GEOLOGI REGIONAL
3.1 LETAK GEOGRAFIS
Cekungan Jawa Barat Laut (Northwest Java Basin) Cekungan ini
merupakan cekungan belakang busur yang sangat luas dan rumit, yang
dimana bagian utara hingga selatannya terdiri dari orientasi sejumlah
bentukan struktur halfgraben. Sub-cekungan ini terletak di tepi selatan dari
platform Sunda (Reksalegora et al.,1996). Cekungan Jawa Barat Utara
memiliki akumulasi Hidrokarbon berlimpah, dan minyak dan gas bumi
yang dimana reservoarnya bertumpukan dengan volkanik klastik,
karbonatan, dan lapisan coarsesiliciclastic (Noble et al., 1997).
Cekungan Jawa Barat Utara sekarang telah dianggap mature,
dengan pembagian untuk bagian atasnya yaitu berupa pasir dari formasi
Talang Akar dan diatasnya ditambah dengan karbonat pada jaman Miosen
sepenuhnya. Pertimbangan mengenai potensi yang ada didaerah tersebut
cukup kecil hingga menengah dan dapat tetap berada dalam pembentukan
Jatibarang syn-rift Posisinya lebih rendah dari formasi Talang Akar, dan
terletak didalam karbonat formasi Batu raja.
Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan
volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan
yang ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan
dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini
kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat
Formasi Baturaja.
2) Tektonik kedua
Gambar 3.2. Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa
Barat. (Sumber : Pertamina, 1996).
3.3 Stratigrafi Regional
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda
adalah sebagai berikut:
1) Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur
Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur
Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya
merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk
(Koesoemadinata, 1980).
2) Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian
barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak
(sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat,
dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial.
Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen
Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas
pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, et. al., 1991).
3) Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara
tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-
deltaic sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali oleh
perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri
oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam
fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai
dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan
berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan
Miosen Awal.
4) Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.
Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik
yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup
manandai fase post rift yangs secara regional menutupi seluruh
sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara.
Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah
tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi
transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang
Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua
lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian
timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin
berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak
cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan
yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut
terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen, sedimen klastik yang
dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan
daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal,
dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan
formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih
dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan
Jawa Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas
diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen
BAB IV
PEMBAHASAN
1.1. Excercise Individu
Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas tentang
jenis – jenis logging, dan log dari suatu sumur.
4.1.1. Pengertian Logging While Drilling dan Wireline Logging
Dalam metode logging ada wireline logging dengan logging
while drilling.
4.1.1.1. Logging While Drilling (LWD)
Logging while drilling atau yang sering disingkat
LWD adalah perekaman disaat pemboran berlangsung dan
merupakan bagian dari drill string. Pengukuran ini disimpan
pada memori dibawah yang akan diambil ketika alat – alat
pemboran diangkat kepermukaan. Pengukuran ini juga bisa
langsung dikirimkan informasinya ke permukaan secara
langsung menggunakan mud poise dengan metode
telemetry.
Adapun kelebihan maupun kekurangan dalam
melakukan logging menggunakan metode ini yaitu :
A. Kelebihan
Pengurangan waktu penggunaan rig, yang perlu
kita ketahui penyewaan rig sangatlah mahal dengan
biaya perharinya, dengan menggunakan metode ini
penyewaan rig bisa di minimalisir sehingga tidak
membuang – buang waktu karena data yang
diperoleh dapat diketahui secara langsung.
Formasi diukur sesaat setelah pemboran untuk
meminimalisir kerusakan formasi atau pun adanya
mud filtrat.
Lebih mudah dilakukan pada pemboran deviasi.
Beberapa data bisa didapatkan secara langsung dan
cepat. (sebagai informasi untuk pertimbangan pada
saat pemboran berlangsung).
B. Kekurangan
Pengukuran tidak terlalu detail khususnya pada
penetrasi yang tinggi (ROP) atau ada data yang
tidak didapatkan jika terlalu cepat pada saat
pemboran berlangsung.
Kerusakan memori perekaman dibawah hanya bisa
diketahui ketika perangkat bawah permukaan
diangkat ke permukaan.
Hanya bisa bekerja selama 40 – 90 jam.
4.1.1.2. Wireline Logging
Wireline Logging adalah kegiatan untuk merekam
kondisi dibawah permukaan yang telah dibor melalui
parameter – parameter fisis. Ketika lubang telah dibor alat
ini bertugas merekam data – data yang nantinya digunakan,
dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggambarkan
sama persis aslinya seperti batuannya, dan jenis
hidrokarbon yang terkandung. Simpelnya pengukuran ini
dilakukan setelah pemboran dilakukan.
Adapun kelebihan maupun kekurangan dalam
melakukan logging menggunakan metode ini yaitu :
A. Kelebihan
Mampu melakukan pengukuran terhadap
kedalaman logging secara otomatis.
Data yang didapatkan lebih akurat dan detail.
Kecepatan transmisi datanya lebih cepat dari pada
LWD. Mampu mencapai 3 mb per detik.
B. Kekurangan
Informasi yang didapatkan bukan merupakan real
time data.
Terlalu memakan waktu sehingga dapat menaikkan
cost sewa rig.
Sulit digunakan pada horizontal drilling dan high
deviation well karena menggunakan kabel.
4.1.1.3. Mud Logging
Mud logging unit merupakan suatu instrument yang
digunakan didaerah pemboran, yang berfungsi didalam
mencatat data pemboran dan , monitoring proses pemboran.
Dalam pengumpulan data selama operasi, ditangani
oleh data unit/ Mud Logging Unit. Jadi pada setiap
pemboran sumur eksplorasi, Mud Logging Unit merupakan
mitra aktif wellsite geologist dalam pengumpulan data
secara maksimal.
Lumpur logging instrumen dapat memonitor secara
terusmenerus, menunjukkan minyak dan gas bumi selama
periode pengeboran dan memberikan penjelasan dan
evaluasi untuk menunjukkan, dengan cara mengumpulkan
dan menganalisa sampel batuan, itu menetapkan lapisan
batuan secara real-time.
4.1.2. Jenis – Jenis Logging
Logging merupakan metode pengukuran besaran – besaran
fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Tujuan
logging ini sendiri menentukan besaran – besaran fisik batuan
reservoir.
A. Log Listrik
Log listrik merupakan suatu plot antara sifat – sifat listrik
lapisan yang ditembus lubang bor dengan kedalaman. Sifat –
sifat ini diukur dengan berbagai konfigurasi elektroda.
B. Log Radioaktif
Log radioaktif dapat digunakan pada sumur cased hole dan
open hole. Keuntungan log radioaktif dibandingkan log listrik
adalah tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan lubang bor dan
jenis lumpur.
C. Log Sonic
Log sonic merupakan log yang digunakan untuk
mendapatkan harga porositas batuan dengan prinsip kerja
mengukur waktu tempuh gelombang bunyi pada suatu jarak
tertentu didalam lapisan batuan.
D. Log Caliper
Log caliper adalah alat logging sumur yang memberikan
informasi lanjutan mengenai pengukuran dari ukuran dan bentuk
lubang bor dan dapat digunakan untuk eksplorasi hidrokarbon
saat pemboran berlangsung.
1.2. Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon
province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini
terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di
Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau
Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem
block faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara
- Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin,
yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa
tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan,
Kandanghaur–Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan
stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola
busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat
telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen
sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).
1.2.1. Tektonostratigrafi dan Struktur Geologi
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut
(offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan
Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional
(extensional faulting) dengan sangat minim struktur
kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan
dengan patahan yang membentuk beberapa struktur deposenter
(half graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-
Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga
deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-
Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi
oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri
dari bermacam-macam area tinggian yang berhubungan dengan
antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block),
lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone
folding dan mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur
kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama
yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen.
Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat
dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier
hingga Plio-Pliostosen. Fase tektonik tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat
Utara dapat dilkasifikasikan sebagai ‘Fore Arc Basin’
dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari
Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan
Muriah dan Cekungan Florence Barat yang
mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode
Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen
Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser
mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari
peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng
Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan
cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat
dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai
pull apart basin.
2. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen
(Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai Neogen
Compressional Wrenching. Ditandai dengan
pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif
dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal
yang terbentuk pada periode Paleogen.
3. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen –
Pleistosen, dimana terjadi proses kompresi kembali dan
membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar-
sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara.
Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik
Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur
utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun
berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya
perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses
migrasi hidrokarbon.
