Materi Praktek Pembenihan
Materi Praktek Pembenihan
PENDAHULUAN
1
nukleus dan pengukuran diameter telur. Dalam hal ini perlu adanya metode praktis
yang harus diterapkan untuk mengetahui tingkat kematangan gonad yang
representatif dengan kegiatan pembenihan ikan. Untuk itu gunakan selang
fleksibel (kateter canula) untuk mengambil telur, hal ini mudah untuk dilakukan
tetapi tetap saja harus berhati-hati. Sebagai pengganti mikroskop, tebarkan telur di
tangan dan amati keseragaman dari diameter telur tersebut secara langsung. Jika
telur seragam sekitar 80 % (berbeda spesies ikan maka berbeda diameter telur
yang matang), gonad dipastikan matang dan siap untuk dipijahkan. Jika terdapat
telur yang transparan lebih dari 20 %, ini menandakan telur telah terlalu matang.
Dan jika ada terlalu banyak telur yang berukuran kecil (> 20 %), dapat
disimpulkan bahwa telur sedang mengalami masa pematangan. Induk dengan telur
yang terlalu matang atau dalam masa pematangan tidak dapat digunakan dalam
pembenihan. Pada telur yang terlalu matang biasanya sangat mudah untuk
dilakukan stripping tetapi akan menurunkan tingkat fertilisasi/ tingkat penetasan
telur. Sedangkan pada telur yang sedang mengalami pematangan, biasanya sulit
untuk dilakukan penstripingan, dan jika keluar pun tetap tidak bisa dilakukan
pembuahan (tingkat pembuahannya rendah).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
pemijahan buatan dapat mempercepat reproduksi ikan di sebuah tambak atau
hatchery. Hal ini dilakukan untuk mengejar target pasar agar kebutuhan konsumen
terpenuhi. Dengan cara menyuntikkan hormon untuk mematangkan sel telur.
Sehingga kita dapat mengawinkan ikan sesuai kebutuhan yang kita inginkan
(Ahira, 2007).
Siklus reproduksi ikan berhubungan erat dengan perkembangan gonad,
terutama jenis ikan betina. Secara umum tahap-tahap perkembangan gonad ikan
jantan adalah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid,
metamorfose dan spermatozoa. Volume gonad ikan jantan bisa mencapai 5% dari
bobot total tubuhnya. Sedangkan tahap perkembangan ikan betina meliputi
oogonia, oosit primer, oosit sekunder dan ova atau telur. Pada banyak kasus
reproduksi ikan, sering ditemukan bahwa proses ovulasi ikan tidak dapat
berlangsung, meskipun proses vitellogenesis sudah sempurna (Ahira, 2007).
Keberhasilan proses ovulasi ditentukan oleh mekanisme fisiologi, proses
metabolisme dan kesesuaian dengan faktor eksternal (kehadiran pejantan, substrat
untuk pemijahan, rendahnya ancaman predator dan sebagainya). Namun demikian
informasi tentang peran faktor eksternal dalam proses reproduksi masih sangat
terbatas. Menurut Stacey (1984), beberapa faktor eksternal yang berperan penting
bagi keberhasilan proses reproduksi ikan adalah (1) Photo periode; (2) Suhu; (3)
Substrat pemijahan; (4) Ketersediaan makanan; (5) Faktor sosial (hubungan antar
individu); dan (6) Salinitas.
4
bergantung pada tingkat kematangan gonad pada tiap masing–masing waktu yang
berbeda (Effendie, 1979).
Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara, yang pertama
cara histologi dilakukan di laboratorium. Yang kedua cara pengamatan morfologi
yang dapat dilakukan di laboratorium dan dapat dilakukan di lapangan. Dari
penelitian secara histologi akan diketahui anatomi perkembangan gonad menjadi
lebih jelas dan mendetail. Sedangkan hasil pengamatan secara morfologi tidak
akan sedetail cara histologi, namun cara morfologi ini banyak dilakukan para
peneliti (Effendi, 2002).
Morfologi gonad dan corak warna digunakan untuk membedakan tingkat
kematangan. Hal tersebut bermanfaat untuk menentukan masa memijah secara
umum dan menentukan langkah lanjut untuk pengelolaannya. Akan tetapi
kelemahannya adalah gonad yang telah ditentukan dengan cara tersebut termasuk
tingkat kematangan tinggi (Lam, 1983).
Ikan dikatakan matang gonad dan siap memijah bilamana IKG > 19 %. Dan
indeks tersebut semakin bertambah besar dan nilai tersebut akan mencapai batas
kisar maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (Johnson, 1971). Effendi (2002)
menyatakan bahwa secara alamiah ukuran dan berat tubuh ikan dapat digunakan
sebagai tanda utama untuk mengetahui kematangan gonad. Tingkat kematangan
gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu
berpijah. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya menjadi masak
tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya. Dalam bidang
pembenihan ikan, pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad
diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan
reproduksi dan yang tidak.
