Anda di halaman 1dari 56

BAB III

GEOLOGI REGIONAL
3.1 LETAK GEOGRAFIS
Cekungan Jawa Barat Laut (Northwest Java Basin) Cekungan ini
merupakan cekungan belakang busur yang sangat luas dan rumit, yang
dimana bagian utara hingga selatannya terdiri dari orientasi sejumlah
bentukan struktur halfgraben. Sub-cekungan ini terletak di tepi selatan dari
platform Sunda (Reksalegora et al.,1996). Cekungan Jawa Barat Utara
memiliki akumulasi Hidrokarbon berlimpah, dan minyak dan gas bumi
yang dimana reservoarnya bertumpukan dengan volkanik klastik,
karbonatan, dan lapisan coarsesiliciclastic (Noble et al., 1997).
Cekungan Jawa Barat Utara sekarang telah dianggap mature,
dengan pembagian untuk bagian atasnya yaitu berupa pasir dari formasi
Talang Akar dan diatasnya ditambah dengan karbonat pada jaman Miosen
sepenuhnya. Pertimbangan mengenai potensi yang ada didaerah tersebut
cukup kecil hingga menengah dan dapat tetap berada dalam pembentukan
Jatibarang syn-rift Posisinya lebih rendah dari formasi Talang Akar, dan
terletak didalam karbonat formasi Batu raja.

Gambar 3.1. Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara


3.2 GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon
province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini

terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di

Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau


Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block

faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara -

Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin, yaitu


Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian

basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur–

Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan stratigrafi dan pola


strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari
waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat telah mengalami beberapa
kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai dengan sekarang
(Martodjojo,2002).
3.2.1 Struktur Geologi Regional
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut
(offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi,
2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional (extensional
faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan
didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk
beberapa struktur deposenter (half graben), antara lain deposenter
utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga
deposenter yang lain seperti: Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier
dengan ketebalan melebihi 5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari
bermacam-macam area tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang
terpatahkan dan blok tinggian (horst block), lipatan pada bagian yang
turun pada patahan utama, keystone folding dan mengena pada tinggian
batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan
rift pertama yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode
Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen.
Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari
Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat

dilkasifikasikan sebagai‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi

struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang,


Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang

mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen (Eosen-

Oligosen) di kenal sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode


ini terjadi sesar geser mendatar menganan utama krataon Sunda akibat
dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia.
Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier
di Indonesia Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat
Utara sebagai pull apart basin. Tektonik ektensi ini membentuk
sesarsesar bongkah (half gnraben system) dan merupakan fase
pertama rifting (Rifting I : fill phase).
Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai
sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama
fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar
normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill)

berarah N 60o W – N 40o W dan hampir N – S yang dikenal sebagai

Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan
volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan
yang ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan
dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini
kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat
Formasi Baturaja.

2) Tektonik kedua

Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen,

dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap -


perangkap sruktur berupa sesar-sesar naik di jalur selatan Cekungan
Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik
Pasir jadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan
Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan.
Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses
migrasi hidrokarbon.

Gambar 3.2. Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa
Barat. (Sumber : Pertamina, 1996).
3.3 Stratigrafi Regional
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda
adalah sebagai berikut:
1) Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur
Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur
Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya
merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk
(Koesoemadinata, 1980).

2) Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian
barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak
(sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat,
dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial.
Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen
Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas
pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, et. al., 1991).
3) Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara
tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-
deltaic sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali oleh
perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri
oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam
fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai
dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan
berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan
Miosen Awal.
4) Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.
Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik
yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup
manandai fase post rift yangs secara regional menutupi seluruh
sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara.
Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah
tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi

ini terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama dari

asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah


pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada
(terutama dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).
5) Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan
batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan
batugamping kklastik serta batugamping terumbu yang berkembang
secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main
Carbonate(MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-
Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu:
a) Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung
dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halus-
sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon,
terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera
planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik
seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).
b) Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota
Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung
berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir
halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal
pembentukannya berkembang batu gamping dan juga blangket-
blangket pasir, dimana pada bagian ini Anggota Main terbagi
lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat (Budiyani et. al.
,1991).
c) Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota
Main. Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit,
batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala
Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada
lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi &
Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut
dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
6) Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan
Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping
klastik maupun batugamping terumbu. Pengendapan batugamping ini
melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan

pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi

& Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan


perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat
Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi.
Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.
7) Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan
serpih gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir

sampai Pliosen – Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut

dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral – paralik

(Arpandi & Patmosukismo, 1975).


Gambar 3.3. Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara.
(Sumber : Pertamina, 1996).
Secara tektonik, sejarah cekungan Jawa Barat Utara tidak terlepas dari
tektonik global Indonesia bagian Barat dimana tatanan tektoniknya
berupa system active margin, antara lempeng Hindia dengan lempeng
Asia. Sistem ini dicirikan dengan adanya zona subduksi (penunjaman)
dan busur magmatik. Fase-fase tektonik yang terjadi dalam sejarah
geologi Cekungan ini adalah :
a) Fase Tektonik Pertama
Pada zaman akhir Kapur awal tersier, Cekungan Jawa Barat Utara
dapat diklasifikasikan sebagai fore arc basin dengan dijumpainya
orientasi struktural mulai dari Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah
Cekungan Florence barat yang mengidentifikasikan kontrol
Meratus Pada awal tersier, peristiwa tumbukan antara lempeng
Hindia dengan lempeng Eurasia mengaktifkan sesar mendatar
menganan utama Kraton Sunda. Sesar- sesar ini mengawali
pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian.
Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull
apart basin, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.4. Penampang Tektonik Kapur-Miosen


(Sumber : Martodjojo, 2003)
Pada Cekungan Jawa Barat Utara, periode Paleogen dikenal
sebagai aleogen Extensional Rifting. Tektonik ektensi ini
membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system) dan
merupakan fase pertama rifting (Rifting I fill phase). Sedimen yang
diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I.
Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi, rotasi dan
pergerakan dari Kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang

diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60˚


W- N 40˚ W dikenal sebagai pola Sesar Sunda. Pada masa ini

terbentuk endapan lakustrin dari Formasi Jatibarang yang menutup


rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus
berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talang
Akar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya
lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
b) Fase Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen-
Miosen) dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching.
Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya
kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia-Australia. Sebagian
besar pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal yang
terbentuk pada periode Paleogen, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3.5. Peristiwa ini mengakibatkan terbentuknya
penunjaman baru di selatan Jawa. Jalur volkanik periode Miosen
Awal yang sekarang ini.
Gambar 3.5. Penampang Tektonik Geologi Miosen awal - akhir Miosen Tengah.
(Sumber : Martodjojo, 2003)
terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunung api ini
menghasilkan endapan bawah laut yang sekarang dikenal sebagai
"old andesite" yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola
tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola
tektonik tua yang terjadi sebelumnya. menjadi berarah barat-timur
dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari Selatan
(Ciletuh) bergerak ke Utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem
sesar naik belakang busur.
c) Fase Tektonik Akhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen-Pleistosen,
dimana terjadi proses kompresi kembali dan terbentuk perangkap-
perangkap struktur berupa sesar-sesar naik di jalur Selatan
Cekungan Jawa Barat Utara. Sesarsesar yang terbentuk adalah
sesar Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan pada jalur utara
Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar
turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut
terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon. Fase Tektonik Akhir
ini diilustrasikan pada gambar 3.6. sebagai berikut :
Gambar 3.6. Penmpang Tektonik Geologi Miosen akhir-Resen.
(Sumber : Martodjojo, 2003).

3.4 Sedimentasi Cekungan


Secara tektonik, sejarah cekungan Jawa Barat Utara tidak terlepas
dari tektonik global Indonesia bagian Barat dimana tatanan tektoniknya
berupa system active margin, antara lempeng Hindia dengan lempeng
Asia. Sistem ini dicirikan dengan adanya zona subduksi (penunjaman)
dan busur magmatik. Fase-fase tektonik yang terjadi dalam sejarah geologi
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala

Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif

transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang

Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua
lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian
timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin
berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak
cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan
yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut
terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen, sedimen klastik yang
dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan
daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal,
dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan
formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih
dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan
Jawa Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas

diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen

Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang


dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik
yang sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen

Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi

Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit


perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk kedalam
lingkungan paralik.

Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan

sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas


vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur utama
Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara
tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar
diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
3.5 Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara
Hampir seluruh Formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat
menghasikan hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari
lingkungan pengedapan maupun porositas batuannya. Model Petroleum
system pada Cekungan Jawa Barat Utara ditunjukkan pada Gambar 3.7.
Sebagai berikut :

Gambar 3.7. Petroleum system Cekungan Jawa Barat Utara.


( Sumber : Budiyani. et.al ., 1991).
a) Bantuan Induk (Source Rock)
Pada cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk,
yaitu lacustrine shale (oil prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales
(oil dan gas prone dan marin claystone (bacterial gas). Studi geokimia
dari minyak yang ditemukan di Pulau Jawa dan lapangan lepas pantai
Arjuna menunjukan bahwa fluvio deltaic dan shale dari Formasi Talang
Akar bagian atas berperan dalam pembentukan batuan induk yang utama.
Beberapa peran serta dari lacustrine shales juga ada, terutama pada sub-
Cekungan Jatibarang. Kematangan batuan induk di Cekungan Jawa Barat
Utara ditentukan oleh analisis batas kedalaman minyak dan kematangan
batuan induk pada puncak Gunung Jatibarang atau dasar/puncak dari
Formasi Talang Akar atau bagian bawah dari Formasi Baturaja (Reminton
dan Pranyoto, 1985).
1) Lacustrine Shale
Lacustrine Shale terbentuk pada suatu periode syn rift dan berkembang
dalam 2 macam fasies yang kaya material organik. Fasies pertama
adalah fasies yang berkembang selama in fill. Fasies ini berkembang
pada Formasi Banuwati dan ekuivalen Formasi Jatibarang sebagai
acustrine clastic dan vulkanik klastik. Fasies kedua adalah fasies yang
terbentuk selama akhir syn-rift dan berkembang pada bagian bawah
ekuivalen dengan Formasi Talang Akar. Pada Formasi ini, batuan
induk dicirikan oleh klastik non-marin berukuran kasar dan
interbedded antara batupasir dengan lacustrine shale.
2) Fluvio Deltaic Coal dan Shale
Batuan induk ini dihasilkan olen ekuivalen Formasi Talang Akar yang
dideposisikan selama post-rift sag. Fasies ini dicirikan oleh coal
bearing sedimen yang terbentuk pada sistem fluvial pada oligosen
Akhir. Batuan induk tipe ini menghasilkan minyak dan gas.
3) Marin Lacustrine
Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Cisubuh pada
cekungan laut. Batuan induk ini dicirikan oleh proses methanogenie
bacteria yang menyebabkan degradasi material organik pada
lingkungan laut.
b) Reservoar
Semua Formasi dari Jatibarang sampai Parigi merupakan interval dengan
sifat fisik reservoir yang baik sehingga banyak lapangan mempunyai
daerah dengan cadangan yang berlipat. Cadangan terbesar adalah yang
mengandung batupasir pada Main atau Massive dan Formasi Talang Akar.
Selain itu, minyak telah diproduksi dari rekahan volkanoklastik dari
Formasi Jatibarang. Pada daerah dimana batugamping Baturaja
mempunyai porositas yang baik, akumulasi endapan yang agak besar
mungkin dapat dihasilkan. Timbunan pasokan sedimen dan laju
sedimentasi yang tinggi pada daerah shelf. diidentifikasi dari clinoforms
yang menandakan adanya progradasi. Pemasukan sedimen ini disebabkan
oleh perpaduan ketidakstabilan tektonik yang merupakan akibat dari
subsiden yang terus-menerus pada daerah foreland dari Lempeng Sunda
(Hamilton, 1979). Pertambahan yang cepat dalam sedimen klastik dan laju
subsiden pada Miosen Awal diinterprestasikan sebagai sebab dari
perhentian deposisi batugamping Baturaja. Anggota Main dan Massive
menjadi dasar dari sequence transgressive marin yang sangat lambat,
kecuali yang berdekatan dengan akhir dari deposisi anggota Main.
Ketebalan seluruh sedimen bertambah dari 400 feet pada daerah yang
berdekatan dengan paleoshoreline menjadi lebih dari 5000 feet pada sub-
Cekungan Ardjuna.
c) Tipe Jebakan (Trap)
Tipe Jebakan di semua sistem petroleum Cekungan Jawa Barat Utara
sangat mirip. Hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan
sedimen sepanjang batas selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi
dan mekanisme jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi
adalah dome anticlinal yang lebar dan jebakan dari blok sesar yang miring.
Pada beberapa daerah dengan reservoar reef build up, perangkap stratigrafi
juga berperan. Perangkap stratigrafi yang berkembang umumnya
dikarenakan terbatasnya penyebaran batugamping dan perbedaan fasies.
Himpunan batuan dasar pada daerah lepas pantai Cekungan Jawa Barat
Utara berkomposisi batuan metamorf dan batuan beku. Berdasarkan umur
batuan dasar, metamorfisme regional berakhir selama zaman Kapur Akhir
selama deformas uplift, erosi dan pendinginan yang terus-menerus sampai
dengan Paleosen (Sinclair et. al.,1995).
d) Jalur Migrasi (Proper Timing of Migration)
Migrasi hidrokarbon terbagi menjadi tiga, yaitu migrasi primer, ek under
dan tersier. Migrasi Primer adalah perpindahan minyak bumi dari batuan
induk dan masuk ke dalam reservoar melalui lapisan penyalur
(Koesoemadinata, 1980). Migrasi sekunder dianggap sebagai pergerakan
fluida dalam batuan penyalur menuju trap. Migrasi ersier adalah
pergerakan minyak dan gas bumi setelah pembentukan akumulasi yang
nyata. Jalur untuk perpindahan hidrokarbon mungkin terjadi dari jalur
kedua yang lateral atau vertikal dari cekungan awal. Migrasi lateral
mengambil tempat didalam unit-unit lapisan horizontal yang baik,
sedangkan migrasi vertikal terjadi dengan permeabilitas ketika migrasi
yang utama dan langsung berupa tegak menuju lateral. Jalur migrasi lateral
bereini tetap dari unit-unit permeabel. Pada Cekungan Jawa Barat Utara,
saluran utama untuk migrasi lateral lebih banyak berupa celah batupasir
yang mempunyai arah utara-selatan dari Formasi Talang Akar dan mirip
dengan orientasi sistem batupasir dalam anggota Main maupun Massive
imasi Cibulakan Atas. Sesar menjadi saluran utama untuk migrasi vertikal
dengan transportasi yang cepat dari cairan yang bersamaan waktu dengan
periode tektonik aktif dan pergerakan sesar.
e) Lapisan Tudung (Seal)
Lapisan penutup atau lapisan penudung merupakan lapisan impermiabel
yang dapat menghambat atau menutup jalannya hidrokarbon. Lapisan ini
juga biasa disetarakan dengan lapisan overbuden. Lapisan yang sangat
baik adalah batu lempung. Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir
setiap Formas memiliki lapisan penutup yang efektif. Namun, Formasi
yang bertindak sebagai lapisan penutup utama adalah Formasi Cisubuh
karena Formasi ini memiliki litologi yang impermiabel yang cocok
sebagai penghalang bagi hidrokarbon untuk bermigrasi lebih lanjut.

BAB IV
PEMBAHASAN
1.1. Excercise Individu
Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas tentang
jenis – jenis logging, dan log dari suatu sumur.
4.1.1. Pengertian Logging While Drilling dan Wireline Logging
Dalam metode logging ada wireline logging dengan logging
while drilling.
4.1.1.1. Logging While Drilling (LWD)
Logging while drilling atau yang sering disingkat
LWD adalah perekaman disaat pemboran berlangsung dan
merupakan bagian dari drill string. Pengukuran ini disimpan
pada memori dibawah yang akan diambil ketika alat – alat
pemboran diangkat kepermukaan. Pengukuran ini juga bisa
langsung dikirimkan informasinya ke permukaan secara
langsung menggunakan mud poise dengan metode
telemetry.
Adapun kelebihan maupun kekurangan dalam
melakukan logging menggunakan metode ini yaitu :
A. Kelebihan
 Pengurangan waktu penggunaan rig, yang perlu
kita ketahui penyewaan rig sangatlah mahal dengan
biaya perharinya, dengan menggunakan metode ini
penyewaan rig bisa di minimalisir sehingga tidak
membuang – buang waktu karena data yang
diperoleh dapat diketahui secara langsung.
 Formasi diukur sesaat setelah pemboran untuk
meminimalisir kerusakan formasi atau pun adanya
mud filtrat.
 Lebih mudah dilakukan pada pemboran deviasi.
 Beberapa data bisa didapatkan secara langsung dan
cepat. (sebagai informasi untuk pertimbangan pada
saat pemboran berlangsung).
B. Kekurangan
 Pengukuran tidak terlalu detail khususnya pada
penetrasi yang tinggi (ROP) atau ada data yang
tidak didapatkan jika terlalu cepat pada saat
pemboran berlangsung.
 Kerusakan memori perekaman dibawah hanya bisa
diketahui ketika perangkat bawah permukaan
diangkat ke permukaan.
 Hanya bisa bekerja selama 40 – 90 jam.
4.1.1.2. Wireline Logging
Wireline Logging adalah kegiatan untuk merekam
kondisi dibawah permukaan yang telah dibor melalui
parameter – parameter fisis. Ketika lubang telah dibor alat
ini bertugas merekam data – data yang nantinya digunakan,
dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggambarkan
sama persis aslinya seperti batuannya, dan jenis
hidrokarbon yang terkandung. Simpelnya pengukuran ini
dilakukan setelah pemboran dilakukan.
Adapun kelebihan maupun kekurangan dalam
melakukan logging menggunakan metode ini yaitu :
A. Kelebihan
 Mampu melakukan pengukuran terhadap
kedalaman logging secara otomatis.
 Data yang didapatkan lebih akurat dan detail.
 Kecepatan transmisi datanya lebih cepat dari pada
LWD. Mampu mencapai 3 mb per detik.
B. Kekurangan
 Informasi yang didapatkan bukan merupakan real
time data.
 Terlalu memakan waktu sehingga dapat menaikkan
cost sewa rig.
 Sulit digunakan pada horizontal drilling dan high
deviation well karena menggunakan kabel.
4.1.1.3. Mud Logging
Mud logging unit merupakan suatu instrument yang
digunakan didaerah pemboran, yang berfungsi didalam
mencatat data pemboran dan , monitoring proses pemboran.
Dalam pengumpulan data selama operasi, ditangani
oleh data unit/ Mud Logging Unit. Jadi pada setiap
pemboran sumur eksplorasi, Mud Logging Unit merupakan
mitra aktif wellsite geologist dalam pengumpulan data
secara maksimal.
Lumpur logging instrumen dapat memonitor secara
terusmenerus, menunjukkan minyak dan gas bumi selama
periode pengeboran dan memberikan penjelasan dan
evaluasi untuk menunjukkan, dengan cara mengumpulkan
dan menganalisa sampel batuan, itu menetapkan lapisan
batuan secara real-time.
4.1.2. Jenis – Jenis Logging
Logging merupakan metode pengukuran besaran – besaran
fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Tujuan
logging ini sendiri menentukan besaran – besaran fisik batuan
reservoir.
A. Log Listrik
Log listrik merupakan suatu plot antara sifat – sifat listrik
lapisan yang ditembus lubang bor dengan kedalaman. Sifat –
sifat ini diukur dengan berbagai konfigurasi elektroda.
B. Log Radioaktif
Log radioaktif dapat digunakan pada sumur cased hole dan
open hole. Keuntungan log radioaktif dibandingkan log listrik
adalah tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan lubang bor dan
jenis lumpur.
C. Log Sonic
Log sonic merupakan log yang digunakan untuk
mendapatkan harga porositas batuan dengan prinsip kerja
mengukur waktu tempuh gelombang bunyi pada suatu jarak
tertentu didalam lapisan batuan.
D. Log Caliper
Log caliper adalah alat logging sumur yang memberikan
informasi lanjutan mengenai pengukuran dari ukuran dan bentuk
lubang bor dan dapat digunakan untuk eksplorasi hidrokarbon
saat pemboran berlangsung.
1.2. Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon
province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini
terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di
Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau
Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem
block faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara
- Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin,
yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa
tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan,
Kandanghaur–Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan
stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola
busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat
telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen
sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).
1.2.1. Tektonostratigrafi dan Struktur Geologi
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut
(offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan
Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional
(extensional faulting) dengan sangat minim struktur
kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan
dengan patahan yang membentuk beberapa struktur deposenter
(half graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-
Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga
deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-
Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi
oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri
dari bermacam-macam area tinggian yang berhubungan dengan
antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block),
lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone
folding dan mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur
kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama
yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen.
Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat
dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier
hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat
Utara dapat dilkasifikasikan sebagai ‘Fore Arc Basin’
dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari
Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan
Muriah dan Cekungan Florence Barat yang
mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode
Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen
Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser
mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari
peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng
Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan
cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat
dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai
pull apart basin.
2. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen
(Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai Neogen
Compressional Wrenching. Ditandai dengan
pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif
dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal
yang terbentuk pada periode Paleogen.
3. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen –
Pleistosen, dimana terjadi proses kompresi kembali dan
membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar-
sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara.
Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik
Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur
utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun
berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya
perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses
migrasi hidrokarbon.

Gambar 4.1. Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa
Barat. (Sumber : Pertamina, 1996).
1.2.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua
ke muda adalah sebagai berikut:
1. Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang
berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan
metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995).
Lingkungan Pengendapannya merupakan suatu permukaan
dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata,
1980).
2. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama
dijumpai di bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa
Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan
Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai.
Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan
konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies
fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir
sampai Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi
ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff
(Budiyani, dkk, 1991).
3. Formasi Talang Akar
Pada fase syn-rift berikutnya diendapkan Formasi Talang
Akar secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada
awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai faises marine.
Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen
batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh
perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam
fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar
ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini
diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi
dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi
dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
4. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Talang Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri
dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang
berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift
yangs secara regional menutupi seluruh sedimen klastik
Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara.
Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai
pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai
daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen
Awal–Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera).
Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi
laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama
dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan
batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini
umumnya merupakan batugamping kklastik serta
batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-
setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main
Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala
Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3
Anggota, yaitu:
a) Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas
Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah
perselingan batulempung dengan batupasir yang
mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada
massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama
pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera
planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera
bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan
Patmosukismo, 1975).
b) Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas
Anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah
batulempung berselingan dengan batupasir yang
mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat
glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang
batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana
pada bagian ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut
dengan Mid Main Carbonat (Budiyani dkk,1991).
c) Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas
Anggota Main. Litologinya adalah perselingan
batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau.
Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-
Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik
Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo,
1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal
dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Cibulakan Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar
adalah batugamping klastik maupun batugamping terumbu.
Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh
Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan
formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi &
Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai
dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran
klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan
karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala
Miosen Akhir-Pliosen.
7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Parigi. Litologi penyusunnya adalah batulempung
berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur
formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen –
Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut
dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral –
paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
1.2.3. Sedimentasi Cekungan
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara
dimulai pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase
transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut
dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas
vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi
antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-
daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik.
Material-material vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang
berlangsung pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang
menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut
dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal
permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan
yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur
merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin
berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi
anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut
menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal
mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi
beberapatinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-
tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan setara
dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil,
dan daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang
dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga
membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian
timur merupakan dasar yang lebih dalam. Pada kala Miosen
Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi
Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut.
Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang
stabil, batugamping berkembang dengan baik. Perkembangan
yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah
dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir –
Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi
Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit
perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk
kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk
pengangkatan sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti
oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti
pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu
utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga
mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
1.3. Excercise Mud Log
Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas
tentang data log dari suatu sumur. Dan dari data log tersebut terdapat
beberapa formasi, yaitu pada kedalaman 0 – 1100ft merupakan formasi
Parigi, kedalaman 1100ft – 2300ft merupakan formasi Cibulakan, pada
kedalaman 2300ft – 2650ft merupakan formasi Baturaja, pada kedalaman
2650ft – 3100ft merupakan formasi Talangakar, pada kedalaman 3100 –
3550ft yaitu merupakan formasi Jatibarang. Dari kelompok kami yaitu
kelompok 2 Khusus membahas formasi Talang akar saja. Yakni sebagai
berikut :
Gambar 4.2. Mud log.
4.3.1. Data Mud Log Est Baturaja Kedalaman 2650 – 3100ft
Dari data log diatas ( yang kelompok kami dapat ) yaitu formasi
Talangakar yang berada di cekungan Jawa Barat Utara mempunyai luas
450m, dengan interval ialah 50/ft, di mulai dari kedalaman 2650ft.
a. Pada kedalaman 2650-2700ft.
Pada kedalaman 2650 – 2700 ft mendapatkan hasil analisa sebagai
berikut : Rate Of Penetration (ROP) menunjukkan stabil dan rendah
dengan nilai 10 dan diakhir kedalaman, namun mengalami Rotation Per
Minute (RPM) yang sedikit menurun pada kedalaman 2700ft yakni
dengan nilai 5, jadi ini disebabkan adanya perubahan lithologi batuan,
pada kedalaman 2650 – 2700ft yang bervariasi yaitu ( shale dan sand
stone ). Sedangkan yang mendominasi yaitu batuan shale, slanjutnya
nilai Weight On Bit (WOB) menunjukkan bahwa bit atau wob memiliki
nilai 8 klbs. hal ini dapat disimpulkan bahwa karna formasi yang
ditembus, hal ini dikarnakan bit selalu menyentuh atau menembus zona
formasi. Pada kedalaman 2700m nilai wob 17 klbs pada formasi shale.
Dan untuk nilai RPM berkisar 88,92 rpm. Dimana perubahanya tidak
derastis dikarenakan bit yang selalu berputar stabil, untuk kedalaman
ini terdapat oil show dengan kategori Fair (cukup), sedangkang untuk
gas show tidak ada kenampakan dan untuk kandungan di lapisan ini ada
berupa yaitu :
C1 : 1037706 ppm C2 : 257457 ppm
C3 : 25870,2 ppm IC3 : 25762,2 ppm
NC4 : 25735,9 ppm IC5 : 20517,2 ppm
NC5 : 20507,2 ppm
Dan untuk kandungan Calsite dan Dolomite pada lapisn ketebalan
ini tidak ditemukan. Pada kedalaman ini nilai Sg : 1,35 dan Viskositas :
54 Cp. Deskripsi lithologi batuanya SST (sandstone). Umunya bening,
transparant, transculent, umunya coklat terang sampai abu-abu, umunya
mudah lepas sampai agak keras. 10-40% cutting berwarna kuning
terang, oil show trafic – fair (2662 – 2670 ft).
b. Pada kedalaman 2700-2750ft.
Pada kedalaman 2700 – 2750ft mendapatkan hasil analisa sebagai
berikut : Rate Of Penetration (ROP) stabil dengan nilai 10-12 maka
batuan yang ditembus dapat disimpulkan batuan shale atau sisipan
(siltstone),diawali lapisan ini didominasi coal, dan limestone Rotation
Per Minute (RPM) menunjukkan rendah dengan keadaan yang cukup
stabil, selanjutnya nilai Weigh On Bit (WOB) menunjukkan memiliki
nilai kurang lebih 17 klbs di kedalaman 2700ft, dan pada kedalaman
2715 nilai wob 9 klbs mengalami penurunan, dan tiba-tiba mengalami
kenaikan hingga kurang lebih 20 klbs, pada kedalaman akhir 2750ft
nilai wob turun derastis sekitar 8 klbs hal ini dikarnakan bit selalu
menyentuh atau menembus zona formasi akibat lithologi batuan yang
bervariatif. Didapatkan analisa cuting berupa limestone yang
mendominasi. Untuk nilai RPM stabil berkisar 92-94 rpm, tidak ada
terlihat oil show maupun gas show. Untuk kandungan C1, C3,IC4,NC4,IC5,
dan NC5 ada tetapi, jumlah spesificnya tidak terlihat. Untuk Calsite dan
Dolomite pun tidak terlihat nampak pada kedalaman ini. Untk nilai Sg :
1,35 dan Viskositas : 68 Cp.
Deskripsi pada lithologi batuanya : Coal (batu bara) umunya
berwarna hitam, coklat gelap, kekerasanya cukup keras, britlle,
pecahanya concoidal, umumnya mempunyai kilap lilin. SST
(sandstone) 5-10% cutting berwarna kuning, tidak terdapat residu, tidal
terlihat minyak, sedikit jejeak minyak pada kedalaman 2662-2670ft.
c. Pada kedalaman 2750-2800ft.
Pada kedalaman 2750 – 2800ft mendapatkan analisa sebagai
berikut : nilai Rate Of Penetration (ROP) tidak stabil karna lithologi
batuan yang ditembus dapat disimpulkan batuan shale dan beberapa
sisipan berupa batu bara yang keras dan siltstone. nilai Weight on bit
(WOB) menunjukkan memiliki nilai 10-16 klbs, hal ini dapat
disimpulkan bahwa formasi sedikit mudah ditembus hal ini dikarnakan
bit selalu menyentuh atau menembus zona formasi. Nilai dari RPM
berkisar 100-110rpm. Tidak terdapat kandungan oil show dan gas show
pada kedalaman ini tidak teridentifikasi. Dari data kedalaman ini juga
tidak terdapat adanya kenampakan Calsite dan Dolomite, kemudian
nilai Sg : 1,37 dan viskositas : 88 Cp.
Diskripsi lithologi batuanya : SST ( sandstone) umumnya warna
abu-abu terang transparan, trensculent, umumnya aqirute 10-70%, tidak
ada jejak residu dan terdapat jejak minyak di kedalaman 2758-2778ft.
d. Pada kedalaman 2800-2850ft.
Pada kealaman 2800 – 2850ft memiliki nilai Rate Of Penetration
(ROP) sebesar 1.015566 sebab tidak ada perubahan ROP yang
signifikan pada kedalaman 2800 – 2850ft. Kemudian di kedalaman ini
RPM yang didapat memiliki nlai yang konstant. Dapat di lihat dari data
mud log grafik rpm yang mengalami perubahan yang signifikan.
Kemudian pada kedalaman ini wob mengalami peningkatan yang cukup
karena bit menembus sisipan batu bara dan kemudian di kedalaman ini
memiliki jenis batuan diantaranya : shale dan ditambah sisipan lain batu
bara, limestone, siltstone. Pada kedalaman ini terdapat gas show dan oil
show dan juga terdapat kandungan gas seperti butana, etana, methana,
propana, dan lain-lain. Kedalaman ini juga memiliki tvd dan tidak
terdapat Calsite dan Dolomite.
Diskripsi lithologi batuanya : Shale umumnya abu-abu, cukup
keras, Sub-plary, Sub-blo. Coal umumnya berwarna hitam, coklat,
sangat keras, brittle, Sub-blok seperti kaca.

e. Pada kedalaman 2850-2900ft.


Pada kedalaman 2850 – 2900ft data mud log tersebut didapat nilai
Rate Of Penetration (ROP) yang tidak konstant. Dimana menurut
interpretasi saya pada kedalaman 2855ft nilai rop pada mud log tersebut
terdapat nilai rop naik sekita yang awalnya rata-rata 8-10 rop, naik
menjadi 12 rop ini tidak terlalu signifikan karena lithologi yang
berbeda. Lalu pada kedalaman 2856 – 2900ft nila rop konstant.
Kemudian dalam data tersebut didapat nilai rpm pada kedalaman 2855ft
turun signifikan karena terlihat pada lithologi yang menembus sisipan
batu bara lalu setelah pada kedalaman 2856 – 2900ft nilai rpm konstant.
Terlihat pada drilling parameter pada kedalaman 2860ft nilai wob turun
sangat signifikan karna bit menembus siltstone. Pada kedalaman 2880 –
2900ft terdapat jejak minyak oil show. Dari lithologi pada kedalaman
2850 – 2900ft terdapat shale, sisipan batu bara, siltstone dan sandsstone
terdapat pula kandungan gas methan, etana, propana, isobutana, N-
butana, iso-penthana. Dimana nilai Sg : 1,48 dan viskositas : 67 Cp.
Pada kedalaman 2850 – 2900ft tidak terdapat Dolomite dan Calsite.
Diskripsi lithologi batuanya : SLST (siltstone) umumnya berwarna
terang abu-abu, terkadang pula abu-abu gelap. Umumnya gembur /
rapuh. Cukup keras Sub-blok karbon berlimpah. STS (sandstone)
umumnya abu-abu terang, abu-abu serpih coklat transparant,
transculent, gembur / rapuh, cukup keras, terkandung kuarsa. 5-20%
cutting orange lebih rendah. Tidak ada jejak oil stain, terdapat jejak oil
pada kedalaman 2882 – 2900ft.
f. Pada kedalaman 2900-2950ft.
Pada kedalaman 2900 – 2950ft awalnya nilai Rate Of Penetration
(ROP) konstant namun dikedalaman 2920ft terjadi kenaikan rop yang
cukup signifikan. Kenaikan rop disebabkan karena adanya sisipan
limestone, namun setelah bit menembus limestone nilao rop kembali
menjadi konstant pada kedalaman 2900 – 2950ft, nilai rpm konstant
dengal nilai 90-100rpm dikarenakan nilai rpm yang konstant dan bit
yang terus berputar membuat nilai wob konstant dan tidak mengalami
perubahan yang signifikan pada kedalaman 2910ft muncul oil show
poor dari jenis sandstone yang menandakan bahwa batuan pasir pada
kedalaman 2910ft mengandung hidrocarbon. Pada kedalaman 2900 –
2950ft terdapat kandungan gas show. Pada kedalaman tersebut terdapat
gas methana, ethana, propana, iso-butana, N-butana, dan iso-pentana
namun pada kedalaman 2940ft kandungan iso-penthana mengalami
penurunan yang drastis dan membuat kandungan gas iso-penthana
hilang. Pada kedalaman 2900 – 2950ft tidak terdapat Dolomite dan
Calsite.
Diskripsi lithologi batuanya : LST serpih kecoklatan, putih krem,
putih pucat, lembut dan cukup kersa, rapuh, batu krikil, bahan
mengandung karbon melimpah, melacak lilin.
g. Pada kedalaman 2950-3000ft.
Pada kedalaman 2950 – 3000ft didapat nilai Rate Of Penetration
(ROP) konstant di karenakan lithologi batuanya masih mendominasi
shale dan terdapat sisipan limestone, coal, dan sandstone. Sedangkan
pada kedalaman 2990 – 3000ft nilai rop tidak konstant dikarenakan
terdapat sisipan satu lapisan coal. Untuk nilai wob pada kedalaman
2950 – 3000ft ini adalah 10-16 klbs dan nilai rpm adalah 80-110rpm
menandakan kosntant, di karenakan dikedalaman sebelumnya yaitu
2950- 3000ft dan sesydah di kedalaman 3000-3050ft kurang lebih sama
persis. Dan nilai wob tidak berubah derastis karena bit selalu berputar.
Di kedalaman 2950 – 3000ft tidak terdapat jejak oil show dan gas show
dikarenakan sifat dari batuan limestone, coal, yang memiliki porositas
yang buruk sehingga buruk untuk mengalirkan oil dan gas. Pada
kedalaman 2950 – 3000ft terdapat kandungan gas methana, ethana,
propana, iso-butana, N-butana, iso-penthana. Dengan nilai Sg : 1,48
dan viskositas 76 Cp. Dan tidak terdapat Dolomite dan Calsite di
kedalaman ini.
Diskripsi lithologi batuanya : SLST (siltsone) umumnya abu-abu
terang, terkadang abu-abu gelap lebih umumnya batu pasir dan serpih,
formasi batuanya biasanya lebih tipis dan penyebaranya kurang luas,
diakibtkan pada saat batu lanau terbentuk dimana air, angin, gelombang
membawa material berukuran lanau dan kemudian terakumulasikan,
terendapkan dan tersedimentasi menjadi batu.
h. Pada kedalaman 3000-3050ft.
Pada kedalaman 3000 – 3050ft didapat nilai Rate Of Penetration
(ROP) konstant dikarenakan masih mendominasi oleh coal dan shale.
Namun setelah kedalaman 3030ft nilai rop tidak konstant karena
terdapat hanya shale. Untuk nilai wob pada kedalaman ini adalah 10-
15klbs dn nilai rpmnya adalah 90-110rpm. Nilai wob pada kedalaman
ini meningkat secara perlahan. Pada kedalaman 3000- 3050ft hanya
terdapat coal dan sheal. Tidak terdapat oil show dan gas show dan tidak
terdapat Dolomite dan Calsite.
Diskripsi lithologi batuanya : Coal pada umumnya berwarna sangat
hitam, namun rapuh, brittle sehingga bisa rapuh dan mudah patah. Shale
mengandung hidrokarbon yang sangat berlimpah dan terdapat juga
material berkapur.
i. Pada kedalaman 3050-3100ft.
Pada kedalaman 3050- 3100ft didapat nilai Rate Of Penetration
(ROP) tidak konstant, namun pada awalnya konstant hingga menembus
lapisan 3075ft ini dikarenakan lithologinya masih didomonasi oleh
shale dan limestone. Setelah kedalaman 3075ft nilai rop tidak konstant
karena terdapat sisipan batu bara dan siltstone. Untuk nilai wob adalah
10-15 klbs. Ini tidak berubah drastis dikarenakan bit yang selalu
berputar. Nilai rpm adalah 80-110rpm lithologi pada kedalaman ini
masih didominasi oleh shale. Dan ada sisipan berupa limestone, coal
dan silstone. Pada kedalaman 3072 – 3076ft dijumpai jejak oil show
terdapat kandungan methana, ethana, iso-butana, N-butana, dan iso-
penthana. Adapun nilai Sg : 1,55 dan viskositas : 79 Cp.
Diskripsi lithologi batuanya : Limestone pada umumnya putih,
coklat terang, sheal coklat, umumnya halus, kasar sedng, rapuh, mud
stone, walkstone, terkandung peek stone, umumnya mikrokristalin,
interkristali tidak buruk terlihat berpori, terkandung interglanular tidak
buruk, terkandung mikrofragmen, berlimpah carbons, umumnya
aryilietrace 5% dari cutting biri putih, kuning buruk, biru putih tipis,
struktur medium, tidak ada residu, no ligth brown oil show. Trace oil
show(3072-3076ft).
1.4. Perhitungan Vshale, Porositas Densitas, Porositas, dan Neutron
Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas
tentang data log dari suatu sumur. Dan dari data log tersebut terdapat
beberapa formasi yang kemudian akan diukur Vshale, Porositas
Densitas, Porositas, dan Neutron. Yaitu merupakan formasi Baturaja,
pada kedalaman 2650ft – 3100ft merupakan formasi Talangakar.
Gambar 4.3. Mud log dan lithologi batuan
4.4.1. Perhitungan Formasi Talangakar (Depth 2650ft – 3100ft)
A. pada kedalaman (2650-2675ft)
𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 120−45 75
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 179−45 = 134 = 0,56 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,50 0,15
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,083 𝑥 100% =
1,8

8,3%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,72 0,13
DSH = = = = 0,065 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2

6,5%
N = 0,24 x 100% = 24%
NSH = 0,27 x 100% = 27%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,083 – ( 0,56 x 0,065 ) =
0,0466 x 100% = 4,6%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,24 – ( 0,56 x 0,27 ) = 0,09
x 100% = 9%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 4,6+9
eff = = = 6,8%
2 2

B. pada kedalaman (2675-2700ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 142,2−92 50,2
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,487 v/v
195−92 103
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,62 0,3
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = 1,8 = 0,0167 𝑥 100% =

1,67%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,445 0,405
DSH= 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = = =
2,85−0,85 2

0,2025 𝑥 100% = 20,25%


N = 0,175 x 100% = 17,5%
NSH = 0,23 x 100% = 23%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,0167 – ( 0,487 x 0,2025 )
= 0,082 x 100% = 8,2%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,175 – ( 0,487 x 0,23 ) =
0,0629 x 100% = 6,29%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 8,2+6,29
eff = = = 7,25%
2 2

C. pada kedalaman (2700-2725ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 162−120 42
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 195−120 = 75 = 0,56 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,48 0,17
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,094 𝑥 100% =
1,8

9,4%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,6 0,25
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,125 𝑥 100% =
2

12,5%
N = 0,214 x 100% = 21,4%
NSH = 0,08 x 100% = 8%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,094 – ( 0,56 x 0,125 ) =
0,024 x 100% = 2,4%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,214 – ( 0,56 x 0,08 ) =
0,1692 x 100% = 16,92%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 16,92+2,4
eff = = = 9,66%
2 2

D. pada kedalaman (2725-22750ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 120,4−50 70,4
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,502 v/v
190−50 140
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,58 0,07
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,0389 𝑥 100% =
1,8

3,89%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,60 0,25
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,125 𝑥 100% =
2

12,5%
N = 0,21 x 100% = 21%
NSH = 0,296 x 100% = 29,6%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,0389 – ( 0,502 x 0,125 ) =
0,0238 x 100% = 2,38%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,21 – ( 0,502 x 0,296 ) =
0,0614 x 100% = 6,14%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 2,38+6,14
eff = = = 4,26%
2 2

E. pada kedalaman (2750-2775ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 158,6−62 96,6
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,76 v/v
188−62 126
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,53 0,12
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,06 𝑥 100% = 6%
1,8
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,7 0,15
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,075 𝑥 100% =
2

7,5%
N = 0,09 x 100% = 9%
NSH = 0,29 x 100% = 29%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,06 – ( 0,76 x 0,075 ) =
0,003 x 100% = 3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,09 – ( 0,76 x 0,29 ) = 0,13
x 100% = 13%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 3+13
eff = = = 8%
2 2

F. pada kedalaman (2775-2800ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 183,3−59 124,3
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,39 v/v
225−59 166
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,54 0,11
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,06 𝑥 100% = 6%
1,8
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,44 0,41
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,205 𝑥 100% =
2

20,5%
N = 0,18 x 100% = 18%
NSH = 0,33 x 100% = 33%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,06 – ( 0,39 x 0,205 ) =
0,019 x 100% = 1,9%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,18 – ( 0,39 x 0,33 ) =
0,052 x 100% = 5,2%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 1,9+5,2
eff = = = 3,55%
2 2

G. pada kedalaman (2800-2825ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 175,3−129 46,3
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,87 v/v
182−129 53
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,52 0,25
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,072 𝑥 100% =
1,8

7,2%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,62 0,23
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,11 𝑥 100% =
2

11%
N = 0,18 x 100% = 18%
NSH = 0,31 x 100% = 31%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,072 – ( 0,87 x 0,095 ) =
0,023 x 100% = 2,3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,18 – ( 0,87 x 0,31 ) = 0,08
x 100% = 8%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 2,3+8
eff = = = 5,15%
2 2

H. pada kedalaman (2850-2875ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 182,66−87 95,66
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,67 v/v
228−87 141
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,63 0,02
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,016 𝑥 100% =
1,8

1,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,66 0,14
DSH = = = = 0,095 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2

9,5%
N = 0,31 x 100% = 31%
NSH = 0,37 x 100% = 37%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,16 – ( 0,67 x 0,095 ) =
0,097 x 100% = 9,7%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,31 – ( 0,67 x 0,37 ) =
0,07x 100% = 7%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 9,7+7
eff = = = 8,35%
2 2

I. pada kedalaman (2850-2875ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 162,66−94 68,66
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,78 v/v
182−94 88
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,63 0,02
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,01 𝑥 100% = 1%
1,8
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,61 0,36
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,18 𝑥 100% =
2

18%
N = 0,13 x 100% = 13%
NSH = 0,38 x 100% = 38%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,01 – ( 0,78 x 0,18 ) = 0,13
x 100% = 13%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,13 – ( 0,78 x 0,38 ) =
0,1664 x 100% = 16,64%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 13+16,64
eff = = = 14,82%
2 2

J. pada kedalaman (2875-2900ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 164,33−72 92,33
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,89 v/v
159−72 103
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,62 0,03
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,016 𝑥 100% =
1,8

1,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,55 0,3
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,15 𝑥 100% =
2

15%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,39 x 100% = 39%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,016 – ( 0,89 x 0,15 ) =
0,0117 x 100% = 11,7%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,89 x 0,39 ) = 0,19
x 100% = 19%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 11,7+19
eff = = = 15,35%
2 2

K. pada kedalaman (2900-2925ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 125,66−65 60,66
Vshale = = = = 0,612 v/v
𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 164−65 99
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,6 0,05
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,027 𝑥 100% =
1,8

2,7%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,58 0,27
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,135 𝑥 100% =
2

13,5%
N = 0,258 x 100% = 25,8%
NSH = 0,19 x 100% = 19%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,027 – (0,612 x 0,135) =
0,055 x 100% = 5,5%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,258– (0,612 x 0,19) =
0,142 x 100% = 14,2%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 5,5+14,2
eff = = = 9,85%
2 2

L. pada kedalaman (2925-2950ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 97−60 37
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 180−60 = 120 = 0,31 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,35 0,3
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = 1,8 = 0,166 𝑥 100% =

16,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,68 0,17
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,085 𝑥 100% =
2

8,5%
N = 0,45 x 100% = 45%
NSH = 0,34 x 100% = 34%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,166 – ( 0,31 x 0,085 ) =
0,139 x 100% = 13,9%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,45 – ( 0,31 x 0,34 ) =
0,344x 100% = 34,4%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 13,9+34,4
eff = = = 24,15%
2 2

M. pada kedalaman (2950-2975ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 163,3−45 118,3
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,875 v/v
180−45 135
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,27 0,38
D = = = = 0,21 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,65−0,85 1,8

21%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,65 0,2
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,1 𝑥 100% =
2

10%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,30 x 100% = 30%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,21 – ( 0,875 x 0,1 ) =
0,1225 x 100% = 12,25%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,875 x 0,30 ) =
0,1125 x 100% = 11,25%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 12,25+11,25
eff = = = 11,75%
2 2

N. pada kedalaman (2975-3000ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 164,3−95 69,3
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = = = 0,866 v/v
175−95 80
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,63 0,02
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,01 𝑥 100% = 1%
1,8
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,67 0,18
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,09 𝑥 100% =
2

9%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,32 x 100% = 32%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,01 – ( 0,866 x 0,09 ) =
0,0697 x 100% = 6,97%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,866 x 0,32 ) =
0,1271 x 100% = 12,71%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 6,97+12,71
eff = = = 9,84%
2 2

O. pada kedalaman (3000-3025ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 165−51 114
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 180−51 = 129 = 0,88 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−1,85 0,8
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = 1,8 = 0,44 𝑥 100% =

44%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,68 0,17
DSH = = = = 0,085 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2

8,5%
N = 0,27 x 100% = 27%
NSH = 0,36 x 100% = 36%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,44 – ( 0,88 x 0,085 ) =
0,3652 x 100% = 36,52%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,27 – ( 0,88 x 0,36 ) =
0,0468 x 100% = 4,68%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 36,52+4,68
eff = = = 20,6%
2 2

P. pada kedalaman (3025-3050ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 150−60 90
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 179−60 = 119 = 0,75 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−1,85 0,8
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = 1,8 = 0,44 𝑥 100% =

44%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,75 0,1
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,005 𝑥 100% =
2

0,5%
N = 0,29 x 100% = 29%
NSH = 0,40 x 100% = 40%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,44 – ( 0,75 x 0,005 ) =
0,4025 x 100% = 40,25%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,29 – ( 0,75 x 0,40 ) = 0,01
x 100% = 1%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 40,25+1
eff = = = 20,62%
2 2

Q. pada kedalaman (3050-3075ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 151−97 54
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 170−97 = 73 = 0,739 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,62 0,03
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,0167 𝑥 100% =
1,8

1,67%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,84 0,01
DSH = = = = 0,005 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2

0,5%
N = 0,28 x 100% = 28%
NSH = 0,39 x 100% = 39%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,03 – ( 0,739 x 0,005 ) =
0,013 x 100% = 1,3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,28 – ( 0,739 x 0,39 ) =
0,008 x 100% = 0,8%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 1,3+0,8
eff = = = 1,05%
2 2

R. pada kedalaman (3075-3100ft)


𝐺𝑅 log − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 106−65 41
Vshale = 𝐺𝑅 max − 𝐺𝑅 𝑚𝑖𝑛 = 136−65 = 71 = 0,577 v/v
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,65−2,50 0,15
D = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,65−0,85 = = 0,083 𝑥 100% =
1,8

8,3%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,70 0,15
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,075 𝑥 100% =
2

7,5%
N = 0,05 x 100% = 0,5%
NSH = 0,27 x 100% = 27%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,083 – ( 0,577 x 0,075 ) =
0,0397 x 100% = 3,97%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,05 – ( 0,577 x 0,27 ) =
0,1057 x 100% = 10,57%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 3,97+10,57
eff = = = 7,27%
2 2

1.5. Perhitungan Water Saturation


Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas
tentang data log dari suatu sumur. Dan dari data log tersebut terdapat
beberapa formasi yang kemudian akan diukur water saturation. Yaitu
merupakan formasi Talangakar, pada kedalaman 2650ft – 3100ft
merupakan formasi Talangakar.
Gambar 4.4. Mud log
4.5.1. Perhitungan Formasi Talangakar (Depth 2650m – 3100m)
a. Pada kedalaman (2650-2675ft)
Dik : eff = 6,6% Rw = 7 Rt = 4
𝑎 0,81 0,81
- F= = (6,6) 2 = 43,56 = 0,018
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 𝑜,𝑜18 𝑥 7
- Sw = √ = √ = 0,18 = 0,18 x 100 =
𝑅𝑡 4

1,8%
b. Pada kedalaman (2675-2700ft)
Dik : eff = 7,5% Rw = 11,5 Rt = 6
𝑎 0,81 0,81
- F= = (7,5) 2 = 51,48 = 0,015
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 𝑜,𝑜15 𝑥 11,5
- Sw = √ = √ = 0,1725 = 0,1725 x
𝑅𝑡 6

100 = 17,25%
c. Pada kedalaman (2700-2725ft)
Dik : eff = 6,65% Rw = 8 Rt = 2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (6,65) 2 = 44,22 = 0,018
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 𝑜,𝑜18 𝑥 8
- Sw = √ = √ = 0,27 = 0,27 x 100 =
𝑅𝑡 2

27%
d. Pada kedalaman (2775-2800ft)
Dik : eff = 3,95% Rw = 2 Rt = 1,8
𝑎 0,81 0,81
- F= = (3,95) 2 = 15,68 = 0,0851
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜851 𝑥 2
-
2
Sw = √ =√ = 0,238 = 0,238 x 100 =
𝑅𝑡 1,8

23,8%
e. Pada kedalaman (2800-2825ft)
Dik : eff = 4,65% Rw = 15,6 Rt = 10,2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (4,65) 2 = 21,62 = 0,037
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜37 𝑥 15,6
-
2
Sw = √ = √ = 0,24 = 0,24 x 100 =
𝑅𝑡 10,2

24%
f. Pada kedalaman (2825-2850ft)
Dik : eff = 8,35% Rw = 17 Rt = 9,4
𝑎 0,81 0,81
- F= = (8,35) 2 = 69,72 = 0,011
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜11 𝑥 17
-
2
Sw = √ = √ = 0,14 = 0,14 x 100 =
𝑅𝑡 9,4

14%
g. Pada kedalaman (2850-2875ft)
Dik : eff = 14,82% Rw = 16 Rt = 10,2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (14,82) 2 = = 3,67𝑥10−3
ø𝑚 220,5225

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (3,67𝑥10−3 ) 𝑥 16
- Sw = √ =√ = √0,0057 = 0,075
𝑅𝑡 10,2

= 0,075 x 100 = 7,5%


h. Pada kedalaman (2875-2900ft)
Dik : eff = 15,35% Rw = 18 Rt = 14,2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (15,35) 2 = 235,6225 = 3,43𝑥10−3
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (3,43𝑥10−3 ) 𝑥 18
- Sw = √ =√ = √0,0043 = 0,065
𝑅𝑡 14,2

= 0,065 x 100 = 6,5%


i. Pada kedalaman (2900-2925ft)
Dik : eff = 9,8% Rw = 13,7 Rt = 11,5
𝑎 0,81 0,81
- F= = (9,8) 2 = 96,04 = 8,433𝑥10−3
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (8,433𝑥10−3 ) 𝑥 13,7
- Sw = √ =√ = 0,100 = 0,100
𝑅𝑡 11,5

x 100 = 10%
j. Pada kedalaman (2925-2950ft)
Dik : eff = 24,15% Rw = 18,3 Rt = 13,5
𝑎 0,81 0,81
- F= = (24,15) 2 = 940,311 = 6,59𝑥10−3
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (6,59𝑥10−3 ) 𝑥 18,3
- Sw = √ =√ = 0,029 = 0,029 x
𝑅𝑡 13,5

100 = 2,9%
k. Pada kedalaman (2950-2975ft)
Dik : eff = 11,75% Rw = 16 Rt = 13,5
𝑎 0,81 0,81
- F= = (11,75) 2 = 13806,25 = 5,86𝑥10−3
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (5,86𝑥10−3 ) 𝑥 16
- Sw = √ = √ = √0,00694 =
𝑅𝑡 13,5

0,083 = 0,083 x 100 = 8,3%


l. Pada kedalaman (2975-3000ft)
Dik : eff = 9,48% Rw = 16,2 Rt = 13,3
𝑎 0,81 0,81
- F= = (9,48) 2 = 89,870 = 9,01𝑥10−3
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (9,01𝑥10−3 ) 𝑥 16,2
- Sw = √ = √ = √0,01097 =
𝑅𝑡 13,3

0,1048 = 0,1048 x 100 = 10,48%


m. Pada kedalaman (3000-3025ft)
Dik : eff = 20,6% Rw = 30 Rt = 13
𝑎 0,81 0,81
- F= = (20,6) 2 = = 9,28𝑥10−3
ø𝑚 668,058

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (9,28𝑥10−3 ) 𝑥 30
- Sw = √ = √ = 0,046 = 0,046 x
𝑅𝑡 13

100 = 4,6%
n. Pada kedalaman (3025-3050ft)
Dik : eff = 23,26% Rw = 19 Rt = 12
𝑎 0,81 0,81
- F= = (23,26) 2 = 867,382 = 7,14𝑥10−4
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (7,14𝑥10−4 ) 𝑥 19
- Sw = √ = √ = 0,033 = 0,033 x
𝑅𝑡 12

100 = 3,3%
o. Pada kedalaman (2850-2875ft)
Dik : eff = 1,65% Rw = 12,5 Rt = 7
𝑎 0,81 0,81
- F= = (1,65) 2 = 2,722 = 0,297
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 0,297 𝑥 12,5
- Sw = √ = √ = 0,728 = 0,728 x 100
𝑅𝑡 7

= 72,8%

p. Pada kedalaman (3075-3100ft)


Dik : eff = 7,27% Rw = 9 Rt = 8
𝑎 0,81 0,81
- F= = (7,27) 2 = 52,85 = 0,015
ø𝑚

𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 0,015 𝑥 9
- Sw = √ = √ = 0,131 = 0,131 x 100 =
𝑅𝑡 8

13,3%

Anda mungkin juga menyukai