Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS JURNAL

“The effect of mirror therapy on upper-extremity function and activities of daily


living in stroke patients.”

Oleh :
1. Putri Pirda Erlina (I4B018055)
2. Aditya Pandu Widiatmoko (I4B018064)
3. Ridho Tristantiningsih (I4B018066)
4. Mahati Ulfah (I4B018092)
5. Miftakhul Huda (I4B018102)
6. Eva Kholifa (I4B018112)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROFESI NERS
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan penyebab utama disabilitas jangka panjang pada dewasa.


Kelumpuhan pada anggota gerak atas merupakan konsekuensi yang paling banyak
ditemukan pasca stroke. Hemiparesis didapatkan pada 85% penderita stroke yang
bertahan hidup, dan 55%-75% berlanjut menjadi keterbatasan fungsional pada
anggota gerak atas (Sutbeyaz S dkk, 2007). Pada individu dengan hemiparesis
seringkali didapatkan spastisitas, kelemahan otot, dan gangguan menetap pada
koordinasi gerakan. Inkoordinasi ini dikarenakan jaringan saraf yang bertanggung
jawab untuk merefleksikan gerakan secara tepat, mengalami kerusakan dikarenakan
cedera otak, maupun sebab sekunder karena disuse.
Pemulihan motorik terhadap kontrol gerakan volunter pasca stroke merupakan
sesuatu yang cukup sulit. Pemulihan fungsi tangan sangat penting untuk melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Enam bulan pasca stroke, hanya 38% pasien yang
mengalami pemulihan kemampuan tangan, dan hanya 12% menunjukkan
pemulihan fungsional, meskipun telah menjalani rehabilitasi (Sharma N dkk, 2006).
Kemajuan dalam teknologi pencitraan otak functional magnetic resonance imaging
(fMRI), membawa pada pengetahuan tentang proses neuroplastisitas yang
mendasari pemulihan motorik pasca stroke. FMRI membuktikan bahwa terapi fisik
dapat memicu plastisitas otak pada pasien pasca stroke, tidak hanya pada fase
pemulihan subakut tapi juga fase kronik. Observasi eksperimental menunjukkan
adanya perubahan pada bentuk dan ukuran area aktivasi kortikal, dan perbaikan
kontrol gerakan motorik setelah aktivitas yang bersifat repetitif, fungsional, dan
menantang.
Berbagai intervensi metode rehabilitasi telah diteliti efeknya dalam memperbaiki
kontrol motorik dan fungsi pada anggota gerak atas, misalnya terapi latihan pada
tangan yang paresis, impairment-oriented training of the arm, functional electric
stimulation, robotic-assisted rehabilitation, dan bilateral arm training. Mirror
therapy merupakan intervensi terapi yang difokuskan pada gerakan tangan atau kaki
yang paresis. Teknik ini relatif baru, sederhana, murah, dan mampu memperbaiki
fungsi anggota gerak atas. Prosedur ini dilakukan dengan menempatkan cermin
pada bidang midsagital pasien, sehingga pasien dapat melihat bayangan tangan
yang sehat, dan memberikan suatu umpan balik visual yang dapat memperbaiki
tangan sisi paresis (Dohle C, 2009)
Mirror therapy pertama kali diperkenalkan oleh Ramachandran dan Roger-
Ramachandran (1996) untuk terapi nyeri fantom, pada 10 pasien pasca amputasi
anggota gerak atas. Bayangan tangan yang utuh digunakan untuk menstimulasi
tangan yang diamputasi. Prosedur ini menimbulkan persepsi ilusi. Pasien
melaporkan bahwa mereka dapat menggerakkan dan merilekskan anggota gerak
yang sakit dan merasakan perbaikan nyeri setelah terapi (Ramachandran VS, 2009)
Beberapa penelitian pada pasien stroke yang dilakukan oleh Sutbeyaz et al (2007),
Yavuzer et al (2008), Altschuler et al (1999), Sathian dan Stoykoy (2003),
melaporkan bahwa mirror therapy dapat membantu pemulihan fungsi motorik pada
tangan yang paresis. Mirror therapy pada pasien stroke melibatkan gerakan pada
tangan yang sehat sambil melihat pantulannya di cermin yang diposisikan di depan
tangan yang sakit (tidak terlihat), sehingga menimbulkan ilusi seakan-akan tangan
yang sakit yang bergerak. Studi pencitraan fungsional pada otak individu sehat,
menunjukkan adanya eksitabilitas pada korteks motorik primer ipsilateral terhadap
gerakan tangan unilateral, yang difasilitasi dengan melihat pantulan gerakan tangan
di cermin. Ketika tangan kanan digunakan, namun dipersepsikan sebagai tangan
kiri, akan meningkatkan aktivasi di otak kanan (begitu pula sebaliknya). Aktivasi
ketika subjek melakukan gerakan juga terjadi di area parietal inferior bilateral, area
motorik suplementari, dan korteks premotor (Matthys K, 2009)
Berdasarkam hasil penelitian sebelumnya mirror therapy memiliki pengaruh yang
baik terhadap proses pemulihan motorik pasien pasca stroke. Oleh karena itu kami
tertarik untuk menganalisa lebih lanjut jurnal yang berjudul The effect of mirror
therapy on upper-extremity function and activities of daily living in stroke patients.

B. Tujuan

Mahasiswa mampu menganalisis jurnal yang berjudul “The effect of mirror therapy
on upper-extremity function and activities of daily living in stroke patients.”
BAB II
RESUME JURNAL

A. Judul :
The effect of mirror therapy on upper-extremity function and activities
of daily living in stroke patients
B. Penulis :
Jin-Young Park, Moonyoung Chang, Kyeong-Mi Kim, Hee-Jung Kim
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek terapi cermin pada
fungsi ekstremitas atas dan aktivitas hidup sehari-hari pada pasien stroke
kronis.
D. Metode
Lima belas orang masing-masing dibagi menjadi kelompok intervensi
dan kontrol. Penilaian Fungsi Motorik menggunakan Fugl-Meyer Box
dan Block Test dilakukan untuk membandingkan fungsi ekstremitas atas
paretik dan kemampuan koordinasi tangan. Pengukuran independen
fungsional dilakukan untuk membandingkan kemampuan dalam
melakukan kegiatan hidup sehari-hari. Terapi dilakukan selama 4
minggu, dalam satu minggu 5 kali latihan dengan durasi 30 menit.
E. Hasil Fungsi ekstremitas atas paretik dan kemampuan koordinasi tangan
secara signifikan berbeda antara intervensi dan kontrol. Intervensi pada
kelompok terapi cermin lebih efektif daripada di kelompok kontrol
untuk meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Hasil uji statistic menunjukan terdapat perbedaan signifikan antar dua
kelopok p >0,05.
F. Kesimpulan Terapi cermin efektif dalam meningkatkan fungsi
upperextremity paretic dan aktivitas hidup sehari-hari pada pasien
stroke kronis.

BAB III

DISCUSSION

Stroke merupakan penyebab kematian yang berada diurutan teratas diantara


penyakit jantung, kanker, penyakit pernafasan kronis yang lebih rendah, dan
cedera/kecelakaan yang tidak disengaja (AHA, 2017). Setiap tahun, 15 juta orang
di seluruh dunia menderita stroke. Stroke jarang terjadi pada orang di bawah 40
tahun dan apabila memang terjadi, penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi.
Orang yang mengalami stroke memiliki dampak signifikan pada kehidupan
seseorang, terutama pada kinerja aktivitas sehari-hari, partsipasi dalam masyarakat,
dan kualitas hidup (Almborg, 2010). Rehabilitasi yang berkelanjutan dapat
memperbaiki status fungsional dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas
hidup bagi penderita stroke (Dhamoon, 2009). Pemulihan fungsi anggota tubuh
dapat menggunakan berbagaiterapi yang telah disarankan, termasuk salah satunya
terapi cermin yang merupakan penobatan yang relatif baru yang memulihkan fungsi
motorik pada anggota tubuh dengan menginduksi reorganisasi otak (Thieme, 2013).

Hasil peneitian Park et al (2015) menemukan bahwa ketika program terapi cermin
dilakukan pada pasien stroke, kemampuan fungsional ekstremitas atas meningkat,
dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari meningkat.
Terapi cermin ini dapat meningatkan fungsi motorik, ketrampilan manual dan
kegiatan hidup sehari-hari (Mirela et al, 2015).

Terapi cermin ini mudah dilakukan dan hanya membutuhkan latihan yang sangat
singkat tanpa membebani pasien. Therapy Mirror merupakan terapi untuk pasien
stroke dengan melibatkan sistem mirror neuron yang terdapat di daerah kortek
serebri yang bermanfaat dalam penyembuhan motorik dari tangan dan gerak mulut.
(Rizzolatti & Arbib dalam Steven et al, 2010)
Latihan mirror Therapy adalah bentuk rehabilitasi/ latihan yang mengandalkan dan
melatih pembayangan/ imajinasi motorik pasien, dimana cermin akan memberikan
stimulasi visual kepada otak (saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau
kontralateral untuk pergerakan anggota tubuh yang hemiparesis) melalui observasi
dari pergerakan tubuh yang akan ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang
mengalami gangguan (Wang, et al. 2013).

Latihan gerak yang diberikan harus distimulasi untuk membuat gerak dan respon
gerak sebaik dan senormal mungkin. Latihan pergerakan bagi penderita stroke non
hemoragik merupakan prasyarat bagi tercapainya kemandirian pasien, karena
latihan akan membantu secara berangsur-angsur fungsi tungkai dan lengan kembali
atau mendekati normal, dan memberi kekuatan pada pasien tersebut untuk
mengontrol kehidupannya.Latihan disesuaikan dengan kondisi pasien dan sasaran
utama adalah kesadaran untuk melakukan gerakan yang dapat dikontrol denga baik,
bukan pada besarnya gerakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Verles and
Mulder (2007) bahwa sejumlah pasien melaporkan bahwa ilusi perasaan mereka
bahwa lengan yang mengalami gangguan pergerakan dapat bergerak secara normal
meskipun pola gerakan sebenarnya secara signifikan yang dihasilkan oleh ilusi pada
lengan di cermin.

Penelitian Anwar tentang terapi cermin dengan subjek pada posisi setengah duduk
pada tempat tidur, subjek mengamati pantulan dari kaki yang non paretik sewaktu
memfleksikan dan mengekstensikan pergelangan kaki pada kecepatan tertentu
dibawah pengawasan terapi tanpa tambahan umpan balik secara verbal. Penelitian
–penelitian sudah menunjukkan bahwa ilusi cermin mempunyai pengaruh dalam
kemampuan pada pengukuran aktivitas otak (Anwar, 2007).

Prosedur umum terapi cermin adalah pasien duduk dan meletakkan cermin diantara
kedua lengan / tungkai (Gambar 1) Selanjutnya perawat menginstruksikan kepada
pasien agar lengan / tungkai yang sehat digerakkan fleksi dan ekstensi / keatas atau
kebawah (Gambar 2). Saat lengan / tungkai yang sehat digerakkan, pasien
dianjurkan untuk melihat cermin yang ada, kemudian pasien disarankan untuk
merasakan bahwa lengan / tungkai yang mengalami kelemahan turut bergerak.
Demikian diulang – ulang selama 10 menit dalam satu kali latihan (Mohammad
Fathurochman, 2011:25).

BAB IV

IMPLIKASI DAN APPLICABILITY

A. Implikasi
Terapi cermin atau mirror therapy adalah terapi yang sederhana,
murah dan yang paling penting merupakan pengobatan yang dapat
memperbaiki fungsi ekstremitas atas pada pasien. Mirror therapy telah
terlihat dapat memberikan hasil yang menggembirakan dalam pengobatan
hemiparesis. Ilusi yang diciptakan dari cermin ini dapat meningkatkan
aktivasi dari premotor dan motor korteks dengan cara pengamatan tindakan
yang sama. Efek ini dapat dijelaskan oleh aktivasi disebut sistem Mirror
neurons. Mirror neurons adalah neuron yang tidak hanya berjalan ketika
subjek melakukan gerakan, tapi juga selama pengamatan dari gerakan yang
sama oleh orang lain, dan mereka tampaknya memainkan peran sentral
dalam proses motor re-learning dengan tindakan pengamatan.
Penerapan terapi cermin belum banyak diterapkan di lingkungan
rumah sakit di Indonesia, hal ini dikarenakan penelitian-penelitian tentang
mirror theraphy belum banyak dilakukan. sehingga masih diperlukan studi
yang lebih mendalam tentang kelebihan dan kekurangan dari terapi
komplementer tersebut agar dapat diterima oleh semua praktisi kesehatan
khususnya perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan di rumah sakit
maupun di luar rumah sakit.
B. Applicability
Terapi komplementer mirror theraphy sangat applicable untuk
diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya pada pasien
pasca stroke yang mengalami gangguan kelemahan otot ekstermitas Adapun
kemudahan dan kekurangan mirror theraphy jika dilihat dari dari sudut
pandang metode, sumber daya manusia, waktu, dan ketersediaan sumber
sebagai berikut:
1. Metode

Mirror theraphy sangat mudah untuk dipelajari karena teknik-teknik


dari mirror theraphy sangat sederhana dan tidak membutuhkan skill
khusus untuk mempelajarinya.

Ilusi yang diciptakan dari cermin ini dapat meningkatkan aktivasi


dari premotor dan motor korteks dengan cara pengamatan tindakan
yang sama. Efek ini dapat dijelaskan oleh aktivasi disebut sistem Mirror
neurons. Mirror neurons adalah sel saraf yang tidak hanya berjalan
ketika subjek melakukan gerakan, tapi juga selama pengamatan dari
gerakan yang sama oleh orang lain, dan mereka tampaknya memainkan
peran sentral dalam proses motor re-learning dengan tindakan
pengamatan.

2. SumberDayaManusia
Terapi komplementar mirror theraphy tidak melibatkan perawat
dengan kualifikasi khusus di dalam pelaksanaannya. Namun mirror
theraphy yg diberikan harus yang baik dan benar sehingga bagi perawat
yang akan melakukan mirror theraphy perlu adanya pelatihan tersendiri.
3. Waktu dan prosedur
1. Sesi latihan mirror box dimulai selama 30 menit.
2. Responden duduk pada kursi dekat dengan meja yang terdapat
mirror box yang ditempatkan secara vertikal.
3. Tangan ditempatkan di belakang cermin dan tidak di depan cermin.
4. Responden diminta untuk melakukan supinasi dan pronasi lengan,
fleksi-ekstensi pergelangan tangan, fleksi-ekstensi jari, abduksi,
adduksi, oposisi, menggenggam pada sisi yang mengalami
kelemahan
5. Responden melihat ke dalam cermin melihat gambar tangan yang
dicerminkan pada bagian tangan yang melakukan gerakan.
6. Selama sesi terapi responden diminta untuk mencoba dan
melakukan gerakan yang sama dengan tangan yang mengalami
kelemahan secara bersamaan.
4. KetersediaanSumber
Pelaksanaan mirror theraphy tidak memerlukan peralatan medis
modern, hanya menggunakan cermin dan mudah didapatkan dimanapun
di Indonesia. Apabila dilihat dari sudut pandang ketersediaan sumber
dana, terapi komplementer mirror theraphy tidak memerlukan biaya
besar, sehingga terapi ini sangat applicable pada pasien pasca stroke.
DAFTAR PUSTAKA

American Hearth Association, (2017). Hearth Disease and Stroke Statistic-2017


update: A Report rom the American Hearth Association.

Almborg, A,H., Ulander, K., Thulin, A., Berg, S., 2010. Discharged after stroke
important factor for helath-related quality of life. Jclin Nurs 2010;19: 2196Y206.

Dhamoon, M, S., Moon, Y,P., Paik, M,C., Boden, B, A., Rundek, T., Sacco, R, L.,
Elkind M, S, V.,2009. Long-term functional recorvery after first ischemic stroke:
The Northern Manhattan study. Stroke 2009, 40: 2805-2811.

Thieme,H., Bayn, M., Wurg, M., Zange, C., Pohl, M., Behrens, J., 2013. Mirror
therapy for patient with severe arm paresis after stroke-a randomized controll trial.
Clin Rehabil, 2013,27: 314-324.

Wang, et al (2013). A comparison of neural mechanism in mirror therapy and


movement observation therapy, Journal Rehabil Med

Anwar. (2007). Terapi cermin meningkatkan pemulihan motorik ekstremitas bawah


dan fungsi motorik pasca stroke: Uji kontrol secara randomisasi. Semarang

Anda mungkin juga menyukai