Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH INTERAKSI OBAT

PROSPEK KLINIK INTERAKSI OBAT

DOSEN:
Dra. Refdanita, M.Si., Apt.

DISUSUN OLEH:
Vidya Retno Prabandari 17334020

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


Program Studi Farmasi-P2K
Jakarta
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas rahmatNya penyusun dapat menyelesaikan makalah “Prospek
Klinik Interaksi Obat” yang dibuat sebagai salah satu tugas untuk memenuhi
persyaratan dalam mata kuliah Interaksi Obat.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan
tentang Interaksi Obat, baik bagi para pembaca pada umumnya maupun bagi
penyusun khususnya.
Penyusun juga menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab, itu penyusun
mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan
penyusun buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Interaksi Obat yaitu Ibu Dra. Refdanita, M.Si.,Apt yang telah memberikan
kesempatan untuk menyusun makalah ini dengan baik.
Akhir kata penyusun ucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.

Jakarta, September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
a. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
b. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
c. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1 Pengertian Interaksi Obat ........................................................................................... 3
2.2 Morfologi Protozoa ....................................................................................................
3 Fisiologi Protozoa ......................................................................................................
4 Adaptasi Protozoa ......................................................................................................
5 Peranan Protozoa ........................................................................................................
6 Klasifikasi Protozoa ...................................................................................................
7 Reproduksi Protozoa ..................................................................................................
8 Contoh Penyakit yang disebabkan Protozoa yang dapat ditularkan ke manusia .......
9 Tabel Protozoa yang patogen untuk manusia.............................................................
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................................................
BAB IV PENUTUP .............................................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................................................
B. Saran .........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Topik interaksi obat telah menjadi perhatian yang besar di bidang
kesehatan di seluruh dunia. Setiap tahunnya semakin banyak obat baru
yang diperkenalkan sehingga meningkatkan jumlah laporan interaksi obat
yang baru dalam pengobatan. Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu
obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan
bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau
berubah (Syamsudin, 2011). Interaksi obat bukan hanya terjadi antara obat
dengan obat yang lain tetapi juga dengan makanan, pengobatan herbal,
mikronutrien dan obat injeksi dengan kandungan infus (interaksi obat di
luar tubuh).
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat
adanya obat lain (precipitant drug), makanan dan minuman. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek yang dikehendaki (Desirable Bueuour
Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug
Interaetions) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau
toksisitas karena meningkatnya kadar obat dalam plasma atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan haşil terapi
nenjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran
setiap tahunnya nenyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan
semakin sering.
Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi
kerentanan pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap
interaksi obat antara lain : pasien usia lanjut, pasien yang minum lebih dari
1 macam obat, pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal,
pasien dengan penyakit akut, tidak stabil dan mempunyai karakteristik
genetik tertentu serta pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter.

1
Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50 % hingga 60 %.
Obat-obat yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika
menunjukkan prevalensi sekitar 5 % hingga 9 %. Sekitar 7 % efek samping
pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat. Interaksi obat
bisa terjadi baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Pasien yang
beresiko tinggi mengalami interaksi obat pasien dengan penyakit kronis,
pasien lanjut usia, anak-anak di bawah 5 tahun dan wanita (Sharifi, 2013).
Interaksi obat merupakan kesalahan pengobatan yang sebenarnya dapat
dicegah yang dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan (adverse
effects) dan kematian. Salah satu penyebab utama terjadinya interaksi obat
adalah polifarmasi atau penggunaan lebih dari satu macam obat untuk
pengobatan pasien. Namun polifarmasi juga tidak bisa dihindari pada
pasien dengan penyakit tertentu seperti penyakit ginjal kronis dan gagal
jantung kongestif. Pasien geriatri juga pengobatannya menggunakan
beberapa macam obat sehingga sangat berpotensi menyebabkan interaksi
obat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu interaksi obat, penyebab dan faktor-faktor yang
menyebabkan interaksi obat?
2. Bagaimana jenis-jenis interaksi obat?
3. Bagaimana dampak klinis interaksi obat?
4. Bagaimana mekanisme penanganan interaksi obat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi, penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan
interaksi obat.
2. Mengetahui jenis-jenis interaksi obat.
3. Mengetahui dampak klinis interaksi obat.
4. Mengetahui mekanisme penanganan interaksi obat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Interaksi Obat


Salah satu Drug Related Problems (DRPs) yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien adalah interaksi obat. Penggunaan
obat rasional di Indonesia masih merupakan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Adanya polifarmasi seperti penulisan obat dalam resep yang
berjumlah 4 atau lebih dengan presentasi diatas 50%, antibiotika yang
penggunaannya berlebihan (43%), tersedianya waktu konsultasi yang
rata-rata berkisar 3 menit saja sehingga dirasa sangat singkat serta tidak
adanya kepatuhan (Syamsudin, 2011).
Kejadian yang dialami pasien dan merupakan kejadian yang tidak
diinginkan terkait terapi obat baik yang secara nyata maupun potensial
berpengaruh pada kesembuhan pasien disebut Drug Related Problems
(Christina et al. 2014). Pada peresepan yang diberikan oleh dokter,
sering ditemukan kejadian Drug Related Problems yang salah satunya
adalah iteraksi obat. Interaksi obat diakibatkan adanya kejadian efek
suatu obat diubah akibat adanya obat lain, semisal obat herbal, makanan,
minuman atau agen kimia lainnya dalam suatu lingkungan (Baxter,
2008).
Meningkatnya kejadian interaksi obat bisa disebabkan makin
banyaknya obat yang digunakan ataupun makin seringnya penggunaan
obat (polipharmacy atau multiple drug therapy). Farmasis yang
mempunyai pengetahuan farmakologi dapat berperan untuk mencegah
interaksi obat akibat kombinasi obat dengan efek yang tidak diinginkan
(Gapar, 2003).
Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Menurut
Stockley, interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan

3
kehadiran obat lain, obat tradisional, makanan, minuman atau oleh suatu
zat kimia. Interaksi obat bisa juga terjadi di luar tubuh misalnya reaksi
fisiko-kimia yang terjadi pada obat yang dicampur dengan cairan
intravena yang menyebabkan obat tersebut mengendap atau mengalami
inaktivasi.
Efek dari interaksi obat bisa meningkatkan atau mengurangi
aktivitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki obat tersebut
sebelumnya. Penurunan efek obat karena interaksi dapat berbahaya bagi
pasien misalnya pemberian warfarin dengan rifampisin dapat
menurunkan kadar warfarin dalam darah sehingga dosis warfarin harus
ditingkatkan. Namun ada juga interaksi obat yang meningkatkan efek
suatu obat dan memberi efek menguntungkan. Misalnya pemberian obat
antihipertensi bersama dengan diuretik.
Resep yang banyak memungkinkan tenaga farmasis tidak terlalu
teliti dalam melakukan proses evaluasi interaksi obat, sehingga item
obat yang dituliskan diresep tidak dilakukan review secara teliti
mengenai kejadian interaksi obat. Pencegahan kejadian medication error
dapat dilakukan sejak dini dengan menggunakan aplikasi smartphone
Medscape (Drug Interaction Checker) yang merupakan aplikasi global
online berbasis dan aplikasi Medscape (Drug Interaction Checker) serta
Ebook Stockley’s Drug Interactions Edisi 8 Tahun 2008 memberikan
kemudahan bagi tenaga farmasis dalam melakukan analisis interaksi
obat secara cepat dan efektif.

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Obat


Tingkat keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien
satu dengan yang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan
pasien terhadap interaksi obat antara lain :
1. Faktor yang berkaitan dengan Pasien (Patient-Related Factor)
Faktor yang berkaitan dengan pasien termasuk klirens obat pada
pasien tertentu, usia, faktor genetik, jenis kelamin, penyakit yang

4
diderita, faktor lingkungan dan makanan. Interaksi obat menjadi
sangat penting pada pasien dengan usia lanjut atau usia yang sangat
muda seperti bayi dan anak-anak, pasien dengan sistem imunitas
yang lemah, pasien yang menerima pengobatan yang berkaitan atau
untuk mempengaruhi sistem kardiovaskular atau sistem saraf pusat,
dan juga pasien dengan penyakit kronis, banyak penyakit dan juga
pasien yang mengalami kegagalan ginjal atau hati. Pasien yang baru
saja mengalami transplantasi, pasien dengan penyakit yang parah,
dan penyakit yang berhubungan dengan AIDS juga lebih rentan
untuk terjadinya interaksi obat.
Pada usia lanjut, adanya perubahan pada fase disposisi obat,
penyakit yang banyak dan penggunaan obat yang bermacam-macam
meningkatkan resiko interaksi obat. Demikian juga sulit untuk
mengingat waktu penggunaan obat yang banyak pada waktu yang
berbeda. Hal-hal ini cenderung menyebabkan penggunaan obat yang
tidak sesuai. Situasi ini diperparah jika obat-obat OTC (over the
counter) juga digunakan oleh pasien. Secara umum angka kejadian
efek samping obat akibat interaksi obat pada usia lanjut mencapai 2
kali lipat kelompok usia dewasa.
Pada sebuah studi yang melibatkan sebanyak 287.074 veteran,
obat-obat yang umumnya berpotensial menyebabkan interaksi obat
yang merugikan adalah verapamil, metrotrexat, amiodaron, litium,
warfarin, siklosporin dan itrakonazol (Roughhead,2010). Manifestasi
interaksi obat pada usia lanjut termasuk halusinasi dan gejolak
psikomotor yang disebabkan oleh interaksi antara venlafaksin dan
propafenon, gangguan psikis akibat interaksi antara natrium valproat
dan levetiracetam dan terjadinya blood dyscrasia akibat pemberian
bersama fenobarbital dan lamotrigin pada pasien epilepsi.
Usia yang rentan juga terhadap interaksi obat adalah anak-anak.
Pada pasien yang berusia di bawah 5 tahun interaksi obat juga
berpotensi terjadi akibat sistem enzimatik metabolik yang belum

5
sempurna sehingga dapat menyebabkan akumulasi obat. Klirens obat
pada anak-anak umumnya lebih cepat sehingga jika proses
metabolism obat berubah maka meningkatkan resiko toksisitas.
Resiko toksisitas teofilin akibat inhibisi metabolismenya oleh
makrolida lebih tinggi pada anak-anak dibanding orang dewasa.
Penyakit mempunyai akibat pada interaksi obat, karena sitokin,
transporter obat dan enzim bisa mengalami perubahan selama proses
infeksi dan proses lainnya. Sebagai contoh, aktivitas transporter P-
glikoprotein menurun pada pasien yang mengalami operasi usus
kecil, dan enzim mikrosomal hepatic CYP3A4 bisa dipengaruhi jika
pasien menderitas sirosis hati.

2. Faktor Khusus dari Obat (Drug-Specific Factors)


Termasuk di dalamnya sifat kinetic dan dinamik yang khusus
dari obat, jumlah obat yang diresepkan, dosis, waktu, formulasi dan
rute pemberian. Konsultasi atau pemeriksaan pada beberapa dokter,
penggunaan bebas dari obat alternatif dan penggunaan obat yang
termasuk kelompok yang menyebabkan interaksi obat menyebabkan
peningkatan kemungkinan interaksi obat. Angka kejadian interaksi
obat meningkat dengan jumlah obat yang diterima oleh pasien. Telah
dilaporkan bahwa resiko interaksi obat meningkat cukup pesat ketika
obat yang diberikan melebihi empat, dan angka kejadian interaksi
obat yang signifikan secara klinis mencapai lebih dari 20 % ketika
jumlah obat yang diberikan 10 sampai 20 obat.
Peresepan dan pencampuran bisa menyebabkan pasangan
obat berpotensial berinteraksi yang merugikan. Sebuah studi
menemukan bahwa obat presipitan yang umum diresepkan di sarana
pelayanan kesehatan primer adalah golongan AINS dan antibiotik,
khususnya rifampisin. Obat dengan indeks terapi sempit atau rendah
lebih mudah menjadi objek interaksi obat yang serius. Obat objek
yang sering digunakan yang menyebabkan interaksi obat termasuk

6
warfarin, fluorokuinolon, antiepilepsi, antikontrasepsi, cisaprid, dan
3 hidroksi-3 dimana obat-obat ini terlibat pada interaksi obat harus
diberikan ‘bendera merah” termasuk warfarin, siklosporin,
eritomisin, antifungi azol, PI (inhibitor protease HIV) dan inhibitor
HMG CoA- reduktase (statin).
Penelitian sebelumnya, sebagai tambahan, mengatakan
bahwa interaksi obat, secara klinis relevan dengan obat-obat yang
mempengaruhi fungsi tubuh (antihipertensi, antidiabetes dan
antikoagulan) dan obat memiliki kinetika jenuh, metabolisme lintas
pertama tinggi atau memiliki rute eliminasi tunggal yang dapat
dihambat. Beberapa faktor farmakokinetik juga dapat menjadi
penyebab interaksi obat. Obat dengan ikatan protein plasma yang
tinggi, obat yang sebagian dimetabolisme oleh isoform CYP3A4 dan
obat yang mana menjadi penginduksi atau penghambat sistem enzim
CYP450 pada umumnya cenderung menyebabkan interaksi obat.

2.3 Penyebab Terjadinya Interaksi Obat


1. Polifarmasi
Merupakan hal yang umum sekarang ini untuk meresepkan banyak
obat sekaligus yang sering disebut sebagai polifarmasi.
2. Pasien berkonsultasi pada beberapa dokter
Terkadang pasien tidak puas dengan satu dokter saja dan bisa
berkonsultasi dengan dokter lain tanpa menginformasikan hasil
konsultasinya pada dokter pertama.
3. Polifarmasi yang irasional, penggunaan bersamaan obat yang
diresepkan dan obat yang tidak diresepkan
Pasien bisa menggunakan Aspirin dan antasida yang bisa diperoleh
tanpa resep dokter. Jika pasien tersebut juga meminum obat yang
diresepkan dokter seperti digoksin dan tetrasiklin, interaksi obat bisa
terjadi.

7
4. Ketidakpatuhan pasien
Kadang-kadang pasien tidak mematuhi aturan yang diberikan oleh
dokter atau apoteker dan mengonsumsi bahan makanan yang dilarang.
Sebagai contoh keju dengan monoamine oxidase inhibitors, hal ini
bisa menyebabkan krisis hipertensi yang parah.

2.4 Mekanisme Interaksi Obat


Terdapat beberapa mekanisme bagaimana obat bisa berinteraksi, tetapi
sebagian besar dapat dikelompokkan menjadi interaksi farmakokinetik
(absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), interaksi farmakodinamik atau
interaksi gabungan. Pengetahuan tentang mekanisme interaksi obat terjadi
berguna secara klinis, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu
dan metode mencegah atau mengatasi interaksi. Beberapa interaksi obat
muncul sebagai hasil dari dua atau lebih mekanisme.
1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi obat farmakokinetik terjadi ketika terdapat perubahan pada


absorpsi, distribusi, biotransformasi atau eliminasi satu atau lebih
obat. Absorpsi obat di saluran cerna bisa dipengaruhi oleh
penggunaan bersamaan zat lain yang :

 Memiliki luas permukaan yang luas dimana obat bisa diserap


 Mengikat atau khelat
 Mengubah pH lambung
 Mengubah motilitas saluran cerna
 Mempengaruhi protein transport seperti P-glikoprotein

Kita harus membedakan antara efek pada kecepatan absorpsi


dan efek pada jumlah yang diabsorpsi. Pengurangan pada kecepatan
absorpsi obat jarang penting bagi klinis, sedangkan pengurangan
jumlah yang diabsorpsi akan penting secara klinis jika hal tersebut
menghasilkan kadar serum yang dibawah kadar yang menghasikan
efek terapeutik.

8
Mekanisme yang mempengaruhi distribusi obat termasuk :
 Kompetisi pengikatan protein plasma
 Pemindahan dari ikatan jaringan tempat aksi
 Perubahan pada penghalang jaringan local, contohnya :
penghambatan P-glikoprotein pada sawar darah-otak.

Meskipun kompetisi ikatan protein plasma dapat meningkatkan


konsentrasi bebas dari obat yang dipindahkan dalam plasma,
peningkatan itu hanya terjadi sementara saja karena peningkatan ini
akan seimbang pada fase disposisi obat. Pentingnya pemindahan
ikatan protein telah dilebih-lebihkan; penelitian terbaru menyatakan
bahwa interaksi tersebut tidak menghasilkan efek samping.
Penggantian dari ikatan jaringan akan menyeimbangkan konsentrasi
darah.
Metabolisme obat bisa distimulasi atau dihambat oleh terapi
obat yang sedang diterima. Induksi isozim sitokrom CYP450 pada
hati dan usus kecil dapat disebabkan oleh obat-obat seperti
barbiturat, bosentan, karbamazepin, efavirenz, nevirapin, fenitoin,
primidon, rifampisin, rifabutin. Penginduksi enzim juga bisa
meningkatkan aktivitas metabolism fase II seperti glukoronidasi.
Induksi enzim tidak terjadi secara cepat, maksimal efek akan terjadi
setelah 7-10 hari dan membutuhkan waktu yang sama atau lebih
panjang untuk menghilangkannya setelah penginduksi enzim
dihentikan. Rifampisin contohnya, bisa menginduksi enzim setelah
pemberian beberapa dosis. Inhibisi metabolisme umumnya terjadi
lebih cepat dari induksi enzim dan bisa terjadi segera setelah
konsentrasi inhibitor dalam jaringan yang cukup tercapai.
Bagaimanapun, jika waktu paruh dari obat yang dipengaruhi
panjang, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak
serum yang baru bisa satu minggu atau lebih.
Obat-obatan yang bisa menghambat metabolism CYP450 dari
obat lain termasuk amiodaron, androgen, atazanavir, kloramfenikol,

