Anda di halaman 1dari 16

PAJAK JUAL BELI ONLINE

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester


Mata Kuliah Isu-Isu Fikih Muamalah Kontemporer

Dosen Pengampu :
Dr. Ibi Satibi, S.H.I., M.Si
NIP. 19770910 200901 1 011

Disusun Oleh :
Ahmad Farid ( 18108040024 )
Isti Anatul Mustafidah ( 18108040072 )
M Happy Mudzakkir ( 18108040078 )
Ramadhan Muhammad HA ( 18108040084 )

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pajak Jual Beli Online. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah Isu-isu Fikih Muamalah Kontemporer semester 3
jurusan Akuntansi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Dalam penulisan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan baik pada cara
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan agar bisa memperbaiki dalam membuat makalah
kedepannya.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin.

Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.

Yogyakarta, 10 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................... iii
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 2
A. Konsep Dasar Pajak dan Jual Beli Online .......................................................................................... 2
B. Pajak Jual Beli Online Dalam Prespektif Fikih Muamalah ................................................................ 4
C. Istinbath Hukum Pajak Jual Beli Online............................................................................................. 7
D. Pembaruan terhadap kebijakan ........................................................................................................ 9
PENUTUP ..................................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan...................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.


Bahkan Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki
adalah melalui pintu berdagang. Artinya, melalui jalan perdagangan inilah pintu-pintu
rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli
merupakan sesuatu yang diperbolehkan, dengan catatan selama dilakukan dengan benar
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Dalil ini dimaksudkan untuk transaksi offline. Lalu
bagaimana dengan transaksi online seperti pada zaman sekarang ini? Ketika kita bicara
tentang bisnis online, banyak sekali macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis
besar bisa diartikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya
melalui internet atau secara online.
Definisi lain untuk bisnis online ialah dengan menggunakan istilah e-commerce.
Dan yang pasti setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya
sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet. dalam perkembangan zaman saat ini,
kita tak dapat mengelak bahwa fenomena jual beli online telah tumbuh dan menjamur
ditengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari penjualan pakaian jadi, sepatu, tas,
buku, dan lain-lain. hal tersebut disebabkan oleh revolusi industri 4.0 yang mana di dalam
revolusi tersebut menuntut saling terkoneksi lalu munculah alat yang mengefektifkan
dalam suatu kinerja yang serkarang bisa kita sebut internet.
Pajak sendiri merupakan suatu pungutan yang dibebankan kepada warga negara
yang bersifat wajib, pajak ini digunakan oleh negara untuk mengalokasikan dana dari
pungutan sebagai sumber dari pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Maka dari itu
sektor-sektor yang berpotensi menuyumbang pajak perlu di cari termasuk bisnis online
yang perkembanganya terus meninggkat karena zaman semakin maju
Lantas bagaimanakah hukum pajak jual beli online dalam perspektif islam?. Dan
bagaimanakah pajak jual beli online yang diperbolehkan dalam artian halal dalam

1
perspektif islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut akan kami ulas satu persatu
dalam makalah ini sehingga nantinya memunculkan suatu kesimpulan yang tepat dan
dapat diterima oleh para pembaca dengan bahasa yang insya allah mudah dipahami.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar dalam pajak jual beli online ?
2. Bagaimana prespektif pajak jual beli online dalam fikih muamalah ?
3. Bagaimana Istinbath hukum dalam jual beli online ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Pajak dan Jual Beli Online


Pajak sendiri ialah pungutan wajib yang diambil dari rakyat untuk kepentingan
negara dan masyarakat. Pajak menurut UU No.28 th 2007 Pasal 1 angka 1 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: "Pajak harus dibayarkan kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang disetujui oleh Undang-Undang dengan
tidak memperoleh ketidakseimbangan langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi yang meningkatkan kemakmuran negara." Beberapa ahli juga mengemukakan
pengetahuan pajak antara lain pertama Menurut Dr.MJH. Smeeths, pajak merupakan
prestasi pemerintah yang terhutang I melalui norma-norma dan dapat dipaksakan tanpa
adanya suatu kontestasi prestasi dari setiap indivvidual. Maksudnya adalah
membayarkan dana pemerintah atau negaranya. Kedua Menurut Soeparman
Soemahamidjaya, pajak merupakan iuran wajib bagi warga negara, baik berupa uang atau
barang yang dipungut oleh pemerintah sesuai dengan norma-norma hukum yang sesuai
guna untuk menutupi biaya produksi. Ketiga Menurut Dr. PIA Andriani, pajak mewakili
masyarakat yang dapat dipaksakan dan terhutang bagi yang diharuskan membayar sesuai
dengan peraturan UU dengan tidak memperoleh imbalan langsung, dapat ditentukan dan
dibeli untuk bantuan publik menyelenggarakan pemerintahan. Keempat Menurut Cort
Vander Linden, pajak adalah kontribusi keuangan umum di negara yang tidak diperlukan

2
pada layanan dari penguasa. Menurut menurut Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak
merupakan iuran masyarakat untuk pemerintahannya (negaranya) berdasarkan peraturan-
undangan atau peralihan kekayaan sektor ke sektor publik yang dapat dipaksakan dan
langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau keperluan
umum.

Jual beli online merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan secara online. Dalam
bisnis online memliki unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, diantaranya ialah pertama
pemerintah, dimana dalam hal ini pemerintah mempunyai wewenang untuk mengatur
bisnis online dengan cara membuat hukum untuk bisnis online agar bisnis online tersebut
dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kedua produsen, dimana produsen menjual
barang yang ditawarkan oleh konsumen. Ketiga aplikasi online, dimana aplikasi online
ini menjadi suatu jembatan bagi konsumen dengan produsen dalam bertransaksi. Dan
yang keempat adanya konsumen, dimana konsumen ialah orang yang membeli barang
yang ditawarkan oleh produsen.

berikut ini siklus proses bisnis dari sebuah market places (toko online) sebagai
berikut:

1. Penyelenggara market place mempromosikan situsnya agar banyak calon


penjual dan pembeli mendaftar sebagai anggota (biasanya pendaftaran secara
gratis)

2. Calon penjual dan pembeli bisa melakukan transaksi jual beli secara online di
situs market place tersebut.

3. Pembayaran transaksi melalui rekening pemilik market place di mana pemilik


market place sekaligus menjamin transaksi jual beli tersebut berlangsung aman
melalui sistem online.

4. Uang dari pembeli yang masuk ke rekening market place baru akan di transfer
ke rekening penjual setelah penjual mengirimkan barang ke pembeli yang
dibuktikan dengan adanya bukti resi pengiriman.

3
B. Pajak Jual Beli Online Dalam Prespektif Fikih Muamalah

a) Pajak

Pajak dalam pandangan islam, yaitu dalam istilah bahasa arab pajak dikenal
dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-MAks yang artinya ialah
“pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (lihat Lisanul Arab IX/217-
218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi
XI/202).Menurut Imam Al-Ghazali dan Imam AL-Juwaini, pajak ialah apa yang
diwajibkan oleh penguasa pemerintahan muslim kepada orang-orang kaya dengan
menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi kebutuhan negara dan
masyarakat secara umum, ketika tidak ada kas di dalam baitul mal. (lihat Syifa’ul Ghilali
hal.234 dan Ghiyatsal-Umam Min Iltiyas Azh-Zhulmihal.275).

Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara
(pemerintah) berdasarkan undang-undang, sehingga dapat paksaan dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai
kesejahteraan umum. Sedangkan dalam perjalanan sejarah islam yang panjang, telah
dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawardi al-maliyyah li al-
dawlah). Sebagaiannya bersifat rutin atau bisa disebut dawriyyah yakni zakat, kharraj
yakni pajak bumi, jizyah yakni pajak jaminan keamanan atas non muslim dan ‘usyur
yakni pajak ekspor dan impor. Sedangkan yang lain bersifat incidental atau bisa disebut
ghyr dawriyyah yakni seperlima harta rampasan perang atau biasa disebut ghanimah dan
fay. Seperlima tambang atau bisa disebut ma’adin dan harta karun atau rikaz, harta
peningalan orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta
yang tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya.

b) Jual beli online

Dalam perspektif ekonomi islam, secara etimologi, al-bay’u atau jual beli berarti
mengambil dan memberikan sesuatu. Kata ini merupakan derivate dari al-ba’I atau depa
yang terkait dengan kebiasaan bangsa Arab untuk mengulurkan depa mereka ketika

4
mengadakan akad jual beli untuk saling menepuk tangan sebagai tanda bahwa akad telah
terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang. Adapun secara
terminology, di dalam fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi
tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses pengalihan hak
kepemilikkan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam
koridor syariat.

Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

 Dalil Al-Qur’an

ِّ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

“ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”


(QS.Al-Baqarah: 275).

Al’Allamah Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat


manfaat urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulka berbagai
kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh jual beli yang dilakukan manusia hukum
asalnya adalah halah, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut.
(Taisir Karimir Rahman 1/116). begitupun dengan transaksi jual beli online.

 Dalil Sunnah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah ditanya, profesi apakah yang


paling baik dan beliau menjawab bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh
manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan
transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syari’at.
(hadis shahih dengan banyaknyua riwayat, diriwayatkan Al-Bazzar 2/83, Hakim
2/10; dinukil dari Taudihul Ahkam 4/218-219).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda yang artinya: “Emas


ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma

5
dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung
diserahtirimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian harus
langsung diserahterimakan/ secara kontan” (HR. Muslim : 2970)
 Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat
mendesak, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang
orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu,
praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah
sepakatakan disyaratkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46)

 Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat
membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain, baik itu berupa barang atau
uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa
kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam persyariatan jual
beli bagi manusia, yaitu sebagai saran demi tercapainya suatu keinginan yang
diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Secara konvensional perdagangan terjadi melalui tatap muka secara
langsung antara penjual dan pembeli pada suatutempat tertentu seperti toko,
pasar, bazzar, maupun tempat-tempat lain pada waktu –waktu tertentu. Namun
era digitalisasi secara massif telah membawateknologi hampir kesetiap aspek
kehidupan, tak terkecuali aspek perniagaan. Secara prinsip fiqih muamalah,
apabila seluruh syarat sah jual beli telah dipenuhi maka jual beli tersebut boleh
hukumnya. Namun hukum asal yang tadinya mubah dapat berubah menjadi
makruh atau bahkan haram apabila celah kritis yang terdapat dalam
karakteristik jual beli online gagal diantisipasi oleh pelaku jual beli.
Berdasarkan penjelasan di atas maka bisa kita lihat dan bisa kita simpulkan
bahwa relevan jika dalam jual beli online diterapkan atau dipungut pajak,
selama jual beli online tersebut sudah memenuhi kriteria wajib pajak.

6
C. Istinbath Hukum Pajak Jual Beli Online
Secara regulasi, tidak ada perbedaan aspek perpajakan antara transaksi e-
Commerce dengan perdagangan konvensional, karena status objek pajaknya sama. Untuk
Pajak Penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan itu sendiri baik yang didapat
secara transaksi online maupun offline, dimana ketentuannya adalah bawa setiap
tambahan penghasilan yang diterima Wajib Pajak, yang dapat menambah kekayaan
Wajib Pajak bersangkutan maka harus dikenakan pajak penghasilan. Selain itu penjual
juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena termasuk dalam kategori penyerahan
barang dan/atau jasa kena pajak di daerah pabean wilayah hukum NKRI.

Sistem pajak online atau e-commerce jika dibandingkan dengan toko retail
sebenarnya memiliki sistem yang sama, yang berbeda adalah sarana atau medianya.
Membayar pajak pun sekarang dapat dilakukan secara online.

Maka dari itu ada beberapa pendapat para ulama mengenai hukum pajak,
diantaranya ialah :

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali


dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban
zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana
berikut:

a. Firman Allah SWT

ِ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
‫اط ِل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya
dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang
batil untuk memakan harta sesamanya.
b. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
Yang artinya “Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya
tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali

7
dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-
shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662,
dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak
wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang
harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga
mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan
kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib
tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi
sunnah).

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin,
jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan
inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan
pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di
dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426,
Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin
II/336-337, dan selainnya.

Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:

a. Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini
Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan
mensejajarkan antara Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-
anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan
memerdekakan hamba sahaya dengan Iman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan
menepati janji, dan lain-lainnya.
b. Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal
mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk
memerangi Tatar, seraya berkata:
“Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum
muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para

8
penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam
berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di
dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent)
menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara
dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu
diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta
(pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di
tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki
Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-
dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa
tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain
zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan
(darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah).
Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-
Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan
lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118
cetakan Al-Azhar).

D. Pembaruan terhadap kebijakan

a. Pajak pertambahan nilai (PPN)

Sejak 1 Januari 2014, Pemerintah telah menetapkan aturan mengenai batasan


Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pengusaha yang omzetnya mencapai Rp
4,8 miliar per tahun. Dengan demikian, semua pelaku usaha termasuk pebisnis
online yang omzetnya mencapai jumlah tersebut, wajib memungut PPN atas
setiap transaksinya. Namun belum ada kepastian bahwa apakah setiap
transaksi online yang dilaksanakan pengusaha e-commerce baik badan usaha
atau orang pribadi yang sudah tergolong PKP selama ini telah memungut PPN
di dalamnya dan menyetorkan ke kas negara. Hal inilah yang cukup sulit
dideteksi, dikarenakan transaksi e-commerce sangat berbeda dengan transaksi
konvensional.

9
b. Pajak penghasilan (PPh)

Tak hanya pengenaan PPN dalam transaksi online, para pengusaha e-


commerce juga wajib dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Saat ini belum
ada aturan khusus mengenai perlakuan PPh atas pengusaha e-commerce,
sehingga masih mengikuti ketentuan pajak penghasilan secara umum.
Khusus untuk pelaku pengusaha e-commerce orang pribadi, pengenaan
pajak pada dasarnya disamakan dengan toko konvensional. Berdasarkan
PP Nomor 46 tahun 2013, perlakuan pajak pengusaha e-commerce dengan
penghasilan/omzet bruto tidak melebihi Rp 4,8 milliar dikenakan pajak
sama dengan pajak UMKM, yaitu 1% dari omset

Pemerintah mengatakan kalau pengenaan pajak ini bukan hal baru, melainkan
penegasan karena kegiatan e-commerce sudah diatur dalam dua kegiatan besar,
yaitu:

a. Classified Ads (jasa layanan pasang Iklan di situs online) , yaitu kegiatan
menyediakan tempat secara online untuk memajang produk atau jasa dalam
bentuk teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan Iain-lain bagi pengiklan.
Pihak-pihak yang terkait dalam bisnis ini diantaranya adalah pemilik situs
penyedia layanan iklan (classified Ads) pengiklan dan pengguna
iklan/pembaca. Dalam kegiatan ini, terdapat kewajiban PPh dan PPN dalam
proses bisnis penyediaan tempat dan atau waktu untuk memajang materi
promosi barang dan atau jasa dalam bentuk teks, grafik, video penjelasan,
informasi secara online.

b. Online Marketplace (Penyedia Layanan Jual Beli Online), yaitu kegiatan


menyediakan tempat kegiatan usaha berupa toko online di internet yang
menjadi tempat bertemu penjual dan pembeli yang terdaftar sebagai anggota
untuk melakukan jual beli secara online. Pihak-pihak yang terkait dalam
transaksi ini adalah pemilik toko online (market place) sebagai penyelenggara,
penjual dan pembeli. Dalam kegiatan ini, terdapat kewajiban PPh dan PPN.
PPh dikenakan pada penjual atas penambahan penghasilan akibat barang yang
laku dijual, sedangkan PPN dikenakan kepada pembeli atas proses
perpindahan barang antara penjual dan pembeli melalui marketplace tersebut.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pajak jual beli online itu di
perbolehkan dalam hukum Islam, namun bisa berubah menjadi tidak diperbolehkan jika
tidak memenuhi kriteria atau syarat dalam syariat islam. Hal tersebut di karenakan pajak
jual beli sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarkat terutama negara kita sendiri dan
bahwa relevan jika dalam jual beli online diterapkan atau dipungut pajak, selama jual
beli online tersebut sudah memenuhi kriteria wajib pajak. Namun tidak ada kewajiban
atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat,beda lagi jika datang
kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan atau darurat, maka akan ada
kewajiban tambahan lain berupa pajak atau bisa disebut dharibah. Pendapat ini
sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam
Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-
Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).

11
DAFTAR PUSTAKA

Ariyadi. (2018). Jual beli online. Yogyakarta : Diandra Kreatif.

Cermati.com. mengenal macam-macam pajak dalam bisnis online. Diakses pada 19 November
2019, dari https://www.cermati.com/artikel/mengenal-macam-macam-pajak-untuk-
bisnis-online.

Fawas, Muhammad Washito Abu. Hukum pajak dalam fiqih islam. Diakses pada 29 Oktober
2019, dari https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-
kaum-muslimin menyikapinya.html

Sakti N.W. (2014). Buku Pintar Pajak e-Commerce. Jakarta : Visitmedia.

12
13

Anda mungkin juga menyukai