Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEGAWAT DARURATAN

SPINE INJURY MANAGEMENT

DI SUSUN OLEH :

ANISKA HANDAYANI P27220014186

ANDI RAMBAT S P27220014182

MUHAMMAD ANWAR N P27220014

NURJANAH P27220014

WIDIYANTO P27220014224

WINDA DWI H P27220014225

D III KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat, anugerah dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah kegawat daruratan dengan judul “
Spine Injury Management ”ini. Kami juga menyampaikan terimakasih
kepada dosen pembimbing Politeknik Kesehatan Surakarta sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini, semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh
pembaca dan membantu pembaca memahami mengenai materi spine
injury manajement di bidang kesehatan.

Surakarta, 3 Maret 2017

Penulis

TIM
BAB I

PENDAHULUAN

Cidera spinal cord adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord
injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang
ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih.
Cedera spinal cord injury dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu cedera
lengkap dan tidak lengkap. Cedera lengkap berarti tidak ada fungsi di
bawah tingkat yang cedera, tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan atau
bisa dikatakan pasien sudah mengalami kelumpuhan. Cedera tidak lengkap
berarti ada beberapa fungsi di bawah tingkat dasar dari cedera. Ini berarti
bahwa pasien tidak mengalami kelumpuhan total dan masih mampu
menggerakkan sebagian anggota tubuh. Kelumpuhan hanya terjadi pada
area cedera.
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan
hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma tetraplegia mencapai 90 %.
Pasien dengan trauma spinal cord komplit berpeluang sembuh kurang dari
5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma,
peluang perbaikan adalah nol. Untuk prognosis trauma spinal cord
inkomplit lebih baik jika dibandingkan dengan trauma spinal cord komplit.
Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan
kembali lebih dari 50 %.
Angka kejadian dengan spinal cord injury dapat dikatakan masih relatif
tinggi. Di U.S. saja, insiden trauma SCI sekitar 5 kasus per satu juta
populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma
SCI tertinggi terjadi pada usia 16-30 tahun (53,1 %).
Laki-laki-wanita rasio individu dengan SCI di Amerika Serikat adalah
4:1; yaitu, laki-laki merupakan sekitar 80% orang dengan SCI. Sekitar 80
% pria dengan trauma SCI rata-rata berusia 18-25 tahun. Laki-laki berusia
antara 18-25 tahun lebih cenderung menderita spinal cord injury akibat
trauma (kecelakaan atau beberapa tindakan kekerasan). Dan di atas 50 %
cedera spinal cord injury ini mengenai daerah servikalis. 60% lebih pasien
dengan cedera spinal cord disertai dengan cedera mayor, seperti: cedera
pada kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler.
Sementara cedera nontraumatic (misalnya: osteoporosis) lebih sering
terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun.
SCIWORA (Spinal Cord Injury Without Radiologic Abnormality)
terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma spinal cord
komplit yang berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-
anak usia kurang dari 9 tahun. Angka kematian cenderung lebih tinggi
pada anak-anak dengan cedera spinal cord.
Tingginya angka kejadian yang dilaporkan karena trauma spinal cord
sebenarnya dapat dikurangi sedikit demi sedikit dengan memproteksi
individu itu sendiri. Misalnya dengan cara menjamin keselamatan kerja
untuk karyawan dan memberikan alat pelindung yang sesuai di tempat
rekreasi. Jika akan menyelam ke air yang dangkal, lakukan pemeriksaan
kedalaman, dan mencari batu atau penghalang lain.
Para pemain sepak bola diharuskan menggunakan teknik dan peralatan
yang tepat saat bermain, karena pemain sepak bola sering melakukan
gerakan memuntir dan menekuk punggung atau leher sehingga dapat
menyebabkan trauma spinal cord. Begitu pula dengan olahraga lain yang
memungkinkan terjadinya cedera spinal cord, contohnya para pendaki
harus menggunakan perlengkapan yang tepat dan aman saat mendaki
gunung. Untuk mengurangi angka kejadian trauma spinal cord yang
disebabkan karena kecelakaan, para pengguna kendaraan bermotor sangat
dianjurkan untuk menggunakan helm saat mengendarai sepeda motor dan
memasang sabuk pengaman saat mengendarai mobil.
Pada kasus ini peran perawat sangat diperlukan untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan spinal cord
injury dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga
masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan klien dapat terhindar
dari masalah yang paling buruk
BAB II

LANDASAN TEORI

A. DEFINISI

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf saraf yang terhubung ke


susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra.Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis,masukan
sensoris,gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali.Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula
spinalis,kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis ()

Spinal cord injury SCI adalah kerusakan atau trauma pada sumsum
tulang belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi
menyebabkan mobilitas dikurangi atau perasaan.Penyebab umum dari
kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil,tembak,jatuh,cedera olahraga,dll)
atau penyakit (myelitis melintang,polio,spina bifida,ataksia friedreich,ll).Sumsum
tulang belakang tidak harus dipotong agar hilangnya fungsi terjadi. Pada
kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang masih utuh, tetapi
kerusakan selular untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI sangat berbeda
dari cedera punggung seperti disk pecah, stenosis tulang belakang atau saraf
terjepit.

B. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan Gejala Paraplegi Akibat Spinal Cord Injury

a. Gangguan motorik

Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi
kerusakan sel sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan
arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan
segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan
mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai
beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka
gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa
otot-otot anggota gerak bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley,
1991). Masa spinal shock berlangsung beberapa jam bahkan sampai 6
minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera
pada medula spinalis pada level atas bisa pula flaccid karena disertai
kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel – sel saraf

b. Gangguan sensorik

Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya


paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau
system saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami
gangguan. (Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan
mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.

c. Gangguan bladder dan bowel

Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medulla


spinalis, derajat kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya
injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury selama
periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang.
Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif
incontinensia.Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik
membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii
otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan
secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada
di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya
sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk
mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi
dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba
di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter,karena penuhnya
rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua
kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus
dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang
meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia
maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).

d. Gangguan fungsi seksual

• Gangguan seksual pada pria

Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari
setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada
fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan
komplit/tidaknya lesi. Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada
conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi
gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien dengan level cidera
rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi
psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien
mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya
cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter Kemampuan fungsi
seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung
seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya.Gangguan sensasi pada
penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan
locomotor dan aktivitas otot secara volunter.Dapat dilakukan tes untuk
mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang
memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil
(Hirsch, 1990; Brindley, 1984).

• Gangguan seksual pada wanita

Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit
atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih
dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan kembali normal.Pada
pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi
pada organ genitalnya dan gangguan untuk fungsi seksualnya.Pada paraplegi
dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan
lahir normal atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi.Kontraksi uterus
akan terjadi secara normal untuk cidera diatas level Th6,kontraksi uterus yang
terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada Th6 dan
dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet
Th6, Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah
sakit sampai proses kehamilan.

e. Autonomic desrefleksia

Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon


stimulus dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang
tinggi, fisioterapi harus tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic
desrefleksia antara lain

1) keluar banyak keringat pada kepala, leher, dan bahu

2) naiknya tekanan darah,

3) HR rendah,

4) pusing atau sakit kepala.

Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari


reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada
otak, bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan
akibat perubahan posisi yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.

C. ETIOLOGI

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal


seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. . Hagen dkk (2009) mendefinisikan
cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra.
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan congenital dan
perkembangan.

D. PATOFISIOLOGI

Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,


kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang
belakang, paling banyak cervicalis dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah
tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan sumsum tulang
belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan
atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut
anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal,gangguan fungsi rektum, kandung
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan
potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia, gangguan eliminasi. Sebuah
kejadian patofisiologis yang kompleks yang berhubungan dengan radikal bebas,
edema vasogenic, dan aliran darah diubah rekening untuk pemburukan klinis.
Oksigenasi normal, perfusi, dan asam-basa keseimbangan yang diperlukan
untuk mencegah memburuknya cedera sumsum tulang belakang.

Sebuah kejadian patofisiologis yang kompleks yang berhubungan dengan


radikal bebas, edema vasogenic, dan aliran darah diubah rekening untuk
pemburukan klinis. Oksigenasi normal, perfusi, dan asam-basa keseimbangan
yang diperlukan untuk mencegah memburuknya cedera sumsum tulang
belakang.

Cedera tulang belakang dapat dipertahankan melalui mekanisme yang


berbeda, dengan 3 kelainan umum berikut yang menyebabkan kerusakan
jaringan:
1. Penghancuran dari trauma langsung

2. Kompresi oleh fragmen tulang, hematoma, atau bahan disk yang

3. Iskemia dari kerusakan atau pelampiasan pada arteri spinalis

Edema bisa terjadi setelah salah satu jenis kerusakan. Trauma dapat
mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak
langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada
tulang belakang adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak
langsung.Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula spinalis
tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi
persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot
intercostal,kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi
persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada
regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.

Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :

1. Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di


bawah level lesi.

2. Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih


tersisa di bawah level lesi.

3. Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara


tetapi tidak fungsional.

4. Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan


fungsional.

5. Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit


neurologisnya

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan


pemeriksaan diagnostik SCI yang dapat meliputi, sbb:
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi )

2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas

3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal.

4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru.

5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

F. PENGOBATAN

Perawatan dimulai dengan personel gawat darurat medis yang membuat


evaluasi awal dan melumpuhkan pasien untuk transportasi. Perawatan medis
segera dalam 8 jam pertama setelah cedera adalah penting untuk pemulihan
pasien. Saat ini ada banyak pengetahuan lebih besar tentang bergerak dan
penanganan pasien cedera tulang belakang. Salah teknik yang digunakan pada
tahap ini bisa memperburuk cedera jauh

.Bila cedera terjadi dan untuk periode waktu sesudahnya, sumsum tulang
belakang merespon dengan pembengkakan. Pengobatan dimulai dengan obat
steroid,ini dapat diberikan di tempat kejadian oleh Dokter ambulans udara atau
paramedic terlatih. Obat ini mengurangi peradangan di daerah luka dan
membantu untuk mencegah kerusakan lebih lanjut untuk membran sel yang
dapat menyebabkan kematian saraf. Hemat saraf dari kerusakan lebih lanjut dan
kematian adalah sangat penting.

Cedera setiap pasien adalah unik. Beberapa pasien memerlukan operasi


untuk menstabilkan tulang belakang, memperbaiki misalignment kotor, atau
untuk menghapus kabel jaringan menyebabkan atau kompresi saraf. Spinal
stabilisasi sering membantu untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Beberapa
pasien mungkin ditempatkan dalam traksi dan tulang belakang diperbolehkan
untuk menyembuhkan secara alami. Setiap cedera yang unik seperti program
pengobatan cedera posting yang berikut.

Tergantung pada keadaan, ketika pembedahan diperlukan, dapat dilakukan


dalam 8 jam setelah cedera. Pembedahan dapat dipertimbangkan jika sumsum
tulang belakang dikompresi dan ketika tulang belakang memerlukan stabilisasi.
Dokter bedah memutuskan prosedur yang akan memberikan manfaat terbesar
bagi pasien.

Jaringan yang berbeda dan struktur tulang vertebra termasuk sejajar dari
kekuatan cedera, herniated disc, atau hematoma dapat menyebabkan kompresi
sumsum tulang belakang. Sebuah tulang belakang tidak stabil mungkin
memerlukan instrumentasi tulang belakang dan fusi untuk membangun dalam
dukungan.

Instrumentasi tulang belakang dan fusi dapat digunakan untuk memberikan


stabilitas permanen ke kolom tulang belakang. Ini prosedur yang benar,
bergabung,dan memantapkan tingkat di mana elemen tulang belakang telah
rusak atau dihapus (misalnya disc hernia)

Instrumentasi menggunakan perangkat keras yang dirancang medis seperti


batang, bar, kabel dan sekrup. Instrumentasi dikombinasikan dengan fusi
(cangkok tulang) untuk secara permanen bergabung dua atau lebih tulang
belakang.Setelah pasien stabil, perawatan dan pengobatan berfokus pada
perawatan suportif dan rehabilitasi. Anggota keluarga, perawat, atau wali dilatih
khusus memberikan perawatan suportif. Perawatan ini mungkin termasuk
membantu pasien mandi, berpakaian, mengubah posisi untuk mencegah luka
baring, dan bantuan lainnya.

Rehabilitasi sering mencakup terapi fisik, terapi okupasi, dan konseling bagi
dukungan emosional. Setiap program dirancang untuk memenuhi kebutuhan
unik pasien. Layanan mungkin awalnya diberikan ketika pasien dirawat di rumah
sakit atau pada unit spesialis cedera tulang belakang. Setelah rawat inap,
beberapa pasien yang dirawat di sebuah fasilitas rehabilitasi. Pasien lain dapat
melanjutkan rehabilitasi secara rawat jalan dan / atau di rumah.

Program fisioterapi (PT) dapat memfasilitasi pemulihan kekuatan


otot,fleksibilitas, meningkatkan mobilitas, koordinasi, dan mempertahankan
fungsi tubuh melalui latihan. Pijat, hidroterapi, dan perawatan lain dapat
membantu untuk meredakan nyeri.
Terapi Okupasi (PL) mengajarkan pasien bagaimana menghadapi kehidupan
sehari-hari. PL mendorong kemerdekaan dengan membantu pasien dengan
tugas-tugas sehari-hari seperti berpakaian, persiapan mandi, makanan, pergi ke
toilet, dan kegiatan lain sehari-hari.

Pidato dan terapi bahasa dapat dimasukkan. Keterampilan ini menyeberang


ke tempat kerja, membantu pasien mengembangkan potensi penuh mereka. Ini
mungkin termasuk mengajar pasien bagaimana menggunakan otot-otot yang
berbeda untuk menyelesaikan tugas-tugas seperti menulis.

Kadang-kadang lebih dari dukungan dari keluarga dan teman-teman yang


dibutuhkan untuk mengatasi cedera tulang belakang

1. Penatalaksanaan Fisioterapi

Diagnosis Fisioterapi

A. . Impairment :

1) nyeri pada daerah insisi

2) penurunan kekuatan otot-otot tungkai

3) potensial terjadinya atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai

4) menurunnya ROM tungkai

5) gangguan sensasi

6) gangguan fungsi kontrol bladder dan bowel

B. Functional Limitation :

1) gangguan seperti miring, duduk, dan berdiri serta gangguan


aktifitas berjalan.

C. Disability :

1) pasien tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari.


2. Tujuan Fisioterapi

a. Mengurangi nyeri

b. Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai

c. Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai

d. Meningkatkan ROM tungkai

e. Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi

f. Mengembalikan ke ADL yang mandiri

3. Program Latihan Fisioterapi

a. Menjaga fungsi respirasi: breath exc, glossopharyngeal breath, airshift


manuever,strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi.
Bertujuan untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi
paru akibat tirah baring(bed rest). Perhatian pada :

1) Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan


diafragma)

b. Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi


spastisitas,mengkoreksi kelurusan dari fraktur)

c. Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah


kontraktur dan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian
yang lesi

d. Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective)

e. Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor

f. Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil

g. Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang


stabil/tak stabil
Salah satu teknologi yang digunakan dalam penanganan paraplegi adalah
terapi latihan. Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam
fisioterapi yang pelaksanaannya dengan menggunakan pelatihanpelatihan gerak
tubuh baik secara aktif maupun secara pasif. Secara umum tujuan terapi latihan
meliputi pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan
atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot, kemampuan
cardiovaskuler,mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak, stabilitas, rileksasi,
koordinasi keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).

Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien
harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah
proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan
kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai
pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk
adalah penting di bawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol
batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi
roda dan penguatan dapat bekerja.

Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat


otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk
rehabilitasi tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal. Hanya suatu unit
khusus dengan tim multi-disiplin dapat mengajarkan sejumlah besar keterampilan
yang tersisa diperlukan untuk hidup mandiri. Tingkat independensi pasien dapat
mencapai tergantung pada banyak faktor seperti tingkat dari cedera tulang
belakang, usia orang, setiap co-ada kondisi medis dan motivasi dan dukungan
keluarga.
BAB III

PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai