Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun
Oleh Kelompok 4 :
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala
limpahan rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini,
dan sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada proklamator sedunia,
pejuang tangguh yang tak gentar menghadapi segala rintangan demi umat manusia, yakni Nabi
Muhammad SAW.Adapun maksud penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas di
STIKES Hafshawaty, kami susun dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul ” Aspek Legal Etik
dalam Keperawatan Jiwa dan Lintas Budaya dalam Asuhan ” dan dengan selesainya
penyusunan makalah ini, kami juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH.MM sebagai pengasuh pondok pesantren
Zainul Hasan Genggong
2. Dr. H. Nur Hamim S.Kep.Ns.,M.Kes sebagai ketua STIKES Hafshawaty Zainul Hasan
Genggong
3. Ns. Shinta Wahyusari S.Kep.M.Kep.,Sp.Kep.Mat sebagai Ketua Prodi sarjana
Keperawatan
4. Nafolion Nur Rahmat S.Kep.Ns.,M.Kep sebagai sekretaris prodi sarjana keperawatan
5. Riska Yunita S.Kep.Ns.,M.Kep sebagai wali kelas prodi sarjana keperawatan
6. Riska Yunita S.Kep.Ns.,M.Kep sebagai dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa 1
Pada akhirnya atas penulisan materi ini kami menyadari bahwa sepenuhnya belum
sempurna. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati mengharap kritik dan saran dari pihak dosen
dan para audien untuk perbaikan dan penyempurnaan pada materi makalah ini.
Cover …………………………………………………………………i
Kata Pengantar .................................................................................. ii
Daftar isi ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ....................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ................................................................. 1
1.3. Tujuan ................................................................................... 2
1.4. Manfaat ................................................................................. 2
3.1.Kesimpulan ........................................................................... 14
3.2.Saran ..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu
tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek
keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of
knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada
masyarakat langsung(Kozier, 2010).
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi
praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga dan
masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna
mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata
lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi. Dalam
melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan dan berinteraksi
kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal
yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering
menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan (Kozier,
2010).
Etika merupakan peraturan dan prinsip bagi perbuatan yang benar. Etika berhubungan
dengan hal yang baik dan hal yang tidak baik dan dengan kewajiban moral. Etika merupakan
metode penyelidikan yang membantu orang memahami moralitas perilaku manusia (yaitu
ilmu yang mempelajari moralitas), praktik atau keyakinan kelompok tertentu (misalnya,
kedokteran, keperawatan, dan sebagainya), dan standar perilaku moral yang diharapkan dari
kelompok tertentu sesuai dalam kode etik profesi kelompok tersebut (Kozier, 2010).
Pelayanan kepada umat manusia merupakan fungsi utama perawat dan dasar adanya
profesi keperawatan. "ebutuhan pelayanan keperawatan adalah universal. Pelayanan
profesional berdasarkan kebutuhan manusia) karena itu tidak membedakan kebangsaan,
warna kulit, politik, status sosial dan lain-lain. Keperawatan adalah pelayanan vital terhadap
manusia yang menggunakan manusia juga, yaitu perawat. Pelayanan ini berdasarkan
kepercayaan bahwa perawat akan berbuat hal yang benar, hal yang diperlukan, dan hal yang
menguntungkan pasien dan kesehatannya. Oleh karena manusia dalam interaksi bertingkah
laku berbeda-beda maka diperlukan pedoman untuk mengarahkan bagaimana harus
bertindak.
Asuhan keperawatan jiwa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan klien dan
kemandirian klien serta membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya baik
fisik maupun psikologis, baik pada individu, keluarga maupun kelompok masyarakat
(komunitas). Dalam upaya penanganan masalah kesehatan jiwa salah satu terapi spesialis
yang dapat diberikan pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi kelompok
atau therapeutic community. Oleh akrenaitulah asuhan keperawatan harus bersifat holistik.
Selain bersifat holistik, pendekatan humanistik dalam mengimplementasikan berbagai terapi
harus benar-benar diperhatikan. Dengan demikian, siapapun yang melakukan terapi
keperawatan, khususnya psychoterapiharus mempunyai kemampuan dalam mengatasi
masalah pasien secara ilmiah, memperhatikan legasl dan etis agar tindakannya tidak
bertentangan dengan norma yang ada baik dalam menjalankan standar asuhan,dalam
berhubungan dengan profesi lain dan juga secara humanistik dalam memperlakukan pasien
sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan asuhan (Stuart. G. W, 2013).
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi,
pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional
keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran
pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek
kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi,
pencemaran, kecelakaan, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang
berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk.
Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga
menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit
degeneratif (Direja, 2011).
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami mengenai aspek legal
dan etik keperawatan jiwa serta trend issue yang sedang marak di kalangan masyarakat yaitu
seklusi pada pasien dengan gangguan jiwa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka ditemukan beberapa rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Apa saja issue dan legal etik keperawatan jiwa?
2. Apa saja prinsip etik keperawatan jiwa?
3. Bagaimana dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik dalam keperawatan jiwa?
4. Apa saja hak-hak pasien keperawatan jiwa?
5. Bagaimana peran dan fungsi perawat dalam keperawatan jiwa?
6. Bagaimana peran budaya dalam asuhan keperawatan jiwa?
7. Seperti apa mengetahui trend dan issue keperawatan jiwa : seklusi di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa I
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk memahami dan mengetahui issue dan legal etik keperawatan jiwa
b. Untuk memahami dan mengetahui prinsip etik keperawatan jiwa
c. Untuk memahami dan mengetahui dilema etik dan proses pengambilan
keputusan etik dalam keperawatan jiwa
d. Untuk memahami dan mengetahui hak-hak pasien keperawatan jiwa
e. Untuk memahami dan mengetahui peran dan fungsi perawat dalam keperawatan
jiwa
f. Untuk memahami dan mengetahui peran budaya dalam asuhan keperawatan jiwa
g. Untuk memahami dan mengetahui trend dan issue keperawatan jiwa : seklusi di
Indonesia
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini bagi Institusi pendidikan kesehatan adalah untuk mengetahui tingkat
kemampuan mahasiswa sebagai peserta didik dalam mempelajari teori aspek legal
etik keperawatan jiwa dan trend issue keperawatan jiwa : seklusi di Indonesia.
e. Veracity
Prinsip veracity (kejujuran) menurut Veatch dam Fry (1987) didefinisL kan untuk
menyatakan hal yang sebenamya dan tidak berbohong.Kejujuran merupakan dasar
terbinanya hubungan saling percaya antara perawat-pasien. Perawat sering tidak
memberitahukan kejadian yang sebenarnya pada pasien yang sakit parah. Namun
penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberi
tahu tenmng kondisinya secara jujur (Priharjo, 1995). Mengatakan yang sebenamya,
mengarahkan perawat untuk menghindari kebohongan pada pasien atau menipu
pasien(Wulan, 2011).