9
simetidin, siprofloksasin, klaritromisin, siklosporin, delavirdin,
diltiazem, difenhidramin, disulfiram, enoksasin, eritromisin,
flukonazol, fluvoksamin, senyawa dalam sari buah anggur, indinavir,
isoniazid, itrakonazol, ketokonazol, metronidazol, meksiletin,
mikonazol, nefazodon, omeprazol, paroksetin, propoksifen, kuinidin,
ritonavir, sulfametizol, verapamil, vorikonazol, zafirlukas, dan
zileuton.
Ekskresi renal dari obat aktif bisa dipengaruhi oleh terapi obat
yang sedang digunakan. Ekskresi renal obat-obat tertentu yang
merupakan asam lemah atau basa lemah bisa dipengaruhi oleh obat
lain yang menyebabkan perubahan pH urin. Hal ini disebabkan oleh
perubahan ionisasi obat. Untuk beberapa obat, sekresi aktif ke dalam
tubula renal merupakan rute eliminasi yang penting. ABC P-
glikoprotein transporter berperan dalam sekresi aktif tubular untuk
beberapa obat dan penghambatan terhadap transporter ini bisa
menghambat eliminasi renal yang berakibat peningkatan konsentrasi
obat dalam serum.

2. Mekanisme Farmakodinamik
Ketika dua obat atau lebih yang memiliki efek farmakologik
yang sama diberikan secara bersamaan, respon aditif atau sinergistik
biasanya terlihat. Dua obat bisa saja atau tidak memberi aksi pada
reseptor yang sama untuk menghasilkan efek tersebut. Sebaliknya,
obat-obat dengan efek farmakologik berlawanan bisa menurunkan
respon salah satu atau kedua obat. Interaksi obat farmakodinamik
merupakan hal yang umum dalam praktek klinis, tetapi efek samping
yang terjadi umumnya bisa diminimalkan jika kita mengerti
farmakologi setiap obat yang digunakan. Dengan cara demikian
interaksi-interaksi bisa diantisipasi dan pengukuran yang sesuai bisa
diambil :

10
a. Interaksi Aditif atau Sinergis
Ketika aksi suatu obat difasilitasi atau ditingkatkan oleh obat
yang lain fenomena in disebut sinergisme dan kombinasi ini
disebut kombinasi sinergis. Sinergisme antara dua obat bisa
terjadi dengan cara yang berbeda-beda.
Ketika dua obat dengan efek sama digunakan bersamaan
terjadi efek adisi, penambahan efek dari dua obat. Contoh yang
umum terjadi termasuk penambahan efek analgesik dari dua
obat analgesic, adisi depresi sistem saraf pusat pada penggunaan
bersamaan dua obat atau lebih depresan sistem saraf pusat atau
penambahan efek blockade neuromuscular dari relaksan otot
rangka dan antibiotik aminoglikosida. Istilah “efek supra-aditif”
biasanya digunakan ketika efek kombinasi menjadi lebih besar
daripada jumlah efek obat ketika ditambahkan. Contohnya
adalah kotrimoksazol, kombinasi trimetoprim dan
sulfametoksazol. Dua obat ini berkhasiat sebagai bakteriostatik
tetapi kombinasi keduanya menghasilkan efek bakterisidal
dengan blokade dari dua tahap sintesis asam folat pada
mikroorganisme.
Contoh lain dari kombinasi sinergis termasuk kombinasi
kontrasepsi oral estrogen-progestin, kombinasi nitrat-propanolol
untuk profilaksi angna atau kombinasi antihipertensi dari
hidroklorotiazida-enalapril. Pada situasi seperti ini, dua obat
yang dikombinasi biasanya memiliki efek yang sama atau
mekanisme yang bervariasi tetapi memiliki tujuan yang sama.
Selain itu ada juga contoh interaksi dari obat yang tidak
memiliki peran langsung dalam memberikan efek, tetapi dapat
meningkatkan atau memfasilitasi aksi atau efek dari obat lain,
yaitu obat utama untuk tujuan yang spesifik. Contohnya
kombinasi levodopa-karbidopa, dimana karbidopa bukan obat
antiparkinson tetapi memfasilitasi dan menolong aksi dari

11
levodopa. Karbidopa adalah inhibitor dekarboksilase dopa
peripheral dan mencegah kegagalan peripheral levodopa
sehingga lebih banyak levodopa yang mencapai otak.
Penggunaan sulbaktam atau asam klavulanat (inhibitor beta
laktamase) untuk mencegah rusaknya ampisilin atau amoksisilin
merupakan contoh lain dimana inhibitor beta-laktamase tidak
memiliki aksi antimikroba tetapi memfasilitasi efek dari
antibiotik β-laktam. Contoh-contoh di atas merupakan
sinergisme obat atau potensiasi. Jadi istilah sinergisme dan
potensiasi dipertimbangkan dengan implikasi umum dari efek
menguntungkan yang dihasilkan ketika dua zat atau obat
digunakan sebagai kombinasi, tidak tergantung apakan kedua
komponen tersebut memiliki efek yang sama atau tidak.
b. Interaksi obat antagonis (Antagonistic drug interactions)
Interaksi obat antagonis bisa bersifat farmakologi seperti
antagonis kompetitif atau non-kompetitif dan jenis lain dari
interaksi obat antagonis bisa antagonis non-farmakologi atau
antagonis non-reseptor, dimana interaksi antara dua obat tidak
terjadi pada tingkat reseptor, tetapi dua obat tersebut
menghasilkan efek yang berlawanan dengan cara antagonis
fisik, kimia atau fisiologik.
- Antagonis reseptor kompetitif :
Dua obat dikombinasikan dan bersaing untuk berikatan
pada reseptor yang sama. Salah satu obat merupakan agonis
yang memiliki aktivitas intrinsik, dan yang lain merupakan
antagonis yang memiliki aktivitas intrinsik yang lemah.
Keduanya bersaing untuk menempati reseptor yang sama
dan menggantikan salah satu dari reseptor tersebut.
Interaksi berdasarkan antagonis kompetitif secara luas
digunakan untuk penanganan overdosis atau keracunan
senyawa tertentu, yang spesifik untuk reseptor tertentu

12
sehingga aksinya dapat dibalikkan dengan menggunakan
antagonis kompetitif untuk reseptor yang sama. Salah
satunya adalah penggunaan nalokson pada overdosis akut
opiat, flumazenil pada overdosis akut benzodiazepine atau
atropine pada keracunan senyawa organofosfat. Senyawa
organofosfat adalah senyawa antikolinesterase yang
mengkumulasikan asetilkolin sehingga atropin digunakan
sebagai antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik
muskarinik.
- Nonkompetitif antagonis reseptor :
Kombinasi diazepam-bikukulin atau norepinefrin-
fenoksibenzamin adalah contoh dari nonkompetitif
antagonis.
- Antagonis non-reseptor atau non-farmakologi :
Antagonis fisiologik, fisika dan kimia adalah berbagai jenis
dari antagonis tipe ini. Dua obat berinteraksi tidak pada
tingkat reseptor yang sama tetapi dengan mekanisme yang
lain seperti yang dijelaskan di bawah ini. Antagonis
fisiologis : Ketika dua obat menghasilkan efek berlawanan
pada sistem atau jaringan atau fungsi fisiologis yang sama.
Hidroklorotiazida dan triamteren walaupun tidak saling
berkompetisi pada reseptor yang sama, tetapi dengan
mekanismenya masing-masing menghasilkan efek yang
berlawanan pada eksresi kalium urin. Sama halnya dengan
glucagon dan insulin memiliki efek yang berlawanan pada
kadar gula darah. Antagonis kimia : Dua obat berinteraksi
satu sama lain melalui reaksi kimia. Kalium permanganat
digunakan pada kasus keracunan alkaloid karena
mengoksidasi alkaloid yang tidak terserap di lambung.
Hal yang sama juga terjadi ketika tannin digunakan
pada kasus tersebut. Tanin menyebabkan reaksi kimia dan

13
membentuk tanat-alkaloid yang tidak larut sehingga
mencegah absorpsi dari alkaloid. Dimerkaprol membentuk
khelat dengan logam berat arsen dan berguna untuk
keracunan arsen. Pada overdosis akut besi, desferioksamin
digunakan untuk mengkhelat besi. Nitrat bereaksi secara
kimia dengan radikal sianida untuk membentuk
methemoglobin, dan berguna untuk penanganan keracunan
sianida.
Walaupun terjadi di luar tubuh, antagonis antara
heparin-penisilin, heparin-tetrasiklin dan lainnya bisa
disebut sebagai antagonis kimia karena terjadi reaksi kimia
antara dua obat tersebut.
Antagonis fisika : Pada antagonis ini, terjadi
fenomena fisika atau reaksi fisika antara dua obat atau zat.
Reaksi fisika termasuk pengikatan atau adsorpsi. Adsorpsi
alkaloid di lambung oleh karbon aktif adalah contoh
antagonis fisika sehingga karbon aktif digunakan untuk cuci
lambung ketika terjadi keracunan alkaloid.
3. Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Ada dua obat yang berinteraksi baik dengan mekanisme
farmakokinetika dan farmakodinamika. Aspirin menggantikan
warfarin dari ikatan protein plasma dan menaikkan kadar warfarin
yang meningkatkan efeknya, yang merupakan efek farmakokinetik.
Sebagai tambahan, efek antiplatelet dari aspirin dan efek
antikoagulan dari warfarin berpotensiasi satu sama lain pada tingkat
farmakodinamika.

