Anda di halaman 1dari 16

KASUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. W
Umur : 35 tahun
Tanggal lahir : 09 September 1984
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Alamat : Dusun II Bidi Mulyo Rt08 RW 02 Cinta Manis
Baru
Tanggal masuk RS : -
No RM : 61-44-69

II. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS pada tanggal 12 November 2019)


A. Keluhan Utama : Benjolan di leher depan kanan sejak 2 tahun yang
lalu.
B. Keluhan Tambahan : Tidak ada keluhan tambahan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien wanita, berusia 35 tahun, datang ke rumah sakit dengan
keluhan adanya benjolan yang muncul di leher depan sisi kanan sejak 2
tahun yang lalu. Awalnya benjolan dirasakan sebesar kelereng, tapi
seiring berjalannya waktu, benjolan semakin membesar hingga
berukuran kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Pasien tidak
merasakan adanya nyeri di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan
bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering
berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada
penurunan berat badan. Tidak ada keluhan demam, cepat haus,
gangguan buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-
debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur. Pasien mengaku selalu
menggunakan garam beryodium dirumahnya. Pasien mengaku tidak
pernah tinggal didaerah yang penduduknya banyak menderita penyakit
gondok. Sebelumnya pasien merupakan rujukan dari poli penyakit
dalam Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, di sana pasien
mendapatkan pengobatan propranolol 2x1 dan di sarankan untuk ke poli
bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Riwayat sakit dengan keluhan yang sama disangkal
2. Riwayat sakit maag disangkal.
3. Riwayat sakit jantung disangkal.
4. Riwayat penyakit hipertensi ada sejak 1 tahun.
5. Riwayat penyakit ginjal disangkal.
6. Riwayat infeksi saluran kemih disangkal.
7. Riwayat operasi disangkal.

E. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan propranolol 60 mg 2x1.

F. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dan riwayat
penyakit darah tinggi ada yaitu ibu pasien, penyakit batu saluran kemih
tidak ada, diabetes mellitus tidak ada, dan keganasan tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang.
B. Kesadaran : Compos mentis.
C. Vital sign :T : 130/70 mmHg R : 23 x/menit
N : 88 x/menit S : 36,6 C
D. Keadaan spesifik
1. Kepala : Simetris, normocephali, rambut tidak mudah
dicabut.
2. Mata : Pupil bulat isokor (+/+), refleks cahaya (+/+),
eksoftalmus tak ada, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik.
3. Hidung : Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum
nasi, tidak ada napas cuping hidung.
4. Telinga : Simetris, tidak ada kelainan.
5. Mulut/Gigi : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), gigi palsu
(-), tonsil dalam batas normal.
6. Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Dinding dada simetris kanan-kiri, retraksi
tak ada, ketinggalan gerak tidak ada.
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Paru-paru sonor, batas paru hepar di SIC VI
dekstra.
Auskultasi : Suara napas vesikuler di seluruh lapang paru,
tidak ada suara tambahan.
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung :
Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kiri bawah SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : BJ1 > BJ2, reguler, murmur (-), gallop (-).
7. Abdomen
Inspeksi :datar, lemas, venektasi (-), spider nervi (-),
luka trauma (-), bekas operasi (-), warna kulit
normal, bengkak/benjolan (-), pergerakan
dinding abdomen normal, caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruits (-), metalic
sound (-)
Palpasi : Lemas, defense muscular (-), nyeri tekan (-) di,
Nyeri tekan titik McBurney (-), Psoas Sign (-), Rovsing sign (-)
obturator sign (-), Defans Muskuler (-), hepar/lien tidak teraba
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, asites (-)
8. Pemeriksaan Genitalia
Tidak diperiksa
9. Ekstremitas
Ekstremitas superior dan inferior tidak tampak pucat, eritem (-),
pitting Edema pretibia (-), ikterik (-)
10. Status Lokalis
Regio : Colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas
tegas, berukuran + 3 x 3 cm x 2 cm. Warna kulit
pada benjolan sama dengan warna kulit sekitar.
Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan.
Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah
digerakkan). Nyeri tekan (-). Trakea berada di
tengah. Pembesaran KGB (-).

IV. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal pemeriksaan : 12 November 2019
Pemeriksaan tiroid
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
T4 4,8 ug/dl 5,0-13,0 ug/dl
T3 2,18 nmol/L 0,80-1,90 nmol/L
TSH 2,46 ug/dl 0,30-8,90 ug/dl

V. DIAGNOSA BANDING
Struma nodosa non-toksik (SNNT)
Karsinoma tiroid
Tiroiditis
Grave’s disease

VI. DIAGNOSA KERJA


Struma nodosa non-toksik (SNNT)

VII. PENATALAKSANAAN
Farmakologi
• IUFD RL gtt xx
Non Farmakoogi
- Edukasi, menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit ynag
diderita pasien
- Puasa untuk persiapan operasi
Operatif :
Isthmus lobektomi

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmeticum : bonam

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian
keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari
garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih
tertinggal.
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara
tiroidea dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu
lapisan yang disebut true capsule.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :
. 1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa
2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.

Gamba 1 : Glandula Thyroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah
sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin
Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian
kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi
TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang
dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh
thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan
calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum
berpengaruh pada tulang.
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis


mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi.

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R)
dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat.
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback)

Kedua hormon (T3 dan T4) ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada
tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid :


1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,
tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

2.2 Definisi

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan


efek fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi
menjadi :
Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi : Diffusa,
yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti yang
ditemukan pada Grave’s disease, Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid
hanya mengenai salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s
disease.
Struma Non Toksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi : Diffusa,
seperti yang ditemukan pada endemik goiter, Nodosa, seperti yang ditemukan
pada keganasan tiroid.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara
klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.
Istilah struma nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun
patologis yang menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena
tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini
disebut sebagai Struma Nodosa Non Toksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai
sehari-hari dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.

2.3 Epidemiologi

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menemukan diantara 696 pasien


struma, sebanyak 415 (60%) menderita struma nodosa dan hanya 31 diantaranya
yang bersifat toksik. Penelitian Lukitho di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
didapatkan dari 325 kasus struma nodosa perbandingan pria dan wanita adalah
1:4,2 sedangkan penelitian di Jakarta oleh Hamzah dari tahun 1986-1995
perbandingan penderita struma nodosa antara pria dan wanita adalah 1:5,6.
Etiologi umumnya multifaktorial, terutama ditemukan di daerah pegunungan
karena defisiensi iodium.
2.4 Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan


faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan. Pembentukan struma terjadi pada defisiensi sedang iodium yang
kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidisme dan cretinisme (kerdil).
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid.
3. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia Phenolic dan phthalate ester
derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batu bara. Makanan,
Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah),
padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium).
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

2.5 Klasifikasi

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan). Menurut American society for


Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa


2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah
nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

2.6 Patofisiologi

Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan


perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH
reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti
chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok
kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan
menyebabkan struma nodusa.

Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan


peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.

Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.


Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar
hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di
kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.

2.7 Manifestasi Klinis

Pada umumnya Struma Nodosa Non Toksik tidak mengalami keluhan


karena tidak ada hipotiroid atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis
SNNT adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada
salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol kedepan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arahkontra lateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan
stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan
trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.

2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis/macam kelainan
dari struma nodosa non toksik tersebut. Perlu ditanyakan :
a. Umur, sex, asal
Penting sekali menanyakan asal penderita, apakah penderita tinggal di
daerah pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari
daerah endemik struma.
b. Pembengkakan : mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh.
c. Keluhan penekanan : adakah dysphagia, dyspnea dan suara serak.
d. Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan,
palpitasi, nervous/gelisah tidak tenang.
e. Apakah ada keluarganya yang menderita penyakit yang sama dan
meninggal.

2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
- Posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi.
- Pembengkakan :
• bentuk : diffus atau lokal
• ukuran : besar dan kecil
• permukaan : halus atau modular
• keadaan : kulit dan tepi
• gerakan : pada waktu menelan.
Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan ludah dimana
kelenjar tiroid akan mengikuti gerakan naik turunnya trakea untuk
menutup glotis. Karena tiroid dihubungkan oleh ligamentum cartilago
dengan thyroid yaitu ligamentum Berry.

Palpasi
- Diperiksa dari belakang dengan kepala diflexikan diraba perluasan dan
tepinya.
- Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan
atau keduanya).
- Ditentukan ukuran (diameter terbesar dari benjolan).
- Konsistensi (lunak, kistik, keras atau sangat keras).
- Mobilitas.
- Infiltrasi terhadap kulit/jaringan sekitar.
- Pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid : ada atau tidak.
- Nyeri pada penekanan atau tidak.

Perkusi
- Jarang dilakukan
- Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke retrosternal.

Auskultasi
- Jarang dilakukan
- Dilakukan hanya jika ada pulsasi pada pembengkakan.

3. Pemeriksaan Tambahan
Tes laboratorium
Hasil pengukuran T4, T3, TSH atau T3RU biasanya normal, tetapi ambilan
radio-iodium dan kadar TSH dapat sedikit meningkat.
Pemeriksaan Sidik Tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk,
lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini
pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi iodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid
dapat dibedakan 3 bentuk yaitu :
1. Nodul dingin bila penangkapan iodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
2. Nodul panas bila penangkapan iodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan
ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
3. Nodul hangat bila penangkapan iodium banyak dari sekitarnya.
Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Dari hasil pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dibedakan apakah yang kita
hadapi itu suatu keganasan atau sesuatu yang jinak.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat dan cair.
Gambaran USG dapat dibedakan atas dasar derajat ekonya yaitu hipoekoik,
isoekoik atau campuran. Dibandingkan sidik tiroid dengan radioisotop, USG lebih
menguntungkan karena dapat dilakukan tanpa persiapan dan kapan saja,
pemeriksaan lebih aman dan lebih dapat dibedakan antara yang jinak dan yang
ganas.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Pada masa sekarang dilakukan dengan jarum halus biasa yaitu Biopsi
Aspirasi Jarum Italis (BAJAH) atau Fine Needle Aspiration (FNA)
mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Cara ini mudah, aman, dapat dilakukan
dengan berobat jalan, biopsi jarum halus tidak nyeri, tidak menyebabkan dan
hampir tidak ada bahaya penyebaran sel-sel ganas. Ada beberapa kerugian pada
biopsi. Jarum ini yaitu dapat memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu.
Negatif palsu biasanya karena lokasi biopsi yang kurang tepat, teknik biopsi yang
kurang benar atau preparat yang kurang baik dibuatnya. Hasil positif palsu dapat
terjadi karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.

Termografi
Adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan mengukuran suhu kulit
pada suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Telethermography Hasilnya disebut
panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya >0,9C dan dingin apabila
<0,9C. Pada penelitian Alves dkk didapatkan bahwa yang ganas semua hasilnya
ganas. Dibandingkan dengan cara pemeriksaan yang lain ternyata termografi ini
adalah cara yang paling sensitif dan spesifik.

Petanda Tumor (tumor marker)

Petanda tumor yang telah diuji hanya peninggian tiroglobulin (Tg) serum
yang mempunyai nilai yang bermakna. Kadar Tg normal ialah antara 1,5-30
ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml dan pada keganasan rata-rata : 424
ng/ml.

2.9 Penatalaksanaan

Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam


teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakan seberat 3 gram.
b. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid.
c. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan
dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah
kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus.

DAFTAR PUSTAKA

Djokomoeljanto, 2001. Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.


Dalam : Suyono, Slamet (Editor), 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
FKUI : Jakarta
Kaplan, Edwin. L, Thyroid and Parathyroid, in Principles of Surgery, New York,
1994, hal : 1611-1621.

Sabiston, David. C. Jr, MD, Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus
Andrianto, Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta, 1995,
hal 415-427.

Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC,


Jakarta, 1998, hal 926-935.

Sri Hartini, KS, Struma Nodosa Non Toksik, dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Penerbit FKUI, Jakarta 1996, hal 757-761.

Widjosono-Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925 – 952.

Anda mungkin juga menyukai