Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


SPONDILITIS TB DI POLI ORTHOPEDI RSUD
dr. HARYOTO LUMAJANG

Oleh:

Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep


NIM 192311101014

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada pasien dengan Spondilitis TB di Ruang Poli


Orthopedi RSUD dr. Haryoto Lumajang telah disetujui dan disahkan pada:
Nama : Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep
NIM : 192311101014
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Spondilitis Tb Di Poli
Orthopedi Rsud Dr. Haryoto Lumajang
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari :
Tanggal :

Lumajang, November 2019

FAKULTAS KEPERAWATAN

Mengetahui,

Kordinator Program Studi Profesi Ners Penanggung Jawab Mata Kuliah

Ns. Erti Ikhtiarini D. M.Kep., Sp.Kep.J Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB
NIP 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 2001404 1 001

Menyetujui,
Wakil Dekan I

Ns. Anisah Ardiana, S.Kep., M.Kep., Ph.D.


NIP 19800417 200604 2 002

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:


Nama : Prepty Dwi Ariyanti, S.Kep
NIM : 192311101014
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Spondilitis Tb Di Poli
Orthopedi Rsud Dr. Haryoto Lumajang
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari :
Tanggal :

Lumajang, November 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Poli Orthopedi
Universitas Jember RSUD dr. Haryoto

Ns. Siswoyo, S.Kep., M.Kep Ns. Mamik Ainun Z., S.Kep


NIP. 19800412 200604 1 002 NIP. 19740505 200604 2 004

iii
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi Vertebrata


Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang
sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang
sakum dan koksigeus (Cailliet, 1981 dikutip oleh Kuntono, 2007). Kolumna
vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala dan
dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh (Seelley dan Stephens, 2001
dikutip oleh Yanuar, 2003).
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex
dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus
ditanggung semakin membesar daricranial hingga caudalsampai kemudian beban
tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas
kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di
dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan
masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot (Moore,
1999 dikutip oleh Yanuar, 2002). Vertebra lumbalis terletak diregio punggung
bawah antara regio torakal dan sakrum. Vertebra pada regio ini ditandai dengan
korpus vertebra yang berukuran besar, kuat dan tiadanya costal facet. Vertebra
lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang mempunyai pergerakan terbesar dan
menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar, 2002).
Gambar 1. Vertebra

Menurut Adam et al (1989); Bagduk (1997); Morris (1980) dikutip oleh


Auliana (2003) setiap vertebra lumbal dibagi atas 3 set elemen fungsional yaitu :
1. Elemen anterior atau korpus vertebra, merupakan komponen utama dari
kolumna vertebralis. Berfungsi untuk mempertahankan diri dari beban
kompresi yang tiba pada kolumna vertebra bukan saja dari berat badan, tetapi
juga dari kontraksi otot-otot punggung.
2. Elemen posterior berfungsi untuk mengatur kekuatan pasif dan aktif yang
mengenai kolumna vertebralis dan juga mengatur gerakannya. Prosesus
artikularis memberikan mekanisme lockingyang menahan tergelincirnya ke
depan dan terpilinnya korpus vertebra. Prosesus spinosus, transversus,

2
mamilaris dan aksesorius menjadi tempat melekatnya otot sekaligus
menyusun pengungkit untuk memperbesar kerja otot-otot tersebut. Lamina
merambatkan kekuatan dari prosesus spinosus dan prosesus artikularis
superior ke pedikel sehingga ia rentan terhadap trauma seperti fraktur pars
artikularis.

Gambar 2. Anatomi vertebra servikalis

3. Elemen tengah terdiri dari pedikel. Pedikel berfungsi menghubungkan elemen


posterior dan anterior, memindahkan kekuatan yang mengontrol dari elemen
posterior ke anterior.
4. Vertebra sakrum merupakan tulang yang berbentuk segitiga dan merupakan
fusi dari kelima segmen vertebra segmen sakral. Sakrum berperan dalam
stabilisasi dan kekuatan dari pelvis serta mentransmisikan berat badan tubuh
ke pelvis (Yanuar, 2002).
5. Persendian pada kolumna vertebralis ada 2 yaitu persendian antara 2 korpus
vertebra (amphiarthrodial) dan antara 2 arkus vertebra (arthrodial).
Persendian ini membentuk apa yang disebut motion segmen (Bagduk, 1997;
Finneson, 1980 dikutip oleh Auliana, 2003). Persendian antara 2 vertebra
disebut persendian amfiartrodial dimana permukaan tulang dihubungkan baik
oleh fibrokartilago diskus atau oleh ligamen interoseus, sehingga pergerakan

3
menjadi terbatas tetapi bila keseluruhan vertebra bergerak maka rentang
gerakan dapat diperhitungkan (Finneson, 1980 dikutip Auliana, 2003).

