Anda di halaman 1dari 8

TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI

NI WAYAN WINIANTI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena

menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

Penyebab taeniasis yaitu karena adanya cacing pita Taenia solium

(T.solium)/Taenia saginata (T.saginata)/Taenia asiatica (T.asiatica) di dalam

tubuh manusia (Chaterjee, 2009). Taeniasis merupakan salah satu penyakit

terabaikan (neglected disease) dan merupakan masalah di dunia yang belum

terpecahkan karena berhubungan dengan perilaku serta gaya hidup manusia

(WHO, 2011; CDC, 2013).

Kasus taeniasis dijumpai hampir di seluruh dunia.Prevalensi taeniasis di

dunia sekitar 50 juta orang, baik itu terinfeksi T.saginata, T.solium maupun

T.asiatica.Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing T. solium (WHO, 2011; CDC,

2013).Prevalensi tertinggi taeniasis ditemukan pada daerah Amerika Latin, Afrika

dan Asia (CDC, 2013).Taeniasis merupakan infeksi yang endemik termasuk di

beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand (Wandra et al., 2007),

Kamboja, Laos (WHO, 2011), Filipina dan Indonesia (CDC, 2013).

Prevalensi kejadian taeniasis di Indonesia antara 1,1% - 45,8% (Suroso et

al., 2005; Wandra et al., 2006). Empat Propinsi yang masih endemis taeniasis dan

sistiserkosis di Indonesia yaitu Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera

Utara (Depkes RI, 2012).Propinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya,

memiliki prevalensi taeniasis tertinggi sebesar 15% (Subahar et al., 2005).

1
TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 2
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Propinsi Bali memiliki prevalensi taeniasis saginata terutama di Kabupaten

Gianyar 84% yang penduduknya mengkonsumsi daging sapi (Wandra et al.,

2006) dan taeniasis solium di Kabupaten Karangasem 6,4% yang mayoritas

penduduknya mengkonsumsi daging babi (Ito et al., 2013), sedangkan di

Sumatera Utara prevalensi taeniasis yaitu taeniasis asiatica yang dilaporkan 2,2%

(Wandra et al., 2006). Beberapa daerah, seperti Bali dan Papua masih mempunyai

kebiasaan mengkonsumsi daging terutama daging babi yang mentah atau yang

tidak di masak sempurna/kurang matang (Margono et al., 2006; Suroso et al.,

2006).

Propinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu memiliki 9

Kabupaten/Kota, dari 9 Kabupaten/Kota tersebut kejadian taeniasis tertinggi di 4

Kabupaten yaitu Kabupaten Gianyar, Karangasem, Badung dan Denpasar.

Kabupaten Gianyar mempunyai kejadian tertinggi untuk kasus taeniasis saginata

dan Kabupaten Karangasem tertinggi untuk taeniasis solium (Wandra et al.,

2007).Kasus taeniasis relatif sedikit, namun penderita taeniasis (carrier taeniasis

solium) merupakan salah satu sumber penularan terjadinya sistiserkosis terutama

neurosistiserkosis pada diri penderita, anggota keluarga atau orang terdekat (Salim

et al., 2009). Penemuan penderita taeniasis baik yang simptomatis atau

asimptomatis terutama taeniasis solium, akan mencegah terjadinya

sistiserkosis/neurosistiserkosis yang gejala klinisnya lebih berat dibandingkan

taeniasis (Chaterjee, 2009). Dekade ini, penelitian taeniasis jarang dilakukan

karena daerah yang berisiko terkena taeniasis hanya daerah yang penduduknya

makan daging mentah atau kurang matang yang merupakan faktor risiko utama
TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 3
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

serta karena gejala klinis asimptomatis sehingga sulit di deteksi (Ito et al.,

2004).Diagnosis taeniasis yang paling sering dilakukan yaitu dengan pemeriksaan

tinja secara mikroskopis.Pemeriksaan ini sederhana dan juga hasil yang

didapatkan cukup cepat meskipun perlu ketelitian dalam pemeriksaan. Metode

pemeriksaan yang paling sering digunakan dan hasilnya cukup baik yaitu dengan

metode pengapungan, meskipun pemeriksaan serologi atau molekular yang paling

sensitif (Sah et al., 2013).

Data taeniasis terbaru dari seminar internasional taeniasis/sistiserkosis

yang diadakan di Bali menunjukkan sebanyak 110 kasus taeniasis solium (6,4%)

di Kabupaten Karangasem tepatnya di Kecamatan Kubu ditemukan dari tahun

2002-2010 (Ito et al., 2013). Pada tahun 2011-2013, 11 kasus taeniasis juga

ditemukan di Kecamatan Kubu, Karangasem, dimana 7 diantaranya langsung

mengeluarkan cacing T. solium. Penelitian lain, pada ternak babi di Kabupaten

Karangasem pada tahun 2013 didapatkan 64 babi (9,37%) terinfeksi kista atau

larva sistiserkus selulosa, hal tersebut merupakan faktor risiko utama terjadinya

taeniasis apabila daging yang terinfeksi tersebut dimakan dan diolah tidak

sempurna (Dharmawan et al., 2014).

Daerah Kubu dari penelitian taeniasis terdahulu tersebut terletak di sebelah

timur Gunung Agung. Penelitian taeniasis terutama untuk mendapatkan carrier

taeniasis dilakukan di daerah tersebut awalnya karena didapatkan 1 orang anak

usia 9 tahun dengan ocular cysticercosis (Ito et al.,2013). Penemuan kasus

sistiserkosis pada mata tersebut tentu erat kaitannya dengan taeniasis.Penelitian

mengenai taeniasis yang dilakukan belum mencakup seluruh wilayah terutama


TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 4
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

wilayah di sebelah timur Gunung Agung yang terkenal dengan lahannya yang

gersang dan sulit untuk mendapatkan air saat musim kemarau serta masih adanya

beberapa ternak babi ataupun sapi yang tidak dikandangkan atau liar saat musim

tersebut (Ito et al., 2013).

Pemilihan tempat penelitian di Desa Datah, karena Datah merupakan

daerah berdekatan dan mempunyai kemiripan dengan daerah Kubu, juga berada di

sebelah timur Gunung Agung dan termasuk daerah lahan gersang. Penduduk di

daerah ini juga sulit mendapatkan air saat musim kemarau.Mayoritas mata

pencaharian penduduk adalah peternak. Kepemilikan ternak babi yaitu 9.800 ekor

dan ternak sapi 3.600 ekor dari seluruh penduduk Datah.Ternak tersebut biasanya

dilepas terutama pada musim kemarau sehingga untuk pakan ternak tersebut

menyesuaikan dengan lingkungan. Sanitasi lingkungan tiap penduduk bervariasi

ada yang cukup baik namun masih ada yang kurang (Pemkab Karangasem, 2013).

Survei tahun 2011-2013 yang pernah dilakukan dengan pemeriksaan feses

didapatkan 10 kasus tetapi hanya di 1 dusun yaitu Bingin, namun belum

mencakup 14 dusun di desa tersebut (Dinkes Kabupaten Karangasem, 2013).

Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi daging mentah atau setengah

matang, terutama lawar babi (campuran sayur nangka berisi parutan kelapa,

daging/kulit babi setengah matang bahkan ada yang berisi darah babi mentah) dan

babi guling (babi yang di masak di atas bara api dengan cara diguling) masih

banyak terutama di daerah pedesaan/pedalaman Karangasem termasuk juga di

daerah Datah. Lawar babi dan babi guling yang dikonsumsi merupakan suatu

tradisi serta kebiasaan masyarakat/adat-istiadat setempat, yang dari dulu tidak


TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 5
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pernah ditinggalkan. Kebiasaan memotong ternak babi dari hasil ternak untuk

upacara keagamaan dan hajatan secara bersama-sama di Banjar ataupun ternak

lain sering tanpa melalui tempat pemotongan hewan (TPH) yang legal dan juga

masih adatanpa melalui pemeriksaan kesehatan pada ternak tersebut. Beberapa

masyarakat di perkotaan yang masih dekat dengan Desa Datah juga mempunyai

kebiasaan mengkonsumsi daging yaitu Kelurahan Karangasem, di daerah tersebut

untuk mendapatkan daging yang di konsumsi dengan cara membeli daging di

pasar, dimana daging yang di beli dari pasar pada umumnya berasal dari tempat

pemotongan hewan yang legal dan secara berkala satu kali seminggu dilakukan

pemeriksaan kesehatan pada hewan ternak tersebut. Selain itu masyarakat di

daerah tersebut mata pencaharian bukan peternak melainkan pedagang (Pemkab

Karangasem, 2013). Persamaan dan perbedaan dua daerah tersebut menyebabkan

peneliti ingin mengetahui faktor risiko taeniasis pada 2 populasi tersebut yaitu

masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil ternak sendiri dengan

masyarakat yang mengkonsumsi daging dari hasil membeli di pasar.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hubungan antara konsumsi daging (jenis daging, cara

pengolahannya, frekuensi mengkonsumsinya serta cara memperoleh daging

hasil ternak pribadi dan membeli di pasar/TPH) dengan kejadian taeniasis?

2. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis kelamin,

pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian taeniasis?

3. Bagaimanakah hubungan antara faktor lingkungan (kepemilikan jamban,

tempat defekasi/buang air besar, kepemilikan SPAL (sistem pembuangan air


TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 6
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

limbah), kepemilikan ternak dan kandang untuk ternak serta pakan ternak)

dengan kejadian taeniasis?

I.3 Tujuan Penelitian

I.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor risiko taeniasis baik pada masyarakat yang

mengkonsumsi daging dari hasil ternak pribadi dengan masyarakat yang

mengkonsumsi daging dari membeli di pasar/TPH.

I.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara konsumsi daging (cara

pengolahan, frekuensi mengkonsumsinya serta konsumsi daging hasil

ternak pribadi dan membeli) dengan kejadian taeniasis.

2. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu (umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian taeniasis.

3. Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (kepemilikan

jamban, tempat defekasi/BAB, kepemilikan SPAL, kepemilikan

kandang untuk ternak dan pakan ternak) dengan kejadian taeniasis.

I.4 Manfaat Penelitian

I.4.1 Manfaat bagi peneliti dan klinisi

Memberi informasi mengenai faktor risiko terjadinya taeniasis sehingga

bisa dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.


TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 7
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

I.4.2 Manfaat bagi masyarakat

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara

taeniasis dengan faktor-faktor risikonya baik faktor risiko langsung

maupun tidak langsung.

2. Memberikan gambaran taeniasis di masyarakat serta kompensasi

kepada masyarakat berupa pengobatan sebagai tindak lanjutnya.

I.4.3 Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Memberikan informasi tentang hubungan faktor risiko baik langsung dan

tidak langsung dengan kejadian taeniasis.

I.4.4 Manfaat bagi pemerintah

1. Sebagai acuan untuk penentuan prioritas masalah kesehatan di

Kabupaten Karangasem, Bali pada khususnya dan Indonesia pada

umumnya.

2. Untuk memberikan masukan pada pemerintah daerah setempat dan

instansi terkait untuk program kesehatan khususnya Taeniasis.

I.5 Keaslian Penelitian

Penelitian serupa yang pernah dilakukan yaitu survei seroepidemiologi

taeniasis-sistiserkosis di 4 daerah di Papua (Salim et al., 2009), Desain yang

digunakan cross sectional.Metode diagnosis yang digunakan yaitu pemeriksaan

feses, coproantigen dan seroantibodi. Hasil penelitian taeniasis di 4 daerah

tersebut masing-masing di Jayawijaya 7%, Paniai 9,6%, Pegunungan Bintang

10,7% dan Puncak Jaya 1,7%. Pada penelitian ini, dilakukan studi faktor risiko

taeniasis dengan desain case control pada daerah yang berbeda, dengan
TAENIASISDI KABUPATEN KARANGASEM BALI
NI WAYAN WINIANTI 8
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pemeriksaan feses secara mikroskopis menggunakan metode langsung dan

pengapungan.

Penelitian lain di Kubu, Karangasem tahun 2002-2010 yaitu situasi terkini

taeniasis di Bali (Ito et al., 2013). Desain yang digunakan cross sectional. Metode

diagnosis dengan pemeriksaan feses langsung secara mikroskopis, serologi

(ELISA) dan molekular (PCR). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 110 kasus

(6,4%). Berbeda dengan penelitian tersebut, pada penelitian ini daerah yang

diteliti yaitu Desa Datah dan Kelurahan Karangasem, desain yang digunakan yaitu

case control dan metode diagnosisnya yaitu dengan pemeriksaan feses metode

langsung dan pengapungan, tanpa pemeriksaan serologi dan molekular. Selain itu

juga dicari hubungan faktor risiko dengan kejadian taeniasis.

Anda mungkin juga menyukai