Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tingginya kebutuhan hidup khususnya menyangkut sandang, pangan

papan atau tempat tinggal membuat semakin tingginya pengeluaran untuk

memenuhinya. Pendapatan yang pas-pasan membuat sebagian orang harus

memutar otak untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Sehingga berbagai

permasalahan timbul dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

Uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai

keperluan, yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak

dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian, mau

tidak mau harus mengurangi untuk membeli berbagai keperluan yang

dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa

harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber

dana yang ada.

Apabila seseorang pada saat tertentu membutuhkan dana untuk

kepentingan mendesak (urgent), sedangkan dia kekurangan dana, maka salah

satu jalan adalah dengan cara meminjam uang atau utang untuk memperoleh

tambahan uang. Oleh karena itu cara tersebut cukup diperlukan untuk

mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang terjadi.

Dalam hal ini negara mempunyai peranan penting dalam penentuan cara-

cara pemberian kesempatan kredit oleh lembaga-lembaga kredit kepada

masyarakat. Adapun lembaga-lembaga kredit dibentuk bertujuan untuk

mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhannya, sehingga dibentuklah

1
2

lembaga perkreditan, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun swasta,

dalam bentuk bank maupun non bank.

Adapun lembaga-lembaga keuangan bank dapat diklarifikasikan menjadi:

Bank Indonesia, Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan

lembaga keuangan non bank seperti: Asuransi (Insurance), Pegadaian

(Pownshop), Dana Pensiunan (Pension Fund), Reksa Dana (Investment

Fund), Bursa Efek (Stock Exchange).1

Salah satu lembaga keuangan non bank yang ada di Indonesia adalah PT.

Pegadaian (Persero). Dimana lembaga tersebut bergerak dibidang jasa

penyaluran pinjaman uang kepada masyarakat atas dasar hukum gadai dengan

jaminan benda bergerak dan bernilai ekonomis. Disamping itu, pemohon juga

perlu menyerahkan surat atau bukti kepemilikan dan identitas diri. Perjanjian

kredit antara Pihak Pegadaian dengan penerima kredit dituangkan dalam

Surat Bukti Kredit (SBK). Pada saat perjanjian ini ditandatangani maka benda

gadai diserahkan oleh pemberi gadai kepada Pihak PT. Pegadaian (Persero).

Kebutuhan masyarakat akan dana dan juga sebagai lokomotif penggerak

ekonomi diperlukan lembaga jaminan. Penyaluran kredit melalui Pegadaian

diharapkan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, menambah

lapangan kerja sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pengertian gadai pada umunya telah tertuang dalam Pasal 1150 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu :

1
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 17.
3

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang
bergerak yang bertumbuh maupun tidak bertumbuh yang diberikan
kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu
hutang, dan yang akan memberikan kewenangan kepada kreditur untuk
mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditur-
kreditur lainnya terkecuali biaya biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana
yang harus didahulukan.”

Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur pokok, yaitu:2

1. Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang gadai

kepada kreditur pemegang gadai;

2. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama

debitur;

3. Barang yang menjadi obyek gadai hanya benda bergerak, baik bertubuh

maupun tidak bertubuh;

4. Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang

gadai lebih dahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

Oleh karena itu gadai merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang di

samping kata sepakat, diperlukan suatu perbuatan nyata (penyerahan

kekuasaan atas barang gadai). Dalam hal ini yang bertindak sebagai kreditur

adalah PT. Pegadaian (Persero) dan yang bertindak sebagai debitur adalah

pemberi gadai (seseorang yang menyerahkan atas barang gadai). Di dalam

perjanjian tersebut, akan ditentukan beberapa klausul-klausul yang memuat

kesepakatan mengenai hutang piutang antara debitur dan kreditur. Apabila

pinjaman tersebut tidak dapat dilunasi tepat pada waktunya, maka penerima

2
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 2003),
hlm. 13.
4

atau pemegang gadai yang bertindak sebagai kreditur berhak untuk menjual

barang gadai sebagai pelunasan dari pinjaman kredit tersebut.3

Dengan demikian, PT. Pegadaian (Persero) cabang Jakarta Pusat sebagai

pemegang gadai tetap memiliki hak gadai selama hutang piutang tersebut

belum dilunasi oleh pemberi gadai (debitur) sampai hak untuk melelang

barang tersebut ketika pemberi gadai (debitu) tidak dapat melunasi atau

menebus barang yang dijadikan jaminan gadai.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata dijelaskan bahwa:

“Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau


piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya
sepenuhnya.
Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang,
dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau
dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang
disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan
barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan Pasal 582”

Bunyi dari Pasal 582 KUHPerdata itu sendiri adalah:


“Barangsiapa menuntut kembali barang yang telah dicuri atau telah hilang,
tidak diwajibkan memberi penggantian uang yang telah dikeluarkan untuk
pembelian kepada yang memegangnya, kecuali jika barang itu dibelinya
dipekan tahunan atau pekan lain, di pelelangan umum atau dari seorang
pedagang yang terkenal sebagai orang yang biasanya memperdagangkan
barang sejenis itu.

Oleh karena itu siapapun yang membawa atau menguasi barang bergerak dan

datang ke kantor pegadaian untuk menggadaikan barang tersebut adalah

dianggap sebagai pemiliknya. Permasalahan akan timbul jika pemilik

sebenarnya benda gadai tersebut menuntut pengembalian benda itu dan

Pegadaian melaporkan ke Polisi atau adanya laporan pemilik barang yang

sebenarnya kepada Kepolisian.


3
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 88.
5

Hal inilah yang menjadi beberapa permasalahan yang sering dihadapi

oleh lembaga Pegadaian khususnya PT. Pegadaian (Persero) cabang Jakarta

Pusat, salah satu permasalahan yang terjadi antara lain seperti yang akan

dibahas dalam penulisan ini adalah adanya barang jaminan yang merupakan

barang hasil kejahatan, seperti barang hasil curian, penadahan dan

penggelapan sebagai jaminan gadai, sehingga terjadi penuntutan dari pemilik

sebenarnya kepada pihak Pegadaian.

Maka dalam hal ini kedudukan barang jaminan yang merupakan barang

hasil kejahatan di anggap sah apabila tidak ada tuntutan dari pemilik barang

yang sebenarnya. Sedangkan jika adanya tuntutan atau laporan dari pemilik

barang sebenarnya kepada pihak yang berwajib dalam jangka waktu kurang

dari 3 (tiga) tahun terhitung sejak hilangnya barang tersebut maka barang

jaminan yang sudah menjadi jaminan dalam perjanjian gadai, tidak lagi

menjadi objek dalam perjanjian gadai.

Berdasarkan uraian penulisan diatas, maka dibuatlah sebuah penelitian

dengan menyusunnya menjadi sebuah tesis yang berjudul: “AKIBAT HUKUM

PERJANJIAN GADAI YANG BARANG JAMINANNYA BERASAL

DARI HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PERATURAN

OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31/POJK.05/2016

TENTANG USAHA PEGADAIAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA PASAL 1977 (Studi Kasus di Kantor PT.

Pegadaian Cabang Jakarta Pusat)”.


6

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasikan beberapa masalah yang ada, antara lain:

1. Akibat hukum perjanjian gadai yang barang jaminannya berasal dari hasil

kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian (Persero) cabang Jakarta

Pusat dengan pemberi gadai.

2. Kedudukan hukum perjanjian gadai terhadap barang jaminan yang berasal

dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian (Persero) cabang

Jakarta Pusat dengan pemberi gadai.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana akibat hukum perjanjian gadai yang barang jaminannya berasal

dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian (Persero) cabang

Jakarta Pusat dengan pemberi gadai?

2. Bagaimana kedudukan hukum perjanjian gadai terhadap barang jaminan

yang berasal dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian

(Persero) cabang Jakarta Pusat dengan pemberi gadai?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, antara lain:

a. Untuk mengetahui akibat hukum perjanjian gadai terhadap barang

jaminan yang berasal dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT.

