KELOMPOK 4
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Bertolak dari latar belakang yang telah disampaikan, ditemukan beberapa permasalahan
diantaranya:
1. Apakah yang dimaksud dengan asesmen?
1.3 Tujuan
Menurut Poerwanti, dkk. (2008: 3) secara umum, assesmen dapat diartikan sebagai
proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk
dasar pengambilan keputusan tentang siswa baik yang menyangkut kurikulumnya,
program pembelajarannya, iklim sekolah maupun kebijakan-kebijakan sekolah.
Keputusan tentang siswa ini termasuk bagaimana guru mengelola pembelajaran di kelas,
bagaimana guru menempatkan siswa pada program-program pembelajaran yang berbeda,
tingkatan tugas-tugas untuk siswa yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-
masing, bimbingan dan penyuluhan, dan saran untuk studi lanjut.
Sementara menurut Robert M. Smith (2002) dalam Mawardi (2011) suatu penilaian
yang komprehensif dan melibatkan anggota tim untuk mengetahui kelemahan dan
kekuatan yang mana hasil keputusannya dapat digunakan untuk layanan pendidikan yang
dibutuhkan anak sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran.
Sedangkan Akhmad (2008) menyebutkan bahwa assesmen atau penilaian adalah
penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh
informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi
(rangkaian kemampuan) peserta didik.
Asesmen yang digunakan dalam kurikulum 2013 menekankan pada kenyataan nyata
yang dilakukan siswa pada saat pembelajaran berlangsung atau biasa disebut dengan
asesmen otentik. Asesmen otentik (authentic assesment) menurut Pusat Kurikulum dalam
Muchtar (2010: 72), yaitu:
Asesmen otentik (authentic assesment) adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan
dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-
prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat, dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik.
Asesmen yang dilakukan oleh guru harus dilaksanakan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip penilaian yang ada, asesmen dilaksanakan secara berkelanjutan atau
berkesinambungan untuk setiap pembelajaran. Hasil dari asesmen tersebut haruslah nyata,
akurat, dan konsisten dengan perilaku siswa dalam proses pembelajaran. Asesmen
dilakukan sesuai dengan kemampuan siswa dalam proses pembelajaran. Asesmen otentik
menurut Mueller dalam Abidin (2012: 168) sebagai berikut:
Asesmen otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau
konteks dunia “nyata” yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk
memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa
mempunyai lebih dari satu macam pemecahan.
Asesmen otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-
macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia
nyata dan dalam suatu proses pembelajaran nyata. Asesmen otentik digunakan untuk
dapat menilai semua aspek dalam pembelajaran, yaitu ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Asesmen otentik bertujuan untuk memberikan solusi bagi guru yang sulit
melakukan asesmen terhadap ketiga aspek tersebut.
Ciri-ciri asesmen otentik menurut Kunandar (2013: 38), yaitu:
(1) harus mengukur semua aspek pembelajaran, yakni kinerja dan hasil atau
produk;
(2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
(3) menggunakan berbagai cara dan sumber;
(4) tes hanya salah satu alat pengumpul data asesmen;
(5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-
bagian kehidupan siswa; dan
(6) asesmen harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa,
bukan keluasannya (kuantitas).
Sedangkan karakteristik asesmen otentik sebagai berikut:
(1) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif,
(2) mengukur keterampilan dan performansi bukan mengingat fakta,
(3) berkesinambungan serta terintegrasi, dan
(4) dapat digunakan sebagai feedback.
Pembelajaran yang menggunakan asesmen otentik ingin mencapai apa yang
dipelajari siswa bukan apakah siswa tersebut belajar. Prinsip utama asesmen otentik ialah
tidak hanya digunakan untuk menilai apa yang diketahui siswa tetapi digunakan juga
untuk menilai apa yang dapat dilakukan siswa dalam pembelajaran.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa asesmen otentik adalah
kegiatan pembelajaran yang menekankan pada penerapan pemahaman dan keterampilan
untuk masalah nyata dalam pembelajaran untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa
secara nyata tanpa dibuat-buat baik di dalam kelas maupun dalam kegiatan sehari-hari
yang dilakukan oleh siswa.
2.3 Teknik-Teknik Asesmen Otentik
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai kemampuan,
disposisi, kesenangan, dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika. Beberapa cara
seperti berikut ini bisa dilakukan secara kombinasi.
1. Kinerja
asesmen yang terkait dengan proses siswa dalam menyelesaikan permasalahan yaitu
asesmen kinerja (performance assessment). Asesmen kinerja yang diterapkan dalam
pembelajaran mampu membiasakan siswa dalam menunjukkan kinerjanya seperti
memecahkan masalah, berpendapat, berdiskusi, dan mengemukakan alasan dari jawaban
(Sa’dijah, 2009:94). Asesmen kinerja yang dilaksanakan berisi berbagai macam tugas
siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya di dalam berbagai konteks
yang diharapkan (Sa’dijah dan Sukoriyanto, 2015:134). Asesmen autentik khususnya
asesmen kinerja dapat diterapkan dalam berbagai model pembelajaran, salah satunya
pembelajaran kontekstual.
Melalui pembelajaran kontekstual yang dilaksanakan, materi yang diajarkan akan
saling terkait dan terhubung antar bagiannya dengan situasi dunia nyata siswa (Johnson,
2011; Daryanto dan Raharjo, 2012; Sanjaya, 2013) sehingga setiap hal yang dipelajari
siswa akan terkait dengan kehidupan nyata siswa, dan dapat dinilai oleh guru secara
autentik. Hal ini dikarenakan untuk membuktikan bahwa pembelajaran benar-benar
dilaksanakan secara kontekstual, sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran maka
asesmen autentik haruslah dilaksanakan (Johnson, 2011; Komalasari, 2013; Sanjaya,
2013).
Muatan pelajaran Matematika dilaksanakan secara terpisah dari pembelajaran
tematik pada kurikulum 2013. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Permendikbud
No 24 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa muatan pelajaran matematika berdiri sendiri.
Materi “berbagai bentuk pecahan” sebagai salah satu bagian dalam kompetensi dasar
muatan pelajaran matematika perlu diajarkan kepada siswa secara kontekstual. Siswa akan
lebih mudah untuk memahami apa yang dipelajarinya ketika materi berhubungan
langsung dengan keadaan dan kehidupan sehari-harinya.
Contoh aktivitas pengamatan yang dilaksanakan yaitu terkait dengan ubin pada
lantai kelas. pendidik mempersiapkan 10 ubin pada lantai kelas untuk diamati oleh siswa.
Guru memberikan warna pada beberapa ubin untuk kemudian meminta siswa
menyebutkan bagian ubin yang telah diberikan warna. Guru menjelaskan terlebih dahulu
tentang fungsi ubin yang telah diberi warna, sebelum bertanya kepada siswa tentang
besarnya bagian ubin yang diberi warna.
Guru : Berapakah besarnya bagian ubin yang telah diberi warna?
Siswa (FDL) : Tiga per sepuluh pak.
Guru : Bagaimana jika dalam bentuk desimal, berapakah besarnya bagian ubin yang
diwarnai?
Siswa : (Saling bertanya-tanya satu sama lain, dan tampak bingung)
Guru menjelaskan tentang langkah-langkah dalam mengubah 3/10 ke dalam bentuk
desimal. Berbagai aktivitas pengamatan yang dilaksanakan oleh siswa bertujuan untuk
menemukan permasalahan yang akan dibahas dalam pembelajaran. Aktivitas siswa dalam
memotong apel dan pemberian warna pada ubin menumbuhkan rasa ingin tahu dari para
siswa. Rasa ingin tahu tersebut membuat siswa bertanya-tanya satu dengan yang lain.
2. Observasi
Pengamatan langsung mengenai tingkah laku siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat
penting dalam melengkapi data asesmen. Walaupun secara alami kita sering
melakukannya, namun mengobservasi melalui perencanaan yang matang dapat membantu
meningkatkan keterampilan mengobservasi. Misalnya, akan sangat bermanfaat apabila
merencanakan apa yang akan diobservasi pada kegiatan pembelajaran besok.
Bagaimanakah Tono bekerja dan sampai pada suatu jawaban? Siswa yang mana yang
belum paham? Apakah Joni mendengarkan temannya berargumentasi? Apakah Doni
berpartisipasi aktif dalam kelompok? Bagaimana upaya Toto untuk sampai pada jawaban?
Dari kegiatan observasi semacam ini guru dapat memperoleh gambaran mengenai sikap
dan disposisi terhadap matematika. Pada saatnya nanti informasi seperti ini diperlukan
untuk mendorong siswa bekerja atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan mencoba
dan juga menyadari akan kelemahannya. Catatan guru mengenai hasil observasi berguna
bukan saja sebagai anecdotal records untuk keperluan asesmen dan perencanaan
pembelajaran, namun diperlukan dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan segera
ketika guru mempresentasikan konsep baru.
3. Bertanya
Observasi adalah berkomplemen dengan bertanya. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ketika mengobservasi pembelajaran akan memperlengkap informasi yang diperlukan
mengenai siswa. Misalnya ketika seorang siswa menunjukkan dengan kalkulator bahwa
1/9 adalah sama dengan 0,11111, guru dapat menggunakan teknik bertanya yang baik
sehingga siswa itu dapat menyimpulkan sendiri bahwa 1/9 tidak sama dengan 0,11111.
Jika seorang siswa menghadapi suatu keselitan pdahal ia diketahui oleh guru temasuk
siswa yang percaya diri dan memiliki kemampuan dalam matematika, maka guru dapat
mengetahui permasalahan yang dihadapi siswa itu menggunakan pertanyaan. Pertanyaan
langsung seperti “Apa yang tidak kamu pahami?”, tampaknya tidak akan banyak
membantu, namun serentetan pertanyaan yang sifatnya menggiring siswa untuk
mengemukakan argumentasi dan permasalahan akan lebih membantu dalam melokalisasi
jenis kesulitan yang dialaminya.
3.1 Kesimpilan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA