Dosen Pengampu :
Dr. Ibi Satibi, S.H.I., M.Si
NIP. 19770910 200901 1 011
Disusun Oleh :
Ahmad Farid ( 18108040024 )
Isti Anatul Mustafidah ( 18108040072 )
M Happy Mudzakkir ( 18108040078 )
Ramadhan Muhammad HA ( 18108040084 )
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pajak Jual Beli Online. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah Isu-isu Fikih Muamalah Kontemporer semester 3
jurusan Akuntansi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Dalam penulisan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan baik pada cara
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan agar bisa memperbaiki dalam membuat makalah
kedepannya.
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................... iii
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 2
A. Konsep Dasar Pajak dan Jual Beli Online .......................................................................................... 2
B. Pajak Jual Beli Online Dalam Prespektif Fikih Muamalah ................................................................ 4
C. Istinbath Hukum Pajak Jual Beli Online............................................................................................. 7
D. Pembaruan terhadap kebijakan ........................................................................................................ 9
PENUTUP ..................................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan...................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
perspektif islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut akan kami ulas satu persatu
dalam makalah ini sehingga nantinya memunculkan suatu kesimpulan yang tepat dan
dapat diterima oleh para pembaca dengan bahasa yang insya allah mudah dipahami.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar dalam pajak jual beli online ?
2. Bagaimana prespektif pajak jual beli online dalam fikih muamalah ?
3. Bagaimana Istinbath hukum dalam jual beli online ?
BAB II
PEMBAHASAN
2
pada layanan dari penguasa. Menurut menurut Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak
merupakan iuran masyarakat untuk pemerintahannya (negaranya) berdasarkan peraturan-
undangan atau peralihan kekayaan sektor ke sektor publik yang dapat dipaksakan dan
langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau keperluan
umum.
Jual beli online merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan secara online. Dalam
bisnis online memliki unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, diantaranya ialah pertama
pemerintah, dimana dalam hal ini pemerintah mempunyai wewenang untuk mengatur
bisnis online dengan cara membuat hukum untuk bisnis online agar bisnis online tersebut
dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kedua produsen, dimana produsen menjual
barang yang ditawarkan oleh konsumen. Ketiga aplikasi online, dimana aplikasi online
ini menjadi suatu jembatan bagi konsumen dengan produsen dalam bertransaksi. Dan
yang keempat adanya konsumen, dimana konsumen ialah orang yang membeli barang
yang ditawarkan oleh produsen.
berikut ini siklus proses bisnis dari sebuah market places (toko online) sebagai
berikut:
2. Calon penjual dan pembeli bisa melakukan transaksi jual beli secara online di
situs market place tersebut.
4. Uang dari pembeli yang masuk ke rekening market place baru akan di transfer
ke rekening penjual setelah penjual mengirimkan barang ke pembeli yang
dibuktikan dengan adanya bukti resi pengiriman.
3
B. Pajak Jual Beli Online Dalam Prespektif Fikih Muamalah
a) Pajak
Pajak dalam pandangan islam, yaitu dalam istilah bahasa arab pajak dikenal
dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-MAks yang artinya ialah
“pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (lihat Lisanul Arab IX/217-
218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi
XI/202).Menurut Imam Al-Ghazali dan Imam AL-Juwaini, pajak ialah apa yang
diwajibkan oleh penguasa pemerintahan muslim kepada orang-orang kaya dengan
menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi kebutuhan negara dan
masyarakat secara umum, ketika tidak ada kas di dalam baitul mal. (lihat Syifa’ul Ghilali
hal.234 dan Ghiyatsal-Umam Min Iltiyas Azh-Zhulmihal.275).
Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara
(pemerintah) berdasarkan undang-undang, sehingga dapat paksaan dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum. Sedangkan dalam perjalanan sejarah islam yang panjang, telah
dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawardi al-maliyyah li al-
dawlah). Sebagaiannya bersifat rutin atau bisa disebut dawriyyah yakni zakat, kharraj
yakni pajak bumi, jizyah yakni pajak jaminan keamanan atas non muslim dan ‘usyur
yakni pajak ekspor dan impor. Sedangkan yang lain bersifat incidental atau bisa disebut
ghyr dawriyyah yakni seperlima harta rampasan perang atau biasa disebut ghanimah dan
fay. Seperlima tambang atau bisa disebut ma’adin dan harta karun atau rikaz, harta
peningalan orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta
yang tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya.
Dalam perspektif ekonomi islam, secara etimologi, al-bay’u atau jual beli berarti
mengambil dan memberikan sesuatu. Kata ini merupakan derivate dari al-ba’I atau depa
yang terkait dengan kebiasaan bangsa Arab untuk mengulurkan depa mereka ketika
4
mengadakan akad jual beli untuk saling menepuk tangan sebagai tanda bahwa akad telah
terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang. Adapun secara
terminology, di dalam fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi
tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses pengalihan hak
kepemilikkan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam
koridor syariat.
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Dalil Al-Qur’an
Dalil Sunnah
5
dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung
diserahtirimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian harus
langsung diserahterimakan/ secara kontan” (HR. Muslim : 2970)
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat
mendesak, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang
orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu,
praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah
sepakatakan disyaratkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46)
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat
membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu berupa barang atau
uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa
kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam persyariatan jual
beli bagi manusia, yaitu sebagai saran demi tercapainya suatu keinginan yang
diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Secara konvensional perdagangan terjadi melalui tatap muka secara
langsung antara penjual dan pembeli pada suatutempat tertentu seperti toko,
pasar, bazzar, maupun tempat-tempat lain pada waktu –waktu tertentu. Namun
era digitalisasi secara massif telah membawateknologi hampir kesetiap aspek
kehidupan, tak terkecuali aspek perniagaan. Secara prinsip fiqih muamalah,
apabila seluruh syarat sah jual beli telah dipenuhi maka jual beli tersebut boleh
hukumnya. Namun hukum asal yang tadinya mubah dapat berubah menjadi
makruh atau bahkan haram apabila celah kritis yang terdapat dalam
karakteristik jual beli online gagal diantisipasi oleh pelaku jual beli.
Berdasarkan penjelasan di atas maka bisa kita lihat dan bisa kita simpulkan
bahwa relevan jika dalam jual beli online diterapkan atau dipungut pajak,
selama jual beli online tersebut sudah memenuhi kriteria wajib pajak.
6
C. Istinbath Hukum Pajak Jual Beli Online
Secara regulasi, tidak ada perbedaan aspek perpajakan antara transaksi e-
Commerce dengan perdagangan konvensional, karena status objek pajaknya sama. Untuk
Pajak Penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan itu sendiri baik yang didapat
secara transaksi online maupun offline, dimana ketentuannya adalah bawa setiap
tambahan penghasilan yang diterima Wajib Pajak, yang dapat menambah kekayaan
Wajib Pajak bersangkutan maka harus dikenakan pajak penghasilan. Selain itu penjual
juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena termasuk dalam kategori penyerahan
barang dan/atau jasa kena pajak di daerah pabean wilayah hukum NKRI.
Sistem pajak online atau e-commerce jika dibandingkan dengan toko retail
sebenarnya memiliki sistem yang sama, yang berbeda adalah sarana atau medianya.
Membayar pajak pun sekarang dapat dilakukan secara online.
Maka dari itu ada beberapa pendapat para ulama mengenai hukum pajak,
diantaranya ialah :
ِ َيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب
اط ِل
7
dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-
shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662,
dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak
wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang
harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga
mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan
kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib
tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi
sunnah).
Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin,
jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan
inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan
pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di
dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426,
Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin
II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
a. Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini
Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan
mensejajarkan antara Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-
anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan
memerdekakan hamba sahaya dengan Iman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan
menepati janji, dan lain-lainnya.
b. Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal
mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk
memerangi Tatar, seraya berkata:
“Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum
muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para
8
penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam
berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di
dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent)
menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara
dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu
diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta
(pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di
tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki
Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-
dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa
tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain
zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan
(darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah).
Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-
Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan
lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118
cetakan Al-Azhar).
9
b. Pajak penghasilan (PPh)
Pemerintah mengatakan kalau pengenaan pajak ini bukan hal baru, melainkan
penegasan karena kegiatan e-commerce sudah diatur dalam dua kegiatan besar,
yaitu:
a. Classified Ads (jasa layanan pasang Iklan di situs online) , yaitu kegiatan
menyediakan tempat secara online untuk memajang produk atau jasa dalam
bentuk teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan Iain-lain bagi pengiklan.
Pihak-pihak yang terkait dalam bisnis ini diantaranya adalah pemilik situs
penyedia layanan iklan (classified Ads) pengiklan dan pengguna
iklan/pembaca. Dalam kegiatan ini, terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam
proses bisnis penyediaan tempat dan atau waktu untuk memajang materi
promosi barang dan atau jasa dalam bentuk teks, grafik, video penjelasan,
informasi secara online.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pajak jual beli online itu di
perbolehkan dalam hukum Islam, namun bisa berubah menjadi tidak diperbolehkan jika
tidak memenuhi kriteria atau syarat dalam syariat islam. Hal tersebut di karenakan pajak
jual beli sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarkat terutama negara kita sendiri dan
bahwa relevan jika dalam jual beli online diterapkan atau dipungut pajak, selama jual
beli online tersebut sudah memenuhi kriteria wajib pajak. Namun tidak ada kewajiban
atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat,beda lagi jika datang
kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan atau darurat, maka akan ada
kewajiban tambahan lain berupa pajak atau bisa disebut dharibah. Pendapat ini
sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam
Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-
Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).
11
DAFTAR PUSTAKA
Cermati.com. mengenal macam-macam pajak dalam bisnis online. Diakses pada 19 November
2019, dari https://www.cermati.com/artikel/mengenal-macam-macam-pajak-untuk-
bisnis-online.
Fawas, Muhammad Washito Abu. Hukum pajak dalam fiqih islam. Diakses pada 29 Oktober
2019, dari https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-
kaum-muslimin menyikapinya.html
12
13