78
Tabel 5.1 Kemampuan Hantar Arus (KHA) Penghantar Telanjang Tegangan
Menengah
LUAS KEMAMPUAN HANTAR ARUS ( KHA )
PENAMPANG ( ( Amper )
mm2 )
AAC AAAC BCC
16 115 110 125
25 160 150 145
35 185 175 200
50 230 220 250
70 300 285 310
95 345 325 390
120 390 370 440
150 465 435 510
185 530 500 595
240 630 600 700
CATATAN : pada keadaan tanpa angin, KHA tersebut dalam tabel ini harus
dikalikan dengan faktor koreksi 0.7
2. Kawat berisolasi
a. AAAC- S : Direntang di udara dipasang pada isolator TM
b. NFA 2 x SEY – T : Kabel pilin direntang di udara dengan kabel penggantung
c. NFA 2 x CEY – T : Kabel pilin direntang di udara dengan kabel penggantung
79
Tabel 5.2 Kemampuan Hantar Arus (KHA) Penghantar ber isolasi (Kabel)
35 150
50 180
70 246
AAAC-S 95 282
120 319
150 378
185 423
240 523
2 x 35 + 50 110
2 x 50 + 50 134
2 x 70 + 50 163
NFA 2 x SEY - T 2 x 95 + 50 203
NFA 2 x CEY - T 2 x 120 + 50 234
3 x 35 + 50 127
3 x 50 + 50 151
3 x 70 + 50 188
3 x 95 + 50 228
3 x 120 + 50 262
3 x 150 + 50 293
3 x 240 393
80
5.1.2 Kabel Tanah (SKTM)
1. Kabel ditanam langsung di dalam tanah sedalam 70 cm
a. Temperature tanah 30°C
b. Faktor beban 100%
c. Spesifikasi tahanan jenis panas tanah 1000°C cm/W
2. Kabel digelar di udara bebas
a. Temperature tanah 30°C
b. Faktor beban 100%
3. Suhu maksimal di dalam keadaan hubung singkat maksimal 2500°C,
berlangsung paling lama 5 detik
81
5.2 Optimasi Pembebanan Trafo
Seperti kita ketahui fluktuasi beban di Indonesia secara umum sangat tajam perbedaan
antara beban puncak dan di luar beban puncak, hal ini bila ditinjau dari segi efisien trafo
menjadi kurang baik terutama pada beban yang sangat rendahnya. Bila penyediaan
kapasitas trafo didasarkan pada beban (berdasarkan beban puncak) bila dikaitkan pada
segi ekonomi, menjadi kurang efisien, sebab bisa jadi untuk memikul beban yang rendah
tetapi dilayani oleh trafo dengan kapasitas yang besar.
Untuk pemecahan masalah diatas, sebenarnya trafo dapat dibebani melebihi daya
pengenalnya pada suhu sekitar trafo tersebut pada nilai tertentu tetapi harus dibatasi oleh
lamanya pembebanan lebih, agar susut umur trafo sesuai dengan yang direncanakan. Susut
trafo sangat dipengaruhi oleh suhu titik panas pada lilitan.
Tabel 5.4 Susut umur sebagai fungsi dari suhu titik panas lilitan c ( °C )
c ( C ) SUSUT UMUR
80 0,125
86 0,25
92 0,5
98 1,0
104 2,0
110 4,0
116 8,0
122 16,0
128 32,0
134 64,0
140 128,0
82
Trafo dengan susut umur sama dengan 1,0 berarti trafo tersebut akan mempunyai susut
umur normal, dan itu terjadi bila suatu suhu titik panas pada lilitan mencapai 98 °C.. Suhu
tersebut tercapai untuk trafo yang bekerja pada daya pengenal dengan suhu sekitar 20°C.
Pada umumnya suhu sekitar di Indonesia terutama di kota-kota besar suhu sekitar rata-
rata tahunan sekitar 25,5°C. dan mengingat sifat beban di Indonesia, maka dimungkinkan
trafo dapat dipakai sampai batas waktu yang direncanakan pabriknya.
Contoh 1. Trafo dibebani 10 jam pada c = 104°C dan 14 jam pada c = 86°C.
susut umurnya = ( 10 x 2) + (14 x 0,25) = 23,5 jam umur selama 24 jam.
karena kurang dari 24 jam, trafo tidak mengalami kenaikan susut umur,
sehingga umurnya tetap sama dengan desain.
Contoh 2. Trafo dibebani 12 jam pada c = 104°C & 12 jam pada c = 98 °C . Susut
umurnya = (12x2) + (12x1) = 36 jam umur selama 24 jam. Karena lebih dari
24 jam, trafo mengalami kenaikan susut umur = 1,5 susut umur normal,
sehingga umur trafo = 2/3 x umur desain.
Contoh 3 : Trafo dibebani 4 jam pada c = 110 °C ( pada beban puncak) dan 20 jam
pada c = 90°C. Susut umurnya = (4 x 4) + (20 x 0,4) = 24 jam umur selama
24 jam, berarti susut umur normal.
Dari contoh 3 bisa digambarkan seperti pada umumnya pembebanan trafo untuk
konsumen umum di Indonesia, dimana beban puncak terjadi pada malam hari yaitu antara
jam 18.00 s.d. 22.00.
Sebagai pedoman pembebanan trafo untuk keperluan tertentu, dan dengan beban yang
melebihi daya pengenalnya, waktu lamanya pembebanan tersebut dapat dilihat pada
grafik dan tabel dibawah ini :
83
Transformator ONAN dan ONAF
Grafik K2 (pembebanan lebih) sebagai fungsi dari suhu-kitar dengan berbagai ” t ”
(lamanya pembebanan) sebagai parameter untuk berbagai K1 (pembebanan kurang).
t = 0,5 t=1
Gambar 5.1 Grafik K2 (pembebanan lebih) sebagai fungsi dari suhu-kitar dengan t=
0,5 dan t= 1
84
t=2
t=4
t=6 t=8
85
t = 12 t = 24
86
Tabel 5.5 Nilai – nilai ”K2” untuk nilai-nilai ”K1” dan ”t” yang ditentukan
o
Transformator Onan Dan Onaf : C = 24 C
K1
0,25 0,50 0,70 0,80 0,90 1,00
t
Gambar 5.4 Grafik ”K2” untuk nilai-nilai ”K1” dan ”t” yang ditentukan
o
Transformator Onan Dan Onaf : C = 24 C
CATATAN : dalam tugas siklis normal nilai K2 tidak lebih dari 1.5. Nilai-nilai K2 yang
lebih besar dari 1.5, terlukis dengan garis-putus-putus, dipakai untuk tugas
darurat. Tanda + menunjukan bahwa K2 lebih tinggi dari 2.0.
87
Tabel 5.6 Nilai – Nilai K2 Untuk Nilai-Nilai K1 Dan T Yang Ditentukan
Transformator Onan Dan Onaf : C = 27 oC
K1
0,25 0,50 0,70 0,80 0,90 1,00
T
Gambar 5.5 Grafik ”K2” untuk nilai-nilai ”K1” dan ”t” yang ditentukan
o
Transformator Onan Dan Onaf : C = 27 C
CATATAN : dalam tugas siklis normal nilai K2 tidak lebih dari 1.5. Nilai-nilai K2 yang
lebih besar dari 1.5, terlukis dengan garis-putus-putus, dipakai untuk tugas
darurat. Tanda + menunjukan bahwa K2 lebih tinggi dari 2.0.
88
BAB VI
PROSEDUR TEKNIS PENGOPERASIAN PERALATAN
PADA INSTALASI DISTRIBUSI
JTM
ARRESTER
FCO
TRAFO
SAKLAR
UTAMA
NH FUSE
SALURAN JURUSAN
89
4. Menyiapkan alat kerja, alat K3 / K2 dan alat bantu yang diperlukan dan dalam
kondisi siap pakai dan aman
5. Menghubungi pihak-pihak yang berwenang untuk memastikan bahwa
pekerjaan telah dikoordinasikan secara efektip dengan pihak-pihak terkait
90
a. Untuk pelanggan umum : masukkan saklar utama, menyusul kemudian NH
fuse satu persatu sambil di test kemungkinan adanya hubung singkat pada
saluraan jurusan
b. Untuk palanggan industri : masukkan seluruh nh fuse, menyusul kemudian
saklar utama
8. Melaporkan pada pengatur, kejadian yang diakibatkan pengoperasian tersebut
9. Membuat berita acara serah terima operasi yang berisi antara lain :
10. Membuat laporan pengoperasian
a. Kondisi peralatan
b. Posisi peralatan hubung
c. Temuan-temuan kelainan operasi
91
6.2 Pengoperasian Gardu Distribusi Pasangan Dalam untuk pemeliharaan
Pemutus
Pemutus
beban
beban 1 2 3 2 3
(PMB) 1
(PMB)
PMS PMS PMS PMS PMS PMS
Saklar Utama
Saklar
Utama
NH fuse
NH Fusi
Saluran Jurusan
1. Membaca dan memahami prinsip kerja gardu distribusi dan sistem jaringan
tegangan menengah
2. Mampu berkomunikasi dengan pengatur / posko untuk pengoperasian instalasi
kubikel tm
3. Menyusun rencana kerja yang berisi langkah-langkah pelaksanaan pekerjaan
4. Menyiapkan alat kerja, alat K3 / K2 dan alat bantu yang diperlukan dan dalam
kondisi siap pakai dan aman
5. Menghubungi pihak-pihak yang berwenang untuk memastikan bahwa
pekerjaan telah dikoordinasikan secara efektip dengan pihak-pihak terkait
92
6.2.3 Prosedur pengoperasian kembali sesudah pemeliharaan
1. Periksa keadaan disekitar gardu dan yakinkan aman untuk dioperasikan
2. Laporkan kepada pihak yang berwenang untuk pengoperasian kembali,
sampai jawaban izin pengoperasian keluar
3. Lepaskan PMS bumi (PMS) 3
4. Masukkan PMBb 3
5. Ukur tegangan sisi TR, pastikan bahwa penyetelan sadapan trafo sudah benar
6. Operasikan saluran jurusan dengan cara :
a. Untuk pelanggan umum, masukkan saklar utama menyusul kemudian nh
fuse satu persatu sambil di test kemungkinan adanya hubung singkat pada
saluran jurusan
b. Untuk pelanggan industri masukkan saluran NH fuse, menyusul kemudian
saklat utama
7. Melaporkan pada pengatur, kejadian yang diakibatkan pengoperasian tersebut
8. Membuat berita acara serah terima operasi yang berisi antara lain :
a. Kondisi peralatan
b. Posisi peralatan hubung
c. Temuan-temuan kelainan operasi
9. Membuat laporan pengoperasian
93
6.3 Pengoperasian Gardu Induk 20 KV untuk pemeliharaan
94
6.3.2 Prosedur pemadaman sebelum pemeliharaan
1. Buka PMT penyulang dan
2. Pastikan bahwa Amper meter menunjukkan angka nol
3. Periksa kabel penyulang tidak bertegangan
4. Bebaskan PMT dari kontaknya dengan Busbar dan kabel penyulang, dengan
cara membuka PMS sisi masuk dan sisi keluar PMT atau menarik PMT secara
mekanis melepaskan kontaknya dengan busbar dan kabel penyulang
5. Masukkan PMS pentanahan
6. Lakukan pemeliharaan
6.3.3 Prosedur pengoperasian kembali sesudah pemeliharaan
1. Memeriksa hasil pengujian relai dan instalsi dan hasilnya sesuai SOP
2. Menyatakan kepada pengatur bahwa kubikel dalam kondisi aman untuk diisi
tegangan, urutan fasa kabel benar posisi PMT terbuka
3. Masukkan kembali kontak PMT dengan Busbar dan Kabel Penyulang
4. Buka PMS pentanahan
5. Masukkan PMT dan yakinkan tegangan sudah masuk pada ketiga fasanya
6. Memeriksa urutan fase R , S , T
7. Memeriksa kerja alat ukur dengan melihat penunjuk jarum atau putaran piringan
8. Melaporkan pada pengatur, kejadian yang diakibatkan pengoperasian tersebut
9. Membuat berita acara serah terima operasi yang berisi antara lain :
a. Kondisi peralatan
b. Posisi peralatan hubung
c. Temuan-temuan kelainan operasi
10. Membuat laporan pengoperasian
6.3.4 Peralatan kerja yang dibutuhkan
1. Handle / tuas kubikel
2. Kunci pas / ring / shok sesuai ukuran
3. Multimeter
95
DAFTAR PUSTAKA
96