2.5 Interaksi Obat dengan Makanan


Pada umumnya, makanan menurunkan absorpsi sebagian besar obat.
Absorpsi dan bioavailabilitas dari obat tertentu sangat signifikan
dipengaruhi oleh makanan yang masuk, sebagai contoh rifampisin yang

14
dianjurkan untuk digunakan pada pagi hari dalam keadaan perut kosong.
Tetrasiklin, sulfonamida dan fluorokuinolon mengkhelat kalsium dalam
susu dan produk susu, yang menghasilkan tidak adanya penyerapan kalsium
dan antibiotic. Sari buah anggur menstimulasi transporter P-glikoprotein dan
menurunkan efek statin, antihipertensi dan antihistamin.
Terdapat juga beberapa makanan yang meningkatkan absorpsi obat.
Makanan dengan kandungan lemak tinggi meningkatkan absorpsi
griseofulvin, saquinavir, lovastatin dan spironolakton. Makanan yang asam,
jus dan soda mengubag absorpsi ketokonazol. Vitamin C di buah jeruk dan
lemon, sari jeruk dan cranberry meningkatkan absorpsi besi dengan
memfasilitasi disolusi dan perubahan dari bentuk fero ke feri.
Diantara jenis minuman, alkohol menyebabkan interaksi obat yang
serius. Alkohol ditemukan menurunkan sistem saraf pusat dan menyebabkan
efek adiktif dengan depresan sistem saraf pusat, termasuk hipno-sedatif
seperti benzodiazepine, non-benzodiazepin dan barbiturat, dan obat-obat
antiepilepsi, antihistamin klasik, ansiolitik, antidepresan dan opioid.

2.6 Interaksi Obat dengan Herbal


Beberapa interaksi potensial antara obat dan produk herbal
dijelaskan di bawah ini. Warfarin diketahui memiliki potensi interaksi
dengan beberapa tanaman obat yang menyebabkan peningkatan efek
warfarin, termasuk Gingko biloba, denshen (menghambat metabolism
warfarin), bawang putih (menghambat agregasi platelet) dan jahe (aktivitas
antikoagulan). Ginkgo menurunkan konsentrasi plasma omeprazol, ritonavir
dan tolbutamida. Kasus klinis mengindikasi interaksi ginkgo dengan
antiepilepsi, aspirin, diuretic, ibuprofen, risperidon, rofecoxib, trazodon dan
warfarin. Efek warfarin menurun dengan adanya teh hijau (mengandung
vitamin K dan memiliki efek yang berlawanan, St. John’s wort
(meningkatkan metabolisme warfarin). Bawang putih mentah atau yang
telah diolah jika dikonsumsi dalam jumlah banyak dapat menurunkan efek

15
dari inhibitor protease. Bawang putih juga berinteraksi dengan
klorpropamida, fluindion dan warfarin.
Interaksi antara obat herbal dan obat yang diresepkan bisa terjadi
dan bisa menimbulkan konsekuensi klinis yang serius. Terdapat interaksi
teoritis yang didapat dari data praklinik. Baik mekanisme farmakokinetik
dan farmakodinamika diperkirakan berperan dalam interaksi ini.
Kepentingan klinis dari interaksi obat-herbal ini bergantung pada banyak
faktor yang berhubungan dengan herbal yang digunakan, obat dan pasien.
Tanaman herbal seharusnya diberi label yang sesuai untuk mengingatkan
pasien terhadap potensi interaksi ketika digunakan bersama dengan obat,
dan sebaiknya dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter atau apoteker
sebelum menggunakan.

2.7 Interaksi Obat di luar tubuh


Obat-obat tertentu bereaksi satu sama lain dan mengalami inaktivasi
jika dicampurkan dalam alat suntik atau dalam cairan infus. Sehingga efek
obat bisa hilang bahkan sebelum diberikan. Fenitoin mengendap dalam
larutan dekstrosa 5%. Aminoglikosida seperti gentamisin, makrolida (seperti
eritromisin), tetrasiklin dan kloramfenikol inkompatibel secara fisika dan
kimia dengan sebagian besar antibiotik beta laktam (penisilin dan
sefalosporin) dan menghasilkan hilangnya aktivitas antibiotik dimana
biasanya komponen β- laktam menginaktivasi struktur lainnya.
Heparin tidak boleh dicampur dalam alat suntik dengan
hidrokortison, penisilin atau aminoglikosda. Hidrokortison bisa
menginaktivasi penisilin dan aminoglikosda. Norepinefrin tidak boleh
dicampur dengan natrium bikarbonat. Tiopental bisa mengendap dengan
suksinilkolin, pankuronium, atrakurium, ketamin atau morfin ketika
dicampur dalam alat suntik.

2.8 Interaksi Obat yang dikehendaki secara Klinis

16
Interaksi obat yang dihendaki adalah efek obat yang menguntungkan
yang meningkat atau efek obat merugikan yang dihilangkan oleh
penggunaan bersama-sama obat lain. Interaksi obat ini dengan sengaja
digunakan untuk memperoleh efek menguntungkan dalam praktek
klinis.
Kombinasi seperti sulfametoksazol-trimetoprim atau sulfadoksin-
pirimetamin adalah contoh klasik dari interaksi obat yang dikehendaki
secara klinis. Penisilin atau sefalosporin digunakan bersama
aminoglikosida menyediakan kentungan dari dua obat yang mekanisme
aksinya berbeda. Kombinasi ini menghasilkan spectrum aktivitas yang
lebih luas dibandingkan dengan pemberian satu komponen saja.

2.9 Interaksi Obat yang Berbahaya


Beberapa interaksi obat yang tidak diinginkan bisa saja menjadi
serius dan/ atau fatal. Efek warfarin yang berlebihan bisa memicu
perdarahan dengan penggunaan bersama siprofloksasin, klaritromisin,
metronidazol, kotrimoksazol, lovastatin, asetaminofen dan AINS
termasuk aspirin.
Peningkatan kadar memicu toksisitas serius dari pengobatan
antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, fenobarbiton) diketahui disebabkan
oleh penggunaan bersama dengan simetidin, eritromisin, klaritromisin
dan flukonazol, sedangkan rifampin diketahun secara signifikan
menurunkan efek dari antiepilepsi. Penggunaan bersamaan AINS atau
diuretik memicu peningkatan yang signifikan kadar litium dan
toksisitasnya.

2.10 Interaksi Obat yang Signifikan Secara Klinis


Tidak semua interaksi obat signifikan secara klinis. Signifikansi
dari interaksi obat bisa dari rentang teoritis dan tidak berefek hingga
membahayakan jiwa. Interaksi disebut signifikan ketika terjadi antara

17
dua atau lebih zat yang diberikan bersama dan menghasilkan kebutuhan
untuk penyesuaian dosis salah satu zat atau intevensi medis lainnya.
Prevalensi interaksi obat yang signifikan secara klinis antara 2 %
hingga 16 %. Pemberian bersama-sama obat yang kurang hati-hati dari
pasangan obat sinergis atau antagonis bisa memicu efek yang tidak
diinginkan. Beberapa jenis obat yang umumnya menimbulkan interaksi
obat yang signifikan secara klinis antara lain depresan SSP,
antikoagulan oral, antidiabetes, glikosida jantung, antihipertensi,
antihistamin non-sedatif, benzodiazepine, antiepilepsi, imunosupresan
dan pengobatan sitotoksik. Pasien yang sakit parah, memiliki penyakit
kronis dan lanjut usia memiliki resiko terkena interaksi obat ini.
Pemberian kombinasi obat diketahui berpotensi menimbulkan interaksi
obat pada manusia bisa saja tidak menghasilkan interaksi obat pada
semua pasien.

2.11 Manajemen Klinis Interaksi Obat


Setelah menilai tingkat dokumentasi di literatur dan tingkat
signifikansi interaksi, pertimbangan harus diberikan pada onset dan
offset kejadian, mekanismenya, perubahan pada hasil, anjuran
manajemen dan diskusi pada literature yang tersedia berkaitan dengan
interaksi tersebut. Ketika seorang pasien telah diidentifikasi beresiko
mengalami interaksi obat yang relevan secara klinis, langkah-langkah
harus diambil untuk mencegah atau meminimalkan kejadian yang
potensial ini. Jika memungkinkan kombinasi tersebut dihindari atau
salah satu atau lebih obat dihentikan. Pengobatan mungkin bisa diganti
dengan pengobatan yang tidak berinteraksi yang ekivalen secara
terapeutik, dosis mungkin bisa disesuaikan, kekuatan dosis atau interval
dimodifikasi, atau rute pemberian diubah.
Penting untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap interaksi yang
potensial. Tindakan seperti tidak melanjutkan obat yang penting pada
pasien, peningkatan atau penurunan dosis yang tidak perlu,

18
meningkatkan kunjungan monitoring yang tidak perlu, atau pengukuran
konsentrasi obat tidak perlu dilakukan. 5 kelas sistem kategorisasi untuk
manajemen interaksi obat direkomendasikan dan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel Sistem Kategori Manajemen Interaksi Obat
Kelas 1 Hindari pemberian kombinasi obat. Resiko efek yang tidak diinginkan pada
pasien. Hindari pemberian obat bersamaan

Kelas 2 Kombinasi dihindari kecuali manfaat pemberian kombinasi obat lebih besar
daripada resikonya pada pasien. Jika perlu gunakan obat alternative yang tidak
berinteraksi. Pasien harus dimonitor secara ketat jika kombinasi obat diberikan

Kelas 3 Beberapa pilihan penatalaksanaan tersedia : gunakan obat alterantif, mengubah


regimen obat (dosis, interval) atau rute pemberian untuk meminimalkan
interaksi, atau monitor pasien jika kombinasi obat diberikan

Kelas 4 Potensi kerusakan/bahaya rendah dan tidak ada aksi spesifik yang diperlukan
selain berhati-hati terhadap kemungkinan interaksi obat

Kelas 5 Bukti-bukti yang ada menunjukkan tidak ada interaksi

Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga level : minor, moderate, atau major.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika
interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan
potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian.
Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida
ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie,
2004).

19
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate
jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan
beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi
moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien,
menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan
atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah
dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan
monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika
terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan
pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan
terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah
perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin
dan terfenadin (Piscitelii, 2005).

20
BAB III
PEMBAHASAN

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat


akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan
sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau berubah
Salah satu Drug Related Problems (DRPs) yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien adalah interaksi obat. Penggunaan
obat rasional di Indonesia masih merupakan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Adanya polifarmasi seperti penulisan obat dalam resep yang
berjumlah 4 atau lebih dengan presentasi diatas 50%, antibiotika yang
penggunaannya berlebihan (43%), tersedianya waktu konsultasi yang rata-
rata berkisar 3 menit saja sehingga dirasa sangat singkat serta tidak adanya
kepatuhan (Syamsudin, 2011).
Interaksi obat diakibatkan adanya kejadian efek suatu obat diubah
akibat adanya obat lain, semisal obat herbal, makanan, minuman atau agen
kimia lainnya dalam suatu lingkungan (Baxter, 2008). Meningkatnya
kejadian interaksi obat bisa disebabkan makin banyaknya obat yang
digunakan ataupun makin seringnya penggunaan obat (polipharmacy atau
multiple drug therapy).
Dalam makalah ini mengambil Interaksi obat pada pasien
Pneumonia di Rumah Sakit untuk pasien Rawat Inap. Pneumonia adalah
peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan alveoli,
menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pneumonia dapat
terjadi sepanjang tahun pada semua usia. Manifestasi klinik yang berat dapat
terjadi pada usia sangat muda, manula dan pasien dengan kondisi kritis
(Dahlan, 2007).
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran
pernafasan bawah yang merupakan penyebab kematian terbesar terutama di
negara berkembang(Misnadiarly, 2008).Berdasarkan hasil Riset Kesehatan

21
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan prevalensi nasional Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia yaitu sebesar 25%, prevalensi
pneumonia di Indonesia sebesar 4,5% dan di Jawa Tengah 5%. Pengobatan
pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Antibiotik merupakan terapi utama dalam kasus pneumonia karena
bakteri. Beberapa antibiotik makrolida dan kuinolon memiliki sifat sebagai
inhibitor enzim, makrolida memberikan efek pada sitokrom P450 isoenzim
CYP3A4, sedangkan kuinolon menghambat CYP1A2 (Baxter, 2008). Sifat
inhibitor enzim dari beberapa antibiotik makrolida dan kuinolon akan
berpotensi menyebabkan interaksi obat pada fase metabolisme (Lacy et.al,
2010).
Antibiotik yang disarankan sebagai terapi empirik pneumonia rawat
inap antara lain sefalosporin generasi 3 dikombinasikan dengan makrolida,
floroquinolon monoterapi dan tigesiklin untuk pasien yang intoleran
sefalosopin dan floroquinolon (File et.al, 2016). Pemberian antibiotik secara
bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau makanan dapat
menimbulkan interaksi obat sehingga memiliki efek yang tidak diharapkan.
Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan
seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga
meningkatkan efek toksik obat lainnya (Depkes, 2011).
Antibiotik golongan sefalosporin yaitu ceftriaxon berinteraksi
dengan furosemid yang berdampak pada peningkatan efek nefro-toksik
sefalosporin (Prasetya, 2011). Antasida juga dapat berinteraksi dengan
antibiotik fluorokuinolon, sehinggaabsorpsi fluorokuinolon yang diberikan
secara oral akan berkurang(Husain et al., 2006). Berdasarkan uraian di
atasefek yang tidak diharapkan dari interaksi akan berpengaruh pada kondisi
klinis dari pasien sehingga penting untuk melakukan penelitian tentang
identifikasi interaksi antibiotik dengan obat lain pada pasien pneumonia
berdasarkan literatur.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit RSUD Dr.
Moewardi Surakarta Periode 2014-2015 dengan pasien rawat inap yang

22
terdiagnosis pneumonia diketahui banyak kombinasi obat yang digunakan
menyebabkan interaksi obat baik yang efeknya mayor/parah (dapat
menyebabkan kematian), moderate/sedang (efek sedang, dapat
menyebabkan kerusakan organ) maupun minor (dapat diatasi degan baik).
Tabel di bawah ini mengambil contoh 12 (dua belas) kombinasi obat yang
secara klinis menyebabkan interaksi obat :

23
No. Obat Obat Objek Mekanisme Interaksi Efek yang Akibat yang Penanganan Interaksi Obat
Presipitan ditimbulkan ditimbulkan
1. Azithromycin Antasida Proses Absorbsi. (5,13%) Moderate. Azithromycin tidak Monitor pasien, waktu
Antasida yang digunakan bersama Penyerapan terabsorbsi dengan penggunaan antasida diambil 1
dengan azithromycin dapat Azithromycin baik. jam sebelum atau 2 jam
mengurangi puncak tingkat berkurang oleh sesudah penggunaan
azithromycin karena terjadi antasida. azithromycin.
penurunan penyerapan pada saluran
pencernaan
2. Ciprofloxacin Warfarin Proses Metabolisme. (5,13%) Moderate. Perdarahan. Kombinasi sebaiknya dihindari,
Penghambatan enzim CYP1A2 Peningkatan efek menggunakan alternatif obat
yang (enzim utama) untuk warfarin lebih besar lain. Jika harus
metabolisme warfarin sehingga dan lebih lama. menggunakannya, harus
memperlambat biotransformasi diperhitungkan apakah
warfarin dan peningkatan penggunaannya mempunyai
bioavailibilitas warfarin didalam manfaat yang lebih besar atau
tubuh. tidak.

24
3. Ciprofloxacin Propanolol Proses Metabolisme. (2,56%) Moderate. Hipotensi. Jika terjadi terjadi penurunan
Propanolol yang dimetabolisme Meningkatkan tekanan darah secara drastis atau
oleh sitokrom P-450 dapat ketersediaan penurunan kondisi klinis pasien
meningkat. Ciprofloxacin dapat propanolol dalam disarankan untuk menghentikan
menurunkan klirens propanolol sirkulasi sistemik, terapi kedua obat ini secara
dengan menghambat sehingga efek dari bersamaan dan menggunakan
metabolismenya di hati. propanolol lebih besar alternatif obat lain.
dan lebih lama.
Peningkatan efek
farmakologi dari
propanolol akan
meningkatkan resiko
hipotensi.
4. Cotrimoxazol Rifampicin Proses Metabolisme. (2,56 %) Minor. Penurunan atau Jika terjadi penurunan kondisi
Penurunan level cotrimoxazol dan Rifampisin yang bahkan kegagalan klinis pasien karena penurunan
meningkatkan serum rifampisin. menginduksi enzim terapi dari khasiat dari cotrimoxazol dapat
Rifampisin memiliki sifat inducer CYP2C9 dapat cotrimoxazol. dilakukan peningkatan dosis

25
(perangsang enzim) terhadap enzim meningkatkan cotrimoxazol sehingga terapi
CYP2C9. metabolisme dari dari cotrimoxazol tercapai.
Rifampisin akan menurunkan cotrimoxazol
tingkat atau efek dari sehingga menurunkan
sulfametoksazol dengan AUC (Area Under
mempengaruhi hati enzim Curve) dari
CYP2C9. cotrimoxazol.

5. Ceftriaxone Furosemide Proses Ekskresi. (51,28%) Moderate. Nefrotoksik (toksik Jika terjadi peningkatan kadar
Furosemid dapat meningkatkan Peningkatan pada ginjal) kreatinin dalam darah pasien
25% waktu paruhdari ceftriaxon nefrotoksik ceftriaxon atau penurunan kondisi klinis
dan menurunkan klirensnya, akan mengganggu pasien disarankan untuk
sehingga meningkatkan efek nefro- fungsi ginjal pasien menghentikan terapi kedua obat
toksiknya dan gangguan pada dan penurunan fungsi ini secara bersamaan dan
fungsi ginjal dapat dilihat pada hasil ginjal dapat dilihat menggunakan alternatif obat
pengecekan kreatinin pasien. pada kreatinin pasien. lain.

26
6. Metronidazol Simvastatin Proses Metabolisme. (2,56%) Mayor. Myopati. Terapi kedua obat ini secara
Metronidazol akan mempengaruhi Dapat mengancam bersamaan dihentikan dan
enzim di ususatau enzim CYP3A4 jiwa pasien atau digunakan alternatif obat lain
hati yang memetabolisme menyebabkan untuk mencegah interaksi obat
simvastatin sehingga menyebabkan kerusakan permanen. yang tidak diinginkan.
efek simvastatin meningkat. Meningkatkan kadar
Penggunaan simvastatin dengan plasma terutama pada
obat yang menghambat enzim dosis tinggi (diatas
CYP3A4 memperbesar resiko 20mg). Peningkatan
myopati. efek dari simvastatin
akan mempengaruhi
kadar kolesterol
dalam darah pasien
7. Azithromycin Digoxin Proses Metabolisme. (7,69%) Mayor. Toksisitas Flora Terapi kedua obat ini secara
Azithromycin akan meningkatkan Efek interaksi obat Usus bersamaan dihentikan dan
efek dari digoxin dengan mengubah mayor dapat digunakan alternatif obat lain
(menurunkan) flora usus. mengancam jiwa untuk mencegah interaksi obat

27
Digoxin merupakan salah satu obat pasien atau yang tidak diinginkan.
yang dimetabolisme oleh flora usus. menyebabkan
Inaktivasi digoxin ditemukan ketika kerusakan permanen.
diinkubasi dengan bakteri usus Peningkatan efek
Eggerthella lenta secata in vitro digoksin
dekade lalu. Namun, mekanisme kemungkinan
yang mendasari dari inaktivasi mengalami toksisitas.
digoxin masih belum jelas (Lu et al,
2014).
8. Azithromycin Warfarin Proses Metabolisme. (5,13%) Mayor. Perdarahan Terapi kedua obat ini secara
Azithromycin menurunkan Peningkatan bersamaan dihentikan dan
metabolisme warfarin sehingga efek bioavailibilitas digunakan alternatif obat lain
dari warfarin meningkat. warfarin dan efek untuk mencegah interaksi obat
Penurunan metabolisme dari warfarin menjadi yang tidak diinginkan.
warfarin akan meningkatkan lebih besar dan lebih
bioavailibilitas dari warfarin efek lama.
warfarin menjadi lebih besar dan

28
lebih lama.
9. Metronidazol Fenobarbital Proses Metabolisme dan klirens Moderate. Kegagalan Terapi. Memonitoring kondisi klinis
metronidazol meningkat. (2,56%). Peningkatan pasien dan jika terjadi penurunan
Fenobarbital telah diketahui sebagai metabolismedan kondisi klinis karena penurunan
inducer (merangsang) enzim hati, klirens metronidazol efek dari metronidazol maka
secara nyata dapat meningkatkan menyebabkan dosis metronidazol ditingkatkan
metabolisme dan klirens kegagalan terapi. agar efektivitas terapinya
metronidazol sehingga Kegagalan terapi tercapai. Beberapa penelitian
menyebabkan kegagalan metronidazol akan dapat digunakan tidak hanya
pengobatan metronidazol. berpengaruh pada menerima terapi tunggal
Penelitian farmakokinetik kondisi klinis pasien metronidazol saja tetapi dapat
menemukan bahwa klirens sebelum dan sesudah digunakan terapi kombinasi
metronidazol meningkat (waktu menerima terapi. antibiotik yakni metronidazol
paruh 3,5 jam dibandingkan dengan dan meropenem.
waktu paruh normal 8 sampai 9
jam). (Baxter, 2008).
10. Levofloxacin Warfarin Proses Metabolisme. (5,13%) Moderate. Perdarahan Jika terjadi peningkatan nilai

29
Levofloxacin adalah salah satu Peningkatan efek INR atau penurunan kondisi
antibiotik golongan flouroquinolon. warfarin akan klinis pasien, maka dosis
Levofloxacin dan warfarin yang menimbulkan resiko penggunaan
digunakan secara bersamaan terjadinya perdarahan, warfaindisesuaikandengan
memiliki potensi interaksi obat yangdapat dilihat dari menurunkan dosisnya.
yang menyebabkan peningkatan nilai INR. Data rekam
efek warfarin dengan cara medik pasien tidak
menurunkan metabolisme dari terdapat data INR
warfarin. sehingga tidak dapat
Warfarin adalah jenis obat melihat efek dari
antikoagulan yang dimetabolisme peningkatan efek dari
oleh enzim CYP1A2. Mekanisme warfarin.
fluoroquinolon dalam
meningkatkan risiko perdarahan
dengan cara menghambat CYP1A2
yang merupakan salah satu enzim
utama yang bertanggung jawab

30
untuk metabolisme warfarin
(Schellemanet al., 2008).
Dari tabel dapat dilihat bahwa potensi interaksi obat paling banyak terjadi pada fase ekskresi yaitu 51,28% dan potensi
interaksi obat paling banyak memiliki signifikansi moderate yaitu sebanyak 79,49% berdasarkan literatur. Dari data di atas berikut ini
akan dijelaskan mekanisme interaksi obatnya:
1. Antasida yang digunakan bersama dengan azithromycin dapat mengurangi puncak tingkat azithromycin karena terjadi
penurunan penyerapan pada saluran pencernaan (Medscape, 2016). Penggunaan azithromycin dan antasida dalam 10 subyek
sehat kadar puncak serum dan penyerapan, azithromycin berkurang oleh antasida.Disarankan pada penggunaan azithromycin
seharusnya tidak diberikan pada waktu yang sama dengan antasida, tetapi harus diambil setidaknya 1 jam sebelum atau 2 jam
sesudah penggunaan azithromycin (Baxter, 2008).
Penurunan puncak serum dan penyerapan azithromycin akan berpengaruh pada efektivitas terapi dari azithromycin dan dapat
dilihat dari kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah menerima terapi dari azithromycin. Dari ke dua pasien yang berpotensi
memiliki interaksi obat sebelum menerima terapi azithromycin mengeluhkan batuk dan sesak nafas. Setelah pasien menerima
terapi azithromycin kondisi klinis pasien membaik dan dapat dikatakan penggunaan antasid tidak berpengaruh terhadap
efektivitas terapi azithromycin. Hal ini bisa terjadi jika waktu penggunaan antasida diambil 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah
penggunaan azithromycin.

31
2. Ciprofloxacin dan warfarin yang digunakan secara bersamaan memiliki potensi interaksi obat yang menyebabkan perdarahan.
Peningkatkan risiko perdarahan ini terjadi karena penghambatan CYP1A2 yang merupakan salah satu enzim utama yang
bertanggung jawab untuk metabolisme warfarin(Schelleman et al., 2008).
Penghambatan enzim CYP1A2 oleh ciprofloxacin akan memperlambat biotransformasi warfarin sehingga bioavailibilitas
warfarin dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan bioavailibilitas warfarin membuat efek warfarin lebih besar dan lebih
lama, sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Resiko perdarahan dapat dilihat dari data INR(International normalized ratio)
pasien, namun data tersebuttidak tertera dalam rekam medik, sehingga tidak dapat diketahui efek perdarahan dari penggunaan
warfarin dan ciprofloxacin. Interaksi obat ini memiliki signifikansi moderate, jika terjadi peningkatan INR atau penurunan
kondisi klinis pasien disarankan untuk menghentikan terapi kedua obat ini secara bersamaan dan gunakan alternatif obat lain.
3. Penggunaan ciprofloxacin dan propanolol berpotensi mengakibatkan interaksi obat. Efek farmakologis dari propanolol yang
dimetabolisme oleh sitokrom P-450 dapat meningkat. Ciprofloxacin dapat menurunkan klirens propanolol dengan
menghambat metabolismenya di hati (Tatro, 2009).
Penghambatan metabolisme propanolol akan meningkatkan ketersediaan propanolol dalam sirkulasi sistemik, sehingga efek
dari propanolol lebih besar dan lebih lama.Peningkatan efek farmakologi dari propanolol akan meningkatkan resiko hipotensi,
namun dalam data keluar rumah sakit pasien tidak tertera data tekanan darah pasien sehingga tidak dapat diketahui efek
interaksi obat terahadap kondisi klinis pasien. Interaksi obat ini memiliki signifikansi moderate, jika terjadi terjadi penurunan
tekanan darah secara drastis atau penurunan kondisi klinis pasien disarankan untuk menghentikan terapi kedua obat ini secara
bersamaan dan menggunakan alternatif obat lain.

32
4. Cotrimoxazol dan rifampisin yang digunakan secara bersamaan akan menimbulkan penurunan level cotrimoxazol dan
meningkatkan serum rifampisin. Rifampisin memiliki sifat inducer terhadap enzim CYP2C9. Rifampisin akan menurunkan
tingkat atau efek dari sulfametoksazol dengan mempengaruhi hati enzim CYP2C9 (Medscape, 2016). Rifampisin yang
menginduksi enzim CYP2C9 dapat meningkatkan metabolisme dari cotrimoxazol sehingga menurunkan AUC(Area Under
Curve) dari cotrimoxazol yang akan berakibat pada penurunan atau bahkan kegagalan terapi dari cotrimoxazol.
Penurunan khasiat dari cotrimoxazol akan berpengaruh terhadap kondisi klinis pasien setelah menerima terapi cotrimoxazol.
Kondisi klinis pasien sebelum menerima terapi cotrimoxazol pasien mengeluhkan batuk berdarah, demam dan sesak nafas,
setelah menerima terapi cotrimoxazol kondisi klinis pasien membaik yang ditandai dengan pasien tidak mengeluhkan batuk
berdarah, demam dan sesak. Pasien ini tidak hanya menerima terapi antibiotik tunggal, tetapi juga dikombinasikan dengan
ceftriaxon sehingga penurunan khasiat cotrimoxazol tidak berpengaruh terhadap kondisi klinis pasien. Namun jika terjadi
penurunan kondisi klinis pasien karena penurunan khasiat dari cotrimoxazol dapat dilakukan peningkatan dosis cotrimoxazol
sehingga terapi dari cotrimoxazol tercapai.
5. Penggunaan antibiotik ceftriaxon bersama dengan furosemid akan menyebabkan potensi interaksi obat pada fase ekskresi.
Furosemid dapat meningkatkan 25% waktu paruhdari ceftriaxon dan menurunkan klirensnya, sehingga meningkatkan efek
nefro-toksiknya (Prasetya, 2011). Peningkatan nefrotoksik ceftriaxon akan mengganggu fungsi ginjal pasien dan penurunan
fungsi ginjal dapat dilihat pada kreatinin pasien.
Peningkatan efek nefrotoksik dari ceftriaxon akan mengganggu fungsi ginjal dari pasien, gangguan pada fungsi ginjal dapat
dilihat pada hasil pengecekan kreatinin pasien. Namun pada rekam medik pasien tidak terdapat data kreatinin pasien, sehingga

33
tidak diketahui efek nefrotoksisitas dari ceftriaxon terhadap fungsi ginjal pasien. Interaksi obat ini memiliki signifikansi
moderate, jika terjadi peningkatan kadar kreatinin dalam darah pasien atau penurunan kondisi klinis pasien disarankan untuk
menghentikan terapi kedua obat ini secara bersamaan dan menggunakan alternatif obat lain.
6. Metronidazol yang dikonsumsi dengan simvastatin akan menimbulkan interaksi obat pada fase metabolisme. Metronidazol
akan mempengaruhi enzim di ususatau enzim CYP3A4 hati yang memetabolisme simvastatin sehingga menyebabkan efek
simvastatin meningkat (Medscape, 2016). Penggunaan simvastatindengan obat yang menghambat enzim CYP3A4
memperbesar resiko myopati dengan efek meningkatkan kadar plasma terutama pada dosis agak tinggi (di atas 20 mg) (Tjay
dan Rahardja, 2007).
Interaksi obat ini memiliki signifikansi mayor, efek interaksi obat mayor dapat mengancam jiwa pasien atau menyebabkan
kerusakan permanen. Terapi kedua obat ini secara bersamaan dihentikan dan digunakan alternatif obat lain untuk mencegah
interaksi obat yang tidak diinginkan. Peningkatan efek dari simvastatin akan mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah
pasien, namun pada data rekam medik tidak tertera data kolesterol pasiensehingga tidak dapat diamati pengaruh efek interaksi
obat terhadap kondisi pasien.
7. Azithromycin adalah salah satu jenis antibiotik golongan makrolida. Penggunaan antibiotik ini dengan digoxin akan
menimbulkan interaksi obat. Azithromycin akan meningkatkan efek dari digoxin dengan mengubah (menurunkan) flora usus
(Medscape, 2016). Salah satu fungsi dari flora usus adalah memetabolisme obat, digoxin merupakan salah satu obat yang
dimetabolisme oleh flora usus. Inaktivasi digoxin ditemukan ketika diinkubasi dengan bakteri usus Eggerthella lenta secata in
vitro dekade lalu. Namun, mekanisme yang mendasari dari inaktivasi digoxin masih belum jelas (Lu et al, 2014).

34
Kondisi klinis pasien pada saat keluar rumah sakit pada 2 pasien membaik, namun pada 1 pasien masih dalam kondisi lemah.
Perbedaan kondisi klinis pasien ini terjadi mungkin karena perbedaan lama waktu pemberian azithromycin dan digoxin.
Pasien yang memiliki kondisi klinis membaik menerima azithromisin dan digoxin secara bersamaan hanya 1 hari, sedangkan
pada pasien yang memiliki kondisi klinis lemah menerima azithromisin dan digoxin secara bersamaan selama 3 hari. Interaksi
obat ini memiliki signifikansi mayor, efek interaksi obat mayor dapat mengancam jiwa pasien atau menyebabkan kerusakan
permanen. Terapi kedua obat ini secara bersamaan dihentikan dan digunakan alternatif obat lain untuk mencegah interaksi
obat yang tidak diinginkan.
8. Penggunaan azithromycin dan warfarin secara bersamaan akan mengakibatkan interaksi obat. Interaksi obat ini terjadi pada
fase metabolisme, azithromycin menurunkan metabolisme warfarin sehingga efek dari warfarin meningkat (Medscape, 2016).
Penurunan metabolisme dari warfarin akan meningkatkan bioavailibilitas dari warfarin efek warfarin menjadi lebih besar dan
lebih lama. Peningkatan efek warfarin akan menimbulkan resiko terjadinya perdarahan, resiko perdarahan dapat dilihat dari
nilai INR. Interaksi obat ini memiliki signifikansi mayor, efek interaksi obat mayor dapat mengancam jiwa pasien atau
menyebabkan kerusakan permanen. Terapi kedua obat ini secara bersamaan dihentikan dan digunakan alternatif obat lain
untuk mencegah interaksi obat yang tidak diinginkan.

35
9. Fenobarbital telah diketahui sebagai inducer enzim hati, secara nyata dapat meningkatkan metabolisme dan klirens
metronidazol sehingga menyebabkan kegagalan pengobatan metronidazol. Bukti klinis dari seorang wanita dengan
trikomoniasis vagina diberi metronidazol selama setahun, tetapi infeksi terjadi lagi tidak lama setelah infeksi itu berhenti.
Ketika disadari bahwa ia juga mengambil fenobarbital 100 mg sehari, dosis metronidazol dua kali lipat untuk 500 mg tiga kali
sehari, dan dia sembuh setelah 7 hari. Penelitian farmakokinetik menemukan bahwa klirens metronidazol meningkat (waktu
paruh 3,5 jam dibandingkan dengan waktu paruh normal 8 sampai 9 jam). (Baxter, 2008).
Peningkatan metabolismedan klirens metronidazol menyebabkan kegagalan terapi. Kegagalan terapi metronidazol akan
berpengaruh pada kondisi klinis pasien sebelum dan sesudah menerima terapi, namun kondisi klinis pasien membaik setelah
menerima terapi metronidazol. Hal ini dikarenakan pada pasien ini tidak hanya menerima terapi tunggal metronidazol saja
tetapi pasien ini menerima terapi kombinasi antibiotik yakni metronidazol dan meropenem. Interaksi kedua obat ini memiliki
signifikansi moderate, sehingga perlu memonitoring kondisi klinis pasien dan jika terjadi penurunan kondisi klinis karena
penurunan efek dari metronidazol maka dosis metronidazolditingkatkanagar efektivitas terapinya tercapai.
10. Levofloxacin adalah salah satu antibiotik golongan flouroquinolon. Levofloxacin dan warfarin yang digunakan secara
bersamaan memiliki potensi interaksi obat yang menyebabkan peningkatan efek warfarin dengan cara menurunkan
metabolisme dari warfarin (Medscape, 2016). Warfarin adalah jenis obat antikoagulan yang dimetabolisme oleh enzim

36
CYP1A2. Mekanisme fluoroquinolon dalam meningkatkan risiko perdarahan dengan cara menghambat CYP1A2 yang
merupakan salah satu enzim utama yang bertanggung jawab untuk metabolisme warfarin (Schellemanet al., 2008).
Peningkatan efek warfarin akan menimbulkan resiko terjadinya perdarahan, yangdapat dilihat dari nilai INR. Data rekam
medik pasien tidak terdapat data INR sehingga tidak dapat melihat efek dari peningkatan efek dari warfarin. Signifikansi
interaksi kedua obat ini adalah moderate. Jika terjadi peningkatan nilai INR atau penurunan kondisi klinis pasien, maka dosis
penggunaan warfaindisesuaikandengan menurunkan dosisnya.
Kesimpulan Hasil :
Potensi interaksi antibiotik dengan obat lain berdasarkan literatur terjadi pada fase absorbsi (12,82%), metabolisme (35,9%),
dan ekskresi (51,28%). Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat atau farmakokinetikanya oleh adanya obat lain yang
dapat menyebabkan efek/kejadian klinis.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh farmasis dalam penatalaksaan interaksi obat untuk menghindari interaksi obat, termasuk :
- Menghindari kombinasi seluruhnya
Beberapa interaksi obat, resikonya lebih besar dibandingkan manfaatnya sehingga kombinasi tersebut harus dihindari.
Biasanya dipilih obat alternatif yang tidak berinteraksi baik untuk obat objek atau obat presipitan.
- Menyesuaikan dosis dari obat objek
Kadang-kadang dua obat yang berinteraksi bisa diberikan asalkan dosis obat objek disesuaikan

37
- Memberi jarak waktu pemberian obat untuk menghindari interaksi obat
Pada beberapa obat interaksi terjadi karena adanya ikatan di saluran gastrointestinal. Untuk menghindari interaksi, obat objek
diberikan 2 jam sebelum atau 4 jam setelah obat presipitan. Dengan cara ini, obat objek bisa diserap ke dalam sirkulasi
sebelum obat presipitan masuk.
- Monitoring untuk deteksi dini
Pada beberapa kasus yang mengharuskan kombinasi obat yang berinteraksi diberikan, interaksi bisa diatasi melalui
monitoring laboratorium atau klinis yang ketat untuk melihat adanya bukti interaksi. Dengan demikian bisa dilakukan
perubahan dosis yang sesuai, atau pemberian obat dihentikan jika perlu
- Memberikan informasi tentang faktor resiko pasien yang meningkatkan resiko outcome/luaran yang tidak diinginkan
- Memperbaiki sistem skrining interaksi obat yang terkomputerisasi

Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya interaksi obat yang tidak dikehendaki dan mungkin dapat bersifat fatal, beberapa hal
berikut dapat dipertimbangkan :
1. Usahakan memberikan jumlah obat sesedikit mungkin pada tiap-tiap penderita, termasuk pemberian obat-obat OTC, dan obat-
obat herbal.
2. Dalam memberikan obat, perhatian terutama pada pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit sangat berat, pasien dengan
adanya disfungsi hati atau ginjal.

38
3. Sangat berhati-hati jika menggunakan obat-obat dengan batas keamanan sempit (antikoagulan, digitalis, antidiabetik,
antiaritmia, antikonvulsan, antipsikotik, antidepresan, imunosupresan, sitostatika), dan obat-obat inhibitor kuat CYP
(ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, klaritromisin).

39
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Interaksi obat bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor yang
berkaitan dengan pasien seperti usia, faktor genetik dan jenis kelamin serta
penyakit dan faktor yang berhubungan dengan obat seperti sifat kinetika dan
dinamika obat. Faktor usia dan penyakit merupakan faktor yang penting
untuk diperhatikan dalam usaha pencegahan interaksi obat.
Interaksi obat merupakan kejadian yang dapat dicegah. Untuk
interaksi obat yang berpotensi menyebabkan kejadian klinis atau signifikan
secara klinis diperlukan penatalaksanaan interaksi obat untuk menghindari
dan mencegah kejadian klinis yang membahayakan pasien.
Farmasis bersama dokter yang meresepkan obat memiliki tugas
untuk memastikan pasien mengetahui dan berhati-hati terhadap resiko efek
samping yang bisa terjadi. Farmasis memiliki pengetahuan yang detail
tentang obat dan kemampuan untuk menghubungkan gejala yang tidak
dikehendaki yang dialami oleh pasien yang mungkin merupakan efek yang
tidak diinginkan pada pengobatan.
Praktek farmasi klinis juga memastikan bahwa efek obat yang tidak
diinginkan diminimalkan dengan menghindari obat-obat yang berpotensi
menyebabkan efek samping pada pasien yang rentan. Oleh karena itu
farmasis memiliki peran yang penting dalam hubungannya dengan
pencegahan, deteksi dan pelaporan efek obat yang tidak diinginkan.

4.2 Saran
4.2.1 Diperlukan peran serta farmasis dan tenaga kesehatan lainnya,
untuk melakukan pemantauan terhadap peresepan obat bagi
pasien dan pemantauan langsung terhadap kondisi klinis pasien
agar masalah interaksi obat pada pasien dapat dihindari.

40
4.2.2 Diharapkan dapat dilakukan analisis resep secara langsung dan
berkesinambungan, sehingga kejadian interaksi obat pada pasien
dapat dikurangi dan tidak membahayakan untuk pasien.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Restalita, Restu. 2010. Evaluasi Interaksi Obat Pada


Peresepan Pasien Lanjut Usia Di Puskesmas Pancoran
Mas Kota Depok (Periode Januari Dan April 2010).
Jakarta: Universitas Indonesia.
2. Gitawati, Retno. 2008. Artikel Interaksi Obat dan Beberapa
Implikasinya. Jakarta: Media Litbang Kesehatan Volume XVIII
No.4
3. Noviani, Lucy. Buku Panduan Interaksi Obat.
4. Sukandar, E.Y., dan Kurniati, N.F. 2019. Dasar-dasar Interaksi
Obat Cetakan Pertama. Jakarta; PT. ISFI Penerbitan.
5. Stockley, I.H. 2008. Drug Interaction, 8th Edition. London:
Pharmaceutical Press.
6. Tatro, D.S., 2009. Drug Interaction Facts and
th
Comparisons, 7 Edition. United State of America:
St.Louis, Missouri.
7. Bailie, G.R., Johnson, C.A., Mason, N.A., dan Peter, W.L.St.
2004. Medfacts Pocket Guide of Drug Interaction 2nd
Edition. Middleton: Bone Care International, Nephrology
Pharmacy Associated, Inc.
8. Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interaction. Edisi IX.
London: Pharmaceutical Press.
9. Fradgley, S., 2003. Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan.,
C.,K., dan Prayitno,A.,Farmasi Klinis. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo Gramedia.
10. Aslam, M., Kaw Tan, C., dan Prayitno, A. 2003. Farmasi
Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan Rasional
dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
11. Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2007. Pemantauan Kesehatan
Pribadi Lanjut Usia. Jawa Barat: Dinas Kesehatan Provinsi

42
Jawa Barat.
12. Direktorat Bina Farmasi komunitas Dan Klinik. 2004.
Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi)
untuk Pasien Geriatri. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
13. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2006.
Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
14. Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2006.
Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
15. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 2000.
Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
16. Forciea, MA., et al. 2004. Geriatric Secrets, Third Edition.
United States: Independence Square West.
17. Hansten, P.D., dan Horn, J.R. 2002. Managing Clinically
Important Drug Interactions. St. Louis: Missouri.
18. Joenoes, Z.N. 2001. Ars Prescribendi Resep yang Rasional,
Buku 1, Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
19. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
20. Profil Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok . (2009).
Depok: Puskesmas Pancoran Mas.
21. Setiawati, A. 2007. Interaksi Obat dalam Farmakologi dan
Terapi. (Ganiswara SG, Ed). Edisi 5. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
22. Stockley, I.H. 2003. Drug Interaction, 6th Edition. London:
Pharmaceutical Press.

43

Anda mungkin juga menyukai