Anda di halaman 1dari 7

1.

MERKURI
A. mekanisme ketoksikan merkuri

Toksisitas senyawa merkuri tergantung dari bentuknya. Senyawa merkuri organik lebih toksik
dibanding senyawa anorganiknya, karena mudahnya menembus sawar darah otak dan diabsorbsi
sempurna pada saluran cerna. Berlin (1983) mencatat bahwa tidak ada perbedaan antara efek
akut maupun kronik ketika terjadi akumulasi pada ambang toksik. Menurut WHO (1976), awal
dari efek toksik metilmerkuri terjadi ketika kadar dalam darah antara 200 – 500 ng/mL. Kadar
dalam darah ini berkaitan dengan beban tubuh menanggung 30-50 mg merkuri per kg berat
badan yang setara dengang asupan harian 3-7 mg/kg.

Hal yang perlu dicatat bahwa kemunculan gejala keracunan merkuri dapat tertunda beberapa
minggu atau bulan tergantung dari akumulasi senyawa merkuri dalam tubuh.

1. Pengaruh terhadap fisiologis

Pengaruh toksisitas merkuri terutama pada SSP (Sistem Saluran Pencernaan) dan ginjal terutama
akibat merkuri terakumulasi. Organ utama yang terkena pada paparan kronik oleh elemen
merkuri dan organomerkuri adalah SSP (Sistem Saluran Pencernaan). Sedangkan garam merkuri
akan berpengaruh terhadap kerusakan ginjal. Keracunan akut oleh elemen merkuri yang terhisap
mempunyai efek terhadap sistem peraafasan sedang garam merkuri yang tertelan akan
berpengaruh terhadap SSP, efek terhadap sistem kardiovaskuler merupakan efek sekunder.

2. Pengaruh terhadap Sistem Syaraf

Merkuri yang berpengaruh terhadap sistem syaraf karena senyawa ini mampu menembus blood
brain barrier dan dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible sehingga mengakibatkan
kelumpuhan permanen. Sebagai gejala pertama sering tidak spesifik seperti malas, pandangan
kabur atau pendengaran hilang (ketulian).

3. Pengaruh terhadap Ginjal

Apabila terjadi akumulasi pada ginjal yang diakibatkan oleh masuknya garam inorganik atau
phenylmercury melalui SSP akan menyebabkan naiknya permeabilitas epitel tubulus sehingga
akan menurunkan kemampuan fungsi ginjal (disfungsi ginjal). Pajanan melalui uap merkuri atau
garam merkuri melalui saluran pernafasan juga mengakibatkan kegagalan ginjal karena terjadi
proteinuria atau nephrotic syndrom dan tubular necrosis akut.

4. Pengaruh terhadap Pertumbuhan.

Terutama terhadap bayi dan ibu yang terpajan oleh metilmerkuri dari hasil studi membuktikan
ada kaitan yang signifikan bayi yang dilahirkan dari ibu yang makan gandum yang diberi
fungisida, maka bayi yang dilahirkan mengalami gangguan kerusakan otak yaitu retardasi
mental, tuli, penciutan lapangan pandang, buta dan gangguan menelan.

5. Keracunan akut merkuri

Keracunan akut yang ditimbulkan oleh logam merkuri dapat diketahui dengan mengamati gejala
- gejala berupa : peradangan pada tekak (pharyngitis), dyspaghia, rasa sakit pada bagian perut,
mual - mual dan muntah, disertai dengan darah dan shock. Bila gejala - gejala awal ini tidak
segera diatasi, penderita selanjutnya akan mengalami pembengkakan pada kelenjar ludah, radang
pada ginjal (nephritis), dan radang pada hati (hepatitis). Senyawa atau garam - garam merkuri
yang mengakibatkan keracunan akut, dalam tubuh akan mengalami proses ionisasi.

6. Keracunan kronis

Pada peristiwa keracunan kronis oleh merkuri, ada dua organ tubuh yang paling sering
mengalami gangguan, yaitu gangguan pada sistem pencernaan dan sistem syaraf. Radang gusi
(gingivitis) merupakan gangguan paling umum yang terjadi pada sistem pencernaan. Radang
gusi pada akhirnya akan merusak jaringan penahan gigi, sehingga gigi mudah lepas. Gangguan
terhadap sistem syaraf dapat terjadi dengan atau tanpa diikuti oleh gangguan pada lambung dan
usus.

Ada dua bentuk gejala umum yang dapat dilihat bila korban mengalami gangguan pada sistem
syaraf sebagai akibat keracunan kronis merkuri, yaitu tremor ringan (gemetar), dan
parkinsonisme yang juga disertai dengan tremor pada fungsi otot sadar. Tanda-tanda seorang
penderita keracunan kronis merkuri dapat dilihat pada organ mata. Biasanya pada lensa mata
penderita terlihat warna abuabu sampai gelap, atau abu-abu kemerahan, yang semua itu dapat
dilihat dengan mikroskop mata. Disamping itu, gejala keracunan kronis merkuri yang lainnya
adalah terjadinya anemia ringan pada darah.
B. Mekanisme antidot

sodium formaldehyde sulfoxylate, Antidot ini mengurangi unsur ion merkuri bivalen sehingga
mengurangi penyerapannya.

Dimecaprol Pengobatan dengan dimerka- prol efektif dilakukan pada kasus keracunan akut yang
kurang dari 5 jam, Tergantung dari jumlah dan lamanya keracunan yang terjadi, hemodi- alisis
harus dipertimbangkan guna menghindari kerusakan ginjal lebih lanjut. Dosis pemberian
dimerkaprol atau penisilamin sangat bervariasi secara individual. Pada umumnya diberikan
dengan dosis dimerkaprol 5-6 mg/KgBB intra- muskular 2 kali sehari, diberikan selama 10 hari.

D-Penicillamine untuk kasus keracunan gas merkuri dan merkuri inorganik yang tidak berat,
keracunan merkuri kronis dan neuropati akibat merkuri inorganik. Penggunaan D-penicillamine
tidak disarankan untuk pasien yang alergi penicillin. Saat terapi dihentikan bisa menyebabkan
febris, rash, leukopeni dan trombositopenia, nausea, vomitus, neuritis optikus dan sindroma
lupus. Penisilamin diberikan secara oral dengan dosis 250 mg setiap 6 jam sehari, dapat
dikombinasi dengan dimerkaprol atau sendiri-sendiri.

2. NIKOTIN

A. Mekanime nikotin

Efek nikotin pada tubuh terjadi melalui ikatan dengan nicotinic acetylcholine receptors
(nAChRs) di otak. Di sistem saraf pusat, sebagian besar dari nAChRs terdiri dari subtipe α4 β2 ,
α3 β4, dan α7. Dari subtipe-subtipe yang dominan ini, reseptor α4 β2 jumlahnya paling banyak
di otak dan berperan penting dalam menyebabkan adiksi nikotin. Dalam waktu 20 detik setelah
nikotin masuk tubuh, nikotin akan berikatan dengan nAChRs subtipe α4β2 di Ventral Tegmental
Area. 80 - 90 % dosis nikotin dimetabolisme di hati, ginjal, dan paru-paru. Nikotin kemudian
diubah menjadi beberapa metabolit yaitu kotinin (metabolit utama), ion iminium nikotin,
nicotyrine dan nornikotin. Semua metabolit ini mempunyai aktivitas biologis lebih lemah dan
kurang poten dibanding nikotin.

B. Mekanisme antidot

Arang aktif dapat digunakan untuk mengikat nikotin dalam perut dan mengeluarkan dari tubuh.
3. METANOL
A. Mekanisme ketoksikan methanol

Dalam tubuh metanol akan dimetabolisme di lever oleh enzim Alkohol Dehidrogenase (DHA)
menjadi formaldehide dan selanjutnya oleh enzim Formaldehide dehidrogenase (FDH) diubah
menjadi asam format. Kedua hasil metabolisme tersebut merupakan zat beracun bagi tubuh
terutama asam format. Pada kasus keracunan metanol, formaldehida tidak pernah terdeteksi
dalam cairan tubuh korban karena formaldehida yang terbentuk sangat cepat diubah menjadi
asam format (waktu paruh 1-2 menit) dan selanjutnya diperlukan waktu yang cukup lama
(kurang lebih 20 jam) oleh enzim 10-formyl tetrahydrofolate synthetase (F-THF-S) untuk
mengoksidasi asam format menjadi senyawa Karbon dioksida dan air, sehingga ditemukan
adanya korelasi antara konsentrasi asam format dalam cairan tubuh dengan kasus keracunan
metanol.

Berat ringannya gejala akibat keracunan metanol tergantung dari besarnya kadar metanol yang
tertelan. Dosis toksik minimum (kadar keracunan minimal) metanol lebih kurang 100 mg/kg dan dosis
fatal keracunan metanol diperkirakan 20 – 240 ml (20 – 150g).

B. Mekanisme antidote

Penggunaan antidotum yang sesuai pada kasus keracunan metanol merupakan hal yang penting.

a. Etanol telah lama dianggap sebagai perlakuan yang efektif (meskipun data yang objektif
masih kurang), dan murah.

Etanol diindikasikan jika:

 Kadar metanol plasma >6,25 mmol/L (20 mg/dL)


 Pasien telah menelan metanol 0,4 mL/kg dan osmolal gap >10 mosm/L
 Ada riwayat atau secara klinis dicurigai mengalami keracunan metanol dengan
sekurangnya menunjukkan 2 dari gejala berikut: pH arteri 10 mosm/L
b. Fomepizole juga terbukti berkhasiat, tetapi harganya mahal. Baik etanol maupun
fomepizol, keduanya bertindak menghambat alkohol dehidrogenase, sehingga dapat
menghambat konversi metanol menjadi metabolit yang toksik (asam).
c. Asam folinat diindikasikan sebagai terapi pendukung pada keracunan metanol. Senyawa
ini bertindak sebagai kofaktor dalam pembentukan metabolit nontoksik. Percobaan pada
primata menunjukkan bahwa dengan terapi asam folinat terjadi penurunan tingkat asam
format dan derajat asidosis metabolik. Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kg (hingga 50
mg) secara intravena setiap 4 jam .
4. MORFIN
A. Mekanisme morfin

Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor ini
merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat ditemukan di otak (amigdala
posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus), saraf tulang belakang, dan jaringan lain
di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan saluran pencernaan).
(Schumacher,dkk, 2015)

Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi transmisi
sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik, depresi napas,
sedasi, supresi batuk, dan miosis(Canadian institute of health and research,2017)
Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-glucuronide dan morphine-
6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat, M6G tampak memiliki efek analgesia lebih
potensial ketimbang morfin sendiri.

Cara kerja morfin dalam tubuh adalah dengan menekan pusat pernapasan. Pemakai yang
overdosis akan mengalami gangguan pernapasan yang fatal. Penyalahgunaan morfin
mengakibatkan ketergantungan, pada wanita mengganggu siklus menstruasi, pada pria
mengakibatkan impotensi, menyebabkan sembelit dan kematian.

Mekanisme kerja morfin secara molekuler masih belum sepenuhnya dipahami. Aktivasi reseptor
opioid diperkirakan mencetuskan coupling/penggabungan protein G. Hal ini akan menyebabkan
inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal ion K+, serta
aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β(PLCβ). Menutupnya kanal ion
Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps. Sedangkan pembukaan
kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat neuron postsinaps. Mekanisme
inilah yang diperkirakan menyebabkan efek morfin, termasuk efek analgesik
Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang ditimbulkan berupa
spasme spinkter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot polos sistem kemih dapat
terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang memicu hipotensi, flushing, mata
merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin mampu menghambat
sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan luteinizing hormone (LH).
Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat, misalnya prolaktin, growth
hormone (GH), insulin, dan glucagon
B. Mekanisme antidote

Naloxone yang merupakan opiat antagonis dapat mengobati dengan cepat jika diberikan secara
intravena. Nalokson adalah antagonis opiat yang utama yang tidak mempunyai atau hanya
sedikit mempunyai aktivitas agonis. Jika diberikan pada pasien yang tidak menerima opiat dalam
waktu dekat, nalokson hanya memberi sedikit atau bahkan tidak memberikan efek.
Sedangkan pada pasien yang sudah menerima morfin dosis tinggi atau analgesik lain dengan
efek mirip morfin, nalokson mengantagonis sebagian besar efek opiatnya.

Akan terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan minute volume, penurunan arterial PCO2
menuju normal, dan tekanan darah menuju normal jika ditekan. Nalokson mengantagonis depresi
pernapasan ringan akibat opiat dosis rendah. Karena durasi kerja nalokson lebih singkat
dibandingkan durasi kerja opiat, maka efek opiat mungkin muncul kembali begitu efek nalokson
menghilang. Nalokson mengantagonis efek sedasi atau tertidur yang dipicu oleh opiat. Nalokson
tidak mengakibatkan toleransi atau ketergantungan fisik maupun psikologis. Obat lain yang
dapat dijadikan pilihan sebagai anidot dari morfin adalah nalorphine, levallopan, cyclazocine,
tetapi resikonya cukup berbahaya.

DAPUS

M.A. Schumacher, A.I. Basbaum. R. K. Naidu in Basic & Clinical Pharmacology, ed B. G.


Katzung, A. J. Trevor, McGraw-Hill, New York, 2015,

Canadian institute of health and research. Morphine. https://www.drugbank.ca/drugs/DB00295,


2017
Electonic medical compendium. Morphine Sulfate 15 mg/ml injection BP,
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/13143/SPC/Morphine+Sulphate+10mg+ml
+Injection+BP/ 2017

Donatus, Argo, Imono. Toksikologi Dasar. Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta. 2001
Equator Online. Dibahas, Dampak Keracunan Merkuri ; Rambut dan Urine Diteliti di BATAN.
2000.
Palar, Heryando, Drs. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. 1994.
Hooten, W.M., Shi, Y., Gazelka, H.M., & Warner, D.O. (2011). The effects of de‐ pression and
smoking on pain severity and opioid use in patients with chronic pain
Pospos NS. 2002. Bukti gambar, etanol merusak sel hati dan pengaruhnya terhadap konsentrasi
ATP intraseluler. Medika. No 1 Tahun XXVII
Nelson Simanungkalit Pospos. 2005. L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) menghindari blebbing akibat
keracunan etanol pada hepatosit. Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial
Number: 0125-913x.

Anda mungkin juga menyukai