Mengetahui ukuran ikan untuk pertama kali gonadnya menjadi masak, ada
hubungannya dengan pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhinya. Proses kematangan merupakan perkembangan sel telur
menjadi besar, berisi kuning telur dan siap diovulasikan oleh ikan. Menurut
Billard (1992), bahwa kematangan gonad dan keberhasilan pemijahan
berhubungan dengan ukuran dan umur ikan. Semakin besar ukuran ikan, jumlah
5
telurnya akan semakin banyak, ukuran telurnya juga relatif lebih besar demikian
pula kualitasnya semakin baik.
Tingginya nilai IKG pada ikan terjadi karena ikan-ikan tersebut mudah
beradaptasi terhadap lingkungan yang ditunjukan oleh tingkat kematangan
gonadnya (Suhenda, Bagenel dan Braum 1968). Effendie (2002) menyatakan
bahwa terdapat faktor-faktor utama yang mampu mempengaruhi kematangan
gonad ikan, antara lain suhu dan makanan, tetapi secara relatif perubahannya tidak
besar dan di daerah tropik gonad dapat masak lebih cepat. Kualitas pakan yang
diberikan harus mempunyai komposisi khusus yang merupakan faktor penting
dalam mendukung keberhasilan proses pematangan gonad dan pemijahan.
Indeks Kematangan Gonad atau “Gonado Somatic Index“ (GSI) akan semakin
meningkat nilainya dan akan mencapai batas maksimum pada saat terjadi
pemijahan. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan
jantan. Adakalanya IKG dihubungkan dengan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
yang pengamatannya berdasarkan ciri-ciri morfologi kematangan gonad, sehingga
akan tampak hubungan antara perkembangan di dalam dengan di luar gonad. Nilai
IKG akan sangat bervariasi setiap saat tergantung pada macam dan pola
pemijahannya.
6
merata. Campuran tersebut dapat disentrifugasikan dengan kecepatan 3000 rpm/
menit selama 5 – 10 menit. Setelah mengendap, ambil larutan bagian atas yang
bening dengan menggunakan suntikan atau spuit (syringe). Cairan tersebut
merupakan substansi hormon dan siap digunakan (Darti dan Iwan, 2006).
Dosis substansi hormon yang digunakan bervariasi, tergantung jenis
ikannya. Umumnya digunakan dosis 4 – 10 mg/kg ikan untuk induk betina dan 2
– 5 mg/kg ikan untuk induk jantan. Oleh karena untuk mengukur hipofisa
terkadang sulit maka dapat digunakan takaran dosis. Satu dosis merupakan
ekstrak hipofisa yang dihasilkan dari 1 kg ikan mas. Biasanya penyuntikan ikan
menggunakan 4 dosis untuk induk betina dan 2 dosis untuk induk jantan. Sebagai
contoh, bila induk betina yang akan dirangsang mempunyai berat 2 kg maka
diperlukan hipofisa dari 4 kg ikan mas (Darti dan Iwan, 2006).
Untuk kadar hormon buatan biasanya sudah tercantum pada petunjuk
pemakaian dalam kemasannya. Namun demikian, karena terkadang respon ikan
terhadap hormon bervariasi maka akan lebih baik kalau kadarnya mengacu pada
pengalaman pembudidaya lain atau pada pakar yang sudah menelitinya. Kadar
hormon untuk ikan berukuran kecil (< 10 g) tentunya sangat sedikit (< 0,01 ml).
Namun, pengukuran kadar yang sangat sedikit tersebut sangat sulit karena harus
mengikuti skala pada tabung suntikan (syringe/ spuit). Padahal skala tiap garis
yang ada pada tabung suntikan biasanya adalah 0,01 ml. Untuk mengantisipasi
kendala ini maka sebaiknya hormon diencerkan dahulu dengan akuabidest.
Penyuntikan dapat dilakukan 1-2 kali untuk betina dan umumnya hanya sekali
untuk jantan. Bila penyuntikan pada betina dilakukan dua kali maka penyuntikan
pertama hanya 1/3 dosis dan penyuntikan kedua 2/3 dosis atau 1/2 dosis untuk
penyuntikan pertama dan 1/2 dosis lagi untuk penyuntikan kedua. Sementara
interval waktu penyuntikannya sekitar 6 – 7 jam (Darti dan Iwan, 2006).
Waktu penyuntikan pada induk jantan umumnya dilakukan bersamaan
dengan waktu penyuntikan kedua pada induk betina. Oleh karena biasanya ikan
bertelur pada malam atau menjelang pagi hari maka penyuntikan hormon
dilakukan sekitar 10 – 14 jam sebelum waktu bertelur. Untuk itu, akan sangat baik
bila penyuntikan berlangsung pada sore hari menjelang malam atau malam hari.