Pegadaian (Persero) cabang Jakarta Pusat dengan pemberi gadai.


7

b. Untuk mengetahui kedudukan hukum perjanjian gadai terhadap barang

jaminan yang berasal dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT.

Pegadaian (Persero) cabang Jakarta Pusat dengan pemberi gadai.

2. Manfaat yang ingin disampaikan dalam penulisan ini, antara lain:

a. Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu

hukum perdata, salah satunya adalah masalah yang terdapat dalam

hubungan hukum khususnya yang berkaitan dengan Pegadaian serta

dapat menambah referensi dalam pelajaran hukum perdata di Fakultas

Hukum.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk menambah

pengetahuan masyarakat sebagai pembaca mengenai masalah yang

timbul dalam perjanjian gadai khususnya perjanjian gadai terhadap

barang jaminannya yang berasal dari hasil kejahatan.

E. Kerangka Teori

1. Grand Theory (Teori Dasar)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori keadilan sebagai

teori dasarnya. Dalam hal ini negara harus ikut campur tangan bila rasa

keadilan sebagian besar warganya terusik. Kata keadilan yang dimaksud

adalah perlakuan yang setara atau equality before the law kepada siapapun,

sehingga dengan perlakuan seperti itu masyarakat akan merasa hak-haknya


8

terjamin karena dalam penyelesaian masalah yang dihadapi tidak berat

sebelah.

Istilah keadilan (iustitia) itu sendiri berasal dari kata “adil” yang

berarti: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,

sepatutnya, tidak sewenang-wenang.4 Dari beberapa definisi dapat

dipahami bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan

dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi

sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak

dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih

kasih, melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan

kewajibannya.

Menurut Plato keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.

Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.

Masyarakat memiliki elemen-elemen principal yang harus dipertahankan,

yaitu:

a. Pemilahan kelas-kelas yang tegas, misalnya kelas penguasa yang diisi

oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara

tegas dengan domba manusia.

b. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya, perhatian

khusus terhadap kelas ini dan persatuannya, dan kepatuhan pada

persatuannya, aturan-aturan yang jelas bagi pemeliharaan dan

4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2000), hlm. 517.
9

pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi

kepentingan-kepentingan anggotanya.

Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat

diturunkan, misalnya berikut ini:

1) Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti

keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan

menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak

diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian,

terutama dalam usaha mencari penghasilan.

2) Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas

penguasa, dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk

menyeragamkan pikiranpikiran mereka. Semua inovasi dalam

pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.

3) Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus

bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa

akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu

sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan

kekuasaan mereka, sedangkan alternative kedua akan melemahkan

persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya.5

Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada

struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi

penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan


5
Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, diterjemahkan oleh: Uzair
Fauzan, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 110.
10

perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara

individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu

melayani negara.

Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai

kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat

diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan

digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia, dan akal manusia yang

esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat

diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.6 Oleh

karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara

seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.7

Sedangkan Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan

empirisme. Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang

berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara keselurahan membahas

aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah masalah

hukum, keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.

Teori keadilan dikemukakan secara mendasar oleh Aristoteles dalam

Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan

dan ketidakadilan harus dibahas 3 (tiga) hal utama yaitu tindakan apa yang

6
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh
Mohamad Arifin, Cetakan kedua, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 117.
7
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, (Bandung: Pustaka
Mizan, 1997), hlm. 1-15.
11

terkait dengan istilah tersebut, apa arti keadilan, dan diantara dua titik

ekstrim apakah keadilan itu terletak.8

Menurut Aristoteles, keadilan merupakan tindakan yang terletak di antara

memberikan terlalu banyak atau pun terlalu sedikit. Dalam hal ini,

Aristoteles menyatakan bahwa keadilan merupakan aktivitas memberikan

sesuatu kepada orang lain (kewajiban) setara dengan apa yang kita

dapatkan dari orang lain (hak). Selain itu pengertian adil menurut

Aristoletes diklasifikasikan kedalam 2 makna yaitu antara lain:

a. Keadilan Dalam Arti Umum

Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan

karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas

keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat

orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.

Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap

obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;

1) Jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;

2) Kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi

“baik”.9

Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan

jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya

8
http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html. Diakses pada tanggal 1 Juli 2018.
9
Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), hlm. 115-116.
12

untuk menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi

ambigu, maka sisi yang lain juga ambigu.

Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang

yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang

tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh

terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan

memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan

pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada

adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai

kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang

cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan

masyarakat adalah adil.10

Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar

sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan

untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang

dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan

orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan

tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang

berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah

keadilan, namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah

nilai. Ketidakadilan dalam hubungan sosial terkait erat dengan

keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang tidak fair.

10
Aristoteles, Op. Cit.
13

Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang

amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hokum

sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan

adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan

keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan.

Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat

menimbulkan ketidak adilan.

Sebagai contoh, seorang pengusaha yang membayar gaji buruh di

bawah UMR, adalah suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun

tindakan ini belum tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila

keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan tersebut memang

terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya

walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai dengan

UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan

ketidakadilan karena keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan

hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan

ini muncul karena keserakahan.11

Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan

dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan

hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair

adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar

11
Ibid.
14

hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat

dengan kepatuhan terhadap hukum.

b. Keadilan Dalam Arti Khusus

Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut

ini, yaitu:

1) Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang

atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.

Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam

suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang

terletak diantara “yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate).

Jadi keadilan adalah titik tengan atau suatu persamaan relatif

(arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat

sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat

tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk

memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat

sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar persamaannya

adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran.

Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah

keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan

keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah

satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah (intermediate)

dan proporsi.12

12
Euis Amalia, Op. Cit, hlm. 117.
15

2) Perbaikan suatu bagian dalam transaksi

Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan

(rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara

orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela. Hubungan

tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing

memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu

persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi

keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah

ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh

lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara

sederajat. 13

Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator

melakukan tugasnya menyamakan dengan mengambil sebagian

dari yang lebih dan memberikan kepada yang kurang sehingga

mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini dilakukan sebagai

sebuah hukuman. Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan

atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak. Dalam hubungan

yang tidak didasari ketidaksukarelaan berlaku keadilan korektif

yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi dari yang

memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi

tidak dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang

diperoleh satu pihak diberikan kepada pihak lain dalam arti

13
Ibid, hlm. 118.
16

pembalasan. Seseorang yang melukai tidak diselesaikan dengan

mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal balik

dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu

sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran

inilah digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah

antara tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil.14

Keadilan dan ketidakadilan selalu dilakukan atas kesukarelaan.

Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang

melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak

dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam

beberapa cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan

adil harus ada ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan.

Sehingga dalam hubungan antara manusia ada beberapa aspek untuk

menilai tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil

akhirnya.15 Ketika (1) kecideraan berlawanan deengan harapan rasional,

adalah sebuah kesalahan sasaran (misadventure), (2) ketika hal itu tidak

bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak

kejahatan, itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika tindakan dengan

pengetahuan tetapi tanpa pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan,

dan (4) seseorang yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang

yang tidak adil dan orang yang jahat.

14
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 137.
15
Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 57.
17

Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan

melakukan sesuatu dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin

diperlakukan secara tidak adil apabila orang lain tidak melakukan

sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela menderita karena

ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap diperlakukan

secara tidak adil.

Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian

merupakan keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian

merupakan hasil ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam

berlaku universal, sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tidak

sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah

yang disebut dengan nilai.

Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara

keadilan universal dan keadilan hukum yang memungkinkan

pembenaran keadilan hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal,

tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu

pernyataan universal yang harus benar. Adalah sangat penting untuk

berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu

selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak

terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang

universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan tidak tercantum

dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan alam

memperbaiki kesalahan tersebut.


18

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls, atau nama lengkapnya

John Borden Rawls, dilahirkan pada tahun 1921 dari sebuah keluarga kaya

di Baltimore, Maryland. Ia adalah putra kedua dari lima bersaudara.

Ayahnya, William Lee Rawls adalah seorang ahli hukum perpajakan yang

sukses dan sekaligus ahli dalam bidang konstitusi. Ibunya, Anna Abell

Stump, berasal dari sebuah keluarga Jerman yang terhormat. Perempuan

pendukung gerakan feminisme ini pernah menjabat sebagai presiden dari

League of Women Voters di daerah Kediamannya.

Karena latar belakang ini, oleh sebagian orang yang dekat dengannya,

Rawls disebut sebagai orang yang memiliki “darah biru”. Hal ini

membuatnya memiliki sense of noblege. John Rawls yang hidup pada awal

abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.16 Hal ini terkait dengan

munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan

negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1)

jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan

pribadi dan kehidupan bersama.17

Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah

struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan,

kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan

terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:

a. Menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak.

16
Ibid, hlm. 31.
17
Ibid, hlm. 32.
19

b. Melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.18

Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah

situsi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip

keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang

baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan

(call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position).

Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original

agreement) anggota masyarakat secara sederajat.19

Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu: 20

a. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih

seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah

bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek social

yang lain.

b. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten

untuk memegang pilihannya tersebut.

c. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu

dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami

manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip

keadilan.

Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:

a. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan

semua pihak
18
Ibid, hlm. 32.
19
Ibid, hlm. 32-33.
20
Ibid, hlm. 43.
20

b. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang

paling lemah.21

Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan

persamaan yang adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga

prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:

a. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas

b. Perbedaan

c. Persamaan yang adil atas kesempatan.

Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk

mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan

umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga

merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk

memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa

kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan

kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan

keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan

derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk

memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan,

bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik

berangkat yang sama.22

21
Ibid, hlm. 34.
22
Ibid, hlm. 34.
21

Dari pendapat Plato, Aristoteles dan Rawls yang diuraikan diatas,

Kahar Masyhur berpendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat

tiga hal tentang pengertian adil.23

a. Adil ialah meletakan sesuatu pada tempatnya.

b. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa

kurang.

c. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa

lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang

sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum,

sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.

Sedangkan W.J.S Poerwadarminta berpendapat bahwa kata adil berarti

tidak berat sebelah atau memihak manapun tidak sewenang-wenang.24

Dengan kata lain keadilan adalah pengakuan dan memberikan perlakukan

yang secara seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada

keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.

2. Middle Theory (Teori Menengah)

Untuk teori menengahnya, penulis menggunakan teori kepastian

hukum, yang mana dalam pengertiannya kepastian adalah perihal atau

dengan kata lain keadaan yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum

secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan

adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang

dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti
23
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hlm. 71.
24
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),
hlm. 16.
22

hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan

pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.25

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.

Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang

Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman

bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan

dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.

Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan

aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.26

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat

dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis.

Jelas dalamartian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain

sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian

hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten

dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh

keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah

sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu

25
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hlm. 59.
26
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 158.
23

hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang

buruk.27

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui

apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap

individu.28

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik

yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang

cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,

karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan

aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar

menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang

hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari

aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk

mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk

kepastian.29Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang

27
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus
Istilah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 385.
28
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 23.
29
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 82-83.
24

berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-

sungguh berfungsi sebagi peraturan yang ditaati.

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan jaminan

bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik.30 Sudah tentu

kepastian hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih

diutamakan untuk norma hukum tertulis. Karena kepastian sendiri

hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. kepastian hukum ini

menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian itu sendiri

karena esensi dari keteraturan akan menyebabkan seseorag hidup secara

berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam melakukan

aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri.

Dalam hal kepastian hukum ini menurut Teubner, hukum yang dapat

memuaskan semua pihak adalah hukum yang responshif dan hukum yang

responshif hanya lahir dari jika ada demokratisasi legislasi. 31 Tanpa

demokrasi (partisipasi masyarakat) dalam proses legislasi hasilnya tidak

akan pernah melahirkan hukum yang mandiri. Hukum hanya sebagai

legitimasi keinginan pemerintah, dalam kondisi seperti itu ada tindakan

pemerintah dianggap bertentangan dengan hukum. Kepentingan-

kepentingan masyarakat menjadi terabaikan karena hukum bersifat mandiri

karena makna-maknanya mengacu pada dirinya sendiri (keadilan,

kepastian, kemanfaatan).

30
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 21.
31
Gunther Teubner, Subtantive and Reflexsive Elements in Modern Law, Law and Social
Review, Volume 17 Nomor 2. Dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), hlm. 317.
25

Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan

bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan

dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga

demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus

selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin

dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.32

Jika dikaitkan teori kepastian hukum dalam suatu perjanjian gadai

sesuai dengan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata belum

cukup kuat apabila terjadi masalah dengan barang yang dijadikan jaminan

atas perjanjian gadai tersebut, walaupun dalam Pasal 1977 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa benda bergerak yang tidak

berupa bunga maupun piutang yang tidak atas tunjuk (aan toonder), maka

siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya, dengan catatan

dalam kurun waktu 3 tahun tidak ada yang menuntut kembali barang

tersebut untuk diakui sebagai pemilik aslinya.

3. Applied Theory (Teori Terapan)

Dalam Penelitian ini, teori terapan yang digunakan adalah teori

kesejahteraan. Dalam pengertiannya negara kesejahteraan merupakan

model kebijakan negara yang mengarah kepada perlindungan sosial atau

kesejahteraan public (public welfare) melalui berbagai program seperti

kesehatan masyarakat (public health), kesejahteraan para pensiunan,

32
Ibid, hlm. 95.
26

kompensasi pengangguran, perumahan sederhana (public housing), dan

lain sebagainya.

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar

Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan

yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan

makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera

dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memiliki arti khusus

resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah

fungsi kesejahteraan sosial. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial

menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.

Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan

oleh pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi

tidak dapat bekerja, atau yang keadaannya pendapatan yang diterima untuk

memenuhi kebutuhan dasar tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan

biasanya jauh di bawah garis kemiskinan, dan juga memiliki kondisi

khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau kondisi lain, seperti

ketidakmampuan atau kewajiban menjaga anak, yang mencegahnya untuk

dapat bekerja. Di beberapa kasus penerima dana bahkan diharuskan

bekerja, dan dikenal sebagai workfare.

Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan

Sosial. Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
27

mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi

sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini

menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas

kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan

sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami

hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani

kehidupan secara layak dan bermartabat.

Dengan demikian landasan teori yang digunakan dalam melakukan

pengkajian yuridis dari perjanjian gadai ini adalah teori negara

kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan atau welfare state

yaitu suatu negara yang memberikan tunjangan jaminan sosial (social

security benefits) yang luas seperti pelayanan kesehatan negara, pensiun

negara, tunjangan sakit dan pengangguran, dan lain sebagainya.33

Pengertian mengenai negara kesejahteraan juga diberikan oleh Edi

Suharto, yaitu :

“negara kesejahteraan adalah sebuah model pembangunan yang

difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang

lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara

universal dan komprehensif kepada warganya “34

Deborah Mitchell menjelaskan welfare state dapat dilihat dari

beberapa aspek dan pendekatan, seperti kebijakan (policy), pendapatan

33
Christopher Pass dan Bryan Lowes, Collins Kamus Lengkap Ekonomi, terj. Tumpal
Rumapea dan Posman Halolo, (Jakarta: Pustaka Erlangga, 2000), hlm. 691.
34
http://portalgaruda.org/article.php?article, diakses pada tanggal 16/5/2018.
28

(inputs), produksi (production), pelaksanaan distribusi (operation), dan

hasil pelaksanaan kebijakan (outcomes).35

Paul Spicker, menjelaskan welfare state tidak hanya mencakup

deskripsi cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan

sosial (social services), tetapi juga konsep normatif bahwa setiap orang

harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.36

Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie Ide negara kesejahteraan ini

merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-

19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum

penjajah yang Kapitalis Liberalis.

Dalam perspektif hukum, Wilhelm Lunstedt berpendapat :

Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and
the condition which make possible peaceful co-existence of masses of
individuals and social groups and the coorporation for other ends
than more existence and propagation.37

Dalam pemahaman ini, Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan

bahwa untuk mencapai Social Welfare, yang pertama harus diketahui

adalah apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan

peradaban tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds

mengenai Social Welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound,

namun demikian ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan

35
http://www2.rgu.ac.uk/ publicpolicy/introduction/wsate.html, diakses pada 16/5/2018.
36
Ibid
37
Soemardi, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, (Bandung: Bee Media Indonesia, 2010), hlm. 9.
29

sebagian besar manusia yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara

layak.

Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk

berusaha dengan dalil-dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga

dapat dibuktikan bahwa ketertiban hukum harus didasarkan pada suatu

skala nilai nilai tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang

mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan

masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan

perubahan keyakinan bangsa.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Dalam melakukan penelitian ini, Metode penelitian yang digunakan

adalah penelitian Hukum Empiris, yaitu dengan menekankan pada data-

data sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum positif

yang berasal dari data kepustakaan dan perbandingan hukum, serta unsur-

unsur atau faktor-faktor yang berhubungan dengan objek penelitian

sebagai bagian dari penelitian lapangan.

Oleh karena itu titik berat penelitian tertuju pada penelitian

kepustakaan yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data

sekunder sebagai pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti

berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan lainnya dan

penerapannya dalam masyarakat.


30

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dapat ditunjukkan dengan karakteristik

penelitian hukum. Misalnya bahan atau materi penelitian hukum

didasarkan atas data dan/atau informasi yang berasal dari kasus-kasus,

studi kepustakaan, dan penelitian lapangan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yakni merupakan

penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam tesis.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pedoman penyelidikan kepustakaan, dan dapat dilakukan dengan studi

lapangan, yaitu untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui

wawancara, dengan mengadakan tanya jawab langsung kepada responden

dengan terlebih dahulu membuat kuesioner atau daftar pertanyaan sebagai

pegangan. Hal ini dapat dilakukan dengan metode/teknik wawancara.

Dalam hal lain sering juga disebut alat/teknik pengumpulan data.

Adapun cara pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian Kepustakaan atau Library Research yaitu

mengumpulkan data dan bahan-bahan lain yang memuat tulisan yang

diperlukan dalam penulisan ini. Adapun bahan-bahan yang

dipergunakan sebagai bahan penelitian mencakup:


31

1) Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari: Bahan hukum yang

mempunyai kekuatan hukum mengikat yang mencakup peraturan

yang mengatur tentang persoalan mengenai pegadaian seperti

Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pegadaian.

2) Bahan hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur atau bahan

pustaka yang berkaitan dengan pegadaian dan tulisan ilmiah lainnya

yang relevan dengan judul dan tulisan tesis ini.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan pedoman

serta petunjuk tentang pegadaian dan lain-lain.

b. Penelitian lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan atau field research adalah upaya dalam

mengumpulkan bahan hukum primer untuk memperoleh bahan hukum

yang nyata mengenai permasalahan yang akan dibahas. Dalam

pengumpulan bahan hukum ini, penulis melakukan dengan 2 cara,

yaitu:

1) Teknik wawancara

Pengumpulan melakukan wawancara secara langsung dengan

pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini.

2) Teknik analisis
32

Setelah bahan hukum yang diperlukan terkumpul, maka bahan

hukum tersebut dianalisis sesuai dengan permasalahan yang

dirumuskan dan menggunakan hukum positif yang berlaku.

4. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah lokasi dimana terdapat terjadinya

permasalahan hukum yang diteliti. Dalam hal ini lokasi penelitian

dilakukan di kantor PT. Pegadaian (Persero) cabang Jakarta Pusat.

G. Kerangka Pemikiran

Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat

besar dalam penelitian adalah kerangka berfikir. Kerangka berfikir

merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan

berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. 38

Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah kedua dalam

proses penelitian (kuantitatif) adalah mencari teori-teori, konsep-konsep dan

generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai

landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian.39 Landasan teori ini perlu

ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, memiliki alur

yang jelas, dan konsep yang tertata.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini:

38
Prof. Dr Sugiyono, metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kulaitatif dan R
& D, (Bandung: Cv. Alfa Beta, 2010), hlm. 52.
39
Ibid.
33

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir

Berdasarkan skema diatas dapat dijelaskan bahwa ketika unsur perdata

dan unsur pidana terjadi persinggungan maka hal tersebut dapat menimbulkan

dampak lain yang terjadi, antara lain: akibat hukum yang ada serta kedudukan

hukum.
34

H. Preposisi

Berdasarkan rumusan masalah:

1. Akibat hukum perjanjian gadai yang barang jaminannya berasal dari hasil

kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian (Persero) cabang Jakarta

Pusat dengan pemberi gadai. Sebagaimana diketahui bahwa hak gadai

timbul sebagai akibat dari perjanjian kredit atau pinjam uang sehingga

sebagai suatu perjanjian hak gadai juga harus memenuhi syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian yang ditentukan oleh undang-undang yaitu dalam

Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila benda gadai hasil kejahatan itu masuk ke pegadaian tetapi

tidak ada laporan dari pemilik sebenarnya, maka perjanjian gadai

berlangsung seperti biasa. Sedangkan apabila pemilik sebenarnya barang

gadai itu menuntut pengembalian benda itu dan Pegadaian melaporkan ke

Polisi atau adanya laporan pemilik barang yang sebenarnya kepada

Kepolisian, maka pemilik benda gadai yang merasa kehilangan dapat

menuntut kembali benda gadai miliknya yang telah digadaikan oleh orang

lain ke pemegang gadai dengan memperhatikan batas waktu, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata.


35

Timbulnya permasalahan yang dilakukan antara pemegang gadai dan

pemberi gadai terjadi karena kurangnya prinsip kehati-hatian dalam hal

mengenal pemberi gadai. Perjanjian gadai di PT. Pegadaian (Persero)

cabang Jakarta Pusat tersebut akan batal demi hukum karena tidak

terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian yang dimuat dalam Pasal

1320 KUHPerdata.

Barang jaminan yang dijadikan obyek gadai pada perjanjian gadai

yang merupakan perjanjian pokok adalah barang yang berasal dari hasil

kejahatan yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-

Undang sehingga mengakibatkan perjanjian gadai tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat/batal demi hukum.

2. Kedudukan hukum perjanjian gadai terhadap barang jaminan yang berasal

dari hasil kejahatan yang dilakukan antara PT. Pegadaian (Persero) cabang

Jakarta Pusat dengan pemberi gadai. Perjanjian gadai dan hak gadai yang

telah batal demi hukum karena tidak terpenuhinya unsur objektif yaitu

kausa yang halal pada kasus yang terjadi pada kantor PT. Pegadaian

(Persero) cabang Jakarta Pusat, mengakibatkan barang jaminan yang di

jadikan objek gadai khususnya yang berasal dari kejahatan berubah

kedudukan hukumnya.

Berdasarkan kasus yang diteliti pada kantor PT. Pegadaian (Persero)

cabang Jakarta Pusat dengan Pemberi gadai yang memberikan barang

jaminan berupa barang hasil kejahatan yaitu penadahan yang telah diproses

melalui jalur hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan


36

mengikat, maka pihak penerima gadai dalam hal ini PT. Pegadaian

(Persero) harus dengan rela menerima segala apapun keputusan yang

diberika oleh Hakim Pengadilan tempat perkara tersebut diproses

meskipun putusan menyatakan barang bukti diserahkan kepada pemilik

barang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai