Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini,
pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik,
psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization/WHO, 2016). Menurut WHO
(2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif seperti
penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%, kanker34%, penyakit pernapasan kronis
10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes 4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%.
Pada tahun 2011 terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan
perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif berada pada
kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25%, pada
usia 0-14 tahun yaitu 6%.
Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua Pasifik
Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22% (WHO,2014). Kasus stroke
sekitar 1.236.825 dan 883.447 kasus penyakit jantung dan penyakit diabetes sekitar 1,5%
(KEMENKES,2014).
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau sudah tidak dapat dise
mbuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016).
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan psikososial
,emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik
dirumah, rumah sakit atau tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan
sejak awal perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan
tim kesehatan yang serius. CHF (Congestive Heart Failure) merupakan salah satu masalah
kesehatan dalam sistem kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data
WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika Serikat menderita CHF. Menurut
American Heart Association (AHA) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk
Amerika Serikat yang menderita gagal jantung (Padila, 2012). Penderita gagal jantung di
Indonesia pada tahun 2012 menurut data Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa
penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Resiko kematian yag diakibatkan oleh CHF
adalah sekitar 5-10% per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-

1
40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang di diagnosis
menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun (Kowalak, 2011).
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah perawatan paliatif pada penderita gagal jantung Kongestif ?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dari perawatan palliatif ;
2. Mengetahui dan memahami definisi dari gagal jantung Kongestif ;
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi gagal jantung Kongestif ;
4. Mengetahui dan memahami manifestasi pada gagal jantung Kongestif;
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gagal jantung Kongestif ;
6. Mengetahui dan memahami perawatan paliatif pada gagal jantung Kongestif.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien
dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian
yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual
(KEPMENKES RI NO: 812, 2007).
B. Definisi Kongestive Heart Failure (CHF)
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainan
fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untukmemenuhi kebutuhan
jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringandengan meningkatkan tekanan
pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).
Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan, dan kombinasi
atau kongestif. Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi
perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal jantung kanan ditandai dengan
adanya edema
perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis.Gagal jantung kongestif adalah gabung
an darikedua gambaran tersebut . Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan
sering terjadi secara bersamaan (McPhee, 2010).
C. Klasifikasi Gagal jantung kongestif
Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013) klasifikasi dari gagal
jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi,
tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yangdidiagnosa gagal jantung
stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, atau pasien yangmengalami keracunan pada jantungnya
(cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya kerusakan
struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari gagal jantung

3
tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasiendengan infark miokard,
disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung bersamaan
dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.Gejala yang timbul
dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan atau intervensi
khusus serta gejala dapat timbul pada saat stirahat, sehingga pasien perlu di monitor
secara ketat.
The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal jantung
dalam empat kelas, meliputi :
1) Kelas I / NYHA I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
2) Kelas II / NYHA II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
3) Kelas III / NYHA III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
4) Kelas IV / NYHA IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan
gejala yang berat (severe CHF).

D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif


CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya ;dipsnea ,ortopnea , pernapasan
cheyne-stoke , paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), asites piting edema,berat badan
meningkat dan gejala yang paling sering dijumpai adalah sesak
nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan menyebabkan penderita
terbangun (Udjianti,2011) , munculnya berbagai gejala jenis pada pasien gagal jantung
tersebut akan menimbulkan masalah keperawatan dan mengganggu kebutuhan dasar manusia
salah satu diantaranya adalah tidur seperti adanya nyeri dada pada aktivitas , dispnea pada
istirahat atau aktivitas , letargi dan gangguan tidur.
4
E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
1. Terapi non farmakologi
a.Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang
sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl harus
dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hariuntuk gagal jantung sedang sampai berat.
Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/harihanya untuk gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan
c. Aktivitas fisik
Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal
jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
e. Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau
lembab (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

2. Terapi Farmakologi
Terapi Penyekat Beta sebagai Anti-Remodelling pada gagal jantung
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks yang ditunjukkan dengangejala seperti sesak
napas saat Sberaktivitas dan membaik saat beristirahat, tandaretensi cairan berupa kongesti
pulmoner, edema ekstremitas, serta abnormalitasstruktur dan fungsi jantung. Keadaan tersebut
berhubungan dengan penurunanfungsi pompa jantung. Penurunan fungsi pompa jantung dapat
terjadi akibatinfark miokard, hipertensi kronis, dan kardiomiopati. Dalam hal ini,
jantungmengalami remodelling sel melalui berbagai mekanisme biokimiawi yangkompleks
daakhirnya menurunkan fungsi jantung. Metroprolol merupakan salahsatu jenis beta blocker
yang berfungsi meningkatkan fungsi jantung denganmenghambat remodelling pada jantung.
Metoprolol secara signifikanmeningkatkan fungsi ventrikel dosis tinggi 200 mg (n=48) sebagai
terapi antiremodeling, terbukti dengan penurunan LVESV 14 mL/m2 dan peningkatan
EFsebanyak 6% (Amin, 2015).Berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung oleh (Siswanto
dkk,
2015) bahwa penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup,mengurangi perawtan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat β yaitu:
5
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
b. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
c. ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik)
e. Tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensicairan berat).
Sedangkan kontra indikasi pemberian penyekat β yaitu:
a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung yaitu:
a. Inisiasi pemberian penyekat β
b. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien dekompensasi
secara hati-hati
c. Naikan dosis secara titrasid.
d. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
e. Jangan naikkan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)
f. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β adalah:
a. Hipotensi simtomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardi

F. Tahapan perawatan pada pasien CHF


Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untuk memperpanjang
kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan pengasuh,dan didukung manajemen
diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang kondis imereka termasuk nama, etiologi,
pengobatan, dan prognosisnya Pemantauan reguler dan peninjauan yang tepat sesuai dengan
pedoman nasional dan protokol local.
Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional kunci diidentifikasi di
masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja sama dengan spesialis gagal
jantung, perawatan paliatif dan layanan lainnya. Tujuan perawatan bergeser untuk
6
mempertahankan kontrol dan gejala dan kualitas hidup yang optimal. Sebuah penilaian holistik
dan multidisipliner terhadap kebutuhan pasien dan perawat dilakukan kesempatan untuk
mendiskusikan progosis dan kemungkinan penyakit yang diderita
secara lebih rinci disediakanoleh para profesional, termasuk rekomendasi untuk
menyelesaikan rencana perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja didokumentasikan dalam
rencana perawatan jika terjadi kerusakan akut.
Tahap 3: fase perawatan terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan ginjal,hipotensi, edema
persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung untukkontrol gejala dilanjutkan dan
status resusitasi diklarifikasi, didokumentasikan, dandikomunikasikan kepada semua penyedia
perawatan Jalur perawatan terpadu untukorang yang sekarat dapat diperkenalkan untuk
menyusun perencanaan perawatanPeningkatan dukungan praktis dan emosional untuk
pengasuh disediakan, terusmendukung berkabung Penyediaan dan akses ke tingkat yang sama
perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan perawatan sesuai dengan
kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009)

G. Perawatan Paliatif pada Gagal Jantung Kongestif


1. Home Based Exercise Training (HBET)
Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bedrest yang
bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akutterlewati, pasien berada
pada fase recovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatusaran yang kontroversial karena dapat
memicu menurunnya level toleransiaktivitas dan memperberat gejala gagal jantung seperti
sesak disertai batuk.Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan kekuatannya termasuk
dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2013). Pasien gagal jantung biasanya berpikiran
bahwa melakukan aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal
jantung sesak dan timbul kelelahan, sehingga mereka lebihmemilih untuk bed rest pada
fase pemulihan. Oleh karena itu, pasien perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara
bertahap dengan tujuan toleransi aktivitasdapat meningkat pula.
Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari akan
mengganggu rutinitas pasien. Akibatnya, pasien kehilangan kemampuan fungsional. Pada
pasien gagal jantung, kapasitas fungsional sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup
pasien. Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan melakukan latihan fisik.
Latihan ini meliputi: tipe, intensitas, durasi, dan frekuensi tertentu sesuai dengan kondisi pasien
(Suharsono,2013). Aktivitas dilakukan dengan melihat respon seperti peningkatan
nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala
7
gagal jantung semakin minimal. Aktivitas ini akandapat dilakukan secara informal dan lebih
efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Nicholson,
2007). Aktivitas latihan
fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitasfisik tubuh,
memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan
membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan
jantung (Arovah, 2010).
Home-based exercise training (HBET) dapat menjadi salah satu pilihanlatihan fisik dan
alternatif solusi rendahnya partisipasi pasien mengikuti latihan fisik. Pasien yang stabil dan
dirawat dengan baik dapat memulai program homebased exercise training setelah mengikuti
tes latihan dasar dengan bimbingan dan instruksi. Tindak lanjut yang sering dilakukan dapat
membantu menilai manfaat program latihan di rumah, menentukan masalah yang tidak terduga
dan akan memungkinkan pasien untuk maju ke tingkat pengerahan yang lebih tinggi jika tingkat
kerja yang lebih rendah dapat ditoleransi dengan baik (Piepolli, 2011). Menurut Suharsono
(2013), intervensi yang dilakukan berupahome basedexercise training, berupa jalan kaki
selama 30 menit, 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu dengan intensitas 40-60% heart rate
reserve dan peningkatan kapasitas fungsional dilakukan dengan SixMinute Walk Test
(6MWT).

2. Pengaruh Latihan Nafas Dalam Terhadap Sensitivitas Baroreflek Arteri


Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang berdampak
pada kualitas hidup klien. Salah satu kerusakan yang terjadi adalah kerusakan pada baroreflek
arteri. Baroreflek arteri merupakan mekanisme dasar yang terlibat dalam pengaturan tekanan
darah. Hasil penerapan evidance based nursing , latihan nafas dalam dapat memberikan
pengaruh terhadap sensitivitas baroreflek arteri. Hasil setelah dilakukan intervensi selama
semingg terdapat peningkatan tekanan darah sistolik dari 80 mmHg menjadi 100 mmHg, nilai
denyut nadi mengalami penurunan dari 88 kali per menit menjadi 80 kali per menit dan pada
frekwensi pernafasan juga mengalami penurunan dari 24 kali/menit menjadi 18kali/menit.
Sensitivitas baroreflek dapat ditingkatkan secara signifikan dengan bernafas lambat. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas vagal dan penurunan simpatis yang dapat
menurunkan denyut nadi dan tekanan darah.
Penurunan tekanan darah dan reflek kemoresptor juga dapat teramati selama menghirup
nafas secara lambat dan dalam. Metode latihan relaksasi nafas dalam adalah dalam sistem saraf
manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistemsaraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah
mengendalikan gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari.
8
Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis misalnya fungsi digestif
dan kardiovaskuler. Sistem saraf otonom terdiri dari dua sistem yang kerjanya saling
berlawanan yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis bekerja meningkatkan
rangsangan atau memacu organ-organ tubuh meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta
menimbulkan penyempitan pembuluh darah perifer dan pembesaran pembuluh pusat.
Saraf parasimpatis bekerja menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf
simpatis.
Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf
simpatis sehingga denyut jantung, tekanan darah, jumlah pernafasan,aliran darah ke otot sering
meningkat (Downey, 2009). Pada saat seseorang nafas dalam dan lambat maka akan
menurunkan fungsi saraf simpatis yang berpengaruh pada sensitifitas baroreseptor arteri
sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah dan penurunan denyut nadi.
H. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif
Mendengarkan Murrotal
Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik di otot, perubahan
sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit (Asman, 2008). Perubahan
tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan saraf reflektif yang mengakibatkan
terjadinya vasodilatasi dan peningkatan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan penurunan
frekuensi detak jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti mengaktifan sel-sel tubuh
dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang yang ditangkap oleh tubuh, menurunkan
rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan opioid natural endogen. Opioid ini
bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri.
Terapi murottal Al Qur’an dengan tempo yang lambat serta harmonis dapat menurunkan
hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami (serotonin). Mekanisme ini dapat
meningkatkan perasaan rileks, mengurangi perasaan takut, cemas, dan tegang, serta memperbaiki sistem
kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah, memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut
nadi, dan aktivitas gelombang otak (Heru, 2008). Tujuan dari terapi murrotal bagi penderita paliatif CHF
yaitu dengan mendengarkan murrotal maka akan menurunkan hormon stress, mengaktifkan hormon
serotonin yang dapat meningkatkan perasaan rileks, mengurangi rasa takut, cemas dan tegang sehingga
dapat menurunkan tekanan darah, memperlambat pernafasan, denyut nadi dan detak jantung.
Pemberian terapi murrotal biasanya dilakukan selama kurang lebih 15 menit dan sehari dua kali.
Saat didengarkan murrotal biasanya penderita merasa lebih tenang dan merasa lebih dekat dengan Allah
sehingga tubuhnya menjadi rileks.
Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui telinga, kemudian
menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan ditelinga dalam serta menggetarkan sel-
sel berambut di dalam Koklea . Selanjutnya melalui saraf Koklearis menuju ke otak. Tiga
9
jaras Retikuler yang berperan dalam gelombang suara yaitu jaras retikuler-talamus,
hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagianotak yang
mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahuludicerna oleh bagian otak yang
berpikir mengenai baik buruk maupun intelegensia. Kemudian melalui Hipotalamus
memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem limbik. Hipotalamus merupakan pusat
saraf otonom yang mengatur fungsi pernapasan,denyut jantung, tekanan darah , pergerakan otot
usus, fungsi endokrin dan memori. Selanjutnya,melalui akson neuron berdifusi mempersarafi
neo-korteks (Qadri, 2003).
Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa mendengarkan bacaan
ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf
reflektif, dan hasil ini tercatat danterukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat
berbasis komputer. Adapun pengaruh yang terjadi berupa adanya perubahan arus listrik di
otot, perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada sirkulasi darah,
perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan tersebut menunjukkan adanya
relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi dan penambahan kadar darah dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit
dan penurunan frekuensi denyut jantung. Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat
bahwa mendengarkan ayat-ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif, memfungsikan
organ tubuh, serta memberikan aura positif pada tubuh manusia. Bacaan Al-Quran berefek pada
sel-sel dan dapat mengembalikan keseimbangan. Otak merupakan organ yang mengontrol
tubuh, dan darinya muncul perintah untuk relaksasi tubuh, khususnya sistem imunitas
(Rilla,2014).

MASALAH FISIK PADA CHF


1. Dyspneu
Disebabkan adanya edema pulmonal yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan vena
pulmonalis yang menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli.
2. Penambahan berat badan akibat peningkatan tekanan vena sistemik.
3. Pusing, binggung (confusion), keletihan, intoleransi jantung terhadap latihan dan suhu
panas, ekstremitas dingin, dan oliguria adalah maninfestasi klinis yang dirasakan akibat
perfusi darah dari jantung ke jaringan dan organ yang rendah.
4. Intoleransi aktivitas terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat
jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme.
10
5. Gangguan pola tidur

MASALAH PSIKOLOGIS
- Kecemasan
- Stress
- ketidakberdayaan (powerlessness)
- ketakutan dan depresi (Polikandrioti et al, 2015)

MASALAH SOSIAL
O Masalah sosial pada pasien dengan CHF biasanya diantaranya adalah berkurangnya
aktivitas atau bahkan sampai harus berhenti beraktivitas demi menjalani pengobatan.
Sehingga menyebabkan terjadinya perubahan peran dalam keluarganya. Perubahan
peran yang terjadi ini menyebabkan masalah finansial yang terjadi pada keluarga.
O Yang tadinya sering berolahraga setiap minggu kini harus terbaring di rumah sakit.
Biasnya setiap malam jaga ronda sekarang jadi tidak bisa ikut ronda.

MASALAH KULTURAL
O Makna dari keperawatan paliatif adalah untuk memberikan dukungan secara holistik
dalam merawat pasien dan keluarga yang mendapingi pasien dengan penyakit terminal
O kita tidak bisa memandang sebelah mata mengenai budaya yang dianut oleh pasien
karena bisa jadi karena budaya tersebut pasien bisa terbebas dari penderitan yang
dialami selama pasien sakit. . (Ferrell and Coyle : 2006)
O Dengan berbagai macam budaya yang ada di indonesia membuat banyak budaya.
Salah satu faktor banyak orang berpindah ke alternative adalah biaya yang digunakan
lebih murah dibandingkan dengan pengobatan tradisional. . (Ferrell and Coyle : 2006)

MASALAH SPIRITUAL
O Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap
manusia. Apabila seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan Tuhannya
pun semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam
segala hal, tidak ada yang mampu membangkitkannya dari kesembuhan, kecuali Sang
Pencipta.
O Aspek spiritual dapat membantu membangkitkan semangat pasien dalam proses
penyembuhan. (Cherly dkk 2008)

11
O Pada beberapa pasien dengan gangguan Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal
jantung kongestif mereka mengalami beberapa masalah spiritual salah satunya
mengalami mekanisme koping maladaptif. Contoh dari mekanisme koping maladaptif
tersebut adalah ketika pasien tidak dapat menerima penyakitnya dan menyalahkan tuhan
akan penyakit yang diderita sehingga tanpa sadar mereka menjauhi Sang Pencipta bukan
malah mendekat.
O Dalam mengatasi masalah spiritual yang dialami pasien dengan penyakit Congestive
Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif khususnya untuk mengurangitingkat
depresi maka pendekatan religius yang dilakuan dengan cara berdziki, berdo'a sesuai
dengan keyakinan masing-masing dan melakukan shalat meskipun dengan berbaring.
(Fitriyani, 2015).

ASKEP PALIATIF

PENGKAJIAN SESAK NAFAS


- Mengklarifikasi pola sesak napas, memicu / mengurangi faktor dan gejala yang
terkait.
- Apakah pengobatan penyakit yang mendasarinya tepat?
- Carilah penyebab reversibel dari sesak napas: infeksi, efusi pleura, anemia, aritmia,
emboli paru, atau bronkospasme.
- Periksa saturasi oksigen (jika oksimeter pulsa tersedia).
- Mintalah pasien untuk menilai tingkat keparahan
- gejala dan tingkat gangguan / kecemasan terkait.
- Mengeksplorasi ketakutan, berdampak pada kemampuan fungsional, dan kualitas
hidup.

PENGKAJIAN NYERI
- Kaji penyebab utama nyeri
- Pengkajian nyeri pada pasien dengan CHF, harus terlebih dahulu mengetahui nyeri
berasal dari mana, apakah dari penyakit sendi degeneratif, sakit punggung kronis,
kegelisaan dan depresi.
- Kaji skala nyeri dengan menggunakan PQRST atau Visual Analog Skala (VAS)

12
PENGKAJIAN EDEMA
Edema merupakan masalah yang di alami oleh pasien dengan CHF. edema merupakan
penyebab yang signifikan terhadap ketidaknyamanan dengan pasien CHF biasanya di sertai
dengan dyspnea. Kaji apakah terdapat edema pada ekstermitas bawah.

PENGKAJIAN KELELAHAN
- Pasien perawatan paliatif harus diskrining untuk kelelahan dan dampaknya.
- Pola gejala, durasi; faktor yang terkait atau meringankan.
- Gangguan dengan fungsi dan kualitas hidup.
- Tingkat keparahan: ringan, sedang atau berat, atau dinilai pada skala 0-10.
- Ketidakseimbangan cairan / elektrolit: periksa sodium, potasium, kalsium, magnesium
- Status dan pengobatan penyakit:
a. Mengecualikan kekambuhan atau perkembangan kanker.
b.Pengobatan hormon sering menyebabkan kelelahan.
c.Kaji ulang obat - beta-blocker, obat penenang, kortikosteroid, opioid.

PENGKAJIAN PSIKOLOGIS
1. Gejala fisik yang sering dikaitkan dengan depresi mungkin karena penyakit fisik atau
Pengobatannya jadi kurang membantu dalam melakukan diagnosa.
O Perubahan berat badan / nafsu makan
O Insomnia
O Hilangnya energi
O Kelelahan
O Lambatnya psikomotor
O Hilangnya libido
2. Gejala depresi pada pasien perawatan paliatif meliputi:
O Tingkat keparahan dysphoric yang lebih parah.
O Perasaan putus asa yang berlebihan, rasa bersalah, tidak berharga.
O Penarikan sosial; kehilangan kenikmatan dalam aktivitas sehari-hari.
O Sebuah harapan untuk kematian dini (atau pikiran untuk bunuh diri).
O Respon positif terhadap pertanyaan "Apakah Anda merasa tertekan?
PENGKAJIAN SPIRITUAL
1. Afiliasi agama
a. Partisipasi agama klien dalam kegiatan keagamaan
13
b. Jenis partisipasi dalam kegiatan keagamaan
2. Keyakinan / spiritual agama
a. Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi / upacara keagamaan
b. Dalam awal diagnosa pasien dengan CHF akan menyangkal atau tidak terima
dengan penyakit yang di alaminya sehingga pada awal pengobatan pasien akan
menolak semua terapi kesehatan yang di berikan kepadanya sehingga pasien
tidak mau menerima semua pengobatan, tetapi dengan berjalan nya waktu pasien
akan mencari dan menerima terapi terkhusus upacara keagmaan sebagai
kebutuhannya.
c. Persepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
d. Strategi koping

DIAGNOSA KEPERAWATAN
O Sesak Napas
O Depresi
O Nyeri
O Fatique

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Dsypnea
O Perlakukan penyebab reversibel, jika sesuai.
O Jika stridor atau tanda obstruksi vena kava superior - rujukan darurat ke rumah sakit.
O Berikan steroid dosis tinggi dalam dosis terbagi: deksametason 16mg, atau prednisolon
60mg.
O Oksigen: penilaian pasien secara hati-hati. Penting untuk menghindari ketergantungan
psikologis.
O Buka jendela untuk mendapatkan udara yang segar.
O Jika saturasi oksigen kurang dari 90%, pertimbangkan percobaan oksigen.
O Nebulised sodium chloride 0,9%, 5ml sesuai kebutuhan dapat membantu melonggarkan
sekresi.
O Bronkodilator: dengan inhaler atau spacer: Berhenti jika tidak ada manfaat simtomatik.
O Steroid: percobaan dexamethasone oral 8-16mg sehari untuk limfangitis atau hambatan
saluran udara yang telah menanggapi steroid sebelumnya.
14
O Jika tidak menjalani terapi darurat, berikan steroid di pagi hari.

2. Depresi
O Pada depresi ringan, dukungan psikologis bisa sama efektifnya dengan pengobatan.
O Kontrol nyeri yang adekuat dapat memperbaiki gejala depresi secara signifikan.
O Ketergantungan spiritual mungkin merupakan komponen depresi, atau berbeda dari itu.
O Pertimbangkan psikoterapi suportif atau terapi perilaku kognitif.
O Pasien dengan depresi berat dan / atau ide bunuh diri jarang terjadi tetapi harus dirujuk
untuk pengobatan psikologis / psikiatri untuk penilaian.

3. Kelelahan
a. Mengakui kenyataan gejala, dan pengaruhnya terhadap pasien / keluarga.
b. Mengetahui pemahaman tentang penyakit / pengobatan; jelaskan kemungkinan
penyebab kelelahan.
c. Riwayat aktivitas / kelelahan dapat membantu mengidentifikasi presipitan /
waktu gejala.
d. Aktivitas fisik:
O Latihan bernutrisi, latihan aerobik dan kekuatan; pertimbangkan rujukan
fisioterapi.
O Konservasi energi: menetapkan prioritas; kecepatan; menjadwalkan
aktivitas pada saat energi puncak; menghapuskan kegiatan yang tidak
penting; Tidur siang siang pendek jika tidur di malam hari tidak
terpengaruh; menghadiri satu aktivitas pada suatu waktu
O menghemat energi untuk aktivitas berharga.
O Intervensi psikososial: manajemen stres; terapi relaksasi; kebersihan
tidur

4. Nyeri
O Apabila nyeri ringan berikan obat paracetamol atau NSAID
O Apabila nyeri sedang berikan obat opioid (kodein 30-60mg) +paracetamol atau
NSAID+obat lain
O Apabila nyeri hebat/ berat berikan obat opioid (morphine 5mg)+ paracetamol atau
NSAID+ obat lain

15
I.Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif
Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat paliatif meliputi :
a. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta nyeri.
Perawat dan anggota tim berbagai keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan
rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan pendekatan baru untuk
mengatasi nyeri yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan di rumah sakit
untukmelaksanakan tindakan. Dengankemajuan ilmu pengetahuan keperawatan,maka keluhan
sindroma nyeri yangkomplek dapat perawat praktikan denganmelakukan pengukuran tingkat
kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya
b. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek, etik dan diskusi tentang penatalaksanaan
keperawatan di klinik, mengkaji pasien dan keluarganya sertasemua anggota tim menerima
hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuan/pendidikannya yang meliputi
mengatasi nyerineuropatik, berperan mengatasi konflik profesi, mencegah duka cita, dan resiko
kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahlifarmasi, berdasarkan
pedoman dari tim perawatan paliatif maka
memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-obatan intravena
untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah diatasi.
c. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditunjukan pada pertanyaan
- pertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan
paliatif.
d. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-sosialspiritual dan
penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan
mengidentifikasi sumber dankesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat
memfasilitasidalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam
pelayanan,kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan nilai-nilai
kolaborasi dengan pasien dan keluarganya,dengan tim antar disiplinilmu, dan tim kesehatan
lainnya dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.

16
e. Penasihat (Consultan)
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk
menentukan tindakan yang sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien
dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam proses penatalaksanaan
perawatan paliatif sangat pentinguntuk mengetahui proses asuhan keperawatan dalam perawtan
paliatif.Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan praktek
keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien paliatif dengan menggunakan pendekatan
metodologi proses keperawatan berpedoman padastandar keperawatan, dilandasi etika profesi
dalam lingkup wewenang sertatanggung jawab perawat yang mencakup seluruh proses
kehidupan, dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan bio psiko sosio
spiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (Ilmi,2016).

17
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana kelainanfungsi
jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan
pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015). Umumnya pasien yangmengalami penyakit ini yang
sudah berada pada fase akhir sulit untuk melakukan aktivitas dan biasanya pasien sudah tidak
kooperatif lagi untuk melakukan berbagai macam hal dalam proses penyembuhan, sehingga
diperlukan peranan perawat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga pasien dalam
proses menjelang ajal dalam keadaan damai.

B.Saran
Diharapkan kepada pembaca makalah ini mengetahui hal apa saja yang dapatdilakukan dalam
melakukan penanganan pada pasien yang menderita penyakitterminal, pasien menjelang ajal.
seorang perawat harus senantiasa memperbarui ilmu pengetahuannya sehingga ketika turun di
lapangan seorang perawat tersebut mampu mengaplikasikannya dalam dunia kerja.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arovah, N. I. (2010). Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Gagal


Jantung. Medikora (Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga), Vol. 6, No. 1, 11-22.
Balady, G. (2007). Core Components of cardiac rehabilitation/secondary prevetion programs.
Corculation AHA, 115.

Fachrunnisa, & dkk. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada
pasien congestive Heart Failur. JOM Vol 2 No 2, 1094-1105.
Jaarsma, T. e. (2009). Palliative care in heart failure: a position statement from
the palliative care workshop of the Heart Failure Association of the European Society of
Cardiology. European Journal of Heart Failure, 433 – 443.
McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta:
EGC.

Nicholson, C. (2007). Heart Failure, A Clinical Nursing Handbook.


John Willey &Sons.Piepolli, M. F. (2011). Exercise training in heart failure: from theory to
practice. Aconsensus document of the Heart Failure Association and the
EuropeanAssociation for Cardiovascular Prevention and
Rehabilitation. European Journal of Heart Failure, Volume 13, Issue 4, 347-357.
Rilla, E. (2014). Terapi Murottal Efektif Menurunkan Tingkat Nyeri DibandingkanTerapi
Musik Pada Pasien Pasca Bedah. Jurnal Keperawatan Indonesia,Volume 17, No.2, Juli
2014, hal 74-80, 74-80.
Suharsono, T. d. (2013). Dampak Home Based Exercise Training terhadap Kapasitas. Jurnal
Keperawatan, Volume 1, No. 1, 12-18.

19

Anda mungkin juga menyukai