Anda di halaman 1dari 7

1.

Fabel

"Kisah Burung Pipit Berlidah Pendek"

Zaman dahulu kala, di suatu desa kecil di Negara Jepang tinggalah sepasang kakek dan nenek. Kakek
adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu
dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka
menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai
anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi
nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan
membuka kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain,
berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.

Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah
menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di
atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume,
sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si nenek
kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek. Dia
membungkuk memberi hormat lalu kicaunya: “Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya
pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit……!”

Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai
Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek
untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek.

Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya
hingga putus. “Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan
bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!” Suzume hanya bisa
menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.

Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk
mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah
dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah
membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya: “Kemana Suzume? Kau
pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya
sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan
tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya.” Kakek tentu saja tidak percaya dengan
perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir
Suzume dan memotong lidahnya.

Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek. Dia
sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak
bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita. “Betapa malangnya Suzume. Dia
pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad untuk
mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.

Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke
bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai
memanggilnya:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,

Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi.
Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,

Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat
pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh
lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata
Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia.

“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek. Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu.
Rumah Suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya
sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya
sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman
yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada
seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat
Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap
Suzume.

Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih
atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua
malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek
berjanji akan sering-sering mengunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek
untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil
dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil. “Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat
jika harus membawa kotak yang besar.”

Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi
membungkukan kepalanya memberi hormat.

Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya: “Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru
pulang?” tanyanya. Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari
Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume. “Baiklah!” kata nenek. “Sekarang
cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa
terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang
sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugerah itu. Tapi nenek yang serakah malah
memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar. “Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak
ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.

Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan
penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke
dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa
membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:

“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin
ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa
mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu. Kotak itu sangat berat. Dengan
terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan
batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin
mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya.
Wuuuuush……!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek
yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau
putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,”
kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.” Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan
kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.

2. Legenda

" Legenda Sangkuriang"


Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di
dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama
Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi
Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di
hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di
dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran.
Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan
tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu
mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar
cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala
Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk
pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta
agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi
tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke
kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya
sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu
dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona
dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran
Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari,
Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang
Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena
pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip
dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang
Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya
sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah
Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya
Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak
disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah
berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat
kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi
mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang
pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta
Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu
harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu
mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut.
Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena
Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di
sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah
menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi
syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri.
Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga
menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu
menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

3. Cerita Anak Modern

"Anak Kambing yang Cerdik"

ada yang menyanyikan lagu tersebut. Tanpa mereka sangka, ada seekor
serigala yang ikut mendengarkannya.

Sesaat setelah ibu kambing pergi, datanglah seekor serigala yang lapar
itu. Ia berdiri di depan pintu kemudian menyanyikan lagu yang ibu
kambing tadi ajarkan. Anak kambing merasa aneh dengan kejadian ini.
Ia pun membatin bahwa tidak mungkin ibunya yang baru saja pergi tapi
tiba-tiba kembali. Suara yang ia dengarkan pun berbeda dari suara
ibunya.

Ia merasa bimbang mau membukakan pintu atau tidak. Di tengah


kebimbangannya, anak kambing memutuskan untuk mengintip lewat
celah kecil di bawah pintu. Betapa terkejutnya ia ketika tahu bahwa
yang ia lihat bukan sepasang kaki ibunya, melainkan kaki serigala.

Karena ketakutan, kambing kecil itu pun berteriak. Teriakannya itu


membuat hewan-hewan lain berdatangan. Hal ini tentu saja membuat
serigala gentar dan memutuskan untuk pergi dan tidak jadi memangsa
anak kambing.

Anda mungkin juga menyukai