f. Confidentiality
Confidentiality (kerahasiaan) merupakan bagian dari privasi, seseorang bersedia
untuk menjaga kerahasiaan informasi. Confiden tiality adalah sesuatu yang profesional
dan merupakan kewajiban yang etis dalam menggunakan penggalian pengetahuan pasien
untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien dan bukan untuk tujuan lain, seperti gosip,
kepentingan orang lain, dan memberikan informasi pasien pada orang lain. Perawat harus
mempertahankan kerahasiaan tentang data pasien baik secara verbal maupun informasi
tertulis. Menjaga kerahasiaan data pasien adalah sesuatu yang khusus dan penting dalam
perawatan pasien gangguan jiwa. Meskipun pada kenyataannya, masyarakat memberikan
label atau stigma kepada setiap orang yang didiagnosis menderita gangguan jiwa. Setiap
pelanggaran terhadap prinsip confidentiality sepertj memberitahukan data pasien,
diagnosis pasien, gejala yang ditun jukkan pasien, perilaku, dan hasil pengobatan tanpa
mendapat persetujuan dari pasien akan memengaruhi kualitas hidup pasien. Tenaga
kesehatan khususnya perawat seringkali kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan
ini (Mohr, 2003). Menurut Winslade (1995) praktik confidentiality terdiri dari tiga aspek
berupa subjek individu atau perawatan kesehatan berhubungan dengan informasi pasien,
hubungan profesional antara perawat dan pasien serta menjelaskan prosedur pertukaran
informasi pasien yang secara logis dapat menerima, mengizinkan dan mengakses
informasi yang bertujuan untuk memfasilitasi komunikasi sensitif dan mengeluarkan
larangan individu (Registered Nursing Association British Columbia, 2000 dalam Wulan,
2011).
g. Fidelity
Menurut Veatch dan Fry (Priharjo, 1995) prinsip fidelity (kesetiaan/ ketaatan)
didefinisikan sebagai tanggung jawab dalam konteks hubungan perawatan pasien yang
meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan kerahasiaan dan memberikan
perhatian/kepedulian. Mempertahankan kerahasiaan secara moral dapat diterima.
Kadang-kadang dengan alasan moral yang tepat, janji dapat dibatalkan untuk
memberikan keuntungan bagi yang lain (Pujiastuti, 2004).
Menurut Purba dan Marlindawati (2010) pada keperawatan jiwa prinsip etik dan moral
yang harus dilaksanakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa adalah sebagai
berikut :
1) Outonomy (penentuan diri) yang merupakan hak para individu untuk mengatur kegiatan-
kegiatan mereka menurut alasan dan tujuan mereka sendiri
2) Beneficience (melakukan hal yang baik) berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik
3) Juctice (keadilan) dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan
4) Non malfience (tidak merugi) berarti segala tindakan yang dilakukan pada klien tidak
menimbulkan bahaya/cedera secara fisik dan psikologik
5) Veracity (kejujuran) berarti penuh dengan kebenaran
6) Fidelity (menepati janji) dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain
7) Confidentiality (kerahasiaan) yaitu apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien
Prinsip-prinsip keperawatan kesehatan jiwa, yaitu :
1. Roles and functions of psychiatric nurse: competent care (peran dan fungsi keperawatan
jiwa : perawatan yang kompeten)
a. Keperawatan jiwa mulai mucul sebagai profesi awal abad ke-19 dan masa tersebut
berkembang menjadi spesialis dengan peran dan fungsi-fungsi yang unik.
b. Keperawatan jiwa adalah suatu proses interpersonal dengan tujuan untuk
meningkatkan dan memelihara perilaku-perilaku yang mendukung terwujudnya satu
kesatuan yang harmonis (integrated). Kliennya bisa berupa individu, keluarga,
kelompok, organisasi atau masyarakat. Tiga wilayah praktik keperawata jiwa
meliputi perawatan langsung, komunikasi dan manajemen.
c. Ada 4 faktor yang dapat menentukan tingkat penampilan perawat jiwa, yaitu aspek
hukum, kualifikasi perawat, lahan praktik, dan inisiatif dari perawat sendiri.
2. Therapeutic Nurse Patient Relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan
klien)
a. Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar yang bermakna
dan pengalaman memperbaiki emosional klien. Perawat menggunakan atribut-atribut
yang ada pada dirinya dan teknik keterampilan klinik yang khusus dalam bekerja
bersama dengan klien utnuk perubahan perilaku klien.
b. Kualitas pelayanan dibutuhkan oleh perawat agar dapat menjadi penolong yang
efektif meiputi; pengetahuan tentang diri sendiri, klarifikasi nila-nilai yang dianut,
menggali perasaan-perasaan yang muncul, kemampuan untuk memberikan contoh,
memiliki jiwa kemanuasiaan, dan sikap etis dan bertanggung jawab.
c. Model struktural dan model analisis transaksional digunakan untuk menguji
komponen-komponen proses komunikasi dan melakukan identifikasi maslah bersama
antara klien dengan perawat. Teknik komunikasi terapeutik yang menolong klien
juga dapat didiskusikan.
d. dimensi respon sejati, saling menghormati, memahami, dan empatik secara nyata
harus ditampilkan.
e. Dimensi kofrontasi, kesegeraan (immediacy), perawat yang menutup diri, perasaan
terharu yang disebabkan kepura-puraan, dapat memberikan stimulasi role play dan
memberikan kontribusi terhadap penilaian diri pasien (insight).
f. Kebuntuan dalam komunikasi terapeutik seperti resisten, transferen, konterferens,
dan adanya pelanggaran wilayah pribadi klien merupakan penghambat dalam
komunikasi terapeutik.
g. Hasil terapeutik dalam bekerja dengan klien gangguan psikiatrik berkaitan dengan
dasar pengetahuan perawat, keterampilan klinik, kapasitas intropeksi dan evaluasi
diri perawat.
3. Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa)
Konsep model keperawatan jiwa terdiri atas 6 macam, yaitu: Psychoanalytical (Freud,
Erickson), Interpersonal (Sullivan, Peplau), Social (Caplan, Szasz), Existential ( Ellis,
Rogers), Supportive Therapy (Wermon, Rockland), Medical (Meyer, Kraeplin)
4. Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam
keperawatan jiwa)
a. Stress adaptasi model Stuart memberikan asumsi bahwa lingkungan secara alami
memberikan berbagai strata sosial, dimana perawatan psikiatri disediakan melalui
proses keperawatan dalam biologis, psikologis, sosiokultural, dan konteks legal etis,
bahwa sehat/sakit, adaptif/maladaptif sebagai konsep yang jelas, tingkat
pencegahan primer, sekunder, tersier termasuk didalamnya 4 tingkatan dalam
penalataksanaan psikiatrik.
b. Standar kesehatan mental tidak begitu jelas dibandingkan dengan gangguan mental.
