Anda di halaman 1dari 9

PEMERIKSAAN FISIS

PENDAHULUAN
Pendekatan masalah klinis pada pasien yang pertama kali dilakukan adalah mencari
informasi dengan mengumpulkan data melalui anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium, radiologis) yang sesuai.
Riwayat penyakit adalah metode yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis,
tergantung pada usia anak, informasi dapat diperoleh dari orangtua, orangtua serta anak, atau
dari anak remaja saja. Mahasiswa harus selalu waspada agar tidak dipengaruhi oleh diagnosis
dokter lain atau keluarga. Pernyataan seperti "Johnnie terkena pneumonia dan membutuhkan
antibiotik" dapat benar atau dapat pula salah. Seorang klinisi yang baik akan tetap terbuka
dan mempertimbangkan kemungkinan lain, seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas,
aspirasi benda asing, hiperreaktif saluran napas, atau bahkan fibrosis kistik. Seni untuk
memperoleh informasi dengan metode sensitif, tidak menyalahkan, dan akurat merupakan hal
yang perlu dilakukan.

RIWAYAT PENYAKIT
1. Informasi dasar
a. Usia, jenis kelamin, dan suku adalah penting karena beberapa penyakit pada masa
kanak-kanak timbul pada usia tertentu, dengan frekuensi yang lebih tinggi pada salah
satu jenis kelamin, atau pada salah satu suku. Sebagai contoh, anoreksia nervosa lebih
sering ditemukan pada remaja perempuan berkulit putih, sedangkan komplikasi
anemia sickle cell lebih sering ditemukan pada anak Afrika-Amerika.
2. Keluhan utama. Ini merupakan respons pasien atau keluarga pasien terhadap pertanyaan:
"Mengapa Anda berobat hari ini?"
3. Riwayat penyakit sekarang. Saat permulaan timbul, lama, dan intensitas keluhan utama,
disertal gejala penyerta, faktor yang memperberat atau meringankan keluhan, dan terapi
sebelumnya. Pada anak, terutama remaja, perlu dipikirkan hal tertentu, tidak lazim untuk
Baik data positif (tinja cair, banyak, dan bau busuk) maupun negatif (tanpa lendir ataupun
darah) tetap menjadi bahan pertimbangan.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat kehamilan dan persalinan. Usia ibu, jumlah kehamilan, cara persalinan, dan
usia gestasi bayi dapat memberi keterangan untuk mengetahui etiologi penyakit anak.
Sebagai contoh: bayi cukup bulan yang besar untuk masa kehamilan, lahir dengan
bedah kaisar, mengalami sesak, pada foto toraks tampak dikolorisasi linear lebih
menunjukkan kemungkinan transient tachypneaof the newborn dibandingkan dengan
bayi lahir spontan, usia gestasi 28 minggu dengan gejala yang sama. Riwayat
penggunaan obat (termasuk obat bebas, atau dengan resep) atau infeksi selama
kehamilan perlu ditanyakan.
b. Riwayat neonatal: masalah dalam masa neonatal seperti ikterus berat, infeksi,
kesulitan minum, dan masa rawat yang lama, perlu dievaluasi, khususnya pada pasien
usia bayi.
c. Riwayat tindakan bedah: bila terdapat riwayat tindakan bedah, perlu dieksplorasi
kapan, di mana, dan alasan tindakan.
d. Riwayat medis: pada penyakit minor (seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas)
dapat dievaluasi secara cepat, tetapi pada penyakit yang berat (seperti diabetes
melitus), anamnesis perlu dilakukan secara akurat, meliputi usia pada saat diagnosis,
terapi, dan respons terapi. Lama dan frekuensi perawatan di rumah sakit (RS) dan
komplikasi yang terjadi perlu dicatat. Sebagai contoh, seorang pasien diabetes dengan
perawatan yang sering karena ketoasidosis menunjukkan kurangnya pengetahuan
keluarga atau ada masalah psikososial yang mempengaruhi terapi. Anak dengan
riwayat kecelakaan yang sering menunjukkan kemungkinan penganiayaan anak.
e. Riwayat perkembangan: pada anak prasekolah, perlu ditanyakan perkembangan
bahasa, motorik halus, tnotorik kasar, dan psikososial. Pada anak usia sekolah, perlu
diketahui kelebihan dan kekurangannya.
5. Alergi. Reaksi terhadap terapi perlu dicatat, termasuk derajat berat dan hubungan
temporal dengan terapi.
6. Imunisasi. Perlu dicatat tanggal pemberian imunisasi dasar dan ulangan, sebaiknya
dengan melihat buku catatan imunisasi. Pada anak sekolah, pada negara yang mempunyai
peraturan tentang imunisasi lengkap, dapat dianggap bahwa anak tersebut mempunyai
imunisasi yang lengkap.
7. Terapi. Daftar nama obat yang sedang dikonsumsi, dosis, cara pemberian, frekuensi dan
lamanya penggunaan, termasuk jenis obat, yaitu obat bebas, resep, maupun herbal.
8. Riwayat seksual pada remaja. Meliputi kebiasaan seksual, penggunaan alat/obat keluarga
berencana (KB), kehamilan, penyakit menular seksual.
9. Riwayat keluarga: beberapa keadaan diturunkan dari orangtua, sehingga perlu dicatat usia
dan kesehatan saudara kandung, orangtua, kakek/nenek, dan anggota keluarga lain.
Sebagai contoh, seorang anak obesitas dengan riwayat keluarga diabetes tipe II
mempunyai risiko yang tinggi untuk menderita diabetes juga, sehingga intervensi dini
diperlukan.
10. Riwayat sosial. Perilaku hidup, status ekonomi, tipe asuransi, dan agama dapat
memberikan petunjuk diagnosis atau memberikan informasi yang penting dalam rencana
terapi.
11. Ulasan system. Beberapa pertanyaan tentang sistem tubuh secara keseluruhan untuk
meyakinkan ada atau tidaknya kondisi medis terkait.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum. Gizi baik atau kurang, tanda toksemia, termasuk letargi (didefinisikan
sebagai kurang atau tidak adanya kontak mata dan menolak untuk berinteraksi dengan
lingkungan), tanda perfusi yang buruk, hipo atau hiperventilasi, dan sianosis, atau tanda
dari sindrom tertentu (seperti Down atau Turner).
2. Kulit. Pada anak yang lebih kecil, warna kulit sangat penting, yaitu pucat, pletora, kuning,
atau sianosis. Kelainan seperti hemangioma kapiler (misalnya, stork bites pada bayi baru
lahir), cafe au lait, pigmented nevi (seperti Mongolian spot), eritema toksikum, atau
melanosis pustular dapat diidentifikasi. Pada anak yang lebih besar, makula, papula,
vesikel, pustula, petekia atau purpura harus digambarkan dan adanya ekskoriasi, krusta,
deskuamasi, hiperpigmentasi, ulserasi, pembentukan parut, atau atrofi juga perlu dicatat.
3. Tanda vital. Suhu, tekanan darah (umumnya pengukuran tekanan darah dilakukan secara
rutin pada anak usia di atas 3 tahun), frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, tinggi,
berat, dan lingkar kepala (umumnya diukur hingga usia 3 tahun). Pengukuran diberi tanda
dan dibandingkan dengan nilai normal berdasarkan usia.
4. Kepala, mata, telinga, hidung, mulut, dan tenggorok
a. Kepala: untuk neonatus, ukuran ubun-ubun dan adanya sutura melebar, kaput
suksedaneum (edema superfisial atau hematom yang melewati sutura, biasanya pada
puncak kepala), atau sefalhematom (hematom yang tidak melewati sutura) perlu
dicatat. Pada anak yang lebih besar, perlu diperhatikan ukuran dan besar kepala,
termasuk adanya bengkak, depresi, atau kualitas dan distribusi rambut yang abnormal.
b. Mata: pada bayi, kelainan ukuran, bentuk, dan posisi dari orbita, warna sklera
(misalnya sklera biru menunjukkan osteogenesis imperfekta), perdarahan atau
kelainan konjungtiva, adanya defek iris (seperti koloboma) dapat ditemukan.
Ketajaman visus pada anak yang lebih besar juga perlu diperiksa.
c. Telinga: untuk semua anak, kelainan bentuk, ukuran, dan posisi telinga dapat
mengarahkan ke diagnosis tertentu. Selain itu, perlu dievaluasi adanya cairan yang
keluar dari lubang telinga, baik kualitas dan sifat cairannya. Pada anak besar, perlu
dievaluasi tentang keadaan membran timpani.
d. Hidung: ukuran, bentuk, dan posisi hidung (dihubungkan dengan wajah dan mulut)
dapat memberikan petunjuk dalam beberapa variasi sindrom, misalnya hidung kecil
pada sindrom Down. Lubang hidung yang paten juga perlu diperhatikan. Kelainan
septum nasi, integritas mukosa, dan adanya benda asing perlu dievaluasi. Butterfly
rash sekitar hidung dapat mengarah ke lupus eritematosus sistemik dan garis
melintang pada hidung anterior dapat ditemukan pada pasien rinitis alergi.
e. Mulut dan tenggorokan: perlu dilakukan evaluasi ukuran, bentuk, dan posisi mulut
serta bibir. Pada bayi, beberapa penemuan yang penting meliputi disrupsi palatum
(sindrom cleft palate), Epstein pearls (papul putih kecil di tengah palatum), dan
frenulum yang pendek (tongue-tied). Pada semua anak, ukuran, bentuk, dan posisi
lidah serta uvula perlu dievaluasi. Jumlah dan kualitas gigi sesuai usia perlu
diperhatikan sena pemeriksaan mukosa bukal dan farings terhadap warna, ruam,
eksudat, ukuran tonsil, simetris atau tidak.
5. Leher: pada bayi, leher biasanya pendek dan kadang sulit diperiksa. Walaupun demikian,
ukuran, bentuk dan posisi tetap dievaluasi pada setiap anak. Ruang lingkup gerak
dievaluasi dengan lembut. Otot yang simetris, kelenjar tiroid, vena, dan arteri juga
penting untuk dievaluasi. Adanya massa abnormal seperti kista duktus tiroglosus (garis
tengah di atas tiroid) atau kista celah brakial (sepanjang otot sternomastoid), atau kelainan
seperti webbing pada sindrom Turner perlu dievaluasi.
6. Dada: pemeriksaan dada meliputi ukuran, bentuk, serta kelainan (misalnya
supernumerary nipples), atau pergerakan saat bernapas. Frekuensi pernapasan bervariasi
sesuai usia dan berkisar antara 40-60 kali/menit pada neonatus, hinga 12-14 kali/menit
pada anak prasekolah. Derajat sesak dapat dilihat, berdasarkan usaha bernapas seperti
retraksi subkostal, interkostal, hingga supraklavikular atau suprasternal. Perabaan dada
dapat menunjukkan keutuhan iga dan klavikula, pembengkakan atau nyeri. Perkusi pada
anak besar juga penting, khususnya bila ditemukan perkusi yang asimetris. Auskultasi
dada dilakukan untuk evaluasi aliran udara, resonansi vokal, crackles, lendir, mengi, atau
rubs. Pada remaja perempuan, perkembangan payudara yang simetris dan adanya massa
atau sekret puting susu perlu dievaluasi.
7. Kardiovaskular: pergerakan di prekordium perlu dievaluasi. Palpasi dilakukan untuk
menilai lokasi dan kualitas iktus kordis dan menilai adanya thrill. Selain itu, perlu dinilai
bunyi jantung pertama dan kedua, termasuk splitting, bising, klik, rubs, dan kelainan
irama. Perfusi perifer, nadi, dan warna perlu dievaluasi.
8. Abdomen: perlu diperiksa bentuknya, datar atau membuncit, adanya massa atau lesi
seperti striae, dan adanya pulsasi. Pada anak yang lebih besar umumnya abdomen datar,
tetapi pada neonatus, abdomen datar yang disertai sesak mungkin mengarah ke hernia
diafragmatika. Umbilikus, terutama pada neonatus, perlu diperiksa adanya defek, massa,
cairan, dapat pula ditemukan hernia umbilikalis yang masih mungkin normal. Pada bayi
baru lahir, adanya 1 vena dan 2 arteri umbilikalis adalah normal. Pada neonatus, palpasi
abdomen dapat meraba hepar sekitar 2 cm di bawah arkus kosta, ujung lien, dan dengan
tekanan yang dalam, ginjal. Pada anak yang lebih besar, struktur ini tidak teraba kecuali
pada keadaan patologis. Bising usus biasanya terdengar kecuali dalam keadaan patologis.
Pada remaja perempuan, abdomen bagian bawah perlu diperiksa untuk mencari adanya
pembesaran uterus (kehamilan).
9. Genitalia: Pemeriksaan besar dan bentuk penis, testis, dan skrotum pada anak laki-laki
adalah penting. Posisi uretra juga perlu diperhatikan. Pada bayi baru lahir perempuan,
labia mayora biasanya lebih besar dan dapat menutupi labia minora, genitalia lebih
terpigmentasi dan membengkak, dengan klitoris yang menonjol. Cairan keputihan dapat
ditemukan pada hari-hari pertama kelahiran, bahkan dapat pula bercampur darah. Pada
anak prasekolah, pemeriksaan genitalia menjadi lebih sulit. Kaki anak diposisikan/frog
like akan memberikan kemudahan untuk memeriksa genitalia eksterna. Pada anak
perempuan yang lebih besar, posisi lutut-dada akan memudahkan pemeriksaan genitalia
eksterna. Pada anak perempuan setelah usia neonatus, labia minora tampak lebih kecil
dibandingkan genitalia eksterna lain, dan mukosa vagina tampak kemerahan dan tipis.
Kelainan himen, seperti imperforasi, sekret vagina, benda asing, perlekatan labia, perlu
diperhatikan. Pemeriksaan dengan spekulum dilakukan pada remaja perempuan yang
sudah aktif secara seksual. Penentuan stadium Tanner untuk pubertas perlu dilakukan
baik pada laki-laki dan perempuan. Hernia inguinalis dan anus juga perlu dievaluasi.
10. Ekstremitas: untuk semua anak, ukuran, bentuk dan simetris tidaknya ekstremitas perlu
dievaluasi, termasuk kekuatan otot. Sendi perlu dievaluasi terhadap ruang lingkup gerak,
kehangatan nyeri, dan kemerahan. Cara berjalan juga perlu diperhatikan. Pada bayi, perlu
dideteksi adanya dislokasi panggul karena dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan
seumur hidup. Pada remaja, perlu dicari kemungkinan skoliosis untuk mencegah
komplikasinya. Pada atlit perlu evaluasi integritas sendi, terutama sendi yang banyak
dipakai pada olahraga.
11. Neurologis: Evaluasi neurologi pada anak yang lebih besar adalah sama dengan orang
dewasa. Tingkat kesadaran dan orientasi merupakan titik awal pemeriksaan neurologis.
Selain itu, perlu dievaluasi saraf kranial, sistem motorik (termasuk kekuatan, tonus, koor-
dinasi, dan gerakan involunter). Refleks superfisial dan tendon dalam juga perlu
diperiksa. Pada bayi yang lebih muda, dapat ditemukan refleks primitif (Moro, parasut,
hisap, genggam), tetapi perlu diperhatikan bahwa refleks ini hanya timbul pada batasan
usia tertentu.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
American Academy of Pediatrics merekomendasikan beberapa skrining laboratorium untuk
pasien anak. Pemeriksaan ini bervariasi tergantung usia dan faktor risiko.
1. Skrining metabolik pada bayi baru lahir dilakukan pada semua keadaan, biasanya setelah
mencapai usia 24 jam, tetapi jenis pemeriksaan disesuaikan dengan keadaan. Skrining
yang dilakukan biasanya meliputi hipotiroid, fenilketonuria, galaktosemia, jenis
hemoglobin, dan hiperplasia adrenal. Keadaan lain yang dapat dievaluasi adalah maple
syrup urine disease, homosistinuria, defisiensi biotinidase, fibrosis kistik, tirosinemia,
dan toksoplasmosis. Beberapa keadaan membutuhkan pemeriksaan ulangan kedua, yaitu
setelah usia 7 hari.
2. Kadar hemoglobin dan hematokrit direkomendasikan pada bayi risiko tinggi (terutama
bayi prematur dan berat lahir rendah), pada usia 9 hingga 12 bulan dan setiap tahun pada
remaja yang mengalami menstruasi.
3. Urinalisis direkomendasikan pada usia 9-12 bulan dan 5 tahun, serta urinalisis dipstick
untuk mengevaluasi leukosit dilakukan setiap tahun pada remaja yang aktif secara
seksual.
4. Skrining kadar timbal dilakukan pada pasien berisiko tinggi, pada usia 9-12 bulan serta 2
tahun.
5. Skrining kolesterol dilakukan pada pasien berisiko tinggi (adanya riwayat keluarga),
berusia lebih dari 24 bulan.
6. Skrining penyakit menular seksual dilakukan setiap tahun pada semua pasien yang aktif
secara seksual.
Pemeriksaan lain dilakukan sesuai usia anak, faktor risiko, keluhan utama, dan keadaan
dalam diagnosis banding.
1. Foto polos memberikan keuntungan secara ekonomis yang memberikan gambaran
anatomi secara umum, tetapi tidak diperoleh gambaran secara rinci sehingga memerlukan
pemeriksaan radiologis lebih lanjut. Foto polos biasanya digunakan untuk foto tulang
(mencari fraktur), foto dada untuk pneumonia, dan foto abdomen untuk ileus.
2. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang tidak mahal, membutuhkan sedikit atau
tanpa sedasi, dan tidak ada risiko radiasi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran
anatomi secara rinci tetapi tergantung pada operator. Tidak semua organ dapat diperiksa
dengan ultrasonografi. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah kepala untuk melihat
adanya perdarahan imraventrikular pada bayi prematur, stenosis pilorus, dan kelainan
struktur ginjal.
3. Computer tomography (CT) memberikan gambaran anatomi secara rinci tetapi lebih
mahal, mungkin membutuhkan kontras, dan melibatkan radiasi. Beberapa anak
membutuhkan sedasi untuk dapat menjalani prosedur ini. Pemeriksaan ini sering
dilakukan pada abdomen maupun kepala, terutama pada kasus trauma.
4. Magnetic resonance imaging (MRI) membutuhkan biaya mahal tetapi tidak
menyebabkan radiasi. Prosedur ini berlangsung lama sehingga memerlukan sedasi pada
anak yang lebih kecil, dan kadang membutuhkan kontras. Pemeriksaan ini memberikan
gambaran yang sangat baik, secara anatomi maupun fungsional, dalam berbagai sisi.
Pemeriksaan ini sering digunakan untuk memperoleh gambaran otak pada pasien dengan
kejang atau keterlambatan perkembangan atau untuk memberikan gambaran jaringan
secara rinci pada masa dalam tubuh.
5. Nuclear scan merupakan pemeriksaan yang cukup mahal dan invasif. Pemeriksaan ini
memberikan gambaran spesifik suatu organ tetapi tidak memberikan gambaran anatomi
yang baik. Dapat melibatkan radiasi. Pemeriksaan ini meliputi bone scan untuk infeksi
dan renal scan untuk fungsi.

PENDEKATAN TERHADAP PENYELESAIAN MASALAH KLINIS


Pada umumnya terdapat empat langkah untuk memecahkan masalah klinis secara sistematis:
1. Membuat diagnosis
2. Evaluasi derajat beratnya penyakit
3. Pemilihan terapi berdasarkan beratnya penyakit
4. Memantau respons terapi

MEMBUAT DIAGNOSIS
Hal ini dapat dicapai dengan menyeleksi informasi, analisis berdasarkan faktor risiko
yang ada, dan membuat daftar kemungkinan (diagnosis banding). Proses ini membutuhkan
kemampuan untuk menyeleksi informasi yang penting dan yang tidak perlu. Pengalaman dan
pengetahuan dari bacaan akan membantu dokter dalam hal ini. Klinisi yang baik dapat
mengajukan pertanyaan yang sama dalam beberapa cara yang berbeda dan menggunakan
istilah yang berbeda, karena ada kalanya pasien menolak dikatakan asma tetapi akan
mengakui bahwa dia dirawat karena mengi. Suatu diagnosis dapat ditegakkan dengan
mengulas setiap kemungkinan penyebab dan bacaan terkait. Tampilan pasien dicocokkan
dengan kemungkinan yang ada, kemudian urutan kemungkinan disesuaikan mulai dari yang
mempunyai kemungkinan terbesar hingga terkecil. Faktor risiko dapat mempengaruhi
kemungkinan diagnosis. Biasanya dari seluruh kemungkinan diagnosis dapat dipilih dua atau
tiga kemungkinan terbesar, berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Sebagai
contoh, remaja dengan demam dapat mempunyai kemungkinan diagnosis yang sangat luas,
dan dapat dipersempit bila terdapat riwayat paman yang tinggal serumah menderita batuk,
berat badan menurun, keringat malam, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan
frekuensi pernapasan (RR), limfadenopati, ronki basah paru kanan bawah. Dalam kasus ini,
pasien kemungkinan menderita tuberkulosis.

EVALUASI DERAJAT BERATNYA PENYAKIT


Langkah berikutnya adalah untuk menggambarkan proses penyakit. Pada asma, hal ini
diatur oleh panduan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). Kategori asma
meliputi ringan intermiten (paling ringan) hingga berat persisten (paling berat). Untuk
beberapa keadaan, seperti sifilis, penentuan derajat tergantung pada lamanya waktu dan
perjalanan penyakit (misalnya sifilis primer, sekunder, atau tersier).

PEMILIHAN TERAPI BERDASARKAN BERATNYA PENYAKIT


Banyak penyakit dikelompokkan berdasarkan beratnya penyakit karena prognosis dan
terapinya akan berbeda. Sebagai contoh, asma ringan intermiten kurang berbahaya
dibandingkan dengan asma berat persisten (khususnya bila sebelumnya pasien pernah
diintubasi karena asma). Pada asma ringan intermiten, terapi adalah β-agonis secara
intermiten sambil diawasi perkembangan penyakitnya. Sebaliknya pasien asma berat
persisten akan membutuhkan β-agonis kerja pendek diserta β-agonis kerja lama, steroid
inhalasi, dan mungkin steroid oral.
Infeksi farings akibat Streptococcus β-hemolitikus grup A berhubungan dengan berbagai
komplikasi, termasuk glomerulonefritis pascastreptokok dan demam reumatik. Adanya
Streptokokus β-hemolitikus grup A menandakan adanya peningkatan masalah, tetapi baik
terapi maupun prognosis tidak dipengaruhi oleh "banyaknya atau sedikitnya" Streptokokus β-
hemolitikus grup A yang ada. Oleh karena itu, mahasiswa harus melakukan pendekatan
terhadap penyakit baru, melalui mempelajari mekanisme, manifestasi klinis, bagaimana
pembagian derajatnya, dan bagaimana terapi sesuai dengan derajat penyakit.

MEMANTAU RESPONS TERAPI


Langkah terakhir dalam pendekatan penyakit adalah untuk memantau respons terapi.
Apapun "ukuran" respons tersebut, pencatatan dan pemantauan tetap penting. Beberapa
respons bersifat klinis, seperti perubahan nyeri, suhu, atau hasil pemeriksaan paru. Pasien
lain mungkin akan dipantau melalui pemeriksaan radiologis, seperti CT scan untuk
memantau ukuran nodus retroperitoneal pada pasien neuroblastoma, atau penanda seperti
hitung trombosit pada fase penyembuhan sindrom Kawasaki. Pada sifilis, dapat dilakukan
pengukuran antibodi triponema nonspesifik rapid plasma reagen (RPR) setiap bulan.
Mahasiswa harus dapat menilai dan mengambil tindakan bila respons pasien tidak seperti
yang diharapkan. Apakah perlu dilanjutkan terapi atau mengulang pemeriksaan untuk
mencari metastasis, atau memantau dengan pemeriksaan lain?

PENDEKATAN TERHADAP BACAAN


Mahasiswa harus membaca dengan pendekatan yang berbeda. Pasien jarang datang
dengan diagnosis yang sudah jelas, sehingga mahasiswa memerlukan keterampilan untuk
menerapkan informasi dalam bacaan kedalam keadaan yang sebenarnya. Setiap orang akan
mengingat lebih banyak bila membaca dengan tujuan tertentu. Beberapa pertanyaan yang
perlu dipikiran secara klinis:
1. Apa diagnosis yang paling memungkinkan?
2. Apa langkah berikutnya?
3. Mekanisme apa yang paling mungkin pada proses ini?
4. Faktor risiko apa saja yang menyebabkan keadaan ini?
5. Komplikasi apa yang berhubungan dengan penyakit ini?
6. Terapi apa yang terbaik?

APA DIAGNOSIS YANG PALING MEMUNGKINKAN?


Menegakkan diagnosis telah dibahas dalam bab sebelumnya. Hal ini merupakan tugas
berat bagi mahasiswa kedokteran, tetapi inilah masalah yang akan selalu dihadapi oleh klinisi
dalam karirnya. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memiliki pendekatan
standar dalam masalah klinis umum. Akan sangat membantu apabila kita mengetahui
berbagai kelainan tersering, misalnya penyebab paling sering sesak napas pada bayi cukup
bulan yang lahir secara bedah kaisar adalah transient tachypnea of the newborn.
Keadaan klinis seperti: "Seorang bayi berusia 3 jam mengalami peningkatan frekuensi
napas dan retraksi subkostal ringan. Bayi cukup bulan, besar untuk masa kehamilan, dan
hamil melalui bedah kaisar. Kehamilan sehat. Diagnosis apa yang paling mungkin?"
Tanpa adanya informasi lain, mahasiswa harus menyadari bahwa bayi ini mengalami
sesak napas. Dengan menggunakan pengetahuan "penyebab tersering", dugaan pertama
adalah transient tachypnea of the newborn. Tetapi bila usia gestasinya kurang bulan, 30
minggu, dan ditambahkan pernyataan "Ibu tidak mendapatkan profilaksis steroid sebelum
melahirkan". Saat ini mahasiswa akan berpikir "penyebab tersering sesak pada bayi
prematur, dengan ibu yang tidak mendapatkan steroid prenatal" adalah defisiensi surfaktan
(respiratory distress syndrome).

APA LANGKAH BERIKUTNYA?


Pertanyaan ini sulit karena informasi mungkin masih belum mencukupi untuk
menegakkan diagnosis dan langkah berikutnya adalah untuk mengumpulkan informasi
diagnostik lain. Kemungkinan lain adalah diagnosis yang sudah jelas tetapi langkah
selanjutnya menentukan derajat penyakit. Akhirnya langkah berikut adalah terapi. Dari data
klinis, harus dibuat suatu keputusan melalui jalur:
“membuat diagnosis  derajat penyakit  terapi berdasarkan derajat penyakit 
pantau respons”
Keterampilan ini akan dicapai lebih baik melalui pengajaran bedside teaching, dengan
lingkungan yang mendukung, kebebasan untuk menduga secara ilmiah, dan umpan balik
yang konstruktif. Dalam menangani pasien, mahasiswa haras mempunyai cara berpikir
berikut:
1. Berdasarkan informasi yang saya terima, saya yakin CJ (anak usia 3 bulan dengan virus
respiratory syncytial virus positif) mengalami bronkiolitis.
2. Saya tidak percaya bahwa penyakit ini berat (membutuhkan oksigen, retraksi berat,
retensi karbondioksida pada pemeriksaan analisis gas darah). Foto toraks menunjukkan
tidak adanya konsolidasi lobaris (saya yakin bahwa hal ini penting, karena konsolidasi
lobaris menunjukkan penyebab bakterial).
3. Oleh karena itu, terapi bersifat suportif dengan oksigen tambahan dan cairan intravena
sesuai kebutuhan.
4. Saya akan memantau terapi dengan mengevaluasi status pernapasan (saturasi oksigen dan
derajat beratnya retraksi), suhu, dan kemampuannya untuk mempertahankan hidrasi oral
tanpa cairan intravena. Bila dalam beberapa hari tidak terjadi perbaikan, atau malah
perburukan, saya akan melakukan pemeriksaan foto toraks ulang untuk evaluasi adanya
kemungkinan infeksi pneumonia bakterial.
Pada pasien yang sama, bila manifestasi klinis kurang jelas, mungkin pemeriksaan biakan
darah dapat dilakukan untuk mencari adanya bakteremia. Kadang-kadang langkah berikut
adalah terapi.
MEKANISME APA YANG PALING MUNGKIN PADA PROSES INI?
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya diharapkan untuk
mengetahui cara menegakkan diagnosis, tetapi juga mekanisme yang mendasarinya. Sebagai
contoh, gambaran klinis anak usia 5 tahun dengan Henoch Schoenlein Purpura (HSP), yang
mengalami nyeri perut dan tinja berdarah 1 minggu setelah diagnosis. Mahasiswa diharapkan
dapat mendiagnosis tinja berdarah pada HSP, yang timbul kira-kira pada 50% pasien. Lalu
mahasiswa diharapkan mengerti adanya edema dan kerusakan vaskular dari saluran cerna,
sehingga dapat menyebabkan perdarahan, bersamaan dengan nyeri abdomen kolik, kadang
berlanjut hingga intususepsi. Mekanisme nyeri dan perdarahan adalah vaskulitis yang
menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening mesenterik, edema dan perdarahan usus.
Kemungkinan lain adalah apendisitis, gastroenteritis bakterial, atau volvulus.
Mahasiswa dianjurkan untuk mempelajari mekanisme setiap penyakit dan bukan
menghapal gejalanya saja. Misalnya daripada menghapal gejala khasnya HSP (ruam khas,
nyeri perut, artritis), mahasiswa harus mengerti bahwa vaskulitis adalah dasar
mekanismenya. Vaskulitis menyebabkan edema, terutama pada daerah tertentu, yang
mendahului terjadinya purpura. Vaskulitis ini bertanggungjawab pada edema sendi (misalnya
lutut dan pergelangan kaki), sehingga menyebabkan artritis, yang ditemukan pada dua
pertiga pasien. Selain itu, vaskulitis ini menyebabkan nyeri kolik abdomen, dan
bermanifestasi sebagai tinja berdarah atau intususepsi.

FAKTOR RISIKO APA SAJA YANG MENYEBABKAN KEADAAN INI?


Dengan mengetahui faktor risiko, akan membantu kita untuk menegakkan diagnosis
dan menginterpretasikan hasil laboratorium. Sebagai contoh, bila kita mengetahui faktor
risiko, maka akan lebih mudah untuk penanganan anemia pada anak usia 1 tahun pada
sknning rutin. Jika anak tersebut tidak mempunyai faktor risiko keracunan timbal atau
thalasemia, dokter dapat memilih untuk memberikan preparat besi karena kemungkinan
penyebab serius lain adalah kecil. Sebaliknya jika anak tersebut baru datang dari daerah
endemik, tinggal di rumah dengan paparan cat, ayah bekerja di pabrik baterai, dokter akan
berpikir keracunan timbal dan akan memeriksakan kadar timbal, darah lengkap dengan
hitung jenis (untuk mencari basophilic stippling), dan secara teliti mengevaluasi adanya
keterlambatan perkembangan anak. Oleh karena itu, adanya faktor risiko akan mengarahkan
pada proses penyakit tertentu.

KOMPLIKASI APA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT INI?


Seorang klinisi harus mengetahui komplikasi dari penyakit sehingga pemantauan
menjadi lebih baik. Kadangkala, mahasiswa harus menegakkan diagnosis berdasarkan gejala
klinis dan kemudian menerapkan pengetahuannya tentang gejala sisa dari perjalanan
penyakit. Sebagai contoh, seorarig anak datang dengan demam tinggi, ruam kulit,
limfadenopati, dan perubahan oral maupun konjungtiva, didiagnosis sebagai sindrom
Kawasaki. Komplikasi dari penyakit ini meliputi artritis, vaskulitis arteri sedang, hidrops
kandung empedu, uretritis, dan meningitis aseptik. Dengan mengetahui jenis komplikasi
yang mungkin timbul, maka akan membantu klinisi untuk mengevaluasi keadaan pasien.
Sebagai contok, komplikasi yang mengancam jiwa pada sindrom Kawasaki adalah aneurisma
dan trombosis arteri koronaria. Manifestasi klinis pada fase subakut adalah deskuamasi,
trombositosis, dan kemungkinan terjadinya aneurisma arteri koroner dengan risiko kematian
mendadak. Terapi yang sesuai adalah pemberian imunoglobulin intravena pada fase akut dan
aspirin dosis tinggi segera setelah diagnosis ditegakkan. Ketidaktahuan risiko aneurisma
arteri koroner dan trombosis dapat menyebabkan terjadinya kematian pasien. Mahasiswa
menerapkan pengetahuan ini saat menghadapi pasien sindrom Kawasaki, dengan memantau
adanya bising baru, trombositosis, miokarditis, dan terjadinya aneurisma arteri koroner.
Klinisi harus mengomunikasikan dengan timnya untuk mengawasi gejala-gejala tersebut pada
pasien sehingga terapl yang adekuat dapat diberikan.

TERAPI APA YANG TERBAIK?


Pertanyaan ini mungkin merupakan pertanyaan yang paling sulit, bukan hanya karena
klinisi perlu menegakkan diagnosis yang tepat dan mengevaluasi beratnya penyakit, tetapi juga
karena klinisi harus dapat melihat keadaan untuk memutuskan intervensi yang paling tepat.
Mahasiswa tidak perlu menghapal dosis secara detil tetapi perlu menghapal jenis terapi, cara
pemberian, dan komplikasi yang mungkin terjadi. Sangat penting bagi mahasiswa untuk
mengetahui terapi yang rasional. Kesalahan yang sering terjadi adalah "langsung melompat ke
terapi", hampir seperti tebak-tebakan, sehingga akan memberikan umpan balik "benar atau
salah". Pada kenyataannya, tebakan tersebut mungkin benar, tetapi dengan pemikiran yang
salah, atau sebaliknya jawabannya masuk akal, tetapi dengan jalan pikir yang kurang tepat.
Hal ini penting untuk mendapatkan umpan balik yang adekuat pada setiap langkah terapi.
Sebagai contoh, apa terapi yang terbaik untuk remaja perempuan 15 tahun yang aktif secara
seksual, dengan akne kistik yang berat? Respons yang salah adalah "Accutane". Seharusnya
mahasiswa dapat berpikir demikian: "Akne kistik berat dapat diobati dengan berbagai cara,
efek samping terapi perlu dipertimbangkan, khususnya pada remaja yang aktif secara seksual,
yang mempunyai risiko tinggi kehamilan. Accutane dapat menyebabkan defek lahir yang
berat dan kehamilan merupakan kontraindikasi absolut pemberian obat ini. Oleh karena itu,
terapi terbaik pada remaja ini adalah kombinasi antibiotik dan terapi topikal, yang memberikan
efek samping yang lebih ringan".

DAFTAR PUSTAKA
1. Barness LA. Pediatric history and physical examination. In: McMillan JA, DeAngelis
CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oski's Pediatrics: Principle and Practice. 4th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott, Williams & Wilkins; 2006:39-51.
2. Bates B. Guide to physical examination and history taking. 9th ed. Philadelphia, PA:
Lippincott, Williams & Wilkins;2011.

Anda mungkin juga menyukai