Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MAKALAH
Oleh:
HASNAWATI
NIM. G2D119047
UNIVERSITAS HALUOLEO
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
pada Mata Kuliah Wawasan Kemaritiman. Dalam penulisan makalah ini penulis
Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah literasi
Hasnawati
ii
BAB I. PENDAHULUAN
MENGENAL WILAYAH PESISIR
ii
lautan, dan 2,55 juta km zona ekonomi ekslusif (ZEE). Mengingat luas laut
Indonesia lebih luas dari wilayah daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan
lautan memiliki potensi yang sangat penting, karena wilayah pesisir lautan
menyediakan berbagai sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati yang
bernilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Wilayah pesisir memiliki ekonomi tinggi, namun terancam
berkelanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka
wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya
wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara
berkelanjutan. Wilayah pantai Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang sangat penting untuk dikembangkan (ekosistem pantai).
Diperkirakan 60% atau 150 juta dari penduduk Indonesia bermukim di wilayah
pesisir dan sekitar 80% lokasi industri di Indonesia terletak di wilayah pesisir,
karena akses transportasinya lebih mudah ke pusat perdagangan.
Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan
ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa
wilayah, potensi sumberdaya belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin
keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara
terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua
stakeholders terutama masyarakat pesisir. Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, dimana dalam Pasal 1 angka 2 UU tersebut
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari
garis pantai. Dengan demikian ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah
pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah
ii
administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat sebenarnya
telah di tetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan
tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan negara atas
sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan kepada
tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan
juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki
kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai..
Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal
tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat
karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun
dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal
Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik Indonesia
tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat lokal baik
dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sehingga mampu
menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian
pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.
ii
1.2 Identifikasi Masalah
Maksud dan tujuan diadakannya kegiatan analisis dan evaluasi hukum tentang
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah untuk mengidentifikasi
permasalahan terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
baik dari aspek materi hukum, kelembagaan dan aparatur, pelayanan hukum
maupun budaya hukum masyarakat. Hasil dari analisis dan evaluasi hukum ini
diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang tepat atas permasalahan
tersebut, sehingga memberikan arah pembangunan sistem hukum yang selaras dan
harmonis dengan konstitusi dan politik hukum nasional.
1.4 Metode
Metode yang digunakan dalam Analisa dan Evaluasi Hukum ini adalah
yuridis normatif yang berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan
hukum primer (Peraturan Perundangan) dan bahan hukum sekunder (berupa buku-
buku) serta bahan 10 hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah
ilmiah, sumber internet dan sebagainya). Sumber hukum materil masalah pesisir ini
mengacu pada inventarisasi permasalahan yang meliputi materi hukum,
kelembagaan dan aparatur, pelayanan hukum dan budaya hukum. Pengolahan data
dilakukan melalui penelusuran kepustakaan dan diskusi sesama anggota tim serta
ii
Focuss Group Discussion (FGD). Analisa hukum dilakukan dengan menggunakan
instrumen analisis dan evaluasi hukum yang disusun oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional BPHN Tahun 2014, yang meliputi 4 aspek yaitu
aspek materi hukum, aspek kelembagaan dan aparatur hukum, aspek pelayanan
hukum dan aspek budaya hukum.
ii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya tumbuhan dan
binatang di sekitarnya. Komponen yang mendampingi harus ada di sekitar manusia
yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup
bagi manusia. Lingkungan hidup boleh dikatakan merupakan bagian mutlak dari
kehidupan manusia. Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan benda mati, khususnya manusia dengan
lingkungan disekitarnya.
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sangat dominan
peranannya dalam lingkungan hidup. Manusia dengan akal budi yang dimilikinya
dapat mempengaruhi lingkungan disekitarnya dengan melakukan pencemaran,
perusakan maupun pelestarian terhadap lingkungan. Pencemaran dan perusakan
lingkungan menimbulkan masalah bagi masyarakat yang perlu dicegah dan
ditangani, hal ini disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya pengetahuan serta
akibat negatif dari pelaksanaan pembangunan.
Penguasa dalam hal ini pemerintah, perlu turun tangan mengatur dan
mengendalikan perilaku seseorang agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai
dengan daya dukung lingkungan, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Hukum lingkungan
menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma untuk mengatur tindakan atau
perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari pencemaran
dan perusakan agar lingkungan terjaga sehingga dapat digunakan oleh generasi
mendatang.
Penegakan hukum lingkungan dilakukan melalui instrumen hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi. Hukum lingkungan menyangkut
penetapan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan
diberlakukan dimasa mendatang sehingga dapat disebut hukum yang mengatur
tatanan lingkungan hidup. Hukum lingkungan mempunyai kedudukan dan arti
penting dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang menjadi dasar yuridis bagi
pelaksanaan kebijakan-kebijakan sebagaimana telah dirumuskan oleh pemerintah
ii
dalam peraturan perundangundangan. Pemerintah dalam menegakkan hukum
lingkungan dengan menetapkan peraturan di bidang lingkungan hidup yang
merupakan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang lingkungan
hidup.
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan ketentuan pokok pengelolaan
lingkungan hidup yang berfungsi sebagai ”payung hukum” (umbrella provesion)
bagi peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup di Indonesia.
Perumus undang-undang menyadari betapa vitalnya lingkungan hidup dengan
segala komponennya bagi eksistensi sebuah negara, bahkan harus disadari bahwa
vitalitas lingkungan hidup memberikan dampak positif dan berganda bagi
kelangsungan dan keberhasilan pembangunan.
Wewenang yang dimiliki pemerintah berdasarkan peraturan perundangan
merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap hak warga negaranya untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan amanat Undang-
Undang Dasar tersebut memberikan konsekwensi bahwa pemerintah berkewajiban
memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk
didalamnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena
permasalahan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil salah satunya adalah masalah
lingkungan.
Konsekwensi hukum muncul karena dengan adanya pasal tersebut paka
pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab agar
masyarakat memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui sarana hukum
sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat dibidang lingkungan
hidup.
ii
2.1 Arah Politik Hukum Pengelolah Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dalam
membangun bangsa dan mensejaterahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan,
kekayaan sumberdaya alam yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya alam
yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya hayati maupun sumberaya non
hayati. Namun demikian, kekayaan sumberdaya alam tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal, salah satunya disebabkan oleh ego sektoral yang berujung pada
konflik kewenangan antar lembaga ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan
pesisir laut dan pulau-pulau kecil, karena masing-masing lembaga merasa
berwenang untuk memanfaatkan, namun saling menyalahkan ketika terjadi
kerusakan.
ii
(konflik sektoral) akan tetapi juga terkait dengan kewenangan daerah dalam
mengelola sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
ii
selebihnya berupa terna 5 jenis, perdu 9 jenis, liana 9 jenis, efipit 29 jenis dan
parasite 2 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyka di jumpai di wilayah pesisir
Indonesia adalah bakau (Rhzophora spp), api-api (evicennia spp), pedada
(sonneratia spp), tanjang (Bruguiera spp).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia lutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai biota,
penahan abrasi panyai, amukan angina taufan dan tsunami, menyerap limbah,
pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya, hutan mengrove juga mempunyai
fungsi ekonomis yang sangat tinggi, seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan,
alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,
minuman, perlatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan
tempat rekreasi.
Padang lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun hidup diperairan
dangkal agak berpasir sering juga dijumpaiditerumbu karang. Padang lamun ini
merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya. Padang lamun di
Indonesia terdiri dari tujuh marga lamun. Tiga marga lamun dari suku
Hydrocaritaceae yaitu Enhauls, Thalssia dan Halophila dan empat marga dari suku
Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassodendron.
ii
wilayah untuk menyediakan sumber daya alam atau jasa lingkungan. Misalnya
pencemaran teluk Jakarta oleh bahan organik dan logam berat yang selama ini
terjadi adalah karena jumlah limbah organik dan logam yang di buang kedalam
teluk ini melampaui kapasitas asimilasinya didalam menyerap (mengasimilasi atau
menetralisir).
Limbah organic dan logam berat. Gejala overfishing (tangkap lebih)yang
menimpa beberapa jenis stok ikan di selat malaka, pantai utara jawa, selat bali dan
pantai selatan Sulawesi di sebabkan oleh karena laju(tingkat) penangkapan yang
melebihi potensi lestari stok ikan termaksud.
Tingginya permintaan terhadap sumberdaya alam,juga sering kali di
akibatkan oleh kemiskinan penduduk.hingga saat ini sebagian besar masyarakat
pesisir masih diliit kemiskinan fenomena kemiskinan tersebut akan mengarah
kepada keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
racun atau pastisida dengan melihat keberlanjutan sumberdaya alam yang ada.
Erosi dan sedimentasi serta banjir dan kekeringan merupakan fenomena
(peristiwa) alamiah. Peristiwa erosi di suatu lokasi dan sedimentasi di lokasi lain
yang hanya di sebabkan oleh dinamika alam, biasanya system alam(ekosistem)
akan membentuk suatu keseimbangan baru yang tidak akan menimbulkan
kerusakan lingkungan dan kerugian serius terhadap kehidupan umat manusia.
Demikian juga halnya dengan fenomena banjir dan kekeringan. Akan tetapi, ketika
erosi dan sedimentasi serta banjirdan kekeringan di terparah akibat ulah manusia,
seperti penggundulan hutan, melakukan kegiatan pertanian dan pemukiman(villa)
pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40 derajat, melakukan kegiatan pertanian
di sepanjang daerah aliran sungai tanpa upaya konservasi tanah yang memadai, dan
membuat rekayasa dan konstruksi pantai tanpa mengindahkan dinamika hidro-
oseanografi setempat, maka terjadilah peristiwa erosi dan sedimentasi serta banjir
dan kekeringan yang dapat merugikan.
Manusia sebagai pengguna sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir memiliki konstribusi terhadap permasalahan pembangunan pesisir. Sumber
dari akar permsalahan sebagai berikut:
ii
1. orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek
Dari sisi nilai yang strategis sumberdaya hayati laut, secara sector kelautan
sebenarnya masih juga dipandang sebelah mataoleh pemerntah dan dunia swasta,
karna dianggap nilai strategisnya masih kurang menarik di bandingkan nilai
ekonomi jangak pendek dan menengah sektoe industri, petmbangan dan
pemukiman. Akibatnya, beberapa kawasan pesisir harus direklamasi untuk
kepentingan kegiatan pembangunan seperti diatas. Padahal bila dihitung nilai
ekonominya tidak kalah dengan nilai ekonomi sector lainnya, sebagai contoh hasil
studi penghitungan nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan Indonesia,
untuk hasil produksi hutan mangrove misalnya, di dapatkan nilai sebesar 10-20 us
dolar per-tahun.
Berdasarkan data yang diambil oleh Asian Wetland Burue (AWB) tahun 1992,
Indonesia memiliki 2,7 juta ha dengan menggunakan perhtungan kasar didapat nilai
hasil produksi hutan mangrove adalah sebesar 2-54jt us dolar per-tahun atau dengan
nilai kurs 5000 per-dolar adalah sebesar 135-270 milyar rupiah, sementara nilai
hasil produk perikanan dari hutan mangrove didapat nilai sebesar 135juta us dolar
atau sebesar 675 milyar rupiah. Bandingkan dengan bantuan singapura terhadap
Indonesia ketika terjadi krisis moneyter hanya sebesar 10juta us dollar atau 50
milyar rupiah saja, atau hampir sama dengan nilai hasil produksi hutan mangrove
saja, bahkan tidak sampai sepersepuluh dari nilai hasil produk perikanan hutan
ii
mangrove. Sementara sumberdaya yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya
hutan mangrove saja, namum masih terdapat terumbu karang,padang lamun, dan
rumput laut.
ii
akan menimbulkan masalah lingkungan yang akan berdampak negatif terhadap
kehidupan dan lingkungan mereka. Namun, karena mereka tidak memiliki alternatif
lain untuk menyambung hidup, maka kegiatan yang bersifat merusak lingkungan
tetap mereka lakukan. Kasus ini banyak terjadi di perairan teluk Lampung dimana
masyakat pesisir disana melakukan pemboman ikan di kawasan terumbu karang;
ketiga adanya peluang untuk melakukan kegiatan yang bersifat destruktif. Belum
optimalnya lembaga atau instansi yang mengatur dan mengawasi pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir menjadi peluang untuk melakukan kegiatan destruktif.
5. Pengawasan, Pembinaan, dan Penegakkan Hukum Masih Lemah.
Pengawasan, pembinaan dan penegakan hukum yang masih lemah telah
memicu timbulnya berbagai permasalahan lingkungan. Kurangnya pengawasan dan
penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat bawah (masyarakat)
maupun tingkat atas (pemerintah) membuat kecenderungan kerusakan lingkungan
lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu lembaga khusus yang
independen dengan otoritas penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum
yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Saat ini di Indonesia telah banyak
hukum dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan
Lautan yang berkelanjutan. Namun pada kenyataannya hukum dan
peraturanperaturan tersebut banyak yang tidak di implementasikan. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum (law enforcement), egoisme sektoral
(sectoral egoism) dan lemahnya koordinasi antara sektor. pencemaran diberbagai
kawasan pesisir, salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pengawasan
terhadap sistem pembuangan limbah. Demikian juga, bila terjadi pelanggaran
terhadap hukum, kadangkala sanksi yang diberikan relatif lebih ringan
dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan, akibatnya kecenderungan untuk
melakukan pelanggaran terus meningkat
2.1.3 Permasalahan Hukum dan Kelembagaan terkait dengan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil
ii
ketentuan internasional, baik yang telah diratifikasi maupun hanya sebagai acuan
(soft law). Peraturan perundang-undangan tersebut memberi mandat kepada 14
sektor pembangunan dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir laut dan
pulau-pulau kecil, baik langsung maupun tidak langsung. Keempat belas sector
tersebut yaitu meliputi pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan,
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan
umum, pertahanan, keuangan dan pemerintahan daerah.
ii
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan budidaya
perikanan.
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
- Mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera
- Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia
- Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan
secara berdaya guna
- Berhasil guna
- Tempat guna untuk meningkatkan kualitas SDM
- Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negative terhadap lingkungan
Bagian wilayah berupa ruang yang merupakan transisi antara ruang laut dan
ruang darat lebih dikenal sebagai pesisir. Pengertian pesisir menurut keputusan
menteri kelautan dan perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang pedoman
perencanaan pengolaan pesisir terpadu, wilaya pesisir didefinisikan sebagai
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana kearah
laut 12mil dari garis pantai dan sepertigan dari wilayah laut untuk kabupaten/kota
dan kearah darat hingga batas administrasi kabupaten/kota.
Menurut Dahuri et.kl.,(2000:6),untuk kepentingan pengelolaan, batasan
pesisir kearah darat dapat di tetapkan menjadi 2 jenis yaitu batasan untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau
pengolaan keseharian (day to day management). Apabila terdapat kegiatan
pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap
lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi
seluruh daerah daratan (hulu). Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir
menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka
wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah pengaturan .
ii
Berbagai aktifitas yang dapat dilakukan di pesisir dalam kaitannya dengan
pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi (Cicin-Sain dan
Knetch:1998,dalam sondita, 2001:9), meliputi
Fungsi Aktifitas
ii
b. dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap
kegiatan yang lain,
c. dampak negatif terhadap ekosistem
ii
pemanfaatan sumberdaya laut . strategi pembangunan yang
terlalu berorientasi pada kegiatan darat dalam mengejar
pertumbuhan ekonomi selama ini terbukti tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan, namun menjadikan masyarakat
pesisir semakin terpinggirkan.
Menurut Dahuri et.al. (2001:11), perencanaan
terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktifitas dari dua atau lebih sektor
dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan
pengelolaan wilayah pesisir.
Pemikiran logis daya alam yang kita miliki sebagian
maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki sebagian
besar berada di wilayah perairan laut yang sampai saat ini
masih belum dapat dipetakan dan diberdayakan dengan
optimal perubahan orientasi pembangunan bangsa Indonesia
dari orientasi daratan ke orientasi kelautan sebagai prime
mover pertumbuhan perekonomian nasional merupakan
suatu kebujakan yang tepat untuk mengatasi krisis
perekonomian moneter dan juga resesi global yang sedang.
ii
perikanan dan kelautan yang bernilai ekonomi tinggi sebagai percontohan (pilot
project).
Strategi pembangunan perikanan berbasis kawasan, yakni ibarat sebuah
mobil, menteri kelautan dan perikanan saat ini sedang menancap gas. Model tancap
gas seperti ini perlu diapresiasi sebagai kesungguhan untuk membangun sektor
kelautan dan perikanan.
Kementerian kelautan dan perikanan, (2010) mengemukakan bahwa
pembangunan kawasa minapolitan untuk kesejahteraan masyarakat yang
berkecimpung di sektor kelautan dan perikanan, terutama nelayan, pembudidaya,
dan pengelolah ikan, kementrian kelautan dan perikanan (KKP) merumuskan
kebijakan strategis operasional minapolitan.
Dalam membangun kawasan minapolitan di butuhkan enam persyaratan
yaitu :
1. Komitmen daerah melalui rencana strategis, alokasi dana melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD), APBN dan penetapan tata ruang
yang seimbang.
2. Terkait adanya komoditas unggulan,seperti udang,nilai, mas, kepiting,
bandeng dan rumput laut.
3. Letak geografis yang strategis serta secara alami cocok untuk usaha
perikanan,
4. System matarantai produksi dari hulu ke hilir, seperti lahan budidaya dan
pelabuhan perikanan
5. Adanya fasilitas pendukung, seperti keberadaan sarana dan prasarana
misalnya jalan, pengairan, listrik, pabrik es, laboraturium, air bersih dan
coldroom
6. Kelayakkan lingkungan dengan kondisi yang baik dan tidak merusak.
Dalam operasional minapolitan,pengelolaan usaha akan dilakukan oleh
lembaga pengelola semacam unit pelayanan umum (UPP).Sedangkan pola usaha
usaha dalam minapolitan meliputi taksi mina bahari (TMB) untuk pemberdayaan
nelayan skala kecil (buruh nelayan). Ini dilakukan dalam bentuk pendampingan
usaha, penyuluhan intensif , dan bantuan sosial khususnya untuk pengelolaan usaha.
ii
Industri skala rumah tangga dan klaster, salah satunya melalui bantuan akses
teknologi dan informasi serta fasilitas usaha dan kemitraan. Juga ada usaha
perikanan perikana budidaya terpadu (UPTT) untuk perusahan yang mendapat
fasilitas pengaturan usaha serta kemitraan dengan usaha skala kecil. Pada tahun
2010, KKP sudah melakukan inventarisasi terhadap 197 lokasi minapolitan yang
tersebar di seluruh provinsi diindonesia, diantaranya 83 lokasi minapolitan yang
merupakan usulan ditjen perikanan budidaya KKP.
Sejumlah strategi dalam pengembangan kawasan minapolitan, yakni
pembangunan sistem dan usaha minabisnis berorientasi pada kekuatan pasar.
Dengan ini diharapkan dapat menembus batas kawasan, kabupaten/kota, provinsi,
dan Negara untuk menjangkau pasar global.pengembangan dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat agar mampu mengembangkan usaha komoditas
unggulan.
ii
2.3 Analisis Dan Evaluasi Hukum
ii
kehutanan dalam mengelola wisata bahari di wilayah pesisir harus dihilangkan
untuk kemudian pengaturannya dilakukan oleh kementerian kelautan dan perikanan
berdasarkan UU No 1 Tahun 2014. Untuk itu, sedang disusun PP yang mengatur
perizinan yang akan menjadi satu di KKP.
2. Penyusunan RZWP-3-K dalam Perda
ii
berbeda (dua Perda). RTRW dan RZWPPK mengatur hal yang relative sama namun
pada tataran teknis harus mengeluarkan dua Peraturan Daerah yang berbeda.
RZWP-3-K yang merupakan perangkat pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah satu kesatuan dengan RTRW atau penyusunan RZWP-3-K ini
akan mengacu kepada RTRW setempat, dimana akan berimplikasi terhadap
peraturan daerah yang akan ditetapkan, yaitu walaupun dalam UU no 26 tahun 2007
dan UU no 27 tahun 2007 yang masing masing memerintahkan RZWP-3-K dan
RTRW 39 ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah namun tetap lebih efisien dan
efektif kalau ditetapkan dalam satu peraturan daerah saja.
ii
memperkuat pemberian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi, dimana
sebelumnya ada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejauh 4 (empat) mil laut
sebagaimana ditetapkan pada Pasal 18 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004, yang 41
menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014, maka
mulai dari garis pantai hingga 12 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah
Provinsi.
Pemerintah Provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan limpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal
28 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, bahwa selain melaksanakan kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut, bagi Daerah Provinsi yang berciri
kepulauan, Pemerintah Pusat menugaskan pelaksanaan kewenangannya di bidang
kelautan. Penugasan baru dapat dilaksanakan apabila Pemerintah Daerah Provinsi
yang berciri kepulauan tersebut telah memenuhi norma, standar, prosedur dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria, UU No. 23 Tahun 2014 mengamanatkan pengaturan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah. 42 Berdasarkan uraian di atas, maka pengesahan UU No. 23
Tahun 2014 masih menyisakan permasalahan, yaitu:
1. Ketidakjelasan kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya di
wilayah laut.
2. Ketidakjelasan pembagian fungsi dan peran antara Pemerintah Provinsi dan
Pemeriantah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil.
4. Adanya multi tafsir terkait sanksi pidana terhadap tindak pidana yang
sama
Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga ekosistem
penting didaerah pesisir, terlebih lagi terumbu karang karena daerah ini merupakan
ii
tempat ikan dan biota laut hidup dan berkembang biak. Selain sumber manfaat dari
sisi perikanan, terumbu karang juga memberikan nilai tambah dari sektor industri
pariwisata dan juga bermanfaat sebagai penyangga daerah pantai. Kepulauan
Indonesia memiliki luas terumbu karang mencapai 50.867 km persegi atau sekitar
18 % dari total terumbu karang dunia.
Kemegahan terumbu karang Indonesia tersebut sayangnya tidak diiringi dengan
pemeliharaan yang baik. Data terbaru (2012) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
mengungkap hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik.
Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi
cukup, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk. Bahkan, setengah abad terakhir ini
degradasi terumbu karang di Indonesia meningkat dari 10% menjadi 50%.6
Mencermati kerusakan pesisir tersebut, maka eksploitasi terhadap sumber daya
lingkungan di pesisir harus menjadi perhatian serius. Terhadap kondisi yang
memprihatinkan tersebut diperlukan penegakan hukum dan peraturan
perundangundangan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang
komprehensif. Beberapa perbuatan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem
terumbu karang berupa:
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya
b. Penambangan dan pengambilan karang
c. Penangkapan yang berlebih
d. Pencemaran perairan
e. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
f. Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Terhadap maraknya perusakan wilayah pesisir khususnya pada terumbu
karang, UU Nomor 27 Tahun 2007 telah mencantumkan pemidanaan terhadap
pelaku perusakan tersebut. Pengaturan tersebut dicantumkan pada Pasal 73 UU
Nomor 27 Tahun 2007 Jo UU Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa “Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang
ii
dengan sengaja melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil
terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan
beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu
karang. Secara lebih detail dapat dijabarkan bahwa perbuatan yang dapat
diklasifikasikan sebagai pidana menurut pasal tersebut yaitu:
c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak
ekosistem terumbu karang
d. menggunakan peralatan, cara dan metode lain yang merusak ekosistem terumbu
karang.
ii
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Pengaturan Undang-Undang tentang Perikanan yang berpotensi dapat tidak
sinkron dengan UndangUndang tentang Pesisir adalah pada norma
penangkapan/pembudidayaan ikan yang membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan/atau lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dalam Undang-Undang
tentang perikanan tersebut termasuk pula terumbu karang dan ekosistem laut
lainnya. Perbuatan perusakan terumbu karang sebagaimana halnya diatur dalam
Undang-Undang tentang Pesisir sesungguhnya memiliki substansi objek yang sama
dengan perbuatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan sebagaimana halnya
diatur dalam Undang-Undang tentang Perikanan yaitu terumbu karang beserta
ekosistem laut lainnya namun demikian kedua Undang-Undang tersebut
memberikan sanksi pemidanaan yang berbeda terhadap kedua perbuatan pidana
yang dampak lingkungannya adalah sama. Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 45 Tahun
2009 tentang perikanan, pelaku perusakan sumber daya ikan dan laingkungannya
(dalam hal ini termasuk terumbu karang) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua
ratus juta rupiah).
Sedangkan pada Pasal 73 UU 27/2007 Jo UU N0 1/2014 menyebutkan
bahwa pelaku perusakan terumbu karang “Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila seseorang melakukan
penangkapan ikan dengan bahan peledak sehingga menyebabkan rusaknya
ekosistem terumbu karang, maka dengan UU manakah dia bisa didakwa ? Antara
UU Perikanan dan UU pesisir memiliki sanksi pidana yang berbeda untuk tindak
pidana yang mengakibatkan kerusakan yang sama terhadap terumbu karang. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Bukankah ada celah hukum yaitu pelaku perusakan terumbu karang dapat berdalih
bahwa dirinya melakukan kegiatan perikanan, dengan harapan dirinya dipidana
ii
berdasarkan UU Perikanan karena sanksi pidananya lebih ringan dibanding UU
Pesisir.
ii
kelembagaan dalam pengelolaan Taman Nasional Laut dan Kepulauan
dikhawatirkan menimbulkan ketidakefektifan dalam pengelolaannya, sehingga
diperlukan peralihan lembaga pengelola sesuai yang dimandatkan Undang-Undang.
Tentu saja, peralihan kelembagaan tersebut harus disertai kesiapan kedua lembaga
yang berada di bawah kementerian yang bersangkutan, yang dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
ii
2.4.2 Konflik antaraUU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan WP3K terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWPPK)
Pasal 24 ayat (10 UU No. 26/2007 menjelaskan bahwa rencana rinci tata
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b deitetapkan dengan
peraturan daerah. Tata ruang wilayah yang dimaksud mencakup ruang darat, ruang
laut, ruang udara dan termasuk ruang didalam bumi. Sementara itu Pasal 9 ayat (5)
UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2004 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil juga ditetapkan melalui Peratruarn Daerah.
RTRW dan RZWPPK mengatur hal berbeda antara rezim pengelolaan darat
dan rezim pengelolaan laut, sehingga pada tataran teknis harus mengeluarkan dua
Peratuaran Daerah yang berbeda juga. Jangka waktu RTRW ataupun RZWP-3-k
Pemerintah Derah keduuanya berlaku selama 20 (duapuluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal 9 ayat (2) UU
27/2014 mengatur bahwa RZWP-3-K juga harus diserasikan, dan diseimbangkan
dengan RTRW Provinsi atau kab/kota, hal ini mengaskan bahwa keduanya
seharusnya tidak perlundibuat dengan dua format hokum yang berbeda (dua Perda).
Hal ini tentunya akan menjadi pembebanan yang berlebihan pada anggaran daerah
karena harus membuat dua Perda yang berbeda.
ii
2.4.4 Adanya multi tafsir antara UU No 31/2004 tentang Perikanan dengan UU
27/2007 Jo UU N0 1/2014 terkait sanksi pidana yang berbeda terhadap tindak
pidana yang sama
Pasal 84 ayat 1, 2 dan 3 sebagai berikut:
ii
Sedangkan Pasal 84 UU No 31/2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Sedangkan pada Pasal
73 UU 27/2007 Jo UU N0 1/2014 menyebutkan bahwa “Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun danpidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
setiap Orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan menambang
terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi,
menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang
mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang.
ii
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASANNYA
ii
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang
akan datang.
ii
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
ii
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada
memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi,dan kualitas hidup
masyarakat,yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu
melalui kerjasama masyarakat, ilmuan dan pemerintah untuk menentukan strategi-
strategi pengelolaan pesisir yang tepat.
4.2 Saran
ii
Perlu revisi UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil terkait pembagian kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil menyesuiakan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.Pengaturan rencana rinci tata ruang dalam suatu
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU Penataan
Ruang perlu diintegrasikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) UU 27/2007
jo UU 1/2014 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga
ditetapkan melalui Peraturan Daerah, karena Jangka waktu RTRW ataupun
RZWP-3-K Pemerintah Daerah keduanya berlaku selama 20 (duapuluh)
tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali,
Pasal 9 ayat (2) UU 27/2014 mengatur bahwa RZWP-3-K juga harus
diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, hal ini menegaskan bahwa
keduanya seharusnya tidak perlu dibuat dengan dua format hukum yang
berbeda (dua Perda).
Perlu ada perubahan sanksi pidana dalam UU Perikanan menyesuaikan
dengan UU Pesisir dan Penguatan kapasitas Hakim dalam hal pengambilan
Putusan terkait kerusakan ekosistem pesisir.
ii
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Fauzi dan Suzy Anna, 2008. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan Untuk Analisi Kebijakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknk Pengambilan Contoh dan Analisis Data
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Faperikan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor.
Eman Rustiadi, Sunsun Saefulhakim dan Dyah R. Panuju, 2009, Perencanaan dan
pengembangan Wilayah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kepmen No. 200 Tahun 2004 tentang, Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman
Penentuan Status padang Lamun.
Kepmen No. 34 Tahun 2002 tentang pedoman umum ruang pesisir dan pulau-pulau
kecil
Odum EP. 1989. Dasar-dasar Ekologi (terjemahan). Edisi Ketiga, Gajah Mada
University Press.
ii
Mochtar kusumaatmadja, Fungsi Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga
Kriminolgi Universitas Pajajaran Bandung, 1976.
Morten Edvardsen, Coastal Zone Planning and management in the North Sea
Region-Organizational Aspects, dalam Jurnal Litoral, 2002, The
Changing Coast EUROCOAST-Porto Portugal.
Robert J. Kodpatie dan Rostam Sjarief 2010. Tata Ruang Air, Andi, Yogyakarta
Salm RVJR, Clark 2000. Marine and Coastal Protetected Areas A. Guide for
Planners and managers. IUCN. Washington DC:371.
Pide, Suriyaman Mustari, 2009. Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang, Jakarta;
Pelita Pustaka.
Pearce DG, Krik RM. 1986. Carrying Capacites for Coastal Tourism. Ind J
Environ. 9(1): 3-7.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Edisi Pertama. PT. Pradnya Paramita
Jakarta.
ii