddin yaitu untuk mereka
yang bertafaqquh dalam agama Islam.
2. Definisi fiqh pada abad II (masa telah lahirnya mazhab-mazhab)
Pada abad ke II ini telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan
mazhab-mazhab yang terbesar dikalangan umat Islam. Definisi lafaz fiqh
dikhususkan untuk nama dari hukum-hukum yang dipetik dari kitabullah dan
sunnatur Rasul. Definisi fiqh yang dikemukakan Abu Hanifah, ahli agama dan
mujtahid besar dan tertua pada akhir masa sahabat dan tabi’in, menyatakan: “ilmu
yang menerangkan segala hak dan kewajiban”.
Yang dimaksud dengan definisi di atas ialah suatu ilmu pengetahuan yang
menerangkan dari segala yang diwajibkan, disunatkan, dimakruhkan dan yang
dibolehkan oleh ajaran agama Islam. Maksud ta’rif ini tidak berbeda dengan
pendapat para sahabat dan tabi’in lainya karena di dalamnya telah mencakup
masalah kepercayaan, akhlaq, perangai dan sebagainya.
3. Definisi fiqh menurut ahli ushul dari ulama-ulama hanafiah
Definisi fiqh menurut ulama-ulama hanafiah adalah ilmu yang
menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan amalan para
mukallaf
a. Alauddin Al Kasani Al Hanafi (578 M) mengatakan “tak ada sesuatu ilmu
sesudah mema’rifati Allah dan sifat-sifat-Nya, yang lebih mulia dari ilmu fiqh,
itulah ilmu yang dinamai dengan ilmu Halali wal Harami wasy syarai’ wal
ahkami, ilmu halal haram, syari’at dan hukum. Untuk itulah dibangkit para Rasul
dan diturunkan kitab-kitab. Hukum-hukum Allah itu tidak dapat diketahui dengan
akal semata-mata, perlu kepada pertolongan naqal”.
b. As Said Al Juraini Al Hanafi telah mengemukakan pendapatnya tentang
definisi fiqh dalam bukunya At-Ta’rifat, yaitu fiqh pada lughah ialah memahami
pembicaraan seseorang yang berbicara. Menurut istilah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.
c. Definisi yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut Imam Syafi’i dalah “ilmu
yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan para mukallaf
yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari dalil-dalil yang jelas (tafsihli)”.
Masih banyak definisi fiqh menurut pandangan para ulama-ulama ahli
dibidang fiqh, namun dari kesemua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
ilmu fiqh ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau
hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat
individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
Sedangkan Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing
mempunyai arti cukup luas, yaitu ushul (‫ )اصول‬dan fiqh (‫)الفقه‬. Dalam bahasa arab,
kata ushul (‫ )اصول‬merupakan jamak dari Ashl (‫ )اصل‬yang artinya fondasi sesuatu.
Sedangkan fiqh (‫ )الفقه‬berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan
pergerakan potensi akal. Secara terminologi, kata ashl (‫ )اصل‬mempunyai
beberapa definisi sebagai berikut:
1. Dalil/ ‫( الدليل‬landasan hukum), seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: “Ashl
dari wajibnya sholat adalah firman Allah dan sunnah rasul.” Maksudnya, yang
menjadi dalil kewajiban sholat adalah ayat Al Qur’an dan sunnah.
2. Qidah/ ‫( القاعدة‬dasar, fondasi) seperti sabda rasul SAW:
‫بنياالسالم علي خمسةاصول‬
Artinya:
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3. Rajih/ ‫( الراجح‬yang terkuak), seperti para ungkapan ahli ushul fiqih:
‫االصل في الكالم الحقيقة‬
Artinya:
“yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya, setiap perkataan yang didengar atau dibaca yang menjadi patokan
adalah makna hakikat dari perkataan itu. Contoh lain adalah perkataan ulama
ushul fiqih:
‫القران اصل للقياس‬
Artinya:
“Al Qur’an itu ashl bagi Qiyas”
Maksudnya, al Qur’an itu lebih kuat daripada qiyas. Bisa juga diartikan: Al
Qur’an itu menjadi dasar bagi qiyas.
4. Far’un/ ‫( الفرع‬cabang), seperti para ungkapan ahli ushul fiqih.
‫الوالء فرع لالب‬
Artinya:
“Anak adalah cabang dari ayah.”
5. Mustashab/ ‫( المستصحب‬memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama
tidak ada dalil yang mengubahnya). Misalnya, seseorang yang telah berwudhu
meragukan apakah ia masih suci atau batal wudhunya, tetapi ia merasa yakin
belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinan ini,
ia tetap dianggap suci (masih berwudhu).
Ushul fiqih menurut istilah berarti ilmu tentang kaidah-kaidah yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,
atau dalam artian sederhana adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalilnya.
Jumhur ulama ushul fiqih yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah mendefinisikan ushul fiqih dengan:
‫القواعد التى يوصل البحث فيها الى استنبط االحكام من ادلتها التفصيلية‬
Artinya:
“Mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk
mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-
dalilnya yang rinci.”
Definisi yang dikemukakan jumhur ulama ini, menekankan bahwa ushul
fiqih adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqih.
Contohnya:
1. Al Qur’an dan Sunah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah.
2. Dalil yang berstatus nash didahulukan daripada zahir.
3. Hadis mutawatir lebih didahulukan daripada hadis ahad.
4. Kaidah umum:
‫االمر للوجوب‬
Artinya:
“Perintah itu mengandung kewajiban”
5. Kaidah lainnya
‫النهي للتحريم‬
Artinya:
“Larangan itu mengandung keharaman.”
Dari kaidah-kaidah umum ini terkandung hukum-hukum rinci yang tidak
terhitung jumlahnya. Dengan demikian, ushul fiqih berarti kumpulan kaidah yang
dipakai oleh para mujtahid dalam menginstinbatkan hukum-hukum syar’iyah dari
dalil-dalilnya yang tafsili. Yang dimaksud dengan kaidah adalah kaidah yang
disimpulkan dari bahasa Arab, seperti kaidah perintah menunjukkan hukum
wajib, larangan menunjukkan hukum haram, dan sebagainya.
B. Objek Kajian Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Objek pembahasan dalam ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf dilihat dari
sudut hukum syara’.4 Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar: ibadah, muamalah dan `uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya
berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji dan lain
sebagainya.
Bagian muamalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta,
seperti jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, amanah, dan harta
peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian `uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana,
seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain.
Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat dan
ta’zir.
Sedangkan objek kajian ilmu ushul fiqih berdasarkan definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas bahwa yang menjadi objek kajian
ushul fiqih adalah dalil-dalil (sumber-sumber) hukum syar’i yang bersifat
umum yang digunakan dalam menemukan kaidah-kaidah yang global dan
hukum-hukum syar’i yang digali dari dalil-dalil tersebut.
C. Tujuan Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Tujuan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum- hukum syari’at terhadap
perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqh merupakan rujukan seorang hakim
dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan
seseorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan
ucapan dan perbuatannya. Hal tersebut merupakan inti dari setiap undang-undang
pada umat manapun, karena sesungguhnya undang-undang itu hanya
dimaksudkan agar materi-materi dan hukum-hukumnya diterapkan pada

4
Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A`la al-Indonesia li
al-Dakwah al- Islamiyah, 1972), 12.
perbuatan dan ucapan manusia dan memberitahukan setiap mukallaf terhadap hal-
hal yang wajib dan haram atas dirinya.5
Adapun tujuan dari ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan
teori-teorinya, terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum yang
syara’ yang ditunjuk dalil itu. Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah dan bahasan-
bahasannya, maka nash-nash syara’ dapat dipahami, hukum yang menjadi
dalalahnya dapat diketahui dan sesuatu yang dapat menghilangkan kesamaran
lafal yang samar dapat diketahui, serta dalil-dalil yang unggul ketika terjadi
pertentangan suatu dalil dengan dalil lainnya juga dapat diketahui berdasar pada
kaidah-kaidah dan bahasan-bahasannya. Dapat pula hukum diistimbahatkan
dengan qiyas, istihsan, istishab, atau lainya pada kasus yang tidak terdapat pada
nash mengenai hukumya.6
Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh ialah
mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, mua’m
alah, uqubah dan akhlak.7 Pengetahuan tentang dalil– dalil tersebut pada
gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak syar’i (Allah SWT dan
Rasul-Nya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh
bukan merupakan “tujuan”, melainkan sarana untuk mengetahui hukum-hukum
Allah pada setiap kasus sehingga dapat menjadi pedoman dan diamalkan sebaik-
baiknya.
Dengan demikian, yang menjadi tujuan yang sebenarnya ialah menjadi
pedoman dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-
kaidah ushul fiqih tersebut.
D. Manfaat Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Mempelajari ilmu fiqih besar sekali faedahnya bagi manusia. Dengan
mengetahui ilmu fiqih menurut yang dita’arifkan ahlu ushul, akan dapat diketahui

5
Ibid, 7.
6
Ibid , 7- 8
7
Rian Med, Pengertian, Metode , Tujuan , Manfaat Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih,
2018 diakses pada tanggal 1 september 2019
https://id.scribd.com/document/390828719/PENGERTIAN-METODE-TUJUAN-
MANFAAT-ILMU-USHUL-FIQH-DAN-ILMU-USHUL-FIQH
mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya
dan mana- mana yang haram, mana yang halal, mana yang sah, mana yang batal,
dan mana pula yang fasid. Ilmu fiqih juga memberikan petunjuk kepada manusia
tentang pelaksanaan nikah, thalak, rujuk, dan memelihara jiwa harta benda serta
kehormatan juga mengetahui secara hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan manusia.
Yang dibahas oleh fiqh ialah perbuatan orang–orang mukallaf, tentunya yang
telah diberati dari ketetapan–ketetapan hukum agama Islam, berarti sesuai dengan
tujuannya.
Adapun hasil mahmul atau hasil pembicaraan ilmu fiqih salah satunya ialah
hukum lima, antara lain:
1. Ijab (wajib)
2. Nadab (ajaran)
3. Tahrim (haram)
4. Karahah (menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak pasti)
5. Ibahah (membolehkan dibuat atau ditingalkan)
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqih mengemukakan manfaaat ilmu ushul
fiqih sebagai berikut.
1. Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam
memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2. Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang
mujtahid, sehingga ia dengan tepat dapat menggali hukum-hukum syara’ dari
nash.
3. Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para
mujtahid.
4. Memelihara agama dari penyalah gunaan dalil.
5. Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan.
6. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad8
7. Dapat menemukan jawaban hukum tentang kasus–kasus baru yang muncul
yang belum kita temui jawabannya dalam kitab-kitab fiqih terdahulu, dengan
cara menerapkan kaidah dan metode istimbath yang telah dirumuskan oleh para
ulama’ sebelumnya. Misalnya hukum perkawinan antara laki- laki yang sehat
dengan wanita penderita HIV/AIDS, dapat diterapkan berdasarkan maslahah
mursalah, sahnya perceraian hanya jika dilakukan didepan sidang pengadilan
agama berdasarkan maslahah dan mursalahnya.

8. Pertumbuhan dan Perkembangan dari Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari pertumbuhan fiqih sejak
periode Rasulullah SAW sampai tersusunnya ushul fiqih sebagai suatu ilmu.
Ketika Rasulullah masih hidup tuntunan yang diperlukan dan jalan keluar
untuk berbagai masalah diselesaikan dengan baik, baik melalui wahyu
maupun putusan langsung dari Rasulullah. Ketika itu sumber hukum Islam
hanya Al Qur’an dan sunnah. Hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an atau
sunnah terkadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau karena
munculnya suatu kasus. Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW
menetapkan hukum dengan menggunakan qiyas; antara lain ketika
menjawab pertanyaan Umar bin Khattab, apakah batal puasa seseorang yang
mencium isterinya. Rasulullah SAW bersabda (maknanya) “Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa apakah puasamu batal? Umar menjawab:
Tidak apa-apa (tidak batal), Rasulullah SAW bersabda: Teruskan puasamu”
(H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum seperti dalam hadis di
atas merupakan cikal bakal munculnya ilmu ushul fiqih, bahkan para ulama ushul
fiqih menyatakan bahwa keberadaan usul fiqih bersamaan dengan munculnya
hukum fiqh sejak periode Rasulullah SAW.9

8
Ibid
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 7.
Dekatnya para sahabat dari masa hidup nabi dan pengetahuan mereka yang
mendalam mengenai berbagai peristiwa memberikan kewenangan kepada
mereka untuk memutuskan masalah-masalah praktis tanpa adanya kebutuhan
mendesak terhadap metodologi.
Pada periode sahabat muncul bermacam peristiwa yang belum pernah
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Untuk menetapkan hukumnya para sahabat
harus berijtihad. Dalam berijtihad, adakalanya dihasilkan kesepakatan pendapat di
antara para sahabat yang kemudian dinamakan ijma’ dan terkadang terjadi
perbedaan pendapat yang dinamakan asar.10 Dengan demikian, munculnya ushul
fiqih telah berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW, semakin jelas dan eksis
pada masa Sahabat. Penggunaan ushul fiqh semakin berkembang pada masa
Sahabat, oleh tuntutan peristiwa yang semakin beragam dan bertambah rumit.
Setelah Rasulullah SAW wafat, ijtihad para sahabat sudah merupakan
sumber hukum. Di antara contoh ijtihad sahabat periode sahabat bahwa Umar bin
Khattab tidak menjatuhkan hukum potong tangan kepada seseorang yang
mencuri karena kelaparan, mengingat yang bersangkutan mencuri karena
darurat/terpaksa.
Contoh lain, ketika Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa hukuman orang
yang meminum khamar disamakan dengan hukuman orang yang melakukan
qazab (menuduh orang lain berbuat zina), yaitu 80 kali dera. Ali bin Abi
Thalib mengemukakan argumentasi bahwa orang yang minum khamar akan
mabuk, orang yang mabuk akan mengigau. Bila sudah mengigau, ucapannya tidak
terkontrol dan akan menuduh orang lain berbuat zina.
Pada periode sahabat sering terjadi perbedaan pendapat (perbedaan ijtihad)
dalam menetapkan hukum suatu masalah; antara lain tentang ‘iddah seorang
wanita yang sedang hamil dan suaminya meninggal. Menurut Umar bin Khattab,
‘iddahnya sampai lahir anak berdasarkan Alquran surah at-Thalaq ayat 4. Sedang
menurut Ali bin Abi Thalib dipilih ‘iddah yang paling lama di antara ‘iddah yang
hamil dengan ‘iddah kematian suami (4 bulan 10 hari menurut surah al-Baqarah

10
M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Surabaya: P.T. Bina Ilmu,
1990), 5.
ayat 234), yakni bila lahir anak sebelum 4 bulan 10 hari maka ‘iddahnya harus
‘iddah kematian suami (4 bulan 10 hari), tetapi bila sesudah 4 bulan 10 hari,
anak belum lahir maka ‘iddahnya harus sampai lahir anak.
Hasil-hasil ijtihad sahabat pada periode ini belum dibukukan sehingga
belum dapat dianggap sebagai ilmu, hanya sebagai pemecahan masalah terhadap
kasus yang mereka hadapi. Oleh sebab itu hasil ijtihad mereka belum disebut
fiqih/ushul fiqih. Pada periode sahabat, sumber-sumber hukum Islam adalah
Alquran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Memasuki masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
imam-imam mujtahidin (abad kedua dan ketiga Hijriyah), daerah yang dikuasai
umat Islam semakin luas dan cukup banyak bangsa yang non Arab memeluk
agama Islam. Dengan demikian kemungkinan munculnya berbagai kasus
yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya semakin besar.
Mengingat banyaknya kejadian dan problem yang muncul ke
permukaan yang perlu mendapat penyelesaian hukum, maka ulama-ulama
tabi’in dan imam-imam mujtahidin terpanggil melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum masing-masing kasus tersebut. Pada kurun ini mereka
bukan hanya membahas hukum tentang kejadian/peristiwa yang muncul, bahkan
mereka perluas mencakup kasus- kasus yang mungkin terjadi pada masa-masa
mendatang; sehingga pembahasan hukum fiqh cukup luas.
Pada periode ini telah dimulai gerakan pembukuan fiqh, Sunnah dan ilmu
ilmu lainnya. Dalam menuliskan pendapat tentang hukum-hukum fiqh mereka
lengkapi dengan dalil-dalil pendapat tersebut baik dari Alquran atau dari Sunnah
maupun sumber-sumber lainnya seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah
mursalah dan lain-lain.
Pada masa ini, ulama-ulama yang berkecimpung dalam ilmu fiqh (digelar
fuqaha) dan ilmu pengetahuan mereka disebut fiqh. Tercatat dalam sejarah hukum
Islam bahwa yang pertama sekali mengambil inisiatif membukukan hukum fiqh
adalah Imam Malik bin Anas dalam kitabnya “Muwatta”. Dalam kitab ini beliau
mengumpulkan hadis-hadis sahih (menurut pandangannya), fatwa-fatwa sahabat,
tabi’in dan tabi’ tabi’in. Berarti Muwatta Imam Malikadalah kitab hadis dan fiqh.
Kitab ini menjadi pegangan ulama-ulama Hijaz.
Kemudian muncul Imam Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah menyusun
beberapa kitab fiqh yang menjadi pegangan ulama-ulama Irak. Muncul pula Imam
Muhammad bin al-Hasan (sahabat Abu Hanifah) menulis kitab “Zahiru ar
Riwayat as Sittah” yang dikumpulkan oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya
“al-Kafi”, disyarahkan oleh as-Sarkhasi dalam kitabnya “al-Mabsut” sebagai
rujukan mazhab Hanafi. Berikutnya al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i di
Mesir menyusun kitab “al-Umm” yang menjadi pegangan mazhab Syafi’i. Pada
kitab-kitab yang disusun oleh Imam-imam mujtahid tersebut di atas, tercantum
dalil-dalil hukum serta wajah istidlalnya sebagai suatu bagian dari Ilmu ushul
fiqih dengan catatan belum merupakan ilmu tersendiri.
Para ahli ushul fiqih menganggap bahwa yang mula-mula mengumpulkan
dan menyusun ilmu Ushul fiqih adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya “al-Risalah”.
Ulama-ulama yang muncul sesudahnya berusaha melanjutkan dan
menyempurnakan karya Imam Syafi’i ini, seperti Ahmad bin Hanbal, ulama-
ulama Hanafiyah, Malikiyah maupun Syafi’iyah.11
Imam Syafi`i memiliki kekayaan pemikiran di bidang hukum dan
melakukan pendalaman argumentasi mengenai masalah-masalah metodologis,
tetapi karya-karya yang telah ada tidak terlepas dari perbedaan pendapat yang
harus di saring melalui pedoman-pedoman yang disusun oleh Imam Syafi`i dalam
teori hukumnya.
Ditulisnya kitab ar-Risalah yang secara khusus membahas tentang Ushul
fiqih yang diakui secara luas bahwa kitab tersebut merupakan karya otoritas
pertama dalam bidang ushul fiqih, karena tepatlah apabila dikatakan bahwa fiqh
mendahului ushul fiqih, sebab sepanjang abad pertama tidak ada kebutuhan yang
mendesak terhadap ushul fiqih, dan baru abad kedua perkembangan-
perkembangan penting terjadi di bidang ini.
Dengan meluasnya wilayah Islam, Imam Syafi`i menjumpai kontroversi
antara ahli hukum Madinah dan ahli hukum Iraq, yang dikenal sebagai Ahl al-
Hadis dan Ahli al-Ra`y. Imam Syafi`i mengkhawatirkan tercemarnya kemurnian

11
Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 15-17
syari`at Islam dan bahasa Alqur`an, maka disusunnyalah kitab al-Risalah, yang
merumuskan pedoman ijtihad dan menguraikan kaedah-kaedah Ushul fiqih.
Imam al-Raziy menyatakan bahwa kesepakatan tentang penyusun Ushul
fiqih yang pertama ialah Imam Syafi`i, dialah yang menyusun bab-babnya,
menjelaskan urutan dalil dari segi kekuatan dan kelemahannya.
Ibn Khaldun juga menyatakan bahwa yang pertama menyusun Ushul fiqih
ialah Imam syafi`i, yang ditulisnya dalam al-Risalahnya, membicarakan amr,
nahy, bayan, khabar, naskh dan kemudian Fuqaha` Hanafiyyah mentahqiq
qawa`id tersebut, demikian pula dengan mutakallimin.
Pada mulanya kitab yang ditulis oleh Imam Syafi`i mengenai Ushul fiqih tidak
disebutnya al-Risalah, tetapi dinamakannya dengan al-Kitab, dan dinamakan al
Risalah pada masanya, karena disampaikannya kepada `Abd al- Rahman ibn
Mahdiy.
Imam al-Syafi`i menulis al-Risalah dua kali, pertama sebelum beliau pergi
ke Mesir, yang dikenal dengan al-Risalah al-Qadimah. Dan yang kedua pada saat
beliau berada di Mesir, yang dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Yang
ditemukan sekarang hanyalah al-Risalah al-Jadidah, dan merupakan kitab
pertama yang ditulis dalam Ushul fiqih. 12
E. Persamaan dan Perbedaan dari Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka ilmu
ushul fiqh bicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu
sendiri. Atau dilihat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab pertanyaan “apa
hukum dari suatu perbuatan”, dan ushul fiqh akan menjawab pertanyaan
“bagaimana proses atau cara menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban
permasalahan yang dipertanyakan tersebut”. Oleh karena itu, fiqh lebih bercorak
produk sedangkan ushul fiqh lebih bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu,
fiqh terlihat sebagai koleksi produk hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan
koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.
Untuk mengetahui perbedaan mendasar antara ushu l fiqih dengan fiqh,
maka terlebih dahulu dikemukakan ruang lingkup fiqh. Adapun ruang lingkup

12
Enny Nasrah Pulungan, Op.cit.
pembahasan fiqh meliputi semua perbuatan mukallaf, yakni perbuatan-perbuatan
yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan, dengan keluarga dengan
masyarakat dan negara, baik berupa ketaatan maupun pelanggaran.
Untuk menetapkan hukum perbuatan mukallaf tersebut, baik menyangkut
ibadah, mu’amalah, munakahat maupun jinayah, ulama fiqh
menyesuaikan/mengembalikannya kepada hukum kulli yang ditetapkan oleh ushul
fiqih. Begitu juga dalil yang digunakan oleh ulama fiqih sebagai dalil juz`i, harus
disesuaikan dengan dalil-dalil yang dibuat oleh ulama usul fikih.
Dapat dipahami bahwa ushul fiqih membahas dalil kulli yang
menghasilkan hukum kulli; sedang ulama fikih menjadikannya sebagai
dasar/rujukan dalam kasus-kasus tertentu. Sebagai contoh: ushul fiqih menetapkan
“al-amr li al-wujub”, maka semua nas yang menunjukkan amr adalah
menunjukkan wajib. Amr adalah dalil kulli, sedang wujub (ijab) adalah hukum
kulli. Dalam Alquran surah al-Ma`idah ayat 1 terdapat amr untuk menepati janji.
Nas ayat tersebut adalah dalil juz`i, sedang hukum yang dikandungnya (wajib
menepati janji) adalah hukum juz`i.
Dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup ushul fiqih adalah sumber-
sumber/dalil-dalil hukum, jenis-jenis hukum, cara istinbat hukum dan ijtihad
dengan berbagai permasalahannya. Dalam kaitan ini ushul fiqih membahas dalil
kulli yang menghasilkan hukum kulli. Sedang fiqh, ruang lingkupnya adalah
semua perbuatan mukallaf dari segi hukum syara’. Dalam hubungan ini fiqih
membahas dalil juz`i.yang menghasilkan hukum juz`i. Cukup jelas bahwa ushul
fiqih menjadi dasar hukum fiqh.
Adapun persamaannya antara ilmu fiqh dan ushul fiqih ialah sama-sama
mengarahkan manusia kepada jalan yang benar dan sumbernya berasal dari Allah
SWT yakni Al Qur’an, Nabi Muhammad yakni hadist dan pemikiran ulama yang
yang merujuk pada Al qur’an dan hadist.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Ilmu fiqh ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat
atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia,
baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial
sedangkan ilmu ushul fiqih ialah ilmu tentang kaidah-kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalilnya.
2. Objek pembahasan dalam ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf dilihat
dari sudut hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan
dalam tiga kelompok besar: ibadah, muamalah dan `uqubah sedangkan
ilmu ushul fiqih

Anda mungkin juga menyukai