Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bidan merupakan bentuk profesi yang erat kaitannya dengan etika karena
lingkup kegiatan bidan sangat berhubungan erat dengan masyarakat. Karena itu,
selain mempunyai pengetahuan dan keterampilan, agar dapat diterima di masyarakat,
bidan juga harus memiliki etika yang baik sebagai pedoman bersikap/ bertindak
dalam memberikan suatu pelayanan khususnya pelayanan kebidanan. Agar
mempunyai etika yang baik dalam pendidikannya, bidan dididik etika dalam mata
kuliah Etika Profes,i namun semuanya mata kuliah tidak ada artinya jika peserta didik
tidak mempraktekannya dalam kehidupannya di masyarakat. Pada masyarakat daerah,
bidan yang di percaya adalah bidan yang beretika. Hal ini tentu akan sangat
menguntungkan, baik bidan yang mempunyai etika yang baik karena akan mudah
mendapatkan relasi dengan masyarakat sehingga masyarakat juga akan percaya pada
bidan. Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan isu utama diberbagai tempat,
dimana sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi pelayanan kebidanan
terhadap etika. Pelayanan kebidanan adalah proses yang menyeluruh sehingga
membutuhkan bidan yang mampu menyatu dengan ibu dan keluarganya. Bidan harus
berpartisipasi dalam memberikan pelayanan kepada ibu sejak konseling pra konsepsi,
skrening antenatal, pelayanan intrapartum, perawatan intensif pada neonatal, dan
postpartum serta mempersiapkan ibu untuk pilihannya meliputi persalinan di rumah,
kelahiran SC,dan sebagainya. Bidan sebagai pemberi pelayanan harus menjamin
pelayanan yang profesional dan akuntabilitas serta aspek legal dalam pelayanan
kebidanan. Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga perkembangan praktik
berdasarkan evidence based (fakta yang ada) sehingga berbagai dimensi etik dan
bagaimna kedekatan tentang etika merupakan hal yang penting untuk digali dan
dipahami. Dari uraian diatas, makalah ini akan membahas tentang “Etika Profesi
Bidan” dalam masyarakat agar pembacanya dapat termotivasi dan terpacu untuk

1
menjadi bidan yang beretika, profesional dan berdedikasi tinggi di kalangan
masyarakat yang dapat dipelajari dalam kode etik bidan dan etik profesi.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan laporan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah etika profesi dan perundang – undangan
2. Agar dapat mengetahui dan memahami etika dan kewenangan bidan dari hasil
analasis kasus tersebut.
3. Agar dapat mengaplikasikan dengan benar dan sesuai aturan permenkes atau
UU tentang tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan pelayanan
kebidanan.

C. Manfaat
Apabila tujuan dari pembuatan makalah tentang penulisan ini tercapai, maka
manfaat dari makalah ini adalah dapat memperluas wawasan dan pengetahuan
tentang etika dan kewenangan standar pelayanan bidan agar tidak terjadi kasus -
kasus yang terulang yaitu kasus malpraktik atau kelalaian yang sama.

D. Sistematika Laporan

BAB I Pendahuluan
Pada bab ini dijelaskan mengenai pengantar yang berisikan latar belakang ,
tujuan, Manfaat dan sistematika pembahasan laporan praktik.
BAB II Kajian Teori
Pada bab ini dijelaskan mengenai teori – teori yang berhubungan dengan 4
contoh kasus tersebut.
BAB III Tinjauan Kasus
Pada bab ini dipaparkan 4 Kasus yang akan dianalisis.
BAB IV Pembahasan
Pada bab ini diterangkan tentang keterkaitan teori – teori dengan kasus –
kasus dan menerangkan hasil analasis terkait kasus yang terjadi, dengan teori.
BAB V Kesimpulan, dan Saran

2
Pada bab ini dijelaskan mengenai hasil kesimpulan dari analisa, serta
menyimpulkan semua hasil pembahasan keterkaitan teori dengan kasus, dan juga
memberikan saran bagi pihak yang membaca laporan ini.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tanggung Jawab Bidan Memberikan Suntik Oksitosin Pada Ibu Bersalin


Mengakibatkan Pendarahan

3
1. Tentang Suntik Oksitosin

Oksitosin adalah hormon alami yang digunakan untuk meningkatkan


kontraksi uterus atau rahim. Oksitosin adalah obat yang digunakan untuk mencegah
pendarahan pasca persalinan ataupun sebagai induksi atau merangsang agar
terjadinya persalinan. Oksitosin bekerja dengan cara merangsang otot polos sehingga
menyebabkan kontraksi otot pada uterus. Obat ini harus digunakan sesuai indikasi
serta biasa digunakkan oleh orang dewasa muda untuk memicu memulainya
persalinan. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pendarahan pada uterus,
pendarahan retina, mual dan muntah serta peningkatan berat badan. Untuk
menghindari efek samping atau komplikasi yang tidak diinginkan, maka
penggunakan Oksitosin sebaiknya dimonitor secara berkala dan juga oleh tenaga
medis yang ahli.

2. Penyelenggaraan Praktik Kebidanan

Penyelenggaraan praktik kebidanan di Indonesia mempunyai payung hukum


yaitu didasarkan pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan serta
peraturan Menteri Kesehatan. Dalam perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa
bidan termasuk bidang profesi yang terintegrasi dengan tenaga kesehatan. Pada Pasal
23 disebutkan bahwa tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan tersebut dapat dilakukan oleh orang
yang mempunyai keahlian di bidangnya, hal ini dicantumkan pada ayat (2) yang
berbunyi kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Untuk menyelenggaran pelayanan kesehatan tersebut, tentu saja harus memiliki izin
dari pemerintah dan selama memberikan pelayanan kesehatan tidak boleh
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

Pada Permenkes No. 28 Tahun 2017 Pasal 18 Dalam penyelenggaraan Praktik


Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan, yaitu :

a.pelayanan kesehatan ibu;

b. pelayanan kesehatan anak; dan

c.pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.

Pada Permenkes No. 28 Tahun 2017 pasal 19 (3), Dalam memberikan pelayanan
kesehatan ibu, Bidan berwenang melakukan:

a. episiotomi;

4
b. pertolongan persalinan normal;

c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

d. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;

f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;

g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;

h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;

i. penyuluhan dan konseling;

j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan

k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.

Pada pasal 28 bagian (c) dan (g) Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan
berkewajiban untuk :

a. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani


dengan tepat waktu;

b. Mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur


operasional.

B. Tanggung Jawab Bidan Dalam Menangani Pasien Non Kebidanan


1. Penyelenggaraan Praktik Kebidanan

Penyelenggaraan praktik kebidanan di Indonesia mempunyai payung hukum


yaitu didasarkan pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan serta
peraturan Menteri Kesehatan. Dalam perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa
bidan termasuk bidang profesi yang terintegrasi dengan tenaga kesehatan. Pada Pasal
23 disebutkan bahwa tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan tersebut dapat dilakukan oleh orang
yang mempunyai keahlian di bidangnya, hal ini dicantumkan pada ayat (2) yang
berbunyi kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

5
Untuk menyelenggaran pelayanan kesehatan tersebut, tentu saja harus memiliki izin
dari pemerintah dan selama memberikan pelayanan kesehatan tidak boleh
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

Pada Permenkes No. 28 Tahun 2017 Pasal 18 Dalam penyelenggaraan Praktik


Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan, yaitu :
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Pada Pasal 20 Permenkes No. 28 Tahun 2017, Dalam melaksanakan praktik
kebidanannya, Bidan berkewajiban untuk :
1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b
diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
2) Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan :
a. pelayanan neonatal esensial;
b. penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
c. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak
prasekolah; dan
d. konseling dan penyuluhan.
3) Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan perawatan tali pusat,
pemberian suntikan Vit K1, pemberian imunisasi B0, pemeriksaan fisik
bayi baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda identitas diri,
dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan
tepat waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.
4) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :
a. penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan

6
nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung;
b. penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR
melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara
menghangatkan tubuh bayi dengan metode kangguru;
c. penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol
atau povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan
kering; dan
d. membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir
dengan infeksi gonore (GO).
5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan
penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi
badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh
kembang balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP)
6) Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada ibu dan
keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda bahaya
pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi seimbang, PHBS,
dan tumbuh kembang.
Pada Pasal 26 (1) dijelaskan bahwa,
1) Kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah
tempat Bidan bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf b tidak berlaku, dalam hal telah tersedia tenaga kesehatan lain dengan
kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
2) Keadaan tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan
bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
Pada pasal 28 bagian (c) dan (g) Dalam melaksanakan praktik kebidanannya,
Bidan berkewajiban untuk :

7
a. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani
dengan tepat waktu;
b. Mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional;

Dalam Undang-Undang Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga


Kesehatan) terbaru, tenaga kebidanan adalah salah satu jenis tenaga kesehatan.
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai
dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal
62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c UU
Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan kompetensi"
adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai
dengan lingkup dan tingkat kompetensinya, antara lain untuk bidan adalah ia
memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, yang sudah
dipaparkan pada Permenkes No.28 Tahun 2017 pasal 18.

2. Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis MAsyarakat/MTBS

Dalam Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat atau MTBS-M,


yaitu pada Standar Kompetensi menjelaskan bahwa pelayanan MTBS-M diperlukan
standar kompetensi pelaksana MTBS-M, yaitu :

a. Mampu memahami konsep waktu, sehingga di beberapa daerah


diperlukan pelatihan khusus mengenai penentuan umur anak, bayi muda
(0-2 bulan) dalam “minggu” dan balita (2 bulan-5 tahun) dalam “bulan”.

b. Mampu mengidentifikasi :

1) Empat tanda bahaya umum pada balita sakit, yaitu tidak


bisa minum/menyusu, memuntahkan semua, kejang, bergerak
hanya jika disentuh ; dan melakukan rujukan bila didapati
salah satu dari tanda bahaya tersebut.

2) Tanda atau gejala 6 penyakit pneumonia, diare dan demam


pada balita dengan melakukan penilaian, yaitu

8
a) Menghitung napas dan melihat tarikan dinding dada ke dalam.

b) Mengidentifikasi diare 14 hari (2 minggu) atau lebih.

c) Mengidentifikasi minum dengan lahap atau tidak bisa


minum dan cubitan kulit perut kembali lambat.

3) Mampu menentukan klasifikasi penyakit pada balita sakit, yaitu :

a) Klasifikasi Batuk Bukan Pneumonia dan Pneumonia.

b) Klasifikasi Diare Tanpa Dehidrasi dan Diare Dengan


Dehidrasi.

4) Mampu menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan


klasifikasi, yaitu :

a) Menasihati ibu cara menyiapkan pelega tenggorokan dan


pereda batuk yang aman untuk balita dengan klasifikasi
Batuk Bukan Pneumonia.

b) Memberi kotrimoksazol sebelum merujuk balita dengan


klasifikasi pneumonia di daerah sulit akses.

c) -Mdiare tanpa dehidrasi sedangkan pada bayi muda hanya


diberikan oralit.

d) Memberi kotrimoksazol sebelum merujuk balita dengan


diare berdarah di daerah sulit akses.

e) Memberi nasihat perawatan bayi muda di rumah, antara


lain: cara menghangatkan tubuh bayi, merawat tali pusat,
menyusui bayi dengan baik dan meningkatkan produksi ASI.

f) Melaksanakan Perawatan Metode Kanguru (PMK) pada bayi


dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa tanda
bahaya.

g) Memotivasi ibu untuk kunjungan ulang sesuai klasifikasi dan


merujuk segera apabila kondisi anak memburuk saat

9
kunjungan ulang.

5) Mampu merujuk segera:

a) Bayi muda yang memiliki salah satu dari tanda atau gejala :
tidak mau menyusu atau memuntahkan semuanya, ada riwayat
kejang, bergerak hanya jika disentuh, bernapas cepat 60 kali
atau lebih per menit, suhu > 37,5 0C atau < 35,5 0C,
merintih, ada tarikan dinding dada kedalam yang sangat
kuat, mata bernanah, ada pustul di kulit, pusar kemerahan
atau bernanah, diklasifikasikan diare dengan dehidrasi, bayi
kuning atau berubah menjadi kebiruan, terdapat luka di
mulut atau celah bibir/langit-langit atau kondisi bayi
muda bertambah parah ketika kunjungan ulang.

b) Balita yang memiliki salah satu dari tanda bahaya


umum, diklasifikasikan pneumonia atau diare dengan
dehidrasi, diare 14 hari atau lebih, diare berdarah, RDT
memberikan hasil pos demam ≥ 38,5 0C atau kondisi
balita bertambah parah ketika kunjungan ulang.

c) Semua balita yang menunjukkan gejala-gejala sakit di luar


materi pelatihan MTBS-M.

6) Mampu melakukan tindakan yang diperlukan sebelum


merujuk bayi muda, yaitu :

7) Mampu mengisi formulir tatalaksana balita sakit dan bayi muda

8) Mampu melakukan pencatatan penggunaan dan permintaan


logistik.
3. Bidan Sebagai Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi,
kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi

10
tersebut. Sebagai anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yang khusus. Sebagai
pelayan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Perilaku profesional bidan diantaranya adalah :
a. Bertindak sesuai keahliannya
b. Mempunyai moral yang tinggi
c. Bersifat jujur
d. Tidak melakukan coba - coba
e. Tidak memberikan janji yang berlebihan
f. Mengembangkan kemitraan
g. Terampil berkomunikasi
h. Mengenal batas kemampuan
i. Mengadvokasi pilihan ibu
Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan kewajiban, baik pemerintah

maupun warga masyarakatnya, demikian dalam Undnag-Undang nomor 36 tahun

2009 tentang kesehatan. Hak dan kewajiban berdasarkan pasal 4 dan 5 UU

kesehatan mengatakan bahwa : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh derajat kesehatan yang optimal, setiap orang berkewajiban ikut serta

dalam pemeliharaan kesehatan perorang, keluarga juga masyarakat.

C. Kelalaian Seorang Bidan Dalam Melakukan Persalinan Letak Sungsang

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan


kepala di fundus uteri dan bokong berada dibagian bawah kavum uteri. Presentasi
bokong adalah janin terletak memanjang dengan bagian terendah nya bokong, kaki,
atau kombinasi keduanya (Prawirohardjo, 2009). Ada 4 tipe letak sungsang yaitu :
1. Letak Sungsang Sempurna (Complete/ flaxed brech), yaitu letak bokong
dimana kedua kaki ada di samping bokong (letak bokong kaki sempurna).

11
Pada posisi ini paha dan lutut bayi fleksi dan kaki menutupi bokong. Tipe ini
lebih sering pada multigravida. Frekuensi terjadinya75%.
2. Let ak
Bo kong
(Ex tende
d

brech/ frank brech), pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut,
kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu
atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat
diraba bokong.Frekuensi terjadinya 50-70%.
3. Letak Sungsang Tidak Sempurna (Incomplete Breech), Presentasi bokong
kakitidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete orfootling), frekuensi
terjadinya10-30%. Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya
terdapat satu kaki disamping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke
atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua
kaki.Selain bokong bagian terendah juga kaki dan lutut, terdiri dari:
a. Kedua kaki: letakkakisempurna;
b. Satu kaki: letakkakitidaksempurna,
c. Kedua lutut: letaklututsempurna;
d. Satu lutut: letak lutut tidak sempurna,
(Marmi, 2012)

12
1. Etiologi
Ada beberapa penyebab yang memegang peranan dalam terjadinya letak
sungsang diantaranya adalah:
a. Prematuritas karena bentuk rahim relatif kurang lonjong, air ketuban
masih banyak dan kepala anak relatif besar
b. Hidramnion karena anak mudah bergerak
c. Plasenta previa karena menghalangi turunnya kepala kedalam pintu atas
panggul
d. Panggul sempit
e. Kelainan bentuk kepala: hidrocephalus, anencephalus, karena
kepala kurang sesuai dengan bentuk pintu atas panggul.
Faktor lain yang menjadi predisposisi terjadinya letak sungsang selain umur
kehamilan termasuk diantaranya relaksasi uterus berkaitan dengan multiparitas,
multi fetus, persalinan sungsang sebelumnya, kelainan uterus dan tumorpelvis.
Plasenta yang terletak di daerah kornu sungsang dengan pelvis yang menyempit
(panggul sempit).
(Sukarni, 2013).
2. Diagnosis
Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak sulit. Pada pemeriksaan luar,
dibagian bawah uterus tidak dapat diraba bagian yang keras dan bulat, yakni kepala,
dan kepala teraba di fundus uteri. Kadang-kadang bokong janin teraba bulat dan
dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan
semudah kepala. Sering kali wanita tersebut menyatakan bahwa kehamilannya terasa
lain dari pada kehamilannya yang terdahulu, karena terasa penuh dibagian atas dan
gerakan terasa lebih banyak dibagian bawah. Denyut jantung janin pada umumnya
ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada umbilikus.
Pada pemeriksaan luar di dapatkan dibagian bawah uterus tidak teraba kepala,
balotemen negatif, teraba kepala difundus uteri, denyut jantung janin ditemukan
setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada umbilikus. Apabila diagnosis letak
sungsang pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang

13
letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan
panjang telapak tangan. Pada persalinan lama, bokong janin mengalami edema,
sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan bokongdengan muka.
Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan bokong dengan muka karena jari
yang akan di masukan ke dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jariyang
dimasukkan kedalam mulut akanmeraba tulan grahang dan alveola tanpa ada
hambatan. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba disamping
bokong, sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempurna, hanya teraba satu
kaki disamping bokong. Pada pemeriksaan foto rongent didapatkan bayangan
kepala berada di fundus.
(Sukarni, 2013)
3. Komplikasi
Presentasi sungsang berhubungan dengan prolaps tali pusat dan ekstensi
kepala. Resiko pada janin prolaps tali pusat 15% pada presentasi kaki, 5% pada
bokong sempurna , dan 0,5% pada bokong murni. Jika kepala bayi hiperekstensi,
dapat meningkatkan risiko trauma tulang belakang. Beberapa faktor resiko pada
presentasi bokong (sungsang) yaitu:
a. Prematuritas
b. Asfiksia (3 kali dibandingkan persalinan dengan seksio sesaria)
c. Prolaps tali pusat (5 sampai 20 kali dibandingkan dengan seksio
sesaria)
d. Trauma pada saat proses kelahiran (13 kali dibandingkan dengan seksio
sesaria)
e. Cedera tulang belakang (terjadi sebanyak 21% pada persalinan
pervaginam)
Pada mortalitas perinatal, terdapat kematian perinatal 13 kali lebih tinggi dari
pada kematian perinatal pada presentasi kepala. Pada morbiditas perinatal, terdapat 5-
7kali lebih tinggi dari pada presentasi kepala. Gambaran ini dipengaruhi usia
kehamilan, berat janin dan jenis presentasi bokong. Sebab utama kematian perinatal
pada presentasi bokong adalah hipoksia, trauma persalinan, prematuritas dan kelainan
kongenital. Kelainan kongenital terdapat 6-18% pada presentasi bokong,
dibandingkan 2-3% pada presentasi kepala.

14
(Marmi, 2012)
4. Penatalaksanaan Persalinan Letak Sungsang
a. Cara Bracht
Bokong dan pangkal paha janin dipegang dengan 2 tangan kemudian
dilakukan hiperlordosis tubuh janin sehingga lambat laun badan bagian atas,
bahu lengan dan kepala janin dapat dilahirkan. Pada prasat bracht ini,
penolong tidak sama sekali melakukan tarikan dan hanya membantu
melakukan proses persalinan sesuai dengan mekanisme
persalinan presentasi bokong. Tatapi prasat bracht tidak selalu berhasil
melahirkan bahu dan kepala sehingga untuk mempercepat kelahiran bahu dan
kepala dilakukan manual haid atau manual hilfe.

Gb 2. Metode Bracht

b. Cara klasik
Pada dasarnya lengan kiri janin dilahirkan oleh tangan kiri penolong,
sedangkan lengan kanan janin dilahirkan dengan tangan kanan penolong,
kedua lengan dilahirkan sebagai lengan belakang. Bokong dan pangkal paha
yang telah lahir dipegang dengan kedua tangan, badan ditarik ke bawah
sampai dengan ujung bawah scapula depan terlihat dibawah symphisis.
Kedua kaki janin dipegang dengan tangan yang berlawanan dengan lengan
yang akan dilahirkan, tubuh janin ditarik ke atas sehingga perut janin ke arah
perut ibu tangan penolong yang satu dimasukkan kedalan jalan lahir dengan
menelusuri punggung janin menuju lengan belakang sampai ke fossa cubiti.

15
Dua jari tangan tersebut ditempatkan sejajar dengan humerus dan lengan
belakang janin dikeluarkan dengan bimbingan jari-jari tersebut.
Untuk melahirkan lengan depan, dada dan punggung janin dipegang
dengan kedua tangan, tubuh janin diputar untuk merubah lengan depan
supaya berada di belakang dengan arah putaran demikian rupa sehingga
punggung melewati symphisis kemudian lengan yang sudah berada di
belakang tersebut dilahirkan dengan cara yang sama. Cara klasik tersebut
dilakukan apabila lengan depan menjungkit ke atas atau berada dibelakang
leher janin. Karena memutar tubuh dapat membahayakan janin maka apabila
letak bahu normal cara klasik dapat dilakukan tanpa memutar tubuh janin,
sehingga lengan kedua dilahirkan tetap sebagai lengan depan. Kedua kaki
dipegang dengan tangan yang bertentangan dengan lengan depan untuk
menarik tubuh janin kebawah sehingga punggung janin mengarah ke bokong
ibu. Tangan yang lain menelusuri punggung janin menuju ke lengan depan
sampai fossa cubiti dan lengan depan dikeluarkan dengan kedua jari yang
sejajar dengan humerus.

Gb. 3 Metode Klasik


c. Muller
Dengan kedua tangan pada bokong dan pangkal paha,
tubuh janin ditarik ke bawah sampai bahu depan berada di
bawah symphisis kemudian lengan depan dikeluarkan dengan cara yang
kurang lebih sama dengan cara yang telah diuraikan di depan, sesudah itu
baru lengan belakang dilahirkan.

16
Gb 4. Metode Muller

d. Loveset
Dasar pemikirannya adalah bahu belakang janin selalu berada lebih
rendah daripada bahu depan karena lengkungan jalan lahir, sehingga bila
bahu belakang diputar ke depan dengan sendirinya akan lahir di
bawah symphisis setelah sumbu bahu janin terletak dalam ukuran muka
belakang, dengan kedua tangan pada bokong tubuh janin ditarik ke bawah
sampai ujung bawah scapula depan terlihat di bawah symphisis. Kemudian
tubuh janin diputar dengan cara memutar dada dan punggung oleh dua
tangan sampai bahu belakang terdapat di depan dan tampak
dibawah symphisis, dengan demikian lengan dapat dikeluarkan dengan
mudah. Bahu yang lain yang sekarang menjadi bahu belakang, dilahirkan
dengan memutar kembali tubuh janin kearah berlawanana sehingga bahu
belakang menjadi bahu depan dan lengan dapat dilahirkan dengan mudah.

1. Melahirkan Kepala Cara Mauriceau (Viet Smillie)

17
Badan janin dengan perut ke bawah diletakkan pada lengan kiri
penolong. Jari tengah dimasukkan kedalam mulut janin sedangkan jari
telunjuk dan jari manis pada maksila, untuk mempertahankan supaya
kepala janin tetap dalam keadaan fleksi. Tangan kanan memegang
bahu janin dari belakang dengan jari telunjuk dan jari tengah berada di
sebelah kiri dan kanan leher. Janin ditarik ke bawah dengan tangan kanan
sampai suboksiput atau batas rambut di bawah symphisis. Kemudian
tubuh janin digerakkan ke atas, sedangkan tangan kiri tetap
mempertahankan fleksi kepala, sehingga muka lahir
melewati perineum disususl oleh bagian kepala yang lain. Perlu ditekankan
disini bahwa tangan kiri tidak boleh ikut menarik janin, karena dapat
menyebabkan perlukaan pada mulut dan muka janin(Marmi, 2012).

Gb. 6 Mauriceau

D. Seorang Ibu Meninggal Saat Persalinan Karena Kelalaian Bidan

Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai tenaga


kesehatan.Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang
keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran
yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika.

Sedangkan Veronica Komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya


adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya Herman Hediati Koeswadji
menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau

18
praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam
menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek
profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society
de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956)

Malpraktik Kebidanan adalah bidan atau orang yang ada di bawah


perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif)
dalam praktik kebidanan pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar
standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kebidanan, atau dengan
melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informed consent, tanpa SIP (Surat
Ijin Praktik), atau tanpa STR (Surat Tanda Registrasi), tidak sesuai dengan kebutuhan
medis pasien, dengan menimbulkan (causal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan
fisik, mental, dan atau nyawa pasien sehingga membentuk pertanggungjawaban
hukum bagi dokter.

Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi


ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan administrative dalam hal sebagai berikut:

a. Melalaikan kewajiban

19
b. Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja
kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai
tenaga kesehatan

c. Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.

Malpraktek secara umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian


melibatkan lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang
dilalaikan, (3) kerugian yang ditimbulkan, (4) Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang
dilakukan.

Unsur Malpraktik

Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek
atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):

1. Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya


yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.
2. Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi
sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang
seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

3. Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya


menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.

4. Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat


dituntut secara hukum.

Jenis Malpraktik
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai
dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam

20
malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang
dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup
dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua
golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga
meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik
(yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu
malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan
malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence
in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or
omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat
sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional
misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a
practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek
adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan
dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas
terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus
hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan
yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika
kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang
merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk
dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

21
Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan
profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar
janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.
Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
2) Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
3) Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)


Malpraktik pidana terjadi jika perbuatan yang dilakukan tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perubahan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu)
yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang
salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalaian. Contoh malpraktik pidana
dengan sengaja :
1) Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
2) Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
3) Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan
darurat
4) Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
5) Membuat visum et repertum tidak benar
6) Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan
kapasitasnya sebagai ahli
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)
Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

22
1) Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
2) Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
3) Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
4) Tidak membuat rekam medik.
Rekomendasi

1. Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam


berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar
dapat memberikan pelayanan yang aman dan dapat memuaskan kliennya

2. Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk yang
dapat dimengerti oleh wanita dengan menggunakan media laternatif dan
penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap muka secara langsung

3. Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu wanita
melatih diri dalam menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk
keputusan yang mereka ambil sendiri

4. Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan berdasarkan
fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan serendah mungkin

5. Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan
untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif,
bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan suatu tekanan positif.

A. Pengertian Atonia Uteri

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi


dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
(JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)

23
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus
dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga
didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.

Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat


adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta
selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan
ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan
menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah
manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.

B. Penyebab Atonia Uteri

Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti.


Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara
lain:

1. Distensi rahim yang berlebihan


Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a. kehamilan ganda
b. poli hidramnion
c. makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta
lahir.
2. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga
otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah
plasenta lahir.
3. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
4. Kehamilan dengan mioma uterus

24
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum
adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam
miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca
salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6. Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya
kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di
dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7. Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang
potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan
menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
8. Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca
salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda
asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya
perdarahan.
10. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk
berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan
magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11. Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus
berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi
lelah.
12. Penyakit sekunder maternal

25
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere
diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
Beberapa faktor Predisposisi yang lainnya yang terkait dengan perdarahan
pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
1. Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama
kehamilan, diantaranya :
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada pre
eklamsi / eklamsia.
Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam
usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
Menurut Roestman (1998), faktor predisposisi terjadinya Atonia Uteri
adalah :
1. Umur : umur yang terlalu muda atau tua
2. Paritas : sering dijumpai pada multipara dan grademultipara
3. Obstetri operatif dan narkosa
4. Uterus terlalu diregang dan besar, pada gemeli, hidramnion,
atau janin besar
5. Kelainan pada uterus seperti mioma uteri
6. Faktor sosio ekonomi yaitu mal nutrisi
C. Tanda dan Gejala Atonia Uteri
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar
disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak
mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.

26
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri
dan menggumpal
4. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas
dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
D. Pencegahan Pada Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko


perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu


onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk
mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian
oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV
bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.
Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai
waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin
bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin. Prostaglandin (Misoprostol)
akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.

BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Tanggung Jawab Bidan Memberikan Suntik Oksitosin Pada Ibu
Bersalin Mengakibatkan Pendarahan

27
Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kesehatan Ciamis, angka kematian ibu
menduduki peringkat pertama di Jawa Barat dengan jumlah kematian sebanyak 36
kasus pada tahun 2014. Penyebab tingginya kematian ibu tidak hanya pendarahan
yang mencapai 40% yang dialami ketika persalinan, namun disebabkan pula oleh
infeksi dan hipertensi. Dan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni
tahun 2015 diperoleh data selama tahun 2014 Pengurus Daerah Ikatan Bidan
Indonesia (PD IBI) Cabang Kabupaten Ciamis telah melakukan sidang kode etik
kebidanan sebanyak 27 kasus. Sebanyak 9 dari kasus tersebut adalah terdapat bidan
yang memberikan suntikan oksitosin pada ibu bersalin pada kala I persalinan yang
dapat menyebabkan perdarahan postpartum.

B. Tanggung Jawab Bidan Dalam Menangani Pasien Dalam Non


Kebidanan
WHO tahun 2005 telah mengakui bahwa pendekatan Manajemen Terpadu
Balita Sakit (yang selanjutnya disingkat dengan MTBS) dan Manajemen Terpadu
Bayi Muda (yang selanjutnya disingkat dengan MTBM) sangat cocok diterapkan di
Negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan angka kematian, kesakitan dan
kecacatan pada bayi dan balita bila dilaksanakan dengan lengkap dan baik. Karena
pendekatan MTBS dan MTBM tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-
penyakit yang sering menyebabkan kematian pada balita di dunia, termasuk
pneumonia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya preventif (pencegahan
penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif
(pengobatan) .
Setiap tahunnya lebih dari sepuluh juta anak di dunia meninggal sebelum
mencapai usia 5 tahun. Lebih dari setengahnya disebabkan oleh lima kondisi yang
sebenarnya dapat dicegah dan diobati antara lain pneumonia, diare, malaria, campak,
dan malnutrisi. Sering kali kombinasi dari beberapa penyakit lain.
Ketika kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat,
terutama pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh keahlian dan keterampilan bidan
untuk membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering

28
dijumpai pelayanan bidan tidak sesuai dengan wewenangnya dan juga kurangnya
perlindungan hukum terhadap bidan.
Banyak diketemuaan kewenangan bidan melebihi kewengannnya karena
dituntut merawat pasien yang rujuk ke puskesmas antara lain, sakit demam, malaria,
batuk, flu dan berbagai macam penyakit lainnya, bukan hanya tugas pokoknya yaitu
membantu pasien yang melahirkan. Kejadian tersebut sebagian bukan wewenang
bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih
tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau
tanggung jawabnya. Seperti pemberian obat pada bayi yang sakit walaupun
berpedoman dengan MTBS dan MTBM tetapi hal tersebut bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal
21 ayat (2) yang berbunyi “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker.”

C. Kelalaian Seorang Bidan Dalam Melakukan Persalinan Letak Sungsang

Orangtua baru di Sulawesi Utara mengalami kejadian menyedihkan karena


harus berpisah dengan anak pertamanya. Vera, bayi yang tidak dapat tertolong
nyawanya saat persalinan normal oleh bidan yang diduga melakukan malpraktek.
Emily Noer, Mama dari bayi Vera ini mengalami posisi bayi sungsang yang
membutuhkan proses persalinan dengan orang yang ahli dalam urusan persalinan.
Namun, ia menggunakan jasa bidan dari sebuah kelompok Birth Keeper yang
bernama Angela.

Angela berkata dirinya memiliki pelatihan tentang cara melahirkan bayi


sungsang, tetapi pada akhirnya ia tak dapat menyelesaikan proses persalinan tersebut.

Menurut keterangan yang didapat dari ABC News, bayi itu tidak bernapas,
lemas dan tidak memiliki denyut nadi.

29
Dr. Katherine Lessman, dokter kandungan yang menangani kasus ini, mengatakan
bahwa Vera, menderita pembengkakan otak karena tak mendapat pasokan oksigen
saat dilahirkan.

Fakta bahwa Vera, salah satu bayi sungsang yang mengalami malpraktek saat
persalinan normal bisa menjadi perhatian khusus untuk Mama yang sedang hamil.

Persalinan normal pada bayi sungsang memiliki risiko yang sangat fatal jika tidak
dilakukan oleh tim dokter berpengalaman dan dengan peralatan medis yang memadai.

D. Seorang Ibu Meninggal Saat Persalinan Karena Kelalaian Bidan

SIANTAR-Ando Sihombing (35) tidak merelakan kematian istrinya,


Ranimawarni Turnip (30) usai melahirkan anak keempat mereka. Pasalnya, resiko
kematian bisa dicegah kalau saja Bidan R Manarung yang menangani persalinan itu,
tidak mewakilkan penanganan itu kepada anggota dan putrinya sendiri. Curiga terjadi
malprkatik, warga Rantau Prapat, Labuhan Batu ini lantas melaporkannya ke pihak
yang berwajib, Selasa (20/12).

Disela-sela acara Adat jelang pengebumian korban di rumah duka, Jalan AMD
Kelurahan Naga Pita, Siantar Martoba, Ando tampak shok seraya memandangi wajah
istrinya yang terbaring kaku didalam peti. Ketika ditemui, mengaku harus meminta
pertanggung jawaban R Manurung, selaku bidan yang menangani persalinan istrinya.
"Kesal kali aku lae, bisanya dia selamat kalau saja bidan itu tidak menyerahkan
penanganan kepada anak dan anggotanya," ujarnya seraya mengarahkan konfirmasi
lanjut kepada kakak iparnya, Rina br Turnip (44).

Dikatakan Rina, saat itu persinya Minggu (18/12) sekira pukul 10.00 WIB,
adiknya mengaku sudah merasakan sakit pada bagian perut hingga berpikir sudah saat
nya untuk melahirkan sang bayi. Sesuai rencana, korban langsung dibawa ke rumah R
Manurung di Jalan Medan, Kelurahan Naga Pita, Siantar Martoba atau 2 KM dari
rumah orangtuanya (rumah duka, red). Saat itu, Rina ditemani suami korban serta
adik kandungnya, Saut Maruli Turnip (26) ke kerumah bidan tersebut.

30
Setelah ditangani, sang bidan berprediksi kalau kelahiran ditaksi sekitar pukul
16.00 WIB. Sehingga menyarankan korban termasuk suaminya untuk berjalan-jalan
disekitar rumah yang sekaligus tempat ruang praktik persalinan. Belum merasa ada
kekhawatiran saat itu, namun sekitar pukul 14.00 WIB, korban merasakan sakit lagi
dibagian kemaluannya. Namun sang bidan malah keluar pamitan untuk menghadiri
undangan pesta pernikahan.

Tanpa ada komando, Delvi br Sitorus (28) yang mengaku anak dari R Br
Manurung bersama seorang perawat, langsung menangani korban. Baru hitungan
detik memeriksa, Delvi memberitahu bahwa saatnya Ranimawarni melahirkan. Hal
itu diketahuinya karena titik bukaan sudah tujuh. Selanjutnya meminta kepada Rani
maupun suami korban untuk memberi ruang kepada kedua wanita tersebut menangani
proses persalinan.

Hasilnya, masih hitungan sekali "Ngeden" sang jabang bayi berjenis klamin
laki-laki itu, berhasil keluar dari rahim korban. Bahkan berat badan bayi mencapai 4
Kg dengan panjang 45 Cm. Rani dan suami yang sejak tadi memberi semangat pada
korban, sempat mengingatkan kalau darah masih tetap keluar dari kemaluan korban.
Tapi kedua gadis tersebut mengatakan kalau hal itu sudah biasa.

Meski begitu, Delvi memerintahkan perawat tadi untuk mengeluarkan ari-ari


korban. Namun lebih dari setengah jam, ari-ari tersebut tak kunjung keluar meski
perawat yang identitasnya sengaja dirahasiakan keluarga R Manurung itu sudah
menekan perut korban berulang-ulang. Bukannya ari-ari, tapi darah tetap saja
mengalir. "Biasanya itu kak, tadi dia (Ranimawarni, red) saat melahirkan buang air
seni jadi deras dia keluarnya," ujar Rina menirukan perkataan Delvi saat itu.

Begitu sudah keluar, Delvi kembali memerintahkan perawat tadi untuk menjahit
kemaluan korban. Bahkan proses itu, Delvi masih tetap mengarahkan. Sehingga
menurut Rina dan Ando, korban dijadikan objek praktek. Sebab selama menjahit itu,
perawat tadi masih meraba dan tampak jelas masih sangat ragu-ragu.

31
Begitu sudah keluar, Delvi kembali memerintahkan perawat tadi untuk menjahit
kemaluan korban. Bahkan proses itu, Delvi masih tetap mengarahkan. Sehingga
menurut Rina dan Ando, korban dijadikan objek praktek. Sebab selama menjahit itu,
perawat tadi masih meraba dan tampak jelas masih sangat ragu-ragu.

Tapi naas, sekitar pukul 17.45 WIB sebelum tiba di rumahsakit Horas Insani
Pematangsiantar, korban meninggal dalam perjalanan. Hal itu diketahui setelah
dokter rumahsakit memvonis, kalau korban sudah tidak bernyawa. Alangkah
terkejutnya Rina, Ando dan Saut, sebab korban masih sempat bercerita didalam
angkot. Diiringi kepedihan mendalam, korban dibawa pulang kerumah orang tua
Ando di Jalan AMD tadi. Sedangkan bayi tersebut masih berada dirumah bidan R br
Manurung.

Keluarga yang menyesalkan kejadian itu, mengarahkan kesalahan pada R br


Manurung yang membiarkan Delvi dan perawat itu menangani persalinan. Anggapan
Rina, Ando dan Saut kalau kedua wanita itu masih meraba. Apalagi diketahui kalai
Delvi bukan berlatar pendidikan kesehatan maupu kebidanan. Sedangkan perwat tadi
masih berstatus sekolah. Hasil perembukan keluarga, persoalan itupun dibawa ke
pihak yang berwajib.

Oleh Polre Pematangsiantar unit Reskrim dan UPPA setelah menerima laproan Ando,
Selasa (20/12) sekitar pukul 11.00 WIB langsung mendatangi rumah R br Manurung.
Sayangnya petugas tidak mengijinkan peliputan dirumah tersebut. Vahkan R Br
Manurung enggan menemui wartawan dan memilih diam dikamar.

Kasubag Humas Polres Pematangsiantar, AKP Altur Pasaribu menanggapi kalau


pihaknya masih tahap penyelidikan dan membantah kalau kedatangan personilnya ke
rumah R br Manurung bukan untuk mengamankan namun untuk mengorek
keterangan. Pihaknya juga sudah melempar beberapa pertanyaan kepada Delvi dan
perawat yang menangani persalinan korban. "Hasilnya kita tunggu saj," ujarnya
seraya mengatakan, kalau R br Manurung dalam laporan itu masih diduga melakukan
malpraktek.

32
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Bidan Memberikan Suntik Oksitosin Pada Ibu


Bersalin Mengakibatkan Pendarahan

Salah satu kewenangan bidan dalam melakukan pertolongan persalinan yaitu


dengan memberikan suntik oksitosin yang dilakukan pada kala II persalinan untuk
meningkatkan kontraksi. Sehingga apabila bidan memberikan suntik oksitosin
sebelum kala II merupakan tindakan yang bukan menjadi kewenangannya. Artinya
tindakan tersebut bukan wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan
seharusnya dokter spesialis obstetri dan ginekologi (dr. Sp.OG) yang memberikan
oksitosin melalui infus pada ibu bersalin, hal ini dilakukan atas indikasi apabila ibu
bersalin tidak mengalami kemajuan persalinan, diketahui bahwa risiko pemberian
oksitosin pada waktu persalinan untuk melakukan induksi atau augmentasi
b(memperkuat kontraksi) banyak terjadi kejadian berupa robekan rahim sehingga
dapat menyebabkan perdarahan yang bisa berakibat kematian.
Kewenangan bidan melakukan pemberian suntikan oksitosin pada ibu bersalin
normal di PMB dihubungan dengan kompetensi bidan. Dasar kewenangan bidan
sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Pasal 19 (h) Permenkes No. 28 Tahun
2017 bahwa “pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum”
dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, Pemberian suntikan oksitosin
pada ibu bersalin normal merupakan kewenangan bidan yang dilakukan setelah bayi
lahir. Pertanggungjawaban bidan dalam pemberian suntikan oksitosin pada ibu
bersalin normal di PMB yang mengakibatkan perdarahan dihubungkan dengan Pasal
23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pemberian suntikan
oksitosin pada ibu bersalin normal yang mengakibatkan perdarahan diakibatkan
karena suntik oksitosin tersebut diberikan sebelum bayi lahir. Sehingga dengan
demikian bidan melakukan kelalaian yang dapat mengakibatkan perdarahan pada ibu
Postpartum. Hal ini telah melanggar Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

33
tentang Kesehatan karena melanggar prinsip pada Asuhan Persalinan Normal (APN)
yaitu memberikan suntikan oksitosin yang diberikan sebelum kala II pada persalinan
normal. Tanggung jawab bidan yaitu berupa sanksi perdata dan administrasi. Sanksi
perdata atas tanggung jawab bidan dalam kasus tersebut adalah dengan memberikan
ganti rugi kepada pasien baik secara materil maupun immateri dengan penerapan
sanksi Pasal 1365 KUHP yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
mengganti kerugian tersebut.
Pada kasus penelitian diatas yaitu terdapat 4 bagian :
1. Issu, issu yang terjadi pada kasus diatas tersebut yaitu pandangan
masyarakat terhadap pelayanan bidan yang tidak professional karena
dari hasil penelitian tersebut dalam pemberian oksitosin tidak tepat
pada waktunya, sehinggan bidan melalaikan standar pelayanan yang
sudah ditetapkan pada Permenkes No. 28 Tahun 2017
2. Dilema, bidan dilema karena bidan ingin mempercepat persalinan
tetapi disatu sisi untuk mempercepat persalinan yaitu dengan cara
menyuntikan oksitosin pada ibu.
3. Konflik, Terjadi konflik batin karena bidan membiarkan memberikan
suntikan tersebut kepada ibu pada saat sebelum waktunya.
4. Pengambilan keputusan, pengambilan keputusan bidan pada kasus
diatas kurang tepat karena tidak sesuai dengan kewenangan bidan yang
telah dijelaskan pada Permenkes No. 28 Tahun 2017 pasal 19 (h)
bahwa “pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan
postpartum” sehingga pengambilaan keputusan bidan tersebut
melanggar aturan Permenkes.

B. Tanggung Jawab Bidan Dalam Menangani Pasien Dalam Non


Kebidanan
Tenaga kebidanan adalah salah satu jenis tenaga kesehatan. Sebagai salah
satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan

34
kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal 62 ayat
(1) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62
ayat (1) huruf c UU Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan
berdasarkan kompetensi" adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan
secara mandiri sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya.
Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga
Kesehatan, ia dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam Pasal 82
ayat (1) UU Tenaga Kesehatan. Sanksi yang dikenal dalam UU Tenaga Kesehatan
adalah sanksi administratif, yakni sanksi ini dijatuhkan jika bidan yang bersangkutan
dalam menjalankan praktiknya tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain, jika memang memberikan obat atau suntikan bukanlah kompetensi
yang dimilikinya, maka sanksi yang berlaku padanya adalah sanksi administratif
bukan sanksi pidana. Akan tetapi, apabila ternyata pertolongan persalinan itu
merupakan suatu kelalaian berat yang menyebabkan penerima pelayanan kesehatan
menderita luka berat, maka bidan yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan
kematian, bidan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
(lihat Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan).
Kode etik diharapkan mampu menjadi sebuah pedoman yang nyata bagi para
bidan dalam menjalankan tugasnya. Tapi pada kenyataannya para bidan masih banyak
yang melakukan pelanggaran terhadap kode etiknya sendiri dalam pemberian
pelayanan terhadap masyarakat. Program dalam Permenkes No. 28 tahun 2017
tentang penyelenggaraan praktik kebidanan memang memperbolehkan bidan dalam
menangani bayi dan balita sakit sesuai dengan pedoman MTBM dan MTBS karena
hal tersebut dapat sangat membantu dalam mengurangi angka kematian bayi dan
balita. Tetapi dalam hal pemberian obat terhadap bayi dan balita sakit bidan tidak
memiliki wewenang dan tidak memiliki kompetensi sehingga disini dapat terjadi
konflik jika terjadi kesalahan dalam pemberian obat, terutama dalam pedoman MTBS
dan MTBM obat yang sering di gunakan adalah antibiotik. Antibiotik sendiri jika di
berikan tidak sesuai usia dan sesuai dosis maka akan berakibat sebaliknya yaitu dapat

35
melemahkan system kekebalan tubuh manusia yang akan mengakibatkan lebih mudah
penyakit masuk kedalam tubuh bayi dan balita tersebut.
Tetapi dalam keadaan tertentu seperti kegawatdaruratan dan tidak adanya
tenaga kesehatan lain didaerah tempat bidan tersebut praktek (tidak adanya tenaga
kesehatan lain didaerah tersebut dinyatakan dengan keterangan dari Dinas Kesehatan
setempat). Bidan boleh melakukan penanganan atau pemberian obat terhadap bayi
dan balita tetapi sesuai dengan panduan MTBS dan MTBM dan sesuai dengan
batasan-batasan penyakit yang sudah ditentukan. Penyakit yang dapat ditangani oleh
bidan sesuai dengan MTBS dan MTBM adalah diare, demam, masalah telinga, status
gizi, dan anemia, dengan catatan masih dalam klasifikasi rendah dan sedang, jika
sudah pada tahap klasifikasi yang berat maka pasien tersebut harus segera dirujuk.
Pada kasus penelitian diatas yaitu terdapat 4 bagian :
1. Issu, issu yang terjadi pada kasus diatas tersebut yaitu pandangan
masyarakat terhadap pelayanan bidan yang tidak professional dalam
memberikan obat karena obat yang bidan berikan hanyalah sebatas
antibiotik yang dimana hanya itu saja obat yang boleh bidan berikan,
selain itu bukan kewenangan bidan.
2. Dilema, bidan dilema karena pasien datang ke tempat bidan dan
mengharapkan pelayanan dan pertolongan dari bidan, tetapi disatu sisi
itu bukan kewenangan bidan.
3. Konflik, Terjadi konflik pada saat pasien mengharapkan pelayanann
kepada bidan yang dimana bukan kewenangannya.
4. Pengambilan keputusan, pengambilan keputusan bidan pada kasus
diatas kurang tepat karena bidan melakukan pelayanan kepada pasien
yang dimana memerlukan obat yang tidak bisa bidan berikan karena
bukan kewenangan bidan tetapi bidan malah tetap menerima pasien
tersebut dan memberikan pelayanan, seharusnya keputusan bidan adalah
tetap memberikan asuhan tetapi untuk pengobatan dianjurkan ke klinik
atau rumah sakit.

36
C. Kelalaian Seorang Bidan Dalam Melakukan Persalinan Letak
Sungsang

Di sebuah desa di povinsi Sulawesi Utara ada seorang ibu hamil yang ingin
melakaukan persalinan oleh seorang bidan. Sebelumnya ibu Vera sudah mengetahui
bahwa janin yang dikandungnya mengalami letak sungsang. Namun ibu Vera ingin
melakukan persalinan di Bidan yang bernama Bidan Angel, Bidan ini diketahui sudah
memiliki kompetensi dan keahlian untuk menolong persalinan sungsang, karena Ibu
Vera merasa yakin oleh Bidan Angel akhirnya ibu Vera melakukan persalinan dan
ditolong oleh Bidan Angel. Akhirnya persalinan pun dilakukan, persalinan dilakukan
dengan waktu yang cukup lama karena Bidan Angel mengalami kesulitan. Akhirnya
pada saat bayi sudah lahir, bayi dinyatakan meninggal dunia, bayi itu tidak bernapas,
lemas dan tidak memiliki denyut nadi. Ternyata setelah di rujuk ke sebuah Rumah
Sakit Dokter di Rumas Sakit mengatakan “selain janin ibu Vera yang memang letak
sungsang namun Ibu Vera mengalami pembengkakan otak karena tidak mendapatkan
pasokan oksigen”.

Narasi
Dalam Kasus ini terdapat tiga bagian yaitu bagian konflik, issu, dan dilema dalam
pelayanan ini, sebagai berikut :
a. Konflik
Pada kasus ini terdapat konflik dalam pelayanan praktik bidan yaitu
melakukan persalinan sungsang dengan cara normal, dan Ibu mengalami
Pembengkakan Otak.
b. Isu
Yang dimana pada kasus tersebut dari pandangan mata masyarakat, bidan
dalam pelayanan atau melakukan tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak
professional. Sedangkan bidan Angel sudah memiliki pengalaman dan
berkompeten dibidangkan, ini yang menyebabkan hilangnya kepercayaan dari
masyarakat terhadap bidan Angel
c. Dilema

37
Bidan Angel sudah memiliki keterampilan dan pengalaman dalam melakukan
persalinan sungsang, hal itu yang membuat Ibu Vera percaya terhadap Bidan
Angel dan melakukan persalinan normal. Namun ternyata saat persalinan bayi
Ibu Vera tidak terselamatkan.
Dalam Permenkes No 28 Tahun 2017 pasal 19 Ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa :
“pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan :
a. Konseling pada masa sebelum hamil;
b. Antenatal pada kehamilan normal;
b. Persalinan normal;
c. Ibu nifas normal;
d. Ibu menyusui; dan
e. Konseling pada masa antara dua kehamilan.
Ayat (3)
Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
bidan berwenang melakukan :
a. Episiotomy;
b. Pertolongan persalinan normal;
b. Penjahitan luka jalan kahir tingkat I dan II;
c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan degan perujukan;
d. Pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;
e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
f. Fasilitasi/ bimbingan inisiasi menyusui dii dan promosi air susu ibu
eksklusif;
g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga da postpartum;
h. Penyuluhandan konseling;
i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan
j. Pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.

Menurut Permenkes di atas dinyatakan bahwa Bidan berwenang untuk m


enolong persalinan secara normal atau pervaginam tetapi tidak berwenang melakukan

38
persalinan patologis. Bayi letak sungsang termasuk dalam persalinan patologis atau
penyulit yang memerlukan pengawasan dan ketersedian alat yang memadai sehingga
pasein dengan letak sungsang seharusnya dirujuk ke pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit agar ditangani oleh dokter yang berwenang.

D. Seorang Ibu Meninggal Saat Persalinan Karena Kelalaian Bidan


Seorang Ibu hamil yang bernama Rani ingin melakukan persalinan karena
sudah merasakan kontraksi di perutnya. Lalu Ibu Rani menuju tempat praktik bidan
ditemani oleh suami dan saudara kandungnya. Setelah sampai di praktik Bidan, Bidan
langsung menangani dan melakukan pemeriksaan awal. Bidan berprediksi kalau
kelahiran ditaksi sekitar pukul 16.00 WIB. Sehingga bidan menyarankan Ibu Rani
untuk jalan-jalan di sekitar halaman praktik bidan. Belum ada kekhawatiran pada saat
itu, hingga pada pukul 14.00 Ibu rani merasakan sakit pada kemaluannya, namun
pada saat itu Bidan justru pergi untuk menghadiri sebuah acara pernikahan. Tanpa
komando, Delvi yang mengaku anak dari bidan dengan sorang perawat menyatakan
Ibu Rani sudah harus bersalin saat itu juga. Ibu Rani mengedan karena diketahui titik
bukaan sudah tujuh. Akhirnya bayi berjenis kelamin laki-laki itu lahir dengan berat 4
Kg dengan panjang 45 cm. Namun setengah jam kemudia ari-ari korban belum juga
keluar justru darah yang keluar sangat banyak. Keluarga korban sempat panik, Delvi
dan perawat itu mengatakan memang seperti itu. Delvi dan perawat itu terus menekan
perut korban namun tetap saja yang keluar hanya darah. Saat sudah keluar air-ari
Delvi memerintahkan perawat untuk menjahit kemaluannya. Namun menurut
pendapat keluarga korban bahwa perawat tersebut terlihat ragu-ragu dan belum lihai.
Hingga akhirnya korban dibawa ke Rumah Sakit tapi naas, sekitar pukul 17.45 WIB
sebelum tiba di rumah sakit Horas Insani Pematangsiantar, korban meninggal dalam
perjalanan. Hal itu diketahui setelah dokter rumahsakit memvonis, kalau korban
sudah tidak bernyawa.
Dalam kasus tersebut sudah terjadi pelanggaran pelayanan praktik bidan. Seperti yang
sudah tertulis pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Kebidanan. Pada pasal 49 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu tertulis bahwa, dalam

39
menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 46 ayat (1) huruf a, Bidan berwenang:
a. Memberikan Asuhan Kebidnan pada masa sebelum hamil;
b. Memberikan Asuhan Kebidanan pada masa kehamilan normal;
c. Memberikan Asuhan Kebidanan pada masa persalinan dan menolong
persalinan normal.
Selain itu juga pada pasal 61 tertulis bahwa, Bidan dalam melaksanakan
Praktik Kebidanan berkewajiban :
a. Memberikan Pelayanan Kebidanan sesuai dengan kompetensi,
kewenangan dan mematuhi kode etik, standar pelayanan profesi, standar
prosedur professional.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan lengkap mengenai tindakan
Kebidanan kepada klien dan/atau keluarganya sesuai kewenangannya.
Pasal 62 tentang Hak dan Kewajiban klien, dimana klien berhak :
a. memperoleh Pelayanan Kebidanan sesuai dengan kompetensi, kode etik,
standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur
b. memperoleh informasi secara bedan dan jelas mengenai kesehatan klien,
termasuk resume isi rekam medis jika diperlukn;
Jadi dapat dikatakan bahwa bidan tersebut telah melanggar undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan. Pada pasal 49 tentang
Pelayanan Kesehatan Ibu dan pasal 61. Bidan tersebut (tersangka) tidak dapat
memberikan pelayanan maksimal dan perhatian khusus untuk pasien yang akan
bersalin. Bidan tidak dapat mematuhi kode etik, standar pelayanan profesi Bidan.
Bidan telah meninggalkan pasien ke undangan pernikahan sedangkan pasien
membutuhkan pengawasan dari bidan. Selain itu juga Bidan telah menghilangkan hak
dari pasien, dimana pada pasal 62 tertulis bahwa klien berhak memperoleh Pelayanan
Kebidanan sesuai dengan kompetensi, namun pada kasus tersebut pasien sama sekali
tidak mendapat pelayanan yang sesuai kompetensi.

40
Pada kasus ke-4 ini korban mengalami Atonia Uteri, dimana uteri tidak
berkontraksi setelah plasenta keluar. Pada saat perawat sudah menekan perut
korban bukan plasenta yang keluar justru darah yang keluar. Jadi pada kasus
ini Delvi tidak mendiagnosis secara cepat bahwa pasien ini mengalamu atonia
uteri. Dimana atonia uteri membutuhkan tindakan yang cepat. Tindakan yang
yang dilakukan adalah jika terjadi perdarahan pospartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan
cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring
saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.

Narasi
Dalam Kasus ini terdapat tiga bagian yaitu bagian konflik, issu, dan dilema dalam
pelayanan ini, sebagai berikut :
a. Konflik
Pada kasus ini terdapat konflik dalam pelayanan bidan antara tindakan bidan
dan tindakan anaknya. Dimana bidan justru pergi meninggalkan pasien yang
seharusnya membutuhkan perhatian. Sedangkan Delvi (anaknya) menolong
persalinan tanpa komando dan tidak memiliki kehalian dibidangnya.
b. Isu
Isu dari kasus di atas adalah menurut pandangan masyarakat Bidan itu lari
dari tanggung jawab dan tidak memperhatikan keselamatan pasien. Selain itu
juga tindakan anak yang tidak mengetahui prosedur merasa dirinya mampu
menolong persalinan namun pada kenyataannya Ibu Rani yang ditolong
meninggal karena perdarahan.
c. Dilema
Dilemma yang terjadi pada kasus ini adalah Delvi melihat korban merasa
kesakitan dan berinisiatif untuk menolong korban walaupun diketahui titik
bukaan korban masih tujuh. Delvi dan seorang perawat memimpin persalinan
hingga bayi lahir namun korban terus mengalami pedarahan.

41
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kewenangan bidan melakukan pemberian suntikan oksitosin pada ibu
bersalin normal di PMB dihubungan dengan kompetensi bidan. Dasar
kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Pasal 19
(h) Permenkes No. 28 Tahun 2017 bahwa “pemberian uterotonika pada
manajemen aktif kala tiga dan postpartum” dan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Pasal 23, Pemberian suntikan oksitosin pada ibu bersalin
normal merupakan kewenangan bidan yang dilakukan setelah bayi lahir.
2. Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik
harus sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang
dimilikinya (lihat Pasal 62 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c UU Tenaga
Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan kompetensi"
adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri
sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya. Program dalam
Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang penyelenggaraan praktik kebidanan
memang memperbolehkan bidan dalam menangani bayi dan balita sakit

42
sesuai dengan pedoman MTBM dan MTBS karena hal tersebut dapat
sangat membantu dalam mengurangi angka kematian bayi dan balita.
3. Tenaga kebidanan adalah salah satu tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan sesuai
dengan keahlian yang dimiliki. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,
bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang
telah teregistrasi sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan. Pelayanan
kebidanan berfokus pada upaya pencegahan, promosi kesehatan,
pertolongan persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak,
melaksanakan tindakan asuhan sesuai dengan kewenangan atau bantuan
lain jika diperlukan serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan. Bidan
boleh melakukan tindakan kegawatdaruratan apabila tidak adanya tenaga
medis lain, atau bisa juga ketika kondisi sangat darurat, misalnya seorang
ibu akan melahirkan sungsang namun jarak rumah sakit sangat jauh, bidan
selaku tenaga profesional boleh melakukan tindakan pertolongan demi
menyelamatkan ibu dan bayi selama yang mereka lakukan sesuai dengan
standar operasional tenaga kebidanan.

4. Kesimpulan yang didapat pada kasus ke-4 adalah Tenaga kebidanan dalam
menjalankan perannya senantiasa memiliki alasan yang mulia, yaitu
berusaha menyelamatkan ibu dan bayi. Namun pada kasus di atas Bidan
tersebut (tersangka) tidak dapat memberikan pelayanan maksimal dan
perhatian khusus untuk pasien yang akan bersalin. Bidan tidak dapat
mematuhi kode etik, standar pelayanan profesi Bidan. Bidan telah
meninggalkan pasien ke undangan pernikahan sedangkan pasien
membutuhkan pengawasan dari bidan. Selain itu juga Bidan telah
menghilangkan hak dari pasien. Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan pada pasal 62 tertulis
bahwa klien berhak memperoleh Pelayanan Kebidanan sesuai dengan

43
kompetensi, namun pada kasus tersebut pasien sama sekali tidak mendapat
pelayanan yang sesuai kompetensi.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan laporan
Pratik ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

44

Anda mungkin juga menyukai