Gambar 4.1. Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa
Barat. (Sumber : Pertamina, 1996).
1.2.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua
ke muda adalah sebagai berikut:
1. Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang
berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan
metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995).
Lingkungan Pengendapannya merupakan suatu permukaan
dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata,
1980).
2. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama
dijumpai di bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa
Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan
Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai.
Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan
konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies
fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir
sampai Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi
ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff
(Budiyani, dkk, 1991).
3. Formasi Talang Akar
Pada fase syn-rift berikutnya diendapkan Formasi Talang
Akar secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada
awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai faises marine.
Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen
batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh
perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam
fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar
ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini
diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi
dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi
dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
4. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Talang Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri
dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang
berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift
yangs secara regional menutupi seluruh sedimen klastik
Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara.
Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai
pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai
daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen
Awal–Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera).
Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi
laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama
dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan
batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini
umumnya merupakan batugamping kklastik serta
batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-
setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main
Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala
Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3
Anggota, yaitu:
a) Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas
Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah
perselingan batulempung dengan batupasir yang
mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada
massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama
pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera
planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera
bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan
Patmosukismo, 1975).
b) Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas
Anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah
batulempung berselingan dengan batupasir yang
mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat
glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang
batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana
pada bagian ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut
dengan Mid Main Carbonat (Budiyani dkk,1991).
c) Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas
Anggota Main. Litologinya adalah perselingan
batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau.
Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-
Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik
Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo,
1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal
dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Cibulakan Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar
adalah batugamping klastik maupun batugamping terumbu.
Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh
Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan
formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi &
Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai
dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran
klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan
karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala
Miosen Akhir-Pliosen.
7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Parigi. Litologi penyusunnya adalah batulempung
berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur
formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen –
Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut
dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral –
paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
1.2.3. Sedimentasi Cekungan
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara
dimulai pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase
transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut
dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas
vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi
antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-
daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik.
Material-material vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang
berlangsung pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang
menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut
dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal
permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan
yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur
merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin
berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi
anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut
menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal
mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi
beberapatinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-
tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan setara
dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil,
dan daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang
dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga
membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian
timur merupakan dasar yang lebih dalam. Pada kala Miosen
Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi
Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut.
Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang
stabil, batugamping berkembang dengan baik. Perkembangan
yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah
dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir –
Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi
Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit
perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk
kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk
pengangkatan sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti
oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti
pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu
utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga
mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
1.3. Excercise Mud Log
Pada praktikum penilaian formasi praktikan akan membahas
tentang data log dari suatu sumur. Dan dari data log tersebut terdapat
beberapa formasi, yaitu pada kedalaman 0 – 1100ft merupakan formasi
Parigi, kedalaman 1100ft – 2300ft merupakan formasi Cibulakan, pada
kedalaman 2300ft – 2650ft merupakan formasi Baturaja, pada kedalaman
2650ft – 3100ft merupakan formasi Talangakar, pada kedalaman 3100 –
3550ft yaitu merupakan formasi Jatibarang. Dari kelompok kami yaitu
kelompok 2 Khusus membahas formasi Talang akar saja. Yakni sebagai
berikut :
Gambar 4.2. Mud log.
4.3.1. Data Mud Log Est Baturaja Kedalaman 2650 – 3100ft
Dari data log diatas ( yang kelompok kami dapat ) yaitu formasi
Talangakar yang berada di cekungan Jawa Barat Utara mempunyai luas
450m, dengan interval ialah 50/ft, di mulai dari kedalaman 2650ft.
a. Pada kedalaman 2650-2700ft.
Pada kedalaman 2650 – 2700 ft mendapatkan hasil analisa sebagai
berikut : Rate Of Penetration (ROP) menunjukkan stabil dan rendah
dengan nilai 10 dan diakhir kedalaman, namun mengalami Rotation Per
Minute (RPM) yang sedikit menurun pada kedalaman 2700ft yakni
dengan nilai 5, jadi ini disebabkan adanya perubahan lithologi batuan,
pada kedalaman 2650 – 2700ft yang bervariasi yaitu ( shale dan sand
stone ). Sedangkan yang mendominasi yaitu batuan shale, slanjutnya
nilai Weight On Bit (WOB) menunjukkan bahwa bit atau wob memiliki
nilai 8 klbs. hal ini dapat disimpulkan bahwa karna formasi yang
ditembus, hal ini dikarnakan bit selalu menyentuh atau menembus zona
formasi. Pada kedalaman 2700m nilai wob 17 klbs pada formasi shale.
Dan untuk nilai RPM berkisar 88,92 rpm. Dimana perubahanya tidak
derastis dikarenakan bit yang selalu berputar stabil, untuk kedalaman
ini terdapat oil show dengan kategori Fair (cukup), sedangkang untuk
gas show tidak ada kenampakan dan untuk kandungan di lapisan ini ada
berupa yaitu :
C1 : 1037706 ppm C2 : 257457 ppm
C3 : 25870,2 ppm IC3 : 25762,2 ppm
NC4 : 25735,9 ppm IC5 : 20517,2 ppm
NC5 : 20507,2 ppm
Dan untuk kandungan Calsite dan Dolomite pada lapisn ketebalan
ini tidak ditemukan. Pada kedalaman ini nilai Sg : 1,35 dan Viskositas :
54 Cp. Deskripsi lithologi batuanya SST (sandstone). Umunya bening,
transparant, transculent, umunya coklat terang sampai abu-abu, umunya
mudah lepas sampai agak keras. 10-40% cutting berwarna kuning
terang, oil show trafic – fair (2662 – 2670 ft).
b. Pada kedalaman 2700-2750ft.
Pada kedalaman 2700 – 2750ft mendapatkan hasil analisa sebagai
berikut : Rate Of Penetration (ROP) stabil dengan nilai 10-12 maka
batuan yang ditembus dapat disimpulkan batuan shale atau sisipan
(siltstone),diawali lapisan ini didominasi coal, dan limestone Rotation
Per Minute (RPM) menunjukkan rendah dengan keadaan yang cukup
stabil, selanjutnya nilai Weigh On Bit (WOB) menunjukkan memiliki
nilai kurang lebih 17 klbs di kedalaman 2700ft, dan pada kedalaman
2715 nilai wob 9 klbs mengalami penurunan, dan tiba-tiba mengalami
kenaikan hingga kurang lebih 20 klbs, pada kedalaman akhir 2750ft
nilai wob turun derastis sekitar 8 klbs hal ini dikarnakan bit selalu
menyentuh atau menembus zona formasi akibat lithologi batuan yang
bervariatif. Didapatkan analisa cuting berupa limestone yang
mendominasi. Untuk nilai RPM stabil berkisar 92-94 rpm, tidak ada
terlihat oil show maupun gas show. Untuk kandungan C1, C3,IC4,NC4,IC5,
dan NC5 ada tetapi, jumlah spesificnya tidak terlihat. Untuk Calsite dan
Dolomite pun tidak terlihat nampak pada kedalaman ini. Untk nilai Sg :
1,35 dan Viskositas : 68 Cp.
Deskripsi pada lithologi batuanya : Coal (batu bara) umunya
berwarna hitam, coklat gelap, kekerasanya cukup keras, britlle,
pecahanya concoidal, umumnya mempunyai kilap lilin. SST
(sandstone) 5-10% cutting berwarna kuning, tidak terdapat residu, tidal
terlihat minyak, sedikit jejeak minyak pada kedalaman 2662-2670ft.
c. Pada kedalaman 2750-2800ft.
Pada kedalaman 2750 – 2800ft mendapatkan analisa sebagai
berikut : nilai Rate Of Penetration (ROP) tidak stabil karna lithologi
batuan yang ditembus dapat disimpulkan batuan shale dan beberapa
sisipan berupa batu bara yang keras dan siltstone. nilai Weight on bit
(WOB) menunjukkan memiliki nilai 10-16 klbs, hal ini dapat
disimpulkan bahwa formasi sedikit mudah ditembus hal ini dikarnakan
bit selalu menyentuh atau menembus zona formasi. Nilai dari RPM
berkisar 100-110rpm. Tidak terdapat kandungan oil show dan gas show
pada kedalaman ini tidak teridentifikasi. Dari data kedalaman ini juga
tidak terdapat adanya kenampakan Calsite dan Dolomite, kemudian
nilai Sg : 1,37 dan viskositas : 88 Cp.
Diskripsi lithologi batuanya : SST ( sandstone) umumnya warna
abu-abu terang transparan, trensculent, umumnya aqirute 10-70%, tidak
ada jejak residu dan terdapat jejak minyak di kedalaman 2758-2778ft.
d. Pada kedalaman 2800-2850ft.
Pada kealaman 2800 – 2850ft memiliki nilai Rate Of Penetration
(ROP) sebesar 1.015566 sebab tidak ada perubahan ROP yang
signifikan pada kedalaman 2800 – 2850ft. Kemudian di kedalaman ini
RPM yang didapat memiliki nlai yang konstant. Dapat di lihat dari data
mud log grafik rpm yang mengalami perubahan yang signifikan.
Kemudian pada kedalaman ini wob mengalami peningkatan yang cukup
karena bit menembus sisipan batu bara dan kemudian di kedalaman ini
memiliki jenis batuan diantaranya : shale dan ditambah sisipan lain batu
bara, limestone, siltstone. Pada kedalaman ini terdapat gas show dan oil
show dan juga terdapat kandungan gas seperti butana, etana, methana,
propana, dan lain-lain. Kedalaman ini juga memiliki tvd dan tidak
terdapat Calsite dan Dolomite.
Diskripsi lithologi batuanya : Shale umumnya abu-abu, cukup
keras, Sub-plary, Sub-blo. Coal umumnya berwarna hitam, coklat,
sangat keras, brittle, Sub-blok seperti kaca.
8,3%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,72 0,13
DSH = = = = 0,065 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2
6,5%
N = 0,24 x 100% = 24%
NSH = 0,27 x 100% = 27%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,083 – ( 0,56 x 0,065 ) =
0,0466 x 100% = 4,6%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,24 – ( 0,56 x 0,27 ) = 0,09
x 100% = 9%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 4,6+9
eff = = = 6,8%
2 2
1,67%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,445 0,405
DSH= 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = = =
2,85−0,85 2
9,4%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,6 0,25
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,125 𝑥 100% =
2
12,5%
N = 0,214 x 100% = 21,4%
NSH = 0,08 x 100% = 8%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,094 – ( 0,56 x 0,125 ) =
0,024 x 100% = 2,4%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,214 – ( 0,56 x 0,08 ) =
0,1692 x 100% = 16,92%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 16,92+2,4
eff = = = 9,66%
2 2
3,89%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,60 0,25
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,125 𝑥 100% =
2
12,5%
N = 0,21 x 100% = 21%
NSH = 0,296 x 100% = 29,6%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,0389 – ( 0,502 x 0,125 ) =
0,0238 x 100% = 2,38%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,21 – ( 0,502 x 0,296 ) =
0,0614 x 100% = 6,14%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 2,38+6,14
eff = = = 4,26%
2 2
7,5%
N = 0,09 x 100% = 9%
NSH = 0,29 x 100% = 29%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,06 – ( 0,76 x 0,075 ) =
0,003 x 100% = 3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,09 – ( 0,76 x 0,29 ) = 0,13
x 100% = 13%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 3+13
eff = = = 8%
2 2
20,5%
N = 0,18 x 100% = 18%
NSH = 0,33 x 100% = 33%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,06 – ( 0,39 x 0,205 ) =
0,019 x 100% = 1,9%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,18 – ( 0,39 x 0,33 ) =
0,052 x 100% = 5,2%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 1,9+5,2
eff = = = 3,55%
2 2
7,2%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,62 0,23
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,11 𝑥 100% =
2
11%
N = 0,18 x 100% = 18%
NSH = 0,31 x 100% = 31%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,072 – ( 0,87 x 0,095 ) =
0,023 x 100% = 2,3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,18 – ( 0,87 x 0,31 ) = 0,08
x 100% = 8%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 2,3+8
eff = = = 5,15%
2 2
1,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,66 0,14
DSH = = = = 0,095 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2
9,5%
N = 0,31 x 100% = 31%
NSH = 0,37 x 100% = 37%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,16 – ( 0,67 x 0,095 ) =
0,097 x 100% = 9,7%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,31 – ( 0,67 x 0,37 ) =
0,07x 100% = 7%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 9,7+7
eff = = = 8,35%
2 2
18%
N = 0,13 x 100% = 13%
NSH = 0,38 x 100% = 38%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,01 – ( 0,78 x 0,18 ) = 0,13
x 100% = 13%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,13 – ( 0,78 x 0,38 ) =
0,1664 x 100% = 16,64%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 13+16,64
eff = = = 14,82%
2 2
1,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,55 0,3
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,15 𝑥 100% =
2
15%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,39 x 100% = 39%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,016 – ( 0,89 x 0,15 ) =
0,0117 x 100% = 11,7%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,89 x 0,39 ) = 0,19
x 100% = 19%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 11,7+19
eff = = = 15,35%
2 2
2,7%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,58 0,27
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,135 𝑥 100% =
2
13,5%
N = 0,258 x 100% = 25,8%
NSH = 0,19 x 100% = 19%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,027 – (0,612 x 0,135) =
0,055 x 100% = 5,5%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,258– (0,612 x 0,19) =
0,142 x 100% = 14,2%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 5,5+14,2
eff = = = 9,85%
2 2
16,6%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,68 0,17
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,085 𝑥 100% =
2
8,5%
N = 0,45 x 100% = 45%
NSH = 0,34 x 100% = 34%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,166 – ( 0,31 x 0,085 ) =
0,139 x 100% = 13,9%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,45 – ( 0,31 x 0,34 ) =
0,344x 100% = 34,4%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 13,9+34,4
eff = = = 24,15%
2 2
21%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,65 0,2
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,1 𝑥 100% =
2
10%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,30 x 100% = 30%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,21 – ( 0,875 x 0,1 ) =
0,1225 x 100% = 12,25%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,875 x 0,30 ) =
0,1125 x 100% = 11,25%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 12,25+11,25
eff = = = 11,75%
2 2
9%
N = 0,15 x 100% = 15%
NSH = 0,32 x 100% = 32%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,01 – ( 0,866 x 0,09 ) =
0,0697 x 100% = 6,97%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,15 – ( 0,866 x 0,32 ) =
0,1271 x 100% = 12,71%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 6,97+12,71
eff = = = 9,84%
2 2
44%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,68 0,17
DSH = = = = 0,085 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2
8,5%
N = 0,27 x 100% = 27%
NSH = 0,36 x 100% = 36%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,44 – ( 0,88 x 0,085 ) =
0,3652 x 100% = 36,52%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,27 – ( 0,88 x 0,36 ) =
0,0468 x 100% = 4,68%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 36,52+4,68
eff = = = 20,6%
2 2
44%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,75 0,1
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,005 𝑥 100% =
2
0,5%
N = 0,29 x 100% = 29%
NSH = 0,40 x 100% = 40%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,44 – ( 0,75 x 0,005 ) =
0,4025 x 100% = 40,25%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,29 – ( 0,75 x 0,40 ) = 0,01
x 100% = 1%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 40,25+1
eff = = = 20,62%
2 2
1,67%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,84 0,01
DSH = = = = 0,005 𝑥 100% =
𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 2,85−0,85 2
0,5%
N = 0,28 x 100% = 28%
NSH = 0,39 x 100% = 39%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,03 – ( 0,739 x 0,005 ) =
0,013 x 100% = 1,3%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,28 – ( 0,739 x 0,39 ) =
0,008 x 100% = 0,8%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 1,3+0,8
eff = = = 1,05%
2 2
8,3%
𝜌𝑚𝑎𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 2,85−2,70 0,15
DSH = 𝜌𝑚𝑡𝑟𝑖𝑥−𝜌𝑓𝑙𝑢𝑖𝑑 = 2,85−0,85 = = 0,075 𝑥 100% =
2
7,5%
N = 0,05 x 100% = 0,5%
NSH = 0,27 x 100% = 27%
DC = D – (VShale - DSH) = 0,083 – ( 0,577 x 0,075 ) =
0,0397 x 100% = 3,97%
NC = N – (VShale - NSH) = 0,05 – ( 0,577 x 0,27 ) =
0,1057 x 100% = 10,57%
∅𝐷𝐶+∅𝑁𝐶 3,97+10,57
eff = = = 7,27%
2 2
1,8%
b. Pada kedalaman (2675-2700ft)
Dik : eff = 7,5% Rw = 11,5 Rt = 6
𝑎 0,81 0,81
- F= = (7,5) 2 = 51,48 = 0,015
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 𝑜,𝑜15 𝑥 11,5
- Sw = √ = √ = 0,1725 = 0,1725 x
𝑅𝑡 6
100 = 17,25%
c. Pada kedalaman (2700-2725ft)
Dik : eff = 6,65% Rw = 8 Rt = 2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (6,65) 2 = 44,22 = 0,018
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 𝑜,𝑜18 𝑥 8
- Sw = √ = √ = 0,27 = 0,27 x 100 =
𝑅𝑡 2
27%
d. Pada kedalaman (2775-2800ft)
Dik : eff = 3,95% Rw = 2 Rt = 1,8
𝑎 0,81 0,81
- F= = (3,95) 2 = 15,68 = 0,0851
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜851 𝑥 2
-
2
Sw = √ =√ = 0,238 = 0,238 x 100 =
𝑅𝑡 1,8
23,8%
e. Pada kedalaman (2800-2825ft)
Dik : eff = 4,65% Rw = 15,6 Rt = 10,2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (4,65) 2 = 21,62 = 0,037
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜37 𝑥 15,6
-
2
Sw = √ = √ = 0,24 = 0,24 x 100 =
𝑅𝑡 10,2
24%
f. Pada kedalaman (2825-2850ft)
Dik : eff = 8,35% Rw = 17 Rt = 9,4
𝑎 0,81 0,81
- F= = (8,35) 2 = 69,72 = 0,011
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 𝑜,𝑜11 𝑥 17
-
2
Sw = √ = √ = 0,14 = 0,14 x 100 =
𝑅𝑡 9,4
14%
g. Pada kedalaman (2850-2875ft)
Dik : eff = 14,82% Rw = 16 Rt = 10,2
𝑎 0,81 0,81
- F= = (14,82) 2 = = 3,67𝑥10−3
ø𝑚 220,5225
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (3,67𝑥10−3 ) 𝑥 16
- Sw = √ =√ = √0,0057 = 0,075
𝑅𝑡 10,2
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (3,43𝑥10−3 ) 𝑥 18
- Sw = √ =√ = √0,0043 = 0,065
𝑅𝑡 14,2
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (8,433𝑥10−3 ) 𝑥 13,7
- Sw = √ =√ = 0,100 = 0,100
𝑅𝑡 11,5
x 100 = 10%
j. Pada kedalaman (2925-2950ft)
Dik : eff = 24,15% Rw = 18,3 Rt = 13,5
𝑎 0,81 0,81
- F= = (24,15) 2 = 940,311 = 6,59𝑥10−3
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (6,59𝑥10−3 ) 𝑥 18,3
- Sw = √ =√ = 0,029 = 0,029 x
𝑅𝑡 13,5
100 = 2,9%
k. Pada kedalaman (2950-2975ft)
Dik : eff = 11,75% Rw = 16 Rt = 13,5
𝑎 0,81 0,81
- F= = (11,75) 2 = 13806,25 = 5,86𝑥10−3
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (5,86𝑥10−3 ) 𝑥 16
- Sw = √ = √ = √0,00694 =
𝑅𝑡 13,5
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (9,01𝑥10−3 ) 𝑥 16,2
- Sw = √ = √ = √0,01097 =
𝑅𝑡 13,3
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (9,28𝑥10−3 ) 𝑥 30
- Sw = √ = √ = 0,046 = 0,046 x
𝑅𝑡 13
100 = 4,6%
n. Pada kedalaman (3025-3050ft)
Dik : eff = 23,26% Rw = 19 Rt = 12
𝑎 0,81 0,81
- F= = (23,26) 2 = 867,382 = 7,14𝑥10−4
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 (7,14𝑥10−4 ) 𝑥 19
- Sw = √ = √ = 0,033 = 0,033 x
𝑅𝑡 12
100 = 3,3%
o. Pada kedalaman (2850-2875ft)
Dik : eff = 1,65% Rw = 12,5 Rt = 7
𝑎 0,81 0,81
- F= = (1,65) 2 = 2,722 = 0,297
ø𝑚
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 0,297 𝑥 12,5
- Sw = √ = √ = 0,728 = 0,728 x 100
𝑅𝑡 7
= 72,8%
𝑛 𝐹 𝑥 𝑅𝑤 2 0,015 𝑥 9
- Sw = √ = √ = 0,131 = 0,131 x 100 =
𝑅𝑡 8
13,3%