Saat ini satu dari dua orang di Amerika Serikat memiliki gangguan mental. Saat
ini satu dari dua orang di amerika serikat memiliki gangguan psikiatrik atau
penyakit ketergantungan obat pada masa hidupnya.
c. Komponen-komponen biopsikososial model mencakup faktor-faktor predisposisi
(pendukung), stressor pencetus, penilaian terhadap stressor, sumber-sumber
coping mekanisme.
d. Pola-pola respon individu mencakup respon koping individual, yang mana hal
tersebut merupakan subjek diagnosa keperawatan. Masalah-masalah kesehatan
yang menjadi subjek diagnosa medis.
e. Kegiatan keperawatan psikiatrik dijelaskan dalam 4 tahap tindakan; krisis, akut,
pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan.
5. Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam
keperawatan jiwa)
a. Perawat psikiatrik harus belajar mengenai struktur dan fungsi dari otak, mencakup
proses neurotransmission, untuk lenih memahami etiologi, mempelajarinya dan agar
lebih efektif dalam strategi intervensi gangguan psikiatrik.
b. Brain imaging teknik seperti CT, MRI, BEAM, PET, dan SPECT untuk melihat
secara langsung kondisi otak dan memahami hubungan antara struktur dan fungsi
otak.
c. Penelaahan tentag gen yang membawa kelainan mental telah membawa kesulitan
dan ketidakyakinan sampai saat ini tetapi dapat meningkatkan penilitian dimasa
yang akan datang.
d. Irama sirkadian seperti sebuah jaringan jam internal yang mengendalikan kegiatan-
kegiatan dalam tubuh meliputi gaya hidup, tidur, perasaan, makan, minum,
kesuburan, dan sakit dalam siklus waktu 24 jam.
e. Psikoimunologi adalah bidang kajian baru yang memperdalam tentang pengaruh
faktor-faktor psikososial pada sistem syaraf dalam respon imun.
f. Perawat psikiatrik membutuhkan kemampuan untuk mendapatan riwayat,
penampilan fisik, kemampuan menginterprestasikan hasil laboratorium untuk
menemukan gejala-gejala dan untuk indikasi proses rujukan.
g. Implikasi klinis dari penelitian tentang neurosains telah didiskusikan dalam
hubungannya dengan skizofrenia, kelainan mood, gangguan panik, dan merujuk
pada indikasi yang khusus.
h. Pada tahun 1990-an telah disebut sebagai dekade otak dan wajah keerawtan
psikiatrik ditandai dengantantangan integritasi antara informasi neurosains
biopsikososial model dari perawatan jiwa.
6. Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam
keperawatan jiwa
a. Pengujian status mental menggambarkan rentang hidup psikologis klien melalui
waktu. Hal ini membutuhkan bahwa perawat melakukan observasi perilaku klien dan
menggambarkannya secara objektif serta tidak menyalahkannya.
b. Pengelompoka pengkajian status mental klien meliputi penampilan pasien,
pembicaraan, aktivitas motorik, mood, affect, interaksi selama wawancara, persefsi, isi
pemikiran, proses pikir, tingkat kesadaran, keputusan (judgement) dan penilaian diri.
c. Test pisikologis menilai kemampuan intelektual dan kognitif serta mengambarkan
fungsi keperibadian.
d. Behavior rating scale menolong ahli klinis dalam mengukur tingkat masalah klien,
membuat diagnosis yang lebih akurat, mengambarkan kemajuan klien,
mendokumentasikan kemanjuran tindakan.
7. Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam
keperawatan jiwa)
a. Kepekaan terhadap budaya adalah salah satu pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk kesuksesan dalam intervensi keperawatan pada kehidupan klien
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.
b. Faktor resiko untuk gangguan psikiatri dari sosiokultural merupakan factor
predisposisi yang dapat secara berarti meningkatkan potensial kelainan psikiatri,
menurunkan potensi klien untuk sembuh atau kebalikanya. Hal tersebut meliputi
umur, etnik, gender, pendidikan, pendapatan, dan system keyakinan.
c. Variasi dan stressor sosiokultural menghambat perkembangan perawataan
kesehatan mental meliputi : keadaan yang merugikan, stereotype, intoleransi,
stigma, prasangka, discrimination, rasisme.
d. Respon coping dan gejala-gejala kelainan mental yang muncul dieksperesikan
secara beberda dalam budaya yang berbeda.
e. Pengkajian kepada klien yang memiliki factor resiko sosiokultular menarik bagi
perawat untuk mampu mengidentifikasi masalah- masalah klien dan
pengembangan tindakan keperawatan agar lebih akurat, sesuai, dan memiliki
kepekaan budaya.
f. Bersama- sama antara perawat dengan klien membutuhkan persetujuan mengenai
respon koping klien secara alami pemahaman dalam mememcahkan masalah, dan
harapan akan hasil yang didapatkan dalam konteks sosiokultural.
8. Environmental context of psychiatric nursing care (keadaaan-keadaan lingkungan dalam
keperawatan jiwa)
a. Bagian–bagian dari lingkungan secara langsung akan mempengaruhi pelayanan
keperawtan mental. Perawat seharusnya memberikan informasi- informasi baru
dan mengintergrasikanya dalam praktik untuk menyediakan keperawatan yang
berkualitas dan pelayanan yang efektif.
9. Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam
keperawatan jiwa
a. terdapat 2 tipe penerimaan klien di rumah sakitjiwa. Kesepakatan yang disadari
dengan kesepakatan yang di sadari dengan kesepakatan yang tidak di sadari.
Kesepakatan yang tidak di sadari meliputi issu mengenai, hukum, dan aspek etik
serta legal dan aspek professional.
b.klien pisikiatri variasi hak asasi yang luasdan hak-hak sebagai warga sipil. Mereka
selayaknya mendapatkan informasi hak tersebut dan pihak rumah sakit menghargai
hak tersebut. Beberapa dari hak tersebut bersifat kontrovesi dan dilematis.
