Disusun Oleh
CATHERINE SUGANDI I4061191044
DEWINTA PUTRI UTAMI I4061191038
Pembimbing
Mayor CKM (K) dr. Lollytha C.Simanjuntak, Sp. KJ
KEPANITERAAN KLINIK
SMF KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT TK.II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN
Ketika kita terpapar oleh stressor bervariasi, tubuh kita akan mencoba unruk
beradaptasi dengan stress itu dengan cara mempertahankan homeostasis tubuh
dengan system endokrin, system imun, dan system saraf otonom. Akan tetapi, jika
tubuh kita gagal mempertahankan homeostasis, akan muncul penyakit yang
berhubungan dengan stress. Penyakit ini dapat menyerang berbagai system tubuh,
seperti sistem kardiovaskuler, sistem gastroenterology, sistem saraf, dan sistem
pernapasan. Pada sistem pernapasan, stress ini dapat mempengaruhi ataupun
menyebabkan timbulnya beberapa penyakit salah satunya ialah asma.
Asma adalah masalah kesehatan yang serius yang dapat mengenai semua usia.
Prevalensinya meningkat pada banyak negara, terutama pada anak-anak. Asma
adalah penyakit heterogen, yang ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran
nafas. Penyakit asma dapat dijelaskan dengan gejala respiratorik seperti wheeze,
shortness of breath, chest tightness, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu
dan dengan intensitas, dengan adanya batasan airflow expirasi yang bervariasi.
Psikosomatik berasal dari kata Yunani psyche (jiwa) dan soma (tubuh). Kata
ini menunjukkan bagaimana pikiran mempengaruhi tubuh. Hal ini dapat
mempengaruhi kondisi medis seseorang dengan meningkatkan resiko penderitaan,
kematian atau kecacatan. Psikosomatik juga sangat mempengaruhi kondisi medis
dengan cara mempengaruhi pengobatan, factor resiko kesehatan, atau
mempengaruhi patofisiologi untuk memunculkan kembali gejala.
Stressor berperan dalam onset dan proses asma bronkial. Asma bronkial adalah
salah satu penyakit pernafasan yang dilaporkan berhubungan dengan psikosomatis.
Studi menunjukkan bahwa terdapat beberapa kasus dimana pasien dengan asma
bronkial memiliki masalah psikologis. Hubungan complex antara abnormalitas
organic pada asma dan psikosomatik perlu diperhatikan.1,2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma didefinisikan sebagai
gangguan peradangan kronis pada saluran udara yang berhubungan dengan
hiperresponsivitas bronkial, yang mengarah ke episode berulang berupa mengi,
sesak napas, sesak dada, dan batuk, terutama pada malam hari atau dini hari.1
Episode-episode ini biasanya dikaitkan dengan gangguan aliran udara melalui
bronkus yang menyempit, suatu gangguan yang sering mereda dengan
pengobatan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan asma
meliputi: faktor genetik, obesitas, jenis kelamin laki-laki, dan faktor
lingkungan (alergen, infeksi saluran pernapasan, faktor pekerjaan, asap
tembakau, polusi lingkungan, makanan). Menurut pedoman GINA, stres
emosional tidak dianggap sebagai faktor yang menyebabkan asma, meskipun
itu dianggap sebagai faktor yang memperburuk perjalanan penyakit. Di sisi
lain, menurut edisi ke-10 dari Klasifikasi Statistik Internasional Penyakit dan
Masalah Kesehatan Terkait (ICD-10), dalam kasus-kasus tertentu, asma dapat
dikodekan sebagai J45 + F54, sehingga memungkinkan untuk menunjukkan
keberadaan psikologis dan faktor perilaku, yang mungkin memainkan peran
utama dalam etiologi gangguan somatic.3
Pengobatan psikosomatik menjadi area spesifik dalam psikiatri selama
lebih dari 50 tahun. Kata psikosomatik berasal dari kata Yunani psyche (jiwa)
dan soma (tubuh). Kata ini menunjukkan bagaimana pikiran mempengaruhi
tubuh. Tetapi kata ini menjadi sering digunakan dalam artian seseorang dengan
keluhan medis yang tidak memiliki sebab fisik dan keluhan itu berasal dari “all
in your head”. Maka dari itu, DSM meghapus kata psikopsikologikal (atau
psikosomatik) dan menggantinya dengan factor psikologis yang
mempengaruhi kondisi fisik. Tetapi, kata ini terus digunakan oleh peneliti dan
menjadi judul jurnal pada bidang psikiatri.4
2
2.2. Etiologi
a. Stresor fisik: Perubahan suhu, kelembaban, dan tekanan atmosfer, dan
terutama pengaruh pendingin udara dan menggigil.
b. Stresor kimia: Merokok, gas buang, alkohol, dan obat-obatan.
c. Stresor biologis: Mikroba (bakteri, virus, dll.), serbuk sari, dan makanan.
d. Stres psikologis: Kecemasan, ketakutan, kemarahan, kebencian, inferioritas
kompleks, rasa bersalah, dan rangsangan psikologis yang menyebabkan
emosi ini.
e. Stresor sosial: ujian masuk sekolah, pekerjaan, penugasan kembali,
promosi, pensiun, pernikahan, perceraian, pinjaman perumahan, dan
masalah hukum.1
2.3. Epidemiologi
Sekitar 300 juta orang di seluruh dunia menderita asma, termasuk 25,7
juta di Amerika Serikat. Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling
umum, dan terus meningkat dalam prevalensi selama beberapa dekade terakhir.
Individu dari segala usia dapat terkena asma, meskipun diagnosis yang jelas
sulit dilakukan dalam 5 tahun pertama kehidupan. Pada anak-anak, asma
adalah penyakit kronis yang paling umum, menyerang 7,1 juta anak di bawah
18 tahun di Amerika Serikat. Anak-anak dari populasi minoritas dan latar
belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung terkena asma secara tidak
proporsional, khususnya di komunitas Afrika-Amerika dan Puerto Rico.5
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) atau National Health Interview Survey dengan menggunakan
kuesioner ISAAC( International Study on Asthma and Allergy in Children),
mengemukakan bahwa, di Indonesia prevalensi gejala penyakit asma melonjak
dari sebesar 4,2% menjadi 5,4%.6
Berdasarkan data RISKESDA tahun 2007 prevalensi penyakit asma di
Indonesia sebesar 3,5% dan prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
adalah 1,9%. Menurut Provinsi, prevalensi asma berkisar antara 1,5% di
Provinsi Lampung hingga 7,2% di Gorontalo. Terdapat 17 Provinsi dengan
prevalensi asma lebih tinggi dari angka nasional diantaranya Provinsi Aceh
3
sebesar 4,9%, Provinsi Jawa Barat sebesar 4,1%, Provinsi Sulawesi Tengah
sebesar 6,5%. Di Aceh prevalensi asma tertinggi adalah Aceh Barat 13,6% dan
terendah di Sabang dan Gayo Lues masing-masing 1,3%.6
Teori Conditioning
Teori conditioning telah dikemukakan oleh Dekker dkk. yang
menyebutkan bahwa serangan asma merupakan serangan psikogenik tanpa
adanya suatu allergen dan dicetuskan oleh suasana psikis (konflik psikis) serta
stimulus-stimulus yang serupa atau mirip dengan kondisi yang pernah dialami
saat serangan pertama. 7
Dengan berkembangnya penemuan-penemuan baru mengenai
pathogenesis asma (teori hiperreaktivitas dan inflamasi kronis) maka bila
dirangkum secara keseluruhan timbulnya asma dapat dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu : 7
1) Faktor genetik. Yang termasuk faktor genetik ialah adanya atopi dan
hipereaktivasi bronkus yang dibuktikan pada anggota keluarga dan anak
kembar.
4
2) Faktor lingkungan. Alergen seperti debu rumah, pollen, infeksi virus dan
bakteri, polusi udara merupakan factor penting yang mencetuskan serangan
asma.
3) Faktor individu. Sebagian besar pasien asma memiliki pengalaman hidup
yang penuh dengan stress sebelum atau pada saat awitan dari serangan; pada
saat timbulnya eksaserbasi atau relaps setelah mengalmi remisi yang cukup
lama. Adanya stressor dan kemampuan untuk mengatasinya sangat
mempengaruhi perjalanan klinis asma. Pasien asma umumnya menyimpan
problem psikososialnya menjadi konflik internal dan jarang meminta
pertolongan walaupun dalam kesulitan. Sekitar 20-40% pasien asma
mengatakan bahwa serangannya muncul pada saat mengalami stress atau
menghadapi kondisi yang spesifik.
5
proses seluler menjauh dari proses metabolisme jangka panjang dan berfungsi
dalam pertahanan secara langsung dan homeostasis. Dengan demikian, umpan
balik negatif dari kortisol bertujuan untuk membatasi paparan jangka panjang
dari jaringan untuk tindakan katabolic dan imunosupresif jangka pendek. 15
Inhibisi sistem imun oleh karena pelepasan hormon glukokortikoid akan
menimbulkan aksi kompensasi aksis hipotalamik-pituitari-adrenal untuk
mengurangi efek fisiologis lain dari stress. CRF merangsang pelepasan
norepinefrin melalui reseptor CRF di locus ceruleus, yang kemudian
mengaktifkan sistem saraf simpatik sehingga meningkatkan pelepasan epinefrin
dari medulla adrenal. 14
6
noradrenalin yang dilepaskan secara lokal dari saraf simpatik, dan oleh
adrenalin dan noradrenalin yang dikeluarkan oleh medula adrenal. Efek
pengaturan adrenalin dan noradrenalin pada adrenoceptor menunjukkan
mekanisme yang masuk akal di mana stres yang diinduksi aktivasi sistem saraf
simpatis dapat mempengaruhi bronkomotor. Aktivasi sistem saraf simpatis
oleh stres, yang mengakibatkan pelepasan mediator dengan efek agonis, harus
merelaksasikan otot polos jalan napas dan bahwa tekanan psikologis akut, yang
disertai dengan peningkatan cepat dalam sirkulasi katekolamin akibatnya harus
menyebabkan bronkodilasi. Namun, respons yang diinduksi stres dari sistem
saraf otonom lebih kompleks dan bervariasi.
Setelah stres akut dihentikan, kadar adrenalin dan noradrenalin dengan
cepat kembali normal atau di bawah normal. Kekuatan relatif dari kontrol
simpatis versus parasimpatis dalam respons terhadap bentuk-bentuk tertentu
dari stres berbeda dengan individu, dengan beberapa menunjukkan respons
dominan parasimpatis. Ada kemungkinan bahwa aktivasi simpatis itu sendiri
dapat berkontribusi pada gejala asma. Misalnya, peningkatan kadar adrenalin
dan noradrenalin yang bersirkulasi diketahui mengubah sejumlah parameter
kekebalan yang mungkin berkontribusi terhadap peradangan saluran udara.
Peningkatan kadar katekolamin yang berkepanjangan di bawah tekanan kronis
juga dapat menyebabkan keparahan asma.
Penggunaan agonis setiap hari secara kronis oleh penderita asma ringan
hingga sedang dengan kecenderungan genetik tertentu dapat meningkatkan
keparahan dengan menurunkan 'reseptor' dan ada kemungkinan bahwa
peningkatan kronis katekolamin yang diinduksi stres melakukan hal yang sama
di antara subkelompok yang rentan secara genetik. Selain itu, pada mereka
yang mengalami stres kehidupan kronis, respons fisiologis terhadap stresor
akut dapat menghasilkan efek yang lebih berkelanjutan pada sistem kekebalan
tubuh, bahkan setelah pemulihan simpatik.8
7
Gambar 2. Mekanisme Stress Akut dan Kronis 9
8
Kejadian-kejadian traumatic : perkelahian/pertentangan denga orang
tua, permusuhan dengan atasan dalam pekerjaan, kejengkelan dalam
kerja, disharmoni dalam perkawinan, hubungan buruk dengan teman,
pemerkosaan.
Pengalaman yang menyedihkan : kematian orang tua atau anak,
kehilangan keluarga dekat atau kerabat, kehilangan harta benda,
kehilangan pekerjaan, musibah lainnya.
2.9. Diagnosis
Dari perspektif pengobatan psikosomatik, asma dijelaskan dalam pedoman
yang dikutip: “Ketika kita melihat secara terperinci ke dalam permulaan dan
proses asma dari aspek mental dan fisik, menjadi jelas bahwa, dalam banyak
kasus, pasien telah mengalami lebih banyak perubahan fisik yang disebabkan
oleh berbagai faktor psikosomatik daripada sebelum timbulnya penyakit.”
1) Kasus serangan asma
Perawatan serangan yang cepat harus mendapat prioritas di atas semua hal
lainnya.
2) Kasus tanpa serangan
9
Asma bronkial didiagnosis secara fisik. Pada saat yang sama, onset dan proses
juga ditinjau dari aspek psikosomatik.
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru
digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut
derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu
penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk
dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi),dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun, pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi
lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa,
terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau
debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur
kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti
parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang
merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada
beta blocker, aspirin atau steroid.
10
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan
bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan
bernapas, menggunakanotot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Pemeriksaan Penunjang
Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnyaobstruksi dan efek pengobatan.
Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak
begitu sensitif dibanding FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).
Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengoba-tannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
11
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinophil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic
Protein(ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk
mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara
dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
Dalam DSM V, terdapat diagnosa untuk mengidentifikasi psikosomatik secara
umum yaitu :
F54. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis (Gangguan
Psikosomatik)
Kriteria diagnostik
A. Terdapat suatu kondisi medis umum
B. Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umum
dalam salah satu cara berikut:
1. Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum,
dalam hal perkembangan atau keterlambatan penyembuhan
2. Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum
3. Faktor psikologis menyumbang risiko kesehatan tambahan bagi individu
4. Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau
mengeksaserbasi gejala kondisi medis umum
12
C. Faktor psikologis dan kebiasaan dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan dengan
gangguan mental lainnya (cth gangguan panik, gangguan depresi mayor,
PTSD)1,10
2.10. Tatalaksana
a. Psikoterapi
Terapi psikologis efektif untuk meningkatkan berbagai aspek
pengendalian asma atau kualitas hidup. Psikoterapi seperti terapi perilaku
kognitif dan teknik relaksasi dengan atau tanpa bantuan biofeedback
mengurangi frekuensi serangan dan keparahan gejala. Perawatan keluarga juga
dapat berguna dalam kasus-kasus asma tertentu terutama ketika farmakoterapi
yang memadai tidak membantu. Karena pendekatan psikoterapi dibahas secara
singkat sesuai kerangka teori mereka.
1) Terapi perilaku fokus pada identifikasi proses yang dengannya perilaku
dipelajari melalui asosiasi, penghargaan, atau observasi dan memodifikasi
perilaku menggunakan metode seperti desensitisasi sistematis, penguatan
selektif, dan pemodelan positif. Perilaku itu sendiri, bukan motivasi yang
mendasarinya, adalah fokus intervensi perilaku.11
2) Terapi kognitif dengan mengidentifikasi dan mengelola secara konstruktif
pikiran yang salah dan merusak, seperti persepsi tentang ketidakberdayaan atau
ketakutan yang tidak pantas terhadap serangan asma, yang dapat memicu
episode.
3) Terapi perilaku kognitif (CBT): CBT menggabungkan elemen-elemen kunci
dari model perilaku dan kognitif dan saat ini digunakan lebih sering daripada
terapi kognitif atau terapi perilaku saja. Seperti yang disebutkan dalam kotak
di atas dalam dua studi yang mengukur pengetahuan asma sebagai hasil yang
dilaporkan manfaat CBT, dan CBT telah dilaporkan memiliki efek positif pada
tindakan efikasi diri.
4) Teknik relaksasi umumnya dilakukan dengan atau tanpa biofeedback dan
merupakan fokus dari beberapa studi sebelumnya tentang intervensi psikologis
pada asma. Teknik relaksasi mengendalikan stres dan kecemasan, yang, pada
asma, dapat meningkatkan fungsi pernapasan dan pernapasan. Program-
13
program semacam itu umumnya meliputi relaksasi progresif, dan hipnosis atau
relaksasi mendalam, yang dapat diinduksi menggunakan pencitraan mental. Ini
sering disertai dengan sugesti otomatis untuk menciptakan pikiran positif dan
umpan balik dari indikator biologis, yang harus dikontrol subjek melalui
relaksasi. Alexander dan Weingarten mengukur efek terapi relaksasi pada
aliran ekspirasi puncak dan menemukan efek yang menguntungkan kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok control. Selain itu, relaksasi yang
dilakukan dengan self-hypnosis mengurangi kunjungan ruang gawat darurat,
sekali lagi dalam sebuah studi tunggal yang juga menemukan bahwa laporan
diri tentang asma meningkat pada self-hypnosis.12
5) Konseling melibatkan membicarakan masalah dengan profesional kesehatan.
Dalam konseling suportif, konselor bertindak terutama sebagai pendengar yang
baik yang memberikan dukungan emosional. Terapi suportif kadang-kadang
memiliki fokus penyelesaian masalah dan mungkin bermanfaat bagi pasien
yang mengalami krisis akut.
6) Latihan pernapasan meliputi serangkaian teknik untuk meningkatkan kontrol
pernapasan pada asma (mis., Yoga, dan meditasi transendental). Ini tidak
dianggap sebagai psikoterapi standar, meskipun aspek pelatihan pernapasan
dapat dimasukkan dalam terapi perilaku atau CBT. Sebuah ulasan Cochrane
sebelumnya telah memeriksa keefektifan latihan pernapasan.13
b. Obat-obatan
1. Obat antiinflamasi, khususnya kortikosteroid inhalasi, adalah pengobatan
lini pertama dan diperlukan sebagai obat perawatan harian. Bronkodilator
shortacting (biasanya β-adrenergik) digunakan untuk mengurangi gejala
selama sekitar 6 jam. Bronkodilator β-adrenergik jangka panjang membantu
mencegah bronkokonstriksi selama kurang lebih 12 jam, terutama
sepanjang malam. Inhibitor imunoglobulin-E tambahan kadang-kadang
digunakan pada asma alergi parah. Kasus yang parah atau eksaserbasi
penyakit biasanya memerlukan kortikosteroid sistemik dosis tinggi.
2. Anti-depresan: Jika proses asma bronkial dipengaruhi oleh depresi,
kadang-kadang kondisi penyakit menjadi rumit dan sulit dalam memberikan
pengobatan kepada pasien. Oleh karena itu, jika ada kondisi depresi yang
14
diamati, diterapi dengan anti-depresi. Tetapi anti-depresan diketahui