Lokasi penyuntikan hormon pada tubuh ikan adalah sekitar 2 – 4 sisik di bawah
7
sirip punggung atau 0,5 – 1 cm di bawah sirip punggung bagi ikan yang tidak
bersisik, bisa dilakukan di dekat ekor, juga bisa di dekat sirip perut, ataupun tepat
di bagian belakang sirip punggung. Arah jarum suntikan adalah miring (sekitar
45°) ke arah kepala. Penyuntikan ke tubuh ikan dapat dilakukan dengan
meletakkan ikan pada tatakan bila ikannya besar atau dengan memegangnya
(gunakan tangan kiri) bila ikannya kecil (Darti dan Iwan, 2006).
Penyuntikan ini dapat dilakukan di luar ataupun di dalam air.
Pemijahan atau pengeluaran telur sesudah disuntik dapat dilakukan dengan
memasangkan induk dan membiarkannya bertelur di tempat pemijahan. Bisa juga
pemijahan dilakukan dengan cara stripping (pengambilan telur dengan cara
diurut). Untuk jenis ikan berukuran kecil seperti Red-finned Shark, biasanya
pemijahan dibiarkan hingga telurnya keluar sendiri. Untuk jenis ikan besar,
perlakuan stripping lebih efisien karena semua telur yang matang atau TKG IV
dapat dikeluarkan semua. Pengurutan dilakukan pada pagi hari dengan cara
menekan perut betina secara perlahan dari arah perut atas ke arah kelamin.
Biasanya setelah diurut telur akan keluar. Telur yang keluar ditampung dalam
wadah seperti mangkok atau piring. Selanjutnya, dengan cara yang sama induk
jantan diurut untuk mengeluarkan spermanya, jika induk jantan tidak bisa
mengeluarkan sperma dengan metoda stripping maka dapat dilakukan
pembedahan dan mengeluarkan gonadnya untuk kemudian dicacah/ dicincang
agar spermanya bisa dikeluarkan seperti yang umumnya dilakukan pada ikan lele
(Darti dan Iwan, 2006).
Sperma dan telur tersebut dicampurkan dan diaduk dengan menggunakan
bulu ayam atau kuas halus selama 3 – 6 menit. Bisa juga campuran sperma dan
telur ditambahkan sedikit larutan ringer atau infus agar sperma terencerkan
sehingga memiliki kesempatan membuahi telur semua telur. Sesudah diaduk
sekitar 3 – 6 menit, telur dapat dicuci dengan air bersih beberapa kali. Selanjutnya
telur dapat ditebarkan dalam bak atau akuarium penetasan. Penggantian air perlu
dilakukan setelah larvanya bisa berenang (Darti dan Iwan, 2006).
8
dalam Anonim (2009), pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium
matang gonad dapat mencapai 10–25 persen dari bobot tubuh, dan pada ikan
jantan 5–10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya
tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar.
Gonad sebagai organ reproduksi ikan merupakan salah satu dari 3 komponen yang
terlibat dalam reproduksi ikan, selain sinyal lingkungan dan sistem hormon.
Dalam proses pematangan gonad, sinyal lingkungan yang diterima oleh sistem
saraf pusat ikan itu akan diteruskan ke hipotalamus. Akibatnya, hipotalamus
melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin realizing hormone) yang selanjutnya
bekerja pada kelenjar hipofisa. Hipotalamus dan hipofisa terletak di otak belakang
ikan. Hal ini menyebabkan hipofisa melepasakan hormon Goadotropin-I yang
berkerja pada gonad. Akibat kerja hormon gonadotropin-I tersebut, gonad dapat
mensintesis testoteron dan estradiol-β. Estradiol-β selanjutnya akan merangsang
hati mensintesis vitologenin yang merupakan bakal dari kuning telur. Vitologenein
tersebut kemudian dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif
akan diserap oleh Oosit. Akibat menyerap vitologenin, oosit tumbuh membesar
sampai kemudian berhenti apabila mencapai ukuran maksimum (pada ikan mas,
ukuran oosit adalah 900-1000 mikron meter). Setelah mencapai ukuran tersebut,
telur tidak mengalami perubahan apapun. Pada kondisi ini dikatakan bahwa telur
telah berada pada fase Dorman atau istirahat dan menunggu sinyal lingkungan lagi
untuk dikeluarkan dari tubuh induk dalam proses pemijahan.
Lingkungan tempat hidup ikan bisa menghasilkan sinyal yang kemudian
diterima oleh sistem saraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Akibatnya,
hipotalamus ini melepaskan hormon GnRH. Hormon ini selanjutnya bekerja pada
kelenjar hipofisa. Akibatnya, hipofisa ini menyekresikan hormon Gondotropin –II
yang bekrja pada gonad. Akibat hormon gonadotropin-II, goanad menyintesis
hormon steroid pemicu pematangan (naturation inducing steroid) yang
menyebabkan inti telur mengalami migrasi dan peleburan, lalu dilanjutkan dengan
proses ovulasi. Ovulasi adalah proses keluarnya telur dari tubuh induk. Telur yang
dikeluarkan pada proses ovulasi tersebut telah mencapai kamatangan fisiologis
dan siap dibuahi oleh sperma.
9
Penentuan tingkat kematangan gonad ikan didasarkan pada perkembangan
gonad, perubahan warna telur, dan pengisian pada rongga perut. Pengertian
tingkat kematangan gonad ikan betina I sampai dengan IV sebagai berikut :
TKG I (belum matang). Gonad kecil dan memanjang 10-15 mm, warna
bening, dan butir-butir telur belum berbentuk. Kalaupun sudah terbentuk,
warnanya masih transparan.
TKG II (mulai matang). Gonad semakin besar dan berwarna kuning. Butir-
butir telur sudah mulai terllihat dan panjang gonad 15-20 mm.
TKG III (matang). Gonad lebih besar, panjang 20-30 mm, berwarna kuning
agak kecokelatan. Butir-butir telur mengisi lebih setengah rongga perut dan
mulai mendesak alat pencernaan kea rah dorsal (punggung).
TKG IV (matang sekali). Gonad membesar dengan panjang 30-50 mm,
berwarna kuning kecoklatan, mengisi dua pertiga rongga perut.
TKG V (Gonad Lisis). Gonad ikan pada tahap ini telah mengalami lisis
(hancur) pada inti sel telurnya sehingga ukurannya telah mengkerut dan tidak
bulat lagi.
Pengertian tingkat kematangan gonad ikan jantan I sampai dengan IV
sebagai berikut:
TKG I (belum matang). Gonad kecil dengan panjang 5-12 mm, berwarna
putih, dan permukaan gonad mulai tidak rata.
TKG II (mulai matang). Gonag semakin besar dengan panjang 12-30 mm,
warna mulai berubah putih jernih, dan berbentuk gerigi mulai terlihat jelas.
TKG III (matang). Gonad lebih besar, dengan panjang 20-45 mm dan mengisi
dua pertiga rongga perut. Warna jernih dan gerigi pada gonad semakin besar.
TKG IV (matang sekali). Gonad besar dan panjang, mengisi dua pertiga
rongga perut. Gonad mengembung dan berwarna jernih. (Khairuman dan
Amri, 2007)
10
Keberhasilan proses pemijahan berhubungan erat dengan keberadaan substrat.
Jika substrat yang sesuai tidak ditemukan, maka proses pemijahan akan
mengalami kegagalan atau penundaan (Stacey, 1984). Ikan Nocomis sp, Semotilus
sp dan Exoglossum sp biasanya membuat sarang dengan membuat timbunan
kerikil, telur diletakkan di sela-sela kerikil kemudian ditimbun lagi dengan kerikil
baru. Kemudian sarang akan dijaga oleh ikan jantan (Helfman et al., 1997). Ikan
sepat (Trichogaster pectoralis) dan ikan cupang (Betta sp) akan membuat sarang
busa sebelum memijah. Pemijahan berlangsung di bawah sarang busa, kemudian
telur-telur yang berserakan akan diletakkan diantara sarang busa, selanjutnya ikan
jantan akan menjaga telur-telur tersebut sampai menetas.
2.5.1. Ikan Phytophils
Merupakan golongan ikan yang memijahnya pada perairan yang terdapat
vegetasi untuk menempelkan telur yang dikeluarkan. Perairan yang demikian
biasanya stagnan atau alirannya kecil. Sebenarnya kondisi perairan yang demikian
kalau dilihat dari segi zat asam yang terlarut, maka keadaannya bermacam-
macam. Akan tetapi tumbuhan yang ada di dalam perairan tersebut kiranya
merupakan suatu syarat yang diperlukan untuk berlangsungnya pemijahan. Ikan
yang termasuk ke dalam golongan ikan phytophils antara lain Esox lucius, Perca
sp., Notemigonus crysoleucas, beberapa ikan yang termasuk ke dalam Famili
Labridae dan Cyprinidae.
Di Indonesia yang sudah terkenal sebagai ikan budidaya dan termasuk ke
dalam ikan phytophils adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Cara pemijahan ikan
mas yang telah dikerjakan oleh para petani ikan di Indonesia sesuai dengan sifat
alami ikan ini, yaitu menggunakan kakaban atau hamparan ijuk yang dijepit oleh
bambu untuk menempelkan telur sebagai pengganti rumput kalau berpijah di alam
bebas. Ikan mas yang dibudidayakan dapat dipijahkan pada umur yang lebih
muda, kurang dari satu tahun, dari pada. ikan mas yang terdapat di alam bebas. Di
daerah bermusim empat ikan mas mulai berpijah untuk pertama kali pada waktu
berumur dua tahun sebagai pemijah awal musim panas.
2.5.2. Ikan Lithopils
Merupakan golongan ikan yang memijahnya memerlukan dasar perairan
yang berbatu-batu. Tempat yang demikian itu sungai yang dasarnya berbatu-batu,
11
danau oligotropik atau pantai laut, yang berbatu-batu. Keadaan tempat yang
demikian biasanya mempunyai kandungan zat asam terlarut yang cukup untuk
keperluan anak-anaknya kelak.
Ikan yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain ialah Salmo sp.
(salmon), Salvelinus sp. (trout), Coregonus sp. (cisco), Catostomus sp. (sucker),
Stizostedion (walleyes), dan sebagainya. Telur golongan ikan ini yang biasanya
memijah di sungai mempunyai ukuran relatif besar daripada telur-telur ikan yang
berpijah di perairan bebas. Misalnya telur ikan salmon dan trout mempunyai
banyak persediaan makanan yang berguna untuk ikan yang baru menetas selama
terbawa, arus dimana di daerah itu kekurangan makanan.
Untuk ikan-ikan yang berpijah dalam perairan dengan dasarnya berpasir,
Lagler et al. - (1962) menggolongkannya bersama-sama dengan ikan litophils.
Sedangkan Nikolsky (1963) menggolongkan ke dalam golongan tersendiri yang
dinamakan ikan psamophils. Ikan ini berpijahnya dalam perairan yang dasarnya
berpasir atau kadang-kadang telur yang dikeluarkannya itu ada yang menempel di
akar tumbuh-tumbuhan.Telur golongan ikan ini yang diletakkan di atas pasir
banyak yang terbungkus oleh pasir. Walaupun demikian telur yang telah
dibungkus tadi ada dalam kondisi perairan yang menguntungkan untuk
pernapasan. Contoh golongan ikan ini adalah Pseudogobio ribularis dan
Deuterophysa. Juga ikan grunion (Leuresthes tenuis) yang terdapat di California
berpijahnya di atas pantai berpasir pada waktu pasang tinggi yang terjadi sebulan
dua. kali. Telur hasil pemijahan tertutup oleh pasir dan tidak berair setelah pasang
surut. pada waktu pasang berikutnya telur tadi akan terairi dan menetas, kemudian
anak-anak ikannya akan terbawa ke tengah bersama air pasang.
12
III. INDEKS KEMATANGAN GONAD
Perkembangan gonad pada suatu jenis ikan selalu menjadi perhatian bagi
peneliti-peneliti reproduksi dimana peninjauannya dilakukan dari berbagai aspek
yang termasuk di dalam gonad baik terhadap individu maupun populasi. Dalam
individu telur terdapat proses yang dinamakan vitelogenesis yaitu proses
terjadinya pematangan gonad pada tiap-tiap individu ikan betina. Suatu jenis ikan
akan mulai bertelur (masak kelamin) pada umumnya berbeda dengan jenis ikan
lainnya, sebab masing-masing jenis ikan mengalami perkembangan gonad dengan
lama waktu yang berbeda-beda atau sesuai dengan umur yang harus dicapai oleh
suatu jenis ikan untuk mulai bertelur. Perkembangan gonad ikan pada umumnya
seiring dengan pertambahan umur ikan, yaitu semakin dewasa seekor ikan maka
perkembangan gonadnya akan semakin sempurna untuk mengadakan
pembentukan dan pemasakan telur.
Perkembangan gonad didalam reproduksi, sebagian dihasilkan dari
metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Berat gonad semakin
bertambah dan mencapai maksimum ketika ikan akan memijah, kemudian
beratnya menurun setelah pemijahan. Percobaan kondisi gonad ini dapat
dinyatakan dengan suatu indeks kematangan gonad yaitu sebagai berat gonad
dibagi beserta tubuh ikan (termasuk gonad) dikalikan 100 %.
13
3.4. Prosedur Praktikum
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam menghitung Indeks
Kematangan Gonad adalah:
1. Membersihkan tubuh ikan dari segala kotoran lalu mengeringkan dengan
menggunakan tissue;
2. Menimbang tubuh ikan bersama gonadnya (Bt) dalam gram;
3. Membedah ikan pada bagian perutnya dan mengeluarkan gonadnya dengan
hati-hati (jangan sampai pecah);
4. Mengeringkan Gonad tersebut dengan menggunakan tissue dan menimbang
berat gonad (Bg) dalam gram;
5. Menentukan nilai IKGnya dengan persamaan berikut:
Bg
IKG x 100%
Bt
Dimana : Bg = Berat gonad
Bt = Berat tubuh
6. Kemudian tentukan stadium kematangan gonad ikan (Jika nilai IKG > 19%
maka ikan dapat dikatakan telah matang telur/ gonad).
14
IV. PENYUNTIKAN INDUK IKAN
15
4.1.2. Penyuntikan Secara Intraperitoneal
Penyuntikan dengan cara ini dilakukan dengan menyuntik ikan pada bagian
rongga perut. Sasaran utama dari penyuntikan dengan metode ini yaitu gonad
ikan. Namun penyuntikan ini memiliki kelemahan yakni jika dilakukan oleh orang
yang masih awam dikhawatirkan akan mengenai organ dalam pada tubuh ikan
seperti usus, sehingga akan menyebabkan ikan stress bahkan kematian pada ikan
yang disuntik.
16
Penyuntikan pada ikan umumnya dilakukan karena beberapa hal, seperti
untuk mempengaruhi kerja hormonal tubuh ikan agar lebih cepat matang gonad
atau ovulasi, penyuntikan untuk pencegahan maupun pengobatan suatu penyakit,
atau pun tujuan-tujuan lainnya. Yang perlu diperhatikan dalam penyuntikan adalah
ukuran ikan yang akan disuntik, jenis ikan (hias/ konsumsi), ukuran alat suntik
(syringe), dan jumlah cairan yang akan disuntikkan.
Tahapan terakhir setelah penyuntikan yaitu cara penanganan ikan pasca
penyuntikan. Ikan yang disuntik tentunya akan mengalami stress akibat perlakuan
penyuntikan yang diberikan pada ikan. Karenannya perlakuan penanganan
sesudahnya perlu dipersiapkan dan dilakukan dengan hati-hati agar ikan cepat
kembali normal.
4.2. Tujuan Praktikum
Adapun yang menjadi tujuan dari kegiatan praktikum ini adalah untuk
mengetahui dan memperagakan berbagai cara dalam melakukan penyuntikan pada
ikan serta mengetahui cara penentuan dosis penyuntikan.
4.3. Bahan Dan Alat
Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum ini berupa:
1. Larutan Fisiologis
2. Aquades/ Air Mineral
3. Ikan berukuran lebih besar dari 300 gr
4. Alat suntik (Spuit/ Syringe) berkapasitas 3 ml
5. Timbangan, tisue, alkohol 70% dan kain lap
6. 2 buah Bak fiber yang diisi air sebanyak 50% dari tingginya dan telah
dilengkapi dengan aerator
4.4. Prosedur Kerja
Pelaksanaan penyuntikan perlu mengikuti rangkaian kegiatan berikut untuk
mengurangi dampak negatif bagi ikan yang disuntik, hal tersebut antara lain:
1. Siapkan wadah yang berisi air ± 2 liter
2. Basahi kain lap yang akan digunakan untuk menutupi kepala ikan yang akan
disuntik untuk mengurangi stress pada ikan pasca penyuntikan.
3. Timbang ikan yang akan disuntik untuk mengetahui dosis cairan/ hormon yang
akan disuntikkan (0,5 ml/kg induk).
17
4. Siapkan kedalam jarum suntik cairan yang akan disuntikkan sesuai hasil
perhitungan.
5. Oleskan alkohol 70% pada bagian punggung ikan (Intramuscular) sebelum dan
sesudah penyuntikan untuk menghindari terjadinya infeksi pasca penyuntikan.
6. Lakukan penyuntikan dengan posisi jarum 45 0C ke arah kepala ikan yang
sebelumnya telah ditutupi dengan kain basah.
7. Letakkan ikan pada bak fiber sesuai dengan jenis kelaminnya.
18
V. PEMIJAHAN ALAMI
19
4. Air media yang bersih (PAM, Air tanah atau Air sungai)
5. Akuarium berukuran 60 x 40 x 40 cm (pemijahan) dan 30 x 20 x 20 cm
(pemeliharaan larva)
6. Substrat untuk tempat menempelnya telur (kekaban, tanaman air, pecahan
genteng, pipa paralon, dll)
7. Perlengkapan aerasi
8. Penutup akuarium (bagi ikan yang sensitive terhadap cahaya dan lalu lalang
praktikan)
20
5.5. Tugas Praktikan
Hal-hal yang harus dilakukan setiap kelompok praktikan antara lain:
1. Wajib mempersiapkan alat dan bahan dalam praktikum ini.
2. Wajib melakukan semua prosedur kerja secara berurutan.
3. Wajib melakukan pengamatan yang mencakup:
a. Pencatatan bobot dan panjang induk jantan dan betina,
b. Perhitungan tingkat pembuahan telur (fertile rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah telur yang dibuahi
FR x100%
jumlah telur yang dikeluarkan
Catatan: Angka fertilitas dihitung setelah telur dibuahi oleh pejantan selama
9 – 10 jam (Nuraini, 2004). Telur yang terbuahi ditandai dengan
warnanya yang bening dan transfaran, sedangkan telur yang tidak
terbuahi ditandai dengan warnanya yang putih keruh akibat
pecahnya kuning telur. Cara penentuan angka fertilisasi dengan
menghitung jumlah total telur yang dikeluarkan dan menghitung
jumlah telur yang berwarna bening atau putih keruh tersebut.
Selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam rumus perhitungan tingkat
pembuahan untuk mengetahui persentasinya.
c. Perhitungan tingkat penetasan telur (hatching rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah telur yang menetas
HR x100%
jumlah telur yang dibuahi
21
Catatan: Perhitungan angka kelulushidupan ini dilakukan pada akhir
pengamatan (15 hari pemeliharaan) dengan metoda sensus atau
menghitung jumlah larva yang mati selama pemeliharaan.
e. Membuat laporan praktikum yang berisi semua data yang diminta.
22
VI. PEMBENIHAN SEMI BUATAN
23
Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan kandungan protein diatas
25% dengan jumlah pemberian pakan sebanyak 2 – 3 % dari bobot biomasa dan
dengan frekuensi pemberian sebanyak 3 kali per hari. Berikut akan disajikan
gambar tentang cara praktis untuk membedakan antara induk jantan dan induk
betina pada ikan lele.
24
akan digunakan untuk penetasan telur dan pemeliharaan larva dari ikan yang
akan dipijahkan.
8. Substrat berupa kekaban/ ijuk yang akan digunakan untuk tempat
menempelnya telur.
9. Perlengkapan aerasi dan heater.
10. Penutup akuarium berupa terpal yang telah diberi pemberat di keempat
ujungnya.
25
9. Jika terdapat telur yang menempel pada kekaban/ ijuk segera lakukan
pemindahan substrat kedalam akuarium yang telah dipersiapkan sebelumnya
sebagai wadah penetasan telur.
10. Inkubasi/ penetasan telur akan berlangsung selama ± 24 – 48 jam.
11. Jika semua telur yang terbuahi menetas segera pindahkan kekaban/ ijuk
tersebut untuk menghindari terperangkapnya larva, kemudian lakukan
pemeliharaan larva ± selama 20 hari dengan tetap memperhatikan kualitas air
media dan tahapan ukuran pakan sesuai dengan perkembangan tubuh larva.
Catatan: Angka fertilitas dihitung setelah telur dibuahi oleh pejantan selama
9 – 10 jam (Nuraini, 2004). Telur yang terbuahi ditandai dengan
warnanya yang bening dan transfaran, sedangkan telur yang tidak
terbuahi ditandai dengan warnanya yang putih keruh akibat
pecahnya kuning telur. Cara penentuan angka fertilisasi dengan
menghitung jumlah total telur yang dikeluarkan dan menghitung
jumlah telur yang berwarna bening atau putih keruh tersebut.
Selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam rumus perhitungan tingkat
pembuahan untuk mengetahui persentasinya.
c. Perhitungan tingkat penetasan telur (hatching rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah telur yang menetas
HR x100%
jumlah telur yang dibuahi
26
Catatan: Angka penetasan ini dihitung setelah 9 – 10 jam telur menetas
dengan cara menghitung jumlah larva yang menetas atau jumlah
telur yang tidak menetas. Perhitungan ini juga bisa dilakukan
dengan sistem sensus.
d. Perhitungan tingkat kelulushidupan larva (survival rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah larva yang hidup
SR x100%
jumlah larva yang menetas
27
VII. PEMBENIHAN BUATAN
28
untuk pemijahan dan juga mengetahui hal-hal yang harus dipersiapkan untuk
keberhasilan dalam pemijahan.
29
4. Tempatkan kedua induk pada tempat yang terpisah antara induk jantan dan
betina untuk mencegah terjadinya pemijahan.
5. Suntikkan hormon kepada kedua induk sebanyak 1 kali penyuntikkan dengan
dosis setengah dari hasil perhitungan hormon yang didapat.
6. Selang 6 jam setelah penyuntikan pertama, lakukan penyuntikan kedua dengan
sisa dosis hasil perhitungan sebelumnya.
7. Tutup bak fiber dengan penutup terpal untuk menghindari stress dan gangguan
pada ikan yang kita pijahkan.
8. Setelah ± 6 – 8 jam setelah penyuntikan kedua, lakukan penstripingan pada
induk betina untuk mengeluarkan telur dalam piring/ mangkuk, pada waktu
yang bersamaan lakukan pembedahan pada induk jantan untuk mengeluarkan
gonad jantan untuk mendapatkan sperma.
9. Lakukan pencincangan gonad jantan pada wadah yang berisi campuran larutan
fisiologis (larutan infus 10 ml : aquades 20 ml) sebagai pengencer sperma.
10. Tuangkan sperma yang telah diencerkan tadi ke dalam wadah telur secara
perlahan-lahan sambil di aduk dengan menggunakan bulu ayam secara lembut.
11. Selanjutnya tebarkan telur pada akuarium yang telah dipersiapkan sebelumnya
secara merata dengan menggunakan bulu ayam.
12. Inkubasi/ penetasan telur akan berlangsung selama ± 24 – 48 jam.
13. Jika semua telur yang terbuahi menetas, selanjutnya lakukan pemeliharaan
larva ± selama 20 hari dengan tetap memperhatikan kualitas air media dan
tahapan ukuran pakan sesuai dengan perkembangan tubuh larva.
14. Jika selama inkubasi terdapat telur yang berwarna putih keruh maka hal ini
menandakan bahwa telur tersebut telah rusak/ tidak terbuahi. Sedangkan telur
yang berhasil dibuahi terlihat berwarna cerah/ jernih.
30
b. Perhitungan tingkat pembuahan telur (fertile rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah telur yang dibuahi
FR x100%
jumlah telur yang dikeluarkan
Catatan: Angka fertilitas dihitung setelah telur dibuahi oleh pejantan selama
9 – 10 jam (Nuraini, 2004). Telur yang terbuahi ditandai dengan
warnanya yang bening dan transfaran, sedangkan telur yang tidak
terbuahi ditandai dengan warnanya yang putih keruh akibat
pecahnya kuning telur. Cara penentuan angka fertilisasi dengan
menghitung jumlah total telur yang dikeluarkan dan menghitung
jumlah telur yang berwarna bening atau putih keruh tersebut.
Selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam rumus perhitungan tingkat
pembuahan untuk mengetahui persentasinya.
c. Perhitungan tingkat penetasan telur (hatching rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979),
jumlah telur yang menetas
HR x100%
jumlah telur yang dibuahi
31
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: Unri Press.
Astuti, Neni. 2000. Studi tentang Karakteristik Tepung Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Hasil Reaksi Hidrolisi/Plastein Enzim Bromelin Imobil. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bagenal, T.B. and E. Braum, 1968. Eggs and Early Life History, dalam W.E.
Ricker ed. Methods foe Assesments of Fish production in Fresh Water.
Blackwell Scientific Publication, p 159 – 181.
Darti S.L dan Iwan D. 2006. Budidaya Ikan Dengan Pemijahan Buatan. Penebar
Swadaya. http://hobiikan.blogspot.com/2009/02/budidaya-ikan-hias-
dengan-pemijahan.html.
Effendie M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri Bogor. 50 hal.
http://sunarma.net/2008/04/penyuntikan-hormon-pada-pemijahan-ikanhormonal-
injection-of-fish-reproduction/.
http://sunarma.net/2008/12/gonad-maturity-determination-in-the-field-practice/
Khairuman dan Amri. 2007. Budidaya Lele Lokal Secara Intensif. Agro Media:
Jakarta.
32
Lam, T. J. 1983. Environmental Influence on Gonadal Activity in Fish. In. Fish
Physicology.Academic Press-New York – Toronto. P. 65-68.
33
PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI
PEMBENIHAN BIOTA AIR
DISUSUN OLEH
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2011
34
35
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas diberikannya
kemudahan dalam penyusunan ”Penuntun Praktikum Teknologi Pembenihan
Biota Air”. Ucapan terimakasih juga kami ucapkan kepada pihak-pihak yang turut
serta menyumbangkan ide-ide kreatif serta referensinya sehingga Penuntun
Praktikum ini layak dijadikan acuan bahan ajar dan materi praktikum
dilingkungan Internal Universitas Malikussaleh terutama Program Studi Budidaya
Perairan Fakultas Pertanian.
Kajian yang dibahas dalam modul ini terbatas pada materi dasar tentang
Teknologi Pembenihan Biota Air seperti pengukuran indeks kematangan gonad,
metode penyuntikan ikan, pemijahan alami, pemijahan semi alami dan pemijahan
buatan. Hal ini dikarenakan mengacu kepada kebutuhan umum bagi mahasiswa
yang selalu berinteraksi pada bidang-bidang tersebut baik dalam perkuliahan
maupun di bidang penelitian. Selain itu, penulis juga berharap penuntun ini dapat
membantu para penggunanya untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang
Pembenihan Biota Air.
Diakhir kata pengantar ini tak lupa penulis mengharapkan adanya masukan
berupa saran untuk perbaikan Penuntun Praktikum ini kedepan. Demikian yang
dapat penulis sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Penulis,
36
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Tujuan dan Manfaat ................................................................ 2
37
5.4. Prosedur Kerja ......................................................................... 20
5.5. Tugas Praktikan ....................................................................... 21
38
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Penyuntikan Intramuscular ............................................................... 15
2. Penyuntikan Intraperitonial .............................................................. 16
3. Perbedaan Induk Jantan dan Betina Pada Ikan Lele ......................... 24
39
VIII. PENGAMATAN PERKEMBANGAN EMBRIO
40
IX. PEMELIHARAAN LARVA
41