10. Implementing the nursing process: standards of care (penatalaksanaan proses keperawtan:
dengan standar-standar perawatan)
a. Proses keperawataan bersifat interaktif, suatu peruses pemecahan masalah
(problem solving), digunakan oleh perawat secara sistematis dab secara individual
untuk mencapai tujuan keperawataan.
b. Pengkajian seharusnya merefleksikan keadaan, proses, informasi
biopsikososiospiritual klien, data dikumpulkan secara sisitematik yang secara
ideal didasari konsep-konsep keperawataan jiwa.
c. Diagnose keperawatan seharusnya meliputi respon adiktif klien atau respons
naladaptif klien, mendefinisikan karakteristik respon tersebut dan pengaruh
stressornya.
d. Perencanaan keperawataan seharusnya meliputi prioritas diagnose keperawtaan
dan tujuan yang diharapkan.
e. Intervensi keperawataan seharusnya secara langsung membantu klien
meningkatkan insight (penilaian terhadap dirinya) dan pemecahan masalah
melalui perencanaaan tindakan yang positif.
f. Evaluasi meliputi penilaian kembali fase- fase sebelumnya dari proses
keperawataan menentukan tahapan untuk merencanakan tujuan yang hendak
dicapai.
11. Actualizing the psychiatric nursing role: professional performance standards (aktualisasi
peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar profesional)
a. Standar penempilan professional diaplikasikan untuk mengatur tanggung jawab
pribadi dan untuk praktik, hal tersebut seharusnya didemontrasikan oleh perawat
baik sebagai individu maupunsebagai kelompok. Standar juga berhubungan
dengan otonomi dan self definition.
b. Perawat psikiatri juga membutuhkan partisipasi aktif dalam organisasi evaluasi
formal keseluruhkan pola-pola perawatan melalui peningkatan kualitas jenis
aktivitas yang meliputi system, konsumen, evaluasi klinik.
c. Evaluasi penempilan meliputi peninjauan kembali seacra administrative
penampilan kerja supervise klinik pelayanan keperawataan.
d. Perawat psikiatri diharapkan untuk secara kontinyu belajar untuk memelihara
informasi yang lalu dan memperoleh informasi yang terkini dalam bidangnya.
e. Rekan sejawat membutuhkan pandangan perawat psikiatri yang memeandang
keleompok sebagai tim kolaborasi dalam pemberian pelayanan keperawatan.
f. Pertimabng legal etis dan isu terapeutik mempengaruhi aspek-aspek dalam
keperawataan psikiatri dan digunakan dalam mengambilan keputusan etis dalam
merawat klien.
g. Kolaborasi adalah sharing dalam perencanaan, pengambilan keptusan, pemecahan
masalah, penentuan tujuan dalam berkerja sama dengan komunikasi yang terbuka.
(Yosep,2010).
2.3 Dilema Etik dan Proses Pengambilan Keputusan Etik Keperawatan Jiwa
a. Definisi Dilema Etik
Dilema etik adalah realitas sehari hari dalam praktek keperawatan. Dilema etik
selalu ada bersama dengan manusia termasuk perawatan, tetapi sifat alami mereka dalam
seting keperawatan kesehatan dapat berubah secara radikal sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Aroskar, 1980). Dilema etik dapat terjadi pada saat
perawat-pasien berinteraksi dirumah sakit, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengetahui
berbagai dilema etik yang dihadapi oleh perawat, pemahaman yang menyeluruh
mengenai sifat dari dilema etik termasuk definisi dari dilema etik dan dilema eik dalam
praktik asuhan keperawatan merupakan hal penting (Purba, 2009).
Sebuah dilema dapat didefinisikan sebagai suatu masalah sulit yang kelihatannya
tidak dapat diatasi yang melibatkan pilihan yang sama-sama tidak memuaskan, yang
sering terjadi dalam praktek keperawatan (Aroskar, Liaschencko, dan Drought, 1997).
Dilema etik adalah situasi ketika seseorang dipaksa untuk memilih satu dari dua pilihan
yang sama-sama tidak memuaskan (Han dan Ahn,2000). Dilema etik adalah situasi yang
melibatkan tuntutan konflik moral dan akan memunculkan pertanyaan seperti “apa yang
seharsnya dilakukan ?” atau “keputusan atau tindakan apa yang berbahaya dan yang
memberikan manfaat?”. Cassels dan Redman (1998) menguraikan dilema etik sebagai
suatu situasi ketika ada dua pilihan yang sama baik yang diinginkan maupun yang tidak
di inginkan dan masing-masing pilihan di antara pilihan tersebut dapat dibenarkan
dengan aturan atau prinsip moral yang mendasar. Suatu dilema etik terjadi ketika (1)
seseorang harus memilih diantara pilihan yang tidak dapat diterima dengan cara yang
sama, (2) pilihan yang diinginkan mengarahkan pada hasil yang tidak diinginkan, (3)
ketika pilihan membuat seseorang tidak tahu apa yang benar untuk dilakukan (Ellis dan
Hartley, 2001; Rushton [1988] yang dikutip oleh reigle [1996]; sletteboe, 1997) dan
sebuah dilema etik ada ketika terjadi tuntutan konflik moral dengan orang lain (redman
dan hill, 1997 dalam Purba, 2009).
Menurut Canadian Nurses Association (2002) dilema etik adalah situasi yang
timbul ketika secara bersamaan terjadi pemaksaan tindakan keperawatan yang
bertentangan dengan pemahaman etika tertentu sedangkan tindakan tersebut harus
dilakukan, misalnya ketika seseorang perawat terpaksa melakukan suatu tindakan
perawatan tertentu walaupun tindakan tersebut menimbulkan resiko bagi dirinya (Purba,
2009).
Thompson dan Thompson (1985, dalam Kozier, Erb, dan Bufalino [1989])
menggambarkan beberapa kriteria untuk menjelaskan dilema etik dalam praktik klinik,
yaitu (Purba, 2009) :
1) Kesadaran pada perbedaan pilihan. Individu harus sadar pada pilihan yang berbeda
secara terbuka baik berupa kognitif (mengetahui bahwa sesuatu salah) maupun
berupa efektif (perasaan bahwa sesuatu salah)
2) Sifat moral dilema, apa dilema perawat yang muncul dalam menghadapi isu moral?
Tidak semua situasi yang terlihat membingungkan bagi perawat adalah dilema etik.
3) Dua atau lebih pilihan dengan pilihan yang tepat; untuk situasi yang menjadi dilema
moral, salah satunya harus memilih dua atau lebih tindakan
b. Klasifikasi Dilema Etik
Beberapa penelitian telah mengeksplorasi pengalaman perawat dan mahasiswa
perawat ketika berhadapan dengan dilema etik (Cassells & Redmann, 1989; Chaowalit et
aL, 2002; Dinc & Gorgulu, 2002; Pujiastuti, 2004; Tabak 8: Reches, 1996). Dilema etik
yang dihadapi perawat dalam praktik keperawatan terjadi pada situasi yang berbeda-beda.
Dimensi etika dalam praktik keperawatan berorientasi pada tindakan, bukan pada
perasaan dan keyakinan dengan mempertimbangkan pilihan yang merefleksikan prinsip
etik (Post, 1996 dalam Purba, 2009).
Setiawan (2005) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ada lima dilema etik
yang dialami oleh perawat yang bekerja di ruang intensive care unit (ICU) di Medan,
yaitu(Purba, 2009):
1) Meneruskan atau menghentikan pengobatan.
2) Siapa yang seharusnya diberi ventilator.
3) Perawat ingin bertindak tetapi tindakannya melebihi wewenang.
4) Mengatakan atau tidak mengatakan yang sebenarnya.
5) Bertindak sebagai penasehat bagi pasien vs. membedakan hubungan dengan tim
kesehatan yang lain.
Gold, Chambers, dan Dvorak (1995) mengemukakan dilema etik terbesar yang
dialami oleh 12 perawat yang bekerja untuk penyakit akut, jangka panjang, dan
perawatan rumah dalam empat kategori (Purba, 2009) :
1) Menyimpan informasi dan memberikan perhatian (veracity, kebulatan tekad diri).
2) Keadilan dalam memberi perawatan (justice).
3) Perbedaan antara bisnis dan nilai profesional (beneficence, justice).
4) Aturan yang rusak dan pelaporan aturan yang rusak (veracity, kebulatan tekad diri).
Berdasarkan studi terdahulu, dilema etik mahasiswa perawat dalam praktik klinik
terdiri dari (Pujiastuti, 2004 dalam Purba, 2009):
1) Kewajiban profesional vs. proteksi terhadap bahaya
Dilema etik yang berhubungan dengan konflik antara kewajiban profesional
dengan perlindungan diri dari kecelakaan yang sering dihadapi dalam praktik
keperawatan. Kewajiban tugas, hak, dan tanggung jawab sering diaplikasikan dalam
setiap aspek kehidupan (Beuchamp & Childres, 2001: Catalano, 2003). Konflik
dalam kewajiban profesional dan tugas sering muncul dalam diri sendiri saat perawat
dan mahasiswa perawat bekerja dalam kondisi yang berbahaya bagi mereka
(Burkhardt & Nathaniel, 2001; Catalano, 2003). Kurangnya sumber-sumber seperti
keterbatasan peralatan, lingkungan yang tidak aman, pakaian pelindung yang tidak
layak dipakai, semuanya berisiko terhadap perawat saat memberikan asuhan
keperawatan pada pasien (Purba, 2009).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Ahn dan Han (2000) menemukan bahwa
mahasiswa perawat sering menghadapi dilema yang berhubungan dengan risiko
perawat seperti proses keperawatan yang menyimpang dari prinsip, tidak menjaga
sterilitas teknik dengan benar, dan kurangnya staf keperawatan. Bagaimanapun juga,
semua tindakan perawat harus berdasarkan standar keperawatan dan dalam mengkaji
pasien, perawat dapat mengalami perubahan emosional (Purba, 2009).
Kesimpulannya, kewajiban profesional vs. perlindungan diri terhadap
kecelakaan sering terjadi dalam praktik keperawatan. Dalam melakukan kewajiban
profesional mahasiswa perawat kadang-kadang akan berhadapan dengan beberapa
risiko (Purba, 2009).
2) Kerahasiaan pasien vs. peringatan lainnya terhadap bahaya
Menurut Cassells dan Redman (1989), mempersiapkan perawat menjadi agens
moral dalam praktik klinik dibutuhkan karena sebagai perawat mereka akan
memainkan peran dalam menjamin data pasien atau mempertahankan kerahasiaan.
Setiap kode etik perawat menekankan bahwa perawat mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan menggunakan informasi yang diterima dari pasien secara tepat. Juga,
mempertahankan kerahasiaan dan privacy sebagai prinsip atau standar tanggung
jawab praktisioner perawatan kesehatan adalah untuk melindungi pasien dari
interaksi yang tidak menyenangkan (Botes & Otto [2003] dalam Davis, Aroskar,
Liaschencko, 8: Drought [1997] dalam Purba, 2009).
Snider dan Hood (2001), memberikan dua argumen untuk membenarkan
ketidakmampuan perawat memegang prinsip konfidensial. Pertama, prinsip risiko
yang menyatakan ketika seseorang tidak dapat menyimpan informasi yang dapat
melindungi ketidaktahuan pihak ketiga tentang sesuatu yang merugikan dapat terjadi
tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh, perintah untuk melahirkan prematur pada
penderita sifilis adalah untuk mencegah penyakit menular yang serius. Kedua, prinsip
risiko menyarankan bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melindungi
dirinya sendiri dari sesuatu yang merugikan. Contohnya, perawat mempunyai
tanggung jawab untuk melaporkan perilaku kekerasan pada anak (Purba, 2009).
Praktisi perawatan kesehatan mempunyai hak untuk memutuskan kerahasiaan
pada beberapa institusi, seperti menginformasikan pihak ketiga tentang sesuatu yang
merugikan dapat terjadi, mencegah bahaya dari individu, atau ketika ketertarikan
pada publik melebihi dari ketertarikan pada individu (Beauchamb & Chilldress,
2001; Purtillo, 1999). Pelanggaran terhadap prinsip konfidensial biasanya akan
berisiko terhadap terciptanya ketidakpercayaan dalam hubungan profesi kesehatan-
pasien dan kemampuan menjaga kerahasiaan sebagai area penuh dengan masalah
dalam profesi keperawatan (Gulley, 1999 dalam Purba, 2009).
3) Mengatakan yang sebenarnya vs. tidak mengatakan yang sebenarnya
Burkhardt dan Nathaniel (2001) menjelaskan bahwa kejujuran dapat
membantu pasien mengambil keputusan pengobatan termasuk diagnosis yang tepat
dan komunikasi terbuka/jujur. Prinsip veracity digunakan sebagai suatu kewajiban
untuk mengatakan kebenaran dan tidak berbohong atau menipu orang lain (Fry &
Johnstone, 2002 dalam Purba, 2009).
Sementara itu, Surakul (2002) menyatakan bahwa kejujuran tidak selamanya
memberikan dampak positif pada individu. Beberapa dampak negatif dari kejujuran
antara lain ketidakmampuan dalam makan/ tidur, takut, stres, dan khawatir tentang
kesembuhan. Situasi-situasi seperti ini menyebabkan pasien tidak mampu
berpartisipasi untuk membuat keputusan atau menggunakan hak mereka dalam
memilih, dan hal ini akan memengaruhi kualitas perawatan (Purba, 2009).
Dilema etik yang berkaitan dengan kejujuran vs. tidak menyatakan informasi
yang sebenarnya dapat memengaruhi perasaan perawat. Studi yang dilakukan
Sukmak (2001) memfokuskan pada perilaku ketidakjujuran perawat tentang
kebenaran diagnosis pada penderita kanker. Menyembunyikan kondisi klien mungkin
akan menimbulkan pengalaman dan kecemasan yang lebih besar serta depresi pada
perawat (Purba, 2009).
Kesimpulannya, masalah etika yang berkaitan dengan kejujuran yaitu mencoba
memfokuskan pada apa yang dilakukan dan kapan seharusnya diakhiri. Tenaga
kesehatan profesional percaya bahwa cara mereka dapat melindungi pasien dari
kecelakaan dengan menyembunyikan kebenaran atau mengatakan hal lain an tidak
benar(Veatch & Fry, 1987 dalam Purba, 2009).
4) Advokasi pasien vs. kurangnya otoritas
Penasehat adalah seseorang yang mendukung untuk mempertahankan atau
mengatakan rencana atau tindakan publik. Perawat berada pada posisi terbaik dalam
perawatan kesehatan yang bertindak sebagai penasehat untuk pasien, perawat harus
mempunyai pengetahuan untuk mengadvokasi dan perawat-pasien dapat menjadi
mitra dalam advokasi (Mallik, 1997; Milton, 2000; Snowball, 1996; Pujiastuti,
2004). Profesi keperawatan mempunyai otoritas dalam mengadvokasi pasien yang
dihubungkan dengan konsep moral, etik, otonomi, dan kekuatan pasien, menekankan
penghargaan untuk manusia, martabat mereka, kepribadian, dan harga diri. (Dinc 8:
Gorgulu, 2003; Tabak & Reches, 1996 dalam Purba, 2009).
Bagaimanapun wewenang baik staf perawat maupun mahasiswa perawat
sering tersembunyi atau samar karena beberapa alasan seperti level staf yang rendah,
pelatihan staf yang tidak adekuat, dan informasi yang tidak efektif (Aroskar, 1993;
Kelly, 1993), sehingga meteka mengikuti otoritas senior mereka, perawat, dan dosen.
Mereka merasa bahwa mereka tidak mempunyai wewenang untuk mengambil
tindakan dalam situasi konflik etika medis di bawah hierarki birokrasi (Aroskar,
1993; Gaul, 1987). Pada kenyataannya, ada bukti yang kuat yang mengatakan
perawat sebagai kelompok yang tertindas dan kurang otoritas (George & Grypdonck,
2002 dalam Hyland, 2002 dalam Purba, 2009).
8. Hak pengobatan
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga area, yaitu (1)
lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang berkualitas dan jumlah anggota
yang mencukupi untuk memberikan pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang
bersifat individual (Yusuf, 2015).
9. Hak untuk menolak pengobatan
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah ditetapkan
sebagai tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan ketidakmampuannya untuk memutuskan
dan gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri masalahnya.
Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui sidang pengadilan lain (Yusuf, 2015).
2.5 Peran Legal Perawat Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa mulai menjadi profesi pada awal abad ke- 19 dan pada masa
tersebut berkembang menjadi spesialis dengan pera dan fungsi-funsi yang unik. Keperawatan
jiwa adalah suatu proses interpersonal dengan tujan untuk meningkatkan dan memelihara
prilaku-prilaku yang mendukung terwujudnya suatu kesatuan yang harmonis (integrated).
Kliennya dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat. Tiga wilayah
praktik keperawatan jiwa meliputi perawatan langsung, komunikasi, dan menajemen. Ada
empat faktor yang dapat menentuukan tingkat penampilan perawat jiwa, yaitu aspek
hukum,kualifikasi perawat, lahan praktik, dan inisiatif dari perawat sendiri (Farida, 2012).
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal yaitu perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat sebagai pekerja, dan perawat sebagai warga
negara. Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini.
Penilaian keperawatan profesional memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks
asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan altematif yang
mungkin dilakukan perawat (Farida, 2012).
Malpraktik mencakup kegagalan seorang profesional untuk memberikan jenis asuhan
yang dilakukan oleh anggota profesi di masyarakat, yang membahayakan pasien.
Kebanyakan tuntutan malpraktik diarsipkan dalam hukum tentang kesalahan karena
kelalaian. Kesalahan merupakan suatu kesalahan sipil yang di dalamnya pihak yang
dirugikan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi. Di bawah hukum tentang kesalahan
karena kelalaian, penggugat harus membuktikan Farida, 2012) :
a) Ada kewajiban legal untuk melakukan asuhan.
b) Perawat melakukan tugasnya dengan kelalaian.
c) Gangguan yang dialami pasien sebagai akibatnya.
d) Gangguan bersifat substansial.
Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks dari elemen
historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang mencakup parameter kompetensi
klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal (keuangan), kolaborasi profesional,
akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian,
dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga
area utama yaitu(Farida, 2012) :
a. aktivitas asuhan langsung, seperti
b. aktivitas komunikasi, dan
c. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.
2.6 Peran Budaya dalam Asuhan Keperawatan Jiwa
Faktor resiko untuk gangguan psikiatri dari sosiokultural merupakan faktor
predisposisi yang dapat meningkatkan potensial kelainan psikiatrik, merupakan potensial
klien untuk sembuh, atau kebalikannya. Hal tersebut meliputi umur, etnik, gender,
pendidikan, pendapatan dan sistem keyakinan. Variasi dari stresor sosikultural menghambat
perkembangan perawatan kesehatan mental meliputi: keadaan yang merugikan, stereotip,
intoleransi, stigma, prasangka, diskriminasi, dan rasisme. Respons koping dan gejala-gejala
kelainan yang muncul diekspresikan secara berbeda dalam budaya yang berbeda (Farida,
2012).
BAB III
TREND ISSUE SEKLUSI
3.1 Definisi
Seklusi adalah penempatan pasien di ruang terkunci dimana tidak dapat keluar dengan
bebas tanpa izin perawat untuk memberikan perlindungan bagi pasien atau orang lain.
Ruangan ini dianggap memberikan isolasi dan pengurangan rangsangan indrawi (Mayers, et
al. 2010).
Menurut jurnal yang berjudul “The Use Seclusion in Emergency Medicine” yang
menyatakan seklusi adalah pengurungan seorang pasien ke area yang ditentukan untuk
jangka waktu tertentu.Empat varian pengasingan telah dicatat:
a) menempatkan pasien di ruangan yang terkunci
b) menempatkan pasien di ruangan dengan pintu tertutup secara fisik
c) menempatkan pasien di ruangan di mana gerakan bebas dilarang
d) memisahkan pasien dari kelompok
Sehingga dapat di simpulkan bahwaSeklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung
pasien dalam ruangan khusus.Klien dapat meninggalkan ruangan tersebut secara
bebas.Bentuk seklusi dapat berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai
pengurungan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergantung dari tingkat
kegawatan klien.
3.2 Tujuan
Menurut jurnal yang berjudul “Seclusion : The Perspective Nurses” yang menyatakan
bahwa sebuah studi komprehensif menunjukkan alasan-alasan berikut untuk dilakukan
seklusi pada pasien jiwa yaitu (Lendemeijer, 2000):
a) Motif terapeutik, seperti untuk mengurangi rangsangan atau memberikan struktur
b) Mengandung perilaku pasien yang berbahaya (sebagaimana tercantum dalam hukum)
c) Mengandung perilaku untuk melindungi iklim terapeutik dan ketertiban harian bangsal
d) Seklusi sebagai hukuman, sering disebut sebagai bagian dari pendekatan perilaku
3.3 Indikasi
Menurut jurnal yang berjudul “Seclusion : The Perspective Nurses” yang menyatakan
bahwa seklusi sebagai intervensi, setelah insiden agresif atau perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh pasien dengan gangguan jiwa atau perilaku pasien yang mengganggu orang
lain dan pasien lain.
Indikasi seklusi yaitu pasien dengan perilaku kekerasan yang membahayakan diri
sendiri, orang lain dengan lingkungan.
3.4 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari terapi ini antara lain :
3) Risiko tinggi bunuh diri
4) Klien dengan gangguan social
5) Kebutuhan untuk observasi masalah medis
6) Hukuman
3.5 Perasaan Perawat saat melakukan Seklusi
Peran perawat selama proses pengasingan, tetapi juga menjadi orang yang paling
peduli dengan perawatan harian pasien, menentukan perasaan yang berpengalaman untuk
sebagian besar. Dukungan sosial dan pengakuan terhadap dampak dari proses pengasingan
pada kesejahteraan mereka diperlukan untuk menghindari efek yang terkait dengan stres
dalam jangka panjang.Karena beban emosional mengikuti pengasingan dan risiko
pengembangan respon stres patologis, penelitian proses ini diperlukan untuk kepentingan
kesehatan perawat. Maka dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan perasaan perawat
pada saat melakukan seklusi pada pasien dengan gangguan jiwa (Nagel, 2009) :
a. Tension
Dalam ketegangan, ketakutan akan ancaman dari pasien itu diklasifikasikan, rasa
takut sering dirasakan sebagai gairah fisik: Ketegangan dirasakan untuk oleh beberapa
perawat dalam waktu yang panjang. Para perawat mungkin merasakannya sebagai
ketegangan, gelombang adrenalin. Ketegangan pada diri perawat adalah sebagai stimulus
untuk mengetahui bahwa perawat harus segera bertindak dengan kekuatan fisik. Setelah
semua tugas terselesaikan maka terdapat perasaan lega pada diri perawat.
b. Trust
Konsep kepercayaan tidak hanya terkait dengan perasaan percaya atau percaya
diri, tetapi juga perasaan solidaritas dan dukungan. Juga ketidakpercayaan dari beberapa
orang yang terlibat atau merasa tidak aman, kepercayaan diri dan keyakinan penutupan
positif dari situasi yang terkait dengan kegiatan seklusi terkait dengan kepercayaan.
c. Power
Ketimpangan kekuasaan dan kontrol antara pasien dan staf dalam acara
pengasingan, menginduksi perasaan yang terkait dengan otoritas dan kekuasaan, seperti
ketidakberdayaan dan perasaan tanggung jawab untuk kesejahteraan pasien
d. Rest
Terlepas dari tema utama ketegangan, kepercayaan dan kekuasaan, pengasingan
juga terkait dengan perasaan tidak manusiawi sehubungan dengan intervensi.
3.6 Hukum tentang Hak Asasi Manusia
a) PBB (Commision of Human Right)
Melihat perkembangan tuntutan akan hak asasi manusia yang semakin besar,
maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1946 membentuk Komisi Hak Asasi
Manusia (Commission of Human Right). Komisi tersebut berhasil membuat pernyataan
HAM, yang dikenal dengan sebutan Universal Declaration of Human Rights, 10
Desember 1948, yang ditandatangani oleh 48 negara. Dalam pernyataan tersebut, antara
lain mengemukakan bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu:
1) Hak untuk hidup.
2) Hak untuk kemerdekaan dan keamanan secara fisik.
3) Hak diakui kepribadiannya.
4) Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.
5) Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara.
6) Hak mendapatkan kebangsaan atau kewarganegaraan.
7) Hak memiliki suatu benda dengan cara yang sah.
8) Hak untuk bebas mengeluarkan pikiran dan perasaan.
9) Hak untuk memilih dan memeluk agama.
10) Hak untuk bebas mengeluarkan pendapat.
11) Hak untuk mengadakan rapat dan berkumpul.
12) Hak untuk mendapatkan jaminan sosial atas hidupnya.
13) Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
14) Hak untuk berdagang.
15) Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakatnya masing-
masing.
16) Hak untuk menikmati kesenian.
17) Hak untuk turut serta memajukan keilmuan.
b) UU No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia
1) Pasal 1 ayat 1 berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajibdihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”
2) Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya.”
3) Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau
keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu
perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk
suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.”
c) Pancasila Sila ke 2 yang berbunyi “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dimana sila ini
mempunyai makna sebagai berikut :
1) Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan
2) Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
3) Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
d) Pembukaan UUD 1945 alinea pertama yang berbunyi “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan perikeadilan”.
Pada alinea ini bermakna pada alenia pertama mengungkap dalil obyektif dimana
penjajahan bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, maka penjajahan di
harus di tentang dan di hapuskan agar semua bangsa di dunia mendapat hak publik
absolutnnya(merdeka). Serta pada alenia pertama mengandung pernyataan subyektif
tentang aspirasi bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
3.7 Legal Etik Seklusi di Indonesia
Sesuai dengan penjelasan konsep Seklusi diatas bahwa pengasingan lingkungan
adalah salah satu strategi utama untuk menangani perilaku yang terganggu dan berbahaya
pada pasien psikiatri. Lalu bagaimana dengan konsep hukum Hak Asasi Manusia yang
melkat pada dirinya?
Sehingga dari kejadian itulah penggunaan seklusi telah banyak dikritik. Beberapa
studi empiris memiliki telah selesai mengeksplorasi secara mendetail praktik pengasingan.
Pengasingan pasien psikiatri dipandang oleh beberapa orang sebagai pelanggaran hak asasi
manusia, namun oleh beberapa kelompok atau organisasi lain dianggap sebagai kebutuhan
untuk mengontrol kekerasan, dan ada juga yang menganggap ssebagai terapi.
Berdasarkan penjelasan konsep seklusi diatas Seklusi digunakan oleh para perawat
psikiatri tidak hanya dengan pasien yang melakukan kekerasan secara langsung, tetapi juga
dengan pasien yang mengekspos perilaku disruptif yang diyakini oleh para perawat psikiatri
bahwa mereka akan meningkatkan kejadian kekerasan baik kepada dirinya maupun orang
lain serta lingkungan bangsalnya.
Pada rekaman atau pantauan bangsal hampir selalu mencantumkan agitasi, kemarahan,
dan kekerasan sebagai alasan untuk melakukan seklusi pada pasien jiwa,tetapi istilah
'kekerasan' sering merujuk bukan pada serangan yang sebenarnya tetapi terhadap ancaman
atau perilaku gelisah. Banyak studi yang telah mencetuskan, baik perawat dan pasien
umumnya mengakui bahwa seklusi digunakan untuk menghilangkanpasien yang gelisah dari
interaksi yang mengganggu dan untuk menjaga kelancaran fungsi bangsal. Namun,
banyakpasien tidak mengerti mengapa mereka sendiri dilakukan seklusi, maka disini juga
terjadi pelanggaran atas Hak Asasi Manusia.
Karena kebanyakan disetiap rumah sakit jiwa seorang psikiatri memiliki kewajiban
secara hukum bertanggung jawab atasfasilitas kesehatan dan perlindungan pasien, maka apa
tindakan yang tepat untuk seorang perawat?
Delapan dari 10 penelitian yang memberikan informasi tentang status hukum pasien
menunjukkan bahwa pasien tidak mengetahui alasan dirinya dilakukan seklusi. Ini mungkin
mencerminkan kebutuhan pasien untuk memperoleh informed consent dari perawat tidak
adekuat sehingga pasien akan terus melakukan tindakan kekerasan berulang kali, maka
sesuai dengan pembahasan konsep seklusi diatas bahwa seklusi dapat dijadikan sebagai
hukuman dengan mengadakan persetujuan terlebih dahulu dengan si pasien bahwa ia akan di
hukum seklusi dalam sebuah ruangan jika terus melakukan kegiatan yang menyebabkan
gelisah dan ancaman bahkan kerusakan bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya.
Asumsi umum bahwa pengasingan diperlukan untuk mencegah kekerasan dan cedera
belum diuji dengan membandingkan insiden dan keparahan cedera di fasilitas yang
menggunakan seklusi dan yang tidak. Namun, kita tahu bahwa seklusi sendiri atau
dikombinasikan dengan penggunaan restrain tidak menghilangkan serangan, cedera atau
perilaku merusak diri sendiri. Lalu bagaimana solusinya?
Jawabannya ada ketika kita tetap memberikan kebutuhan pasien yang dilakukan
seklusi seperti biasanya, dan dalam melakukan seklusi dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama selama pasien masih mampu bernegosiasi dengan perawat. Namun, ketika
pasien sudah tidak dapat dikendalikan maka secara total harus dilakukan seklusi agar tidak
menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi pasien yang lain.
Hasilnya pun akan berbeda sesuai dengan koping para penderita penyakit jiwa, jika
pasien mendapatkan respon adaptif maka pasien akan merasa tenang karena bisa
merenungkan dan menenangkan emosinya karena bisa jadi stesor yang dirasakan oleh pasien
jiwa berasal dari bangsal sehingga dengan dilakukan seklusi pasien akan tenang namun tidak
menunjukkan kesejahteraan psikis. Dan sebaliknya jika pasien merasa maladaptif maka
pasien akan merasa sangat terganggu dan semakin merasa depresi ketika dilakukan seklusi
dalam sebuah ruangan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Legal etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sah menurut
Undang-undang keperawatan yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya yang
berhubungan dengan pasien, masyarakat, teman sejawat maupun dengan organisasi profesi,
serta pengaturan praktik dalam keperawatan itu sendiri. Sehinggalegal etika keperawatan
dijadikan acuan dalam melaksanakan prakktik keperawatan, tidak terkecuali keperawatan
jiwa. Keputusan dan tindakan perawat psikiarti kepada klien dibedakan oleh apa yang
dinamakan dengan ethical manner (cara yang sesuai dengan etik).
Salah satu prinsip etik perawat dalam menjalankan tugasnya yaitu prinsip otonomi
yang berarti hak untuk membuat keputusan sendiri. Menghormati otonomi menyangkut
penghormatan terhadap otonomi individu untuk dengan bebas menentukan sendiri apa yang
akan dilakukan. Ini menunjukkan bahwa setiap individu tidak hanya membuat pilihan untuk
membuat keputusan sendiri, tetapi juga bebas dalam menerima setiap konsekuensi dari
keputusan yang dibuat. Namun, dalam keadaan tertentu jika pasien jiwa mengalami depresi
sampai membuat tindakan yang membahayakan maka perawat jiwa melakukan Seklusi atau
pengurungan pasien dalam suatu ruang untuk mencegah kerusakan atau bahaya terhadap
orang lain, lingkungan, fasilitas rumah sakit serta dirinya sendiri.
Namun saat ini, seklusi banyak di kritik oleh berbagai pihak karena dianggap
melanggar hak asasi kemanusiaan pada pasien jiwa, sehingga timbul lah beberapa penelitian
dan keputusan untuk melakukan seklusi pada pasien jiwa maka perawat harus tetap
memenuhi kebutuhan dasar pasien jiwa.
4.2 Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi yang kami
uraikan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati, Farida, dkk. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Stuart, Gail. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC.
Purba, Jenny Marlindawani, dkk. 2009. Dilema Etik dan Pengambilan Keputusan Etik dalam
Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Simpson, A. Scott. 2014. Journal General Hospital Psychiatriy : Risk for physical restraint or
seclusion in the psychiatric emergency service (PES). Vol.36. England : Elsevier.
VanDerNagel, J.E.L. 2009. International Journal of Law dan Psychiatry : Seclusion : The
Perspective of Nurses. Vol. 32. England : Elsevier.
Janssen. W. A. 2013. Differences in Seclusion Rates Between Admission Wards: Does Patient
Compilation Explain?. Vol. 52. DOI 10.1007/s11126-012-9225-3. Spinger : Netherland.
Brown, Julia S. 1990. On The Seclusion of Psychiatric Patients Vol. 35 No. 05. Pergamon Press
Ltd : USA.