Anda di halaman 1dari 3

HANDOUT 4

Hubungan Hukum internasional dan Hukum nasional

3.1 Pendahuluan

Dalam berbagai literatur, para ahli Hukum Internasional seperti J.G Starke dan Muchtar
Kusumaatmadja menyatakan bahwa ada dua aliran mengenai hubungan hukum internasional dan
hukum nasional yang satu lama lain memiliki anggapan berbeda. Dua. aliran tersebut adalah
aliran monisme dan dualisme. Secara rinci teori hubungan hukum internasional dan hukum
nasional dan praktek/ penerapan oleh sejumlah negara diuraikan sebagai berikut.

3.2. Aliran Monisme

Menurut aliran monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek
dari satu sistem yaitu hukum pada umumnya. Semua hukum merupakan satu kesatuan atau
sistem yang mengikat subyek hukum pada umumnya baik individu dalam suatu negara maupun
negara yang ada di dunia. Mochtar Kusumaatmadja (1982) menamakan aliran monisme sejalan
dengan pandangan objektivis, yakni pandangan yang menyatakan bahwa ada atau berlakunya
hukum internasional terlepas dari kemauan Negara. Sejumlah tokoh yang mendukung aliran
monisme antara lain Kelsen dan Scelle.

3.3. Aliran Dualisme

Berbeda dengan aliran monisme, maka aliran dualisme berpendapat bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Hukum
internasional mempunyai sifat yang berbeda secara intrinsik daripada hukum nasional. Asas
dualism ini sejalan dengan pandangan voluntarisme yang menyatakan bahwa berlakunya hukum
internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini terletak pada kemauan
Negara. Dengan kata lain, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem
hukum yang terpisah sehingga berbeda satu sama lain. Pendukung aliran dualisme antara lain
Triepel dan Anzilotti. Menurut Tripel berbedanya hukum internasional dan hukum nasional
dilihat dari subjek dan sumber sedangkan menurut Anzilotti beda hukum internasional dengan
hukum nasional terletak pads dasar mengikat atau kekuatannya.

Oleh karena itu, menurut Boer Mauna (2003) ada tiga aspek yang membedakan hukum
internasional dan hukum nasional, yakni (1) perbedaan sumber hukum; (2) perbedaan mengenai
subyek; dan (3) perbedaan mengenai kekuatan hukum.

Menurut aliran dualisme, sumber hukum internasional dan hukum nasional berbeda
meskipun ada pula yang sama. Sumber hukum nasional pads umumnya adalah kebiasaan yang
berlaku di negara tersebut dan peraturan tertulis seperti undang-undang dan peraturan
perundangan lainnya. Sedangkan sumber hukilm internasional adalah kebiasaan yang ada di
setiap negara dan hasil kesepakatan atau kehendak bersama negara-negara yang mengadakan
kesepakatan.

Dilihat dari aspek subyeknya, hukum internasional dan hukvun nasional memiliki subyek
hukum yang berbeda. Subyek huktun nasional adalah individu-individu yang ada di suatu negara
sedangkan subyek hukum internasional adalah negara-negara. Namun, perbedaan ini untuk
kondisi hubungan internasiopal terutama mulai pertengahan abad ke-20, sudah tidak berlaku 1agi
karena sejak terjadi pengadilan penj ahat perang Jerman di Nurnberg 1946, individu telah dapat
diakui sebagai subyek hukam internaisonal.

Dilihat dari aspek kekuatan hukum, maka hukum nasional memiliki kekuatan mengikat
secara penuh dan sempur%la. Pemerintah dapat bersifat aktif melakukan tindakan hukum kepada
individu warga negara. Hal ini berbeda denganhukum intemasiollal yang mengatur negara secara
horizontal dan bertindak lebih bersifat pasif.

3.4 Teori Transformasi dan Adopsi Spesifik

Sebagai kelanjutan dari aliran dualism, muncul teori tentBng hubungan HN dan HI yang
dinamakan teori transformasi. Teori ini mengacu kepada pendapat kaum positivis bahwa HI tidak
dapat secara langsung dilaksanakan oleh hukum nasional. III hatus menjalani proses a specific
adoption karena HI dan HN merupal,--an dua system hokum yang terpisah. Sedangkan teori
transfonn,asi menyatakan bahwa berlakunya HI hares disetujui oleh HN. O1eh karena itu, agar
traktat itu berlaku maka HI hares ditransforrmir terlebih dahulu kedalam HN melalui peraturan
perundangan boik secara formil maupun substansial.

Menurut Starke, lahirnya teori di atas, karena traktat sebagai sumber HI dan undang-
undang sebagai sumber I-IN memiliki perbedaan secara hakiki. Traktat bersifat perjanjian
sedangkan undang-undang nasional bersifat perintah.

3.5. Kedudukan HI dalam Tata Hukum secara Keseluruhan

Kelsen mengadakan analisa struktural atas HI dan HN dengan doktrin hirarkhi, bahwa
asas-asas hukum ditentukan oleh asas-asas lainnya yang menjadi sumber dan sebab kekuatan
mengikat asas hukum itu. HN suatu negara harus tunduk pada HI bila negara itu mengakui
adanya HI. Asas ini dinamakan pengutamaan/primat (primacy) hukum intemasional atas hukum
nasional. Menurut Starke, pengutamaan HI atas HN ini didasarkan atas sejumlah argumen
bahawa: (1) Apabila HI bersumber Konstitusi Negara maka HI tidak berdaya lagi jika Konstitusi
itu tidak berlaku lagi; (2) Masuknya negara bare ke dalam masyarakat internasional serentak
mengikat negara barn itu, tanpa persetujuan terlebih dahulu.

3.6 Hubungan HI dan HN menurut Hukum Positif Negara


Inggris menganut doktrin inkonporasi (incorporation doctrin) yang mengacu pada suatu
ajaran yang menyatakan bahwa international law is the law of the land (hukum internasional
adalah hukum negara).

Ketentuan ini dipandang sebagai asas dasar dari pelaksanaan hukum di Inggris terutama
pada abad 18 dan 19.

Dalam hukum positif yang berlaku saat ini, Inggris mengacu pada; (1) hukurn kebiasaan
internasional (customary international law); dan (2) hukurn internasional tertulis (traktat,
konvensi/perjanj ian). Ketentuan tentang hukum kebiasaan masih berlaku di Inggris dengan
syarat bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional tidak bertentangan dengan undang-
undang baik yang terdahulu maupun yang diundangkan kemudian dan ketentuan tentang
kebiasaan internasional tersebut berlaku setelah ada keputusan Mahkamah tertinggi serta
diterima oleh masyarakat.

Praktek AS tentang hubungan HI dan 1-IN hampir sama, kecuali tentang traktat. Praktek
AS terge.ntung pada Konstitusi. Traktat sebagai the Supreme law of the Law".

Bagaimana praktek dan pandangan Indonesia terhadap hukum internasional? Menurut


Mochtar Kusumaatmadja (1985), UUD 1945 tidak menyatakan bahwa hukum nasional lebih
utama atau hukum internasional yang lebih utama. Kita juga tidak menyatakan bahwa kita
menolak supremasi hukum internasional atas hukum nasional atau hukum nasional mengatasi
hukum internasional. Apabila kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa
kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional.

Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran akan kedudukan
kita dalam masyarakat internasional yang sedang berkembang ... merupakan suatu sikap yang
wajar (Mochtar Kusumaatmadja, 1985:84). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sikap yang tidak
menerima begitu saja kaidah-kaidah hukum internasional tradisionil itu disertai dengan sikap
yang wajar, artinya apabila di dalam kita bersikap hendak mengadakan perubahan ini, sikap
demikian selalu dibarengi dengan kewajaran (reasonabless) dan kepekaan (sensitivity) terhadap
hak dan kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional sebagai keseluruhan, maka tidak
ada seorang pun di dunia yang akan dapat menyalahkan kita. (1985:84).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan sikap terhadap hukum internasional, Indonesia telah
berhasil memperjuangkan hak-haknya atas perairan di sekitar wilayah Indonesia melalui konsep
wawasan nusantara atau konsep nusantara (archipelago), hak-hak atas dasar Taut dan tanah
dibawahnya (seabed and subsoil) serta landasan kontinen (continental shelf).

Anda mungkin juga menyukai