Gambar 3. Vertebra lumbalis

Persendian amfiartrodial melibatkan komponen-komponen sebagai


berikut:
1. Diskus intervertebralis, merupakan suatu bantalan penghubung antar dua
korpus vertebra yang di desain untuk menahan beban peredam getaran (shock
absorbers) selama berjalan, melompat, berlari dan memungkinkan terjadinya
gerakan kolumna vertebralis (Kurnia M, 2006; Yanuar, 2002).
Menurut Bagduk, 1997; Cailliet, 1976; Finneson, 1980 dikutip oleh
Auliana, 2003 diskus intervertebralis terdiri dari 3 komponen yaitu :
1. Nukleus sentralis pulposus gelatinous terdiri dari matrik proteoglikans yang
mengandung sejumlah air (±80%), semitransparan, terletak ditengah dan
tidak mempunyai anyaman jaringan fibrosa.
2. Anulus fibrosus yang mengelilingi nukleus pulposus merupakan suatu cincin
yang tersusun oleh lamellae fibrocartilogeneayang konsentris yang
membentuk circumfereria dari diskus intervertebralis. Cincin tersebut

4
diselipkan di cincin epifisis pada fasies artikularis korpus vertebra. Serabut-
serabut yang menyusun tiap lamella berjalan miring dari satu vertebra ke
vertebra lainnya, serabut-serabut dari suatu lamella secara khas berjalan pada
sisi kanan menuju yang berdekatan. Pola seperti ini, walaupun
memungkinkan terjadinya suatu gerakan antar dua vertebra yang berdekatan
juga berfungsi sebagai pengikat yang erat antar dua vertebra tersebut (Moore,
1999; Young, 2000 dikutip oleh Yanuar, 2002).
3. Sepasang vertebra endplate yang mengapit nukleus
a. Sepasang vertebra endplate adalah merupakan permukaan datar teratas dan
terbawah dari suatu diskus intervertebralis. Fungsi mekanik diskus
intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air yang diletakkan di
antara ke dua telapak tangan . Bila suatu tekanan kompresi yang merata
bekerja pada vertebra maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke
seluruh diskus intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang
lain, nukleus polposus akan melawan gaya tersebut secara lebih dominan
pada sudut sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai
macam gerakan vertebra seperti fleksi, ekstensi, laterofleksi (Cailliet,
1981 dikutip oleh Kuntono, 2007). Diskus intervertebralis sendiri
merupakan jaringan non innervasi dan non vaskuler sehingga apabila
terjadi kerusakan tidak bisa terdeteksi oleh pasien meskipun sudah
berlangsung dalam waktu lama (Parjoto, 2006).
1. Ligamen longitudinal anterior melapisi dan menghubungkan bagian
anterolateral korpus vertebra dan diskus intervertebralis, terbentang dari
permukaan anterior sakrum hingga ke tuberkulum anterior vertebra servikal 1
dan tulang oksipital di sebelah anterior foramen magnum. Ligamen ini
melekat pada korpus vertebra dan diskus intervertebralis (Yanuar, 2002).
Fungsi ligamen anterior tersebut adalah untuk memelihara stabilitas pada
persendian korpus vertebralis dan mencegah hiperekstensi kolumna
vertebralis (Parjoto, 2006; Yanuar, 2002).
2. Ligamen longitudinal posterior lebih sempit dan lebih lemah dari ligamen
anterior, terbentang dalam kanalis vertebralis di dorsal dari korpus vertebralis.

5
Ligamen ini melekat pada diskus intervertebralis dan tepi posterior dari
korpus vertebra mulai vertebra servikal 1 sampai sakrum. Ligamentum ini
dilengkapi akhiran saraf nyeri (nociceptor). Ligamen posterior berperan
mencegah hiperfleksi kolumna vertebralis serta mencegah herniasi diskus
intervertebralis (Yanuar, 2002). Persendian antara 2 arkus vertebra
(arthrodial) dibentuk oleh prosesus artikularis superior dari 1 vertebra dengan
prosesus artikularis inferior vertebra di atasnya disebut sebagai
zygapophyseal joint/facet joint atau sendi faset (Bagduk, 1997; Finneson,
1980 dikutip oleh Auliana, 2003). Arah permukaan sendi faset
mencegah/membatasi gerakan yang berlawanan arah dengan permukaan sendi
faset. Di regio lumbal, sendi fasetnya memiliki arah arah sagital dan medial,
sehingga memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi dan lateral fleksi, namun
tidak memungkinkan terjadinya gerakan rotasi (Yanuar, 2002). Pada sikap
lordosis lumbalis (hiperekstensi lumbal) kedua faset saling mendekat
sehingga gerakan kelateral, obique dan berputar terhambat, tetapi pada posisi
sedikit fleksi kedepan (lordosis dikurangi) kedua faset saling menjauh
sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar (Cailliet, 1981 dikutip
oleh Kuntono, 2007).
3. Ligamen-ligamen yang memperkuat persendian di kolumna vertebralis regio
lumbal adalah :
a. Ligamen flavum merupakan ligamen yang menghubungkan lamina dari
dua arkus vertebra yang berdekatan. Ligamen ini panjang, tipis dan lebar
diregio servikal, lebih tebal di regio torakal dan paling tebal di regio
lumbal. Ligamen ini mencegah terpisahnya lamina arkus vertebralis dan
juga mencegah terjadinya cidera di diskus intervertebralis. Ligamen
flavum yang kuat dan elastis membantu mempertahankan kurvatura
kolumna vertebralis dan membantu menegakkan kembali kolumna
veretbralis setelah posisi fleksi (Yanuar, 2002).
b. Ligamen interspinosus merupakan ligamen yang menghubungkan
prossesus spinosus mulai dari basis hingga apex, merupakan ligamen
yang lemah hampir menyerupai membran (Yanuar, 2002)

6
c. Ligamen intertranversus adalah ligamen yang menghubungkan prossesus
tranversus yang berdekatan. Ligamen ini di daerah lumbal tipis dan
bersifat membranosa (Yanuar, 2002).
d. Ligamen supraspinosus menghubungkan prosesus spinosus di daerah apex
vertebra servikal ke 7 (VC7) sampai dengan sakrum. Ligamen ini
dibagian kranial bergabung dengan ligamen nuchae. Ligamen
supraspinosus ini kuat, menyerupai tali (Yanuar, 2002).

Otot punggung bawah dikelompokkan kesesuai dengan fungsi gerakannya.


Otot yang berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif
mengekstensikan vertebrae lumbalis adalah : m. quadraus lumborum, m.
sacrospinalis, m. intertransversarii dan m. interspinalis. Otot fleksor lumbalis
adalah muskulus abdominalis mencakup : m. obliqus eksternus abdominis, m.
internus abdominis, m. transversalis abdominis dan m. rectus abdominis, m. psoas
mayor dan m. psoas minor. Otot latero fleksi lumbalis adalah m. quadratus
lumborum, m. psoas mayor dan minor, kelompok m. abdominis dan m.
Intertransversarii. Jadi dengan melihat fungsi otot punggung di bawah berfungsi
menggerakkan punggung bawah dan membantu mempertahankan posisi tubuh
berdiri (Kuntono, 2007).
Medulla spinalis dilindungi oleh vertebra. Radik saraf keluar melalui
kanalis spinalis, menyilang diskus intervertebralis di atas foramen intervertebralis.
Ketika keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua
yaitu ramus anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut
mempersarafi sendi faset. Akibat berdekatnya struktur tulang vertebra dengan
radik saraf cenderung rentan terjadinya gesekan dan jebakan radik saraf tersebut.
Semua ligamen, otot, tulang dan sendi faset adalah struktur tubuh yang sensitif
terhadap rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris. Kecuali ligamen
flavum, diskus intervertebralis dan ligamentum interspinosum, karena tidak
dirawat oleh saraf sensoris. Dengan demikian semua proses yang mengenai
struktur tersebut di atas seperti tekanan dan tarikan dapat menimbulkan keluahan
nyeri. Nyeri punggung bawah sering berasal dari ligamentum longitudinal anterior

7
atau posterior yang mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah
berasal dari fasies artikularis vertebra beserta kapsul persendiannya yang sangat
peka terhadap nyeri. Nyeri yang berasal dari otot dapat terjadi oleh karena
aktivitas motor neuron, ischemia muscular dan peregangan miofasial pada waktu
otot berkontraksi kuat (Zimmermann M, 1987 dikutip oleh Kuntono, 2007).

Biomekanika Komponen Vertebra


Medula spinalis merupakan struktur yang mudah bergerak yang digantung
oleh akar saraf dan ligamen dentatum. Bila vertebra bergerak, pada awalnya dapat
menyebabkan terlipat atau tidak terlipatnya medula spinalis. Sepanjang medula
spinalis dapat menyesuaikan diri, maka medula spinalis tidak bergerak naik-turun
dalam kanalis spinalis. Perubahan panjang medula spinalis sewaktu terjadi
ketegangan (tension), sekitar 70-75% dalam bentuk terlipat dan tidak terlipat,
sisanya dalam bentuk elongasi oleh sifat deformasi elastik. Sifat dapat meregang
dari medula spinalis tercatat dalam bentuk bifasik, awalnya ia sangat elastis dan
memanjang lebih dari 10%, untuk peregangan lebih dari itu dibutuhkan kekuatan
yang lebih besar. Perubahan panjang medula spinalis diikuti secara simultan oleh
perubahan pada area cross sectional dengan cara menurun pada waktu tegang
(tension) dan meningkat sewaktu kompresi (Auliana, 2003)
Kekuatan vertebra dalam menahan beban pada dasarnya ditentukan oleh
kekuatan elemen tulang. Secara anatomis, tiap vertebra telah menyesuaikan
bentuk dan ukuranya sebagai refleksi dari beban yang diembannya, sehingga
tampak bertambah ukurannya mulai dari regio servikal sampai lumbal. Persendian
faset mengemban 18% beban kompresi, 45% kekuatan torsional dan sejumlah
stabilitas vertebra lainnya, tergantung dari arah orientasi faset (Auliana, 2003).
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap kegagalan menghadapi
beban kompresi.Vertebral end plate biasanya yang terlebih dahulu kalah baik pada
diskus normal maupun yang telah mengalami degenerasi terutama oleh beban
torsional. Beban pada vertebra terbukti sangat bervariasi, tergantung postur dan
beban eksternal. Pada L3-L4 sesorang yang sedang duduk, tekanan intradiskalnya

8
lebih tinggi dibanding waktu berdiri, tetapi tekanan paling rendah sewaktu
seseorang berbaring terlentang (Auliana, 2003).
Struktur ligamen pada vertebra harus mampu memerankan fungsi ganda
yaitu memungkinkan gerakan fisiologis vertebra disamping menahan gerakan
vertebra yang melampaui batas. Sebagai contoh pada waktu ekstensi panjang
ligamen flavum berkurang 10%, tetapi tidak menekuk ke dalam kanalis spinalis
oleh karena masih dibawah 15% yang dianggap sebagai pretension. Pada fleksi
penuh, ligamen mampu memanjang sampai 35%. Di luar range ini ligamen
menjadi sangat kaku dan tidak dapat berelongasi lagi (Auliana, 2003).
Gerakan yang terjadi pada regio lumbal meliputi fleksi-ekstensi, yang
mempunyai luas gerak sendi sebesar 20/35 – 0 – 40/60 pada bidang sagital posisi
pasien berdiri anatomis. Pada gerak fleksi terjadi slide ke anterior dari korpus
vertebra sehingga terjadi penyempitan pada diskus intervertebralis bagian anterior
dan meluas pada bagian posterior. Gerak lateral fleksi yang mempunyai luas gerak
sendi sebesar 15/20 – 0 – 15/20 pada bidang frontal posisi pasien berdiri anatomis.
Pada gerak lateral fleksi, korpus pada sisi ipsilateral saling mendekat dan saling
melebar pada sisi kontralateral. Gerak rotasi yang mempunyai luas gerak sendi
sebesar 45 – 0 – 45 pada bidang transversal, posisi pasien duduk anatomis dimana
gerak rotasi ini daerah lumbal hanya 2 derajat persegmen karena dibatasi oleh
sendi faset (Rasyjad, 2007).
Mekaniaka columna vertebralis netral didefinisikan sebagai adanya
lordosis servikal dan lumbal yang normal dan kifosis torakal dan sakral. Frytte
dan Greenman menyatakan mekanika normal adalah saat sendi faset tidak bekerja.
Pada kondisi ini, gerakan lateral fleksi pada columna vertebralis akan
menghasilkan rotasi pada sisi yang berlawanan. Hal ini dikenal dengan mekanika
tipe 1 dan terjadi di regio torakal dan lumbal. Jika gerakan fleksi atau ekstensi
dilakukan pada region tersebut, sendi faset akan bekerja dan akan mengontrol
pergerakan vertebra. Pada saat demikian, lateral fleksi dan rotasi berada pada satu
sisi. Hal ini dinamakan mekanika tipe 2 atau mekanika non-netral dan terjadi di
regio torakal atau lumbal saat fleksi atau ekstensi (De Jong, 2010).

9
B. Pengertian Spondilitis TB
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Spondilitis
Tuberculosa yaitu infeksi kronis yang berupa infeksi granulomatosis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa yang menyerang vertebra.
Spondylitis TB disebut juga Penyakit Pott bila disertai paraplegi atau deficit
neurologis. Spondylitis ini pasling sering ditemukan pada vertebra T8 sampi L3
dan paling jarang pada C2. Spondylitis Tb biasanya mengenai korpus vertebra,
sehingga jarang mengenai arkus vertebra (Purniti dkk, 2008).
Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya
dikarenakan penyakit ini . Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival
Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak
dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh
Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas . Di
waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan
untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini
dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami
perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena
dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif yang diberikan pada pasien
tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada
kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang
harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani
tindakan operatif (Vitriana, 2002).

C. Klasifikasi Spondilitis TB
Oguz E et al (2008), membagi klasifikasi spondilitis TB serta dimana, setiap
klasifikasi akan terdapat penangannannya sendiri:
1. Tipe 1

10
a. Lesi terlokasi di vertebrata, satu level disc terdegenrasi, tidak terdapat
kolaps, tidak terdapat abses, tidak terdapat penurunan neurologis.
Penanganan menggunakan fine needle biopsy dan terapi obat
b. Terbentuk abses, satu bahkan dua disc terdegenerasi, tidak terdapat kolaps,
tidak terdapat penurunan neurologis. Penanganan dengan drainage abscess
dan debridemen
2. Tipe 2, terdapat kolaps vertebrata (fraktur patologis), terbentuk abses, kifosis,
terdapat deformitas yang masih stabil dengan terdpat atau tidak terdapat
penurunan neurologis
3. Tipe 3, terdapat kolaps vertebrata berat, terdapat abses, kifosis berat, deformitas
yang parah, dengan atau tidak dengan penurunan neurologis

Klasifikasi berdasarkan cara penularan


1. Hematogen, tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena
penyebaran hematogen atau penyebaran langsung noduslimfatikus para aorta
atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada
sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi
primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk
kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri
segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang
berdekatan, dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia.
Didalam korpus arteri ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan
infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah paradiskal
2. Melalui pleksus batson, suatu anyaman vena epidural dan peridural. Vena
dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah perivertebral.
Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak, dinding
dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson
berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat
perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapt ikut

11
menyebar dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran
vena-vena tersebut.

Gambar 4. Pleksus Batson

3. Pekejuan, Penyebaran dari jaringan yang mengalami (penyebaran


perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah terbentuk) akan
menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos
squestra. Sedang jaringan granulasi TBCakan penetrasi ke korteks dan
terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah
lewatligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus
intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapiakan mengalami

12
dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagiananterior vertebra akan menimbulkan kifosis

Gambar 5. Jaringan Perkejuan


Stadium Penyakit
1. Stadium implantasi, setelah bakteri berada pada tulang, maka bila daya tahan
tubuh penderita turun maka bakteri akan berduplikasi membentuk koloni
yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaany ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak -anak umumya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal, setelah stadium implantasi selanjutnya terjadi
desktruksi kopus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses
ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut, pada stadium ini terjadi destruksi yang massif.
Kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold
abses (abses dingin) yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk sekuenstrum serta kerusakan diskus invertebralis.
Pada saat ini trebentuk tulang baji terutama disebelah depan akibat kerusakan
korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
a) Stadium gangguan neurologis
Ganggaun neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.

13
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondylitis TB.
Vertebra torakalis mempunyai mampunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neorologis maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
1) Derajat 1
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktifitas atauu setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
2) Derajat 2
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
3) Derajat 3
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membetasi
gerak / aktifitas penderita.
4) Derajat 4
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris serta gangguan
defekasi dan miksi.
5) Stadium deformitas residual, stadium ini terjadi kurnag lebih 3-5 tahun
setelah timbulnnya stadium miplantasi. Kifosis atau gibbus akan bersifat
permanen oleh karena kerusakan vertebra yag massif disebelah depan.

D. Manifestasi Klinis Spondilitis TB


Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan penyakit yang
lain, yaitu badan lemah dan lesu, nafsu makan dan berat badan yang menurun,
suhu tubuh meningkat terutama pada malam hari, dan sakit pada daerah
punggung. Pada anak kecil biasanya diikuti dengan sering menangis dan rewel
pada awal gejala dapat di jumpai adanya nyeri radikuler di sekitar dada atau perut,
kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun kian memberat kemudian
muncul adanya spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral
pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula

14
belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan.
Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi
neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan
neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix
saraf tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus),
bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang
sudah disebutkan di atas (Harsono, 2003)

E. Patofisiologi Spondilitis TB
Basil TB masuk kedalam tubuh kebanyakan melalui traktus respiratorius.
Pada saat etrjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat
terjadi basilemia. Penyebaran etrjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut
di paru, hati, limpa, ginjal, dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian
respon tubuh imunologis timbul dan fokus tasi dapat mengalami reaksi selular
yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra
merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling
sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya menyerang lebih
dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah
apifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang
menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan
pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan
pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal
sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada
vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus mengahncurkan vertebra
didekatnya.
Kemudiann eksudat menyebar ke depan, dibawah ligamentum longitudinal
anterior dan mendesak aliran darah vertebra didekatnya. Eksudat ini dapat
menembus ligamentum dan dapat berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis
ligamnet yang lemah. Pada daerah servical, eksudat terkumpul dibelakang fascia
paravertebralis dan menyebar lateral dibelakang mukulus

15
sklernokleidomastioideus. Eksudat dapat mengalami protrusi kedepan dan
menonjol kedalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis akan tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol fusiform.
Abses pada serah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan
muncul dibawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga
dapat menyebar kedaerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh
darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.

F. Komplikasi Spondilitis TB
Komplikasi yang paling serius dari spondilitis TB adalah Pott’s
paraplegia. Pada stadium awal spondilitis TB, munculnya
Pott’s paraplegia disebabkan oleh tekanan ekstradural pus maupun sequester atau
invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan jika Pott’s
paraplegia muncul pada stadium lanjut spondilitis TB maka itu disebabkan oleh
terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di
atas kanalis spinalis.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan
turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abcess

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis
b. Uji Mantoux : hasil positif TB
c. Pada pemeriksaan biakan kuma mungkin ditemukan Mycobacterium
d. Biopsy jringan granulasi atau kelenjar limbfe regional

16
e. Pemeriksaan hispatologi ditemukan tuberkel. Pemeriksaan foto toraks untuk
melihat adanya tberkulosis paru
f. Phungsi lumbal akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitil, dan destruksi korpus
vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara
korpus tersebutdan mungkin dapat ditemukan adanya abses paravertebral.

b. Pemeriksan mielografi dilakukan bila terdapat tanda-tanda penekanan pada


sumsum tulang
c. CT Scan dapat memberikan gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irregular, sclerosis, kolaps diskus

17
H. Penatalaksanaan Spondilitis TB
1. Head education :
a. Memberikan masker untuk mencegah terjadinya penularan
b. Memberikan kebutuhan yang sesuai kebutuhan
c. Menganjurkan untuk meminum rutin obat anti TB
2. Terapi konservatif, berupa :
a. Tirah baring (bedrest)
b. Memberi korset yang mencegah pergerakan vertebra/ membatasi
pergerakan vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituboerculosa ( rifampicin, pyrazinamid, isoniazid)
3. Terapi operatif, Indikasi opersi yaitu bila ada :
a. Bila dengan terapi konservatif tidak ada perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondiliris TB diberikan obat tuberculotic.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan darinase abses secara
terbuka dan sekaligus debridemen serta bone graft

18
c. Pada pemeriksaan foto polos, mielografi, ataupun CT Scan ditemukan
adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
i. Cold Abses, yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang
besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga menghilangkan lesi tubrkulosa,
yaitu dengan debridemen fokal. Kosto transversekyomi, debridemen fokal
radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
ii. Paraplegia, dapat dilakukan dengan pengobatan dengan kemoterapi semata-
mata, laminektomi. Kosto transversektomi, operasi radikal, osteotomi pada
tulang baji secara tertutup dari belakang
iii. Kifosis. Operasi pada pasien dilakukan dengan Operasi kifosis dilakukan
apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis mempunyai tendesi bertambah berat
utama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau
melalui operasi radikal. Operasi PSSW adalah operasu fraktur tulang
belakang dan pengobatan tbc tulang belakang disebut total treatment. Metode
ini mengobati tbc tulang belakang berdsarkan maslaah dan bukan hanya
sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan semua dokter. Tujuannya,
penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil, tidak
ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan dengan kembalinya
fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke dalam msyarakat, kembali
pada pekerjaan dan leluarganya.

I. Rehabilitasi Spondilitis TB
Rehabilitasi Spondilitis TB dengan penuntasan pengobatan TB secara tuntas,
tanpa putus obat, serta dengan total treatmen berdsarkan maslaah dan bukan
hanya sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan semua dokter. Tujuannya,
penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil, tidak
ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan dengan kembalinya fungsi
tulang belakang, penderita dapat kembali ke dalam msyarakat, kembali pada
pekerjaan dan leluarganya

19
J. Clinical Pathway

Invasi hematogen ke korpus dekat diskus invertebra daerah servikal

Gangguan Citra
Tubuh
Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang berdekatan

Perubahan struktur vertebra servikalis

Kurangnya sumber
Kompresi diskus dan kompresi Spasme Otot Pembentukan abses pengethaun
radiks saraf di sisinya faringeal

kekakuan leher
Nyeri tenggorokan Ancaman pada status
Tindakan dekompresi dan stabilisasi dan gangguan terkini
Nyeri Akut menelan

Port de entry Ansietas


Ketidak seimbangan
Hambatan nurisi : Kurang dari
Risiko Infeksi Mobilitas Fisik kebutuhan

17
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Identitas klien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
asuransi kesehatan dan diagnosis medis
b) Keluhan utama
Keluhan utama ang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien dapat menggunakan
metode PQRST.
1) P = Provoking Incident, Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri
adalah adanya peradangan pada tulang belakang
2) Q = Quality of Pain, Nyeri yang di rasakan klien bersifat menusuk
dan nyeri sering di sertai dengan parestesia
3) R = Region, Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri menjalar atau
menyebar karena pada beberapa kasus nyeri sering menjalar dari
tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu kaji di
mana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi dan sebatas apa
4) S = Sveverity scale, Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
5) T = Time, Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi
nyeri berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c) Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di dapat : tanda awal berupa bengkak, napsu makan
berkurang, berat badan menurun, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak
sendi, kulit di atas daerah yang terkena teraba panas, badan lemah lesu,
pucat, suhu tubuh meningkat, gangguan pergerakan akibat spasme atau
gibus.
2) Riwayat kesehatan dahulu

18
Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat antituberkulosis
(OAT). Penyakit lain seperti hipertensi, DM perlu juga di kaji untuk
mengidentifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi
keperawatan
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang pernah mengalami penyakit TB Paru,
pernah mengalami pengobatan 6 bulan ataupun putus obat..
d) Alergi
Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-obatan
atau makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang ditimbulkan apabila
terjadi alergi, dan tindakan apa yang dilakukan pasien saat terjadi alergi.
e) Kebiasaan
Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan
tersebut dilakukan.
1) Merokok (berapa batang /bungkus sehari)
2) Minum alkohol
3) Minum kopi
4) Minum obat-obatan
5) Pola kebersihan.
f) Pengkajian keperawatan
1) persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan hidup
klien seperti pola kebersihan klien dirumah, kunjungan ke fasilitas
kesahatan untuk pemeriksaan dan pemantauan kesehatan.
2) pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical
sign, diet pattern. Klien dengan awal tuberculosis biasanya menagalami
penurunan berat bada karena ada kelebihan energi yang digunakan untuk
melawan infeksi. Pada pemeriksaan darah lengkap didapat laju endap
darah meningkat diatas batas normal, leukosit meningkat. Untuk pola
makan klien akan mengalami kehilangan nafsu makan, karena terdapat
nyeri telan, ataupun mual akibat efek samping dari konsumsi obat OAT.

19
3) pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter) Pada Tb tulang daerah thorakal dan servikal tidak ada kelainan
tetapi pada daerah lumbal sering di dapatkan keluhan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
4) pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living,status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri, pada daerah tulang
belakang yang menyebabkan klien mengalami keterbatasan dalam
bergerak. Apabila terdapat kifosis daerah tulang belakang akan
mempengarui pergerakan klien.
5) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur. Klien
fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga menggangu
waktu tidur dan istirahat klien.
6) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera.
7) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri. Baisanya pasien mengalami penurunan harga diri rendah.
8) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien
tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami.
9) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
10) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien
dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang
dapat timbul pada dirinya.
11) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat. Klien yang
nyeri, khsususnya daerah tulang belakang tidak dapat dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama terhadap
frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah akibat nyeri dan keterbatasan
gerak.

20
g) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan tulang belakang yang
dialami pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey
(dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien) dan secondary survey
(untuk mengetahui gerakan pasien apakah masih dianggap normal atau tidak).
1) Keadaan umum, tanda vital: didapatkan hipotensi
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas,
kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
3) Pemeriksaan pada daerah tulang belakang:
(a) Look/inspeksi
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama
pada tb tulang daerah torakal, pada daerah lumbalis adanya abses
pada daerah bokong dan pinggang, daerah servikal terdapat kekakuan
leher.
(b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan: Nyeri tekan

(c) Move/gerakan
Terjadi kelemahan anggota gerak dan gangguan pergerakan tulang
belakang. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut
menimbulkan spasme otot.
h) Pemeriksaan penunjang
1) Foto AP digunakan untuk mengetahui adses/ infeksi pada daerah tulang
belakang, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung,
di daerah thorakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
berbentuk fusiform.
2) Pemeriksaan darah lengkap, untuk mengetahui jumlah Hb, Laju endap
darah, dan leukosit klien.

21
3) CT scan dan MRI dapat digunakan untuk menggambarkan perluasan
infeksi pada jaringan paraspinal.

b. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik dan kerusakan jaringan:
pergeseran fragmen tulang akibat fraktur.
b) Ketidak seimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berbubungan
dengan
c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal
d) Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko prosedur invasive
e) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi
fisik, prosedur pemberdahan

22
c. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 1x24 jam nyeri akut pada pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu Terapi relaksasi (6040)
penyebab nyeri, mampu menggunakan 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
tehnik nonfarmakologi untuk nafas dalam dan musik
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang Pemberian analgesik (2210)
dengan menggunakan manajemen nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri sebelum mengobati pasien
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 8. Cek adanya riwayat alergi obat
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
berkurang frekuensi obat analgesik yang diresepkan

2 Ketidak seimbangan Nutrisi: Asupan Nutrisi NIC


Kurang dari kebutuhan tubuh Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nutrisi (1100)
diharapakn kebutuhan nutrisi yang 1. Tentukan status gizi pasien dan kemmapuan pasien
dibutuhkan pasien terpenuhi dengan kriteria dalam memenuhi kebutuhan gizi
hasil: 2. Identifikasi adanya alergi atauintoleransai makanan
1. Pasien adekuat dalam pemenuhan 3. Tentukan apa yang menjadi preferensi makanan bagi
asupan nutrsi, serat, vitamin, kalsium, pasien
mineral 4. Instrusikkan pasine mengenai kebutuhan nutrisi
2. Pasien adekuat dalam pemenuhan 5. Bantu pasine dalam menentukan pedoman atau
cairan piramida makanna yang paling cocok dalam

23
3. Pasien tidak mengalami gangguan memenuhi kebutuhan nutrisi dan preferensi
makan 6. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
4. Pasien tidak mengalami penurunan dibuthkan untuk memenuhi persyaratan gizi
nafsu makan 7. Atur diet yang diperlukan
5. Pasien tidak mengalamai penurunan 8. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
berat badan mengkonsumsi makan
9. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan perawatan
mulut sebelum makan
10. Pastikan pasien menggunakan gigi palsu
11. Beri obat-obatan sebelum makan
12. Pastikan makanna yang disajikan secara menarik
13. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet sesuai
dengan kondisi
14. Tawarkan makanan ringan padat gizi
15. Pastikan makanna mengandung makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
16. Monitor kalori dan makanan
17. Manitor kecenderungan terjadinya penuruna dan
kenaikan berat badan
18. Anjurkan pasien untuk memantau intake makanan
19. Bantu pasien untuk mengakses program-program gizi
komunitas
20. Berikan arahan, bila diperlukan.

3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC


(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 1x24 1. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
jam mobilitas fisik pasien membaik dengan penyebab nyeri otot atau sendi
kriteria hasil: 2. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan
1. Dapat mengontrol kontraksi peningkatan mekanika tubuh sesuai indiksi
pergerakkan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)

24
2. Dapat melakukan kemantapan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
pergerakkan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya
3. Dapat menahan keseimbangan 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
pergerakkan terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan,
jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut
lefel kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai
satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan
pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih
dahulu sampai gerakan yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap
fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
4. Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai
Setelah dilakukan tindakan keperawatan setiap pasien
selama 1x24 jam, tidak terjadi infeksi pada 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP
pasien dengan kriteria hasil: rumah sakit
1. Luka tidak berbau busuk 3. Batasi jumlah pengunjung

25
2. Pasien tidak demam (suhu stabil) 4. Ajarkan cara mencuci tangan
3. Tidak terdapat nanah pada luka Perlindungan infeksi (6550)
4. Pasien dapat mengidentifikasi faktor 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
resiko 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
5. Mengenali faktor resiko individu Manajemen nutrisi (1100)
7. Tentukan status gizi pasien
8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
5. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: klien
1. Pasien dapat menyampaikan rasa takut 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang akan
secara lisan dirasakan yang mungkin akan alami klien selama
2. Tidak ada peningkatan tekanan darah prosedur
pasien 4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan
3. Tidak ada Peningkatan frekuensi nadi dan prognosis
pasien 5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman
4. Tidak ada Peningkatan frekuensi dan mengurangi ketakutan
pernafasan pasien 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
7. dukung penggunaan mekanisme koping yang sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan

26
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

e. Discharge Planning
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning untuk pasien
fraktur sebagai berikut:
1. Kepatuhan Minum Obat (OAT)
2. Kontrol sesuai jadwal yang di sepakati
3. Meningkatkan masukan cairan
4. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang

27
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing
ProcessApproach, 4 th Edition. New York: W.B. Saunder Company.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Harsono. 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI.
Moorhead., Johnson., Maas., & Swanson. 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC). fifth Edition. USA: Mosby.
Morrison, M.J. 2003. Manajemen Luka alih bahasa Tyasmono A. F. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurafif, A.H. dan K. Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Edisi 1. Yogyakarta: Mediaction.
Paramarta dkk. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Jurnal Seri Pediatri. 10(3): 177-
184.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia.
Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al 2008.. A new classification and guide
for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics.
32(1) : 127-133
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.

28
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Sahputra, dkk. 2015. Spondilitis TB Cervical. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2):
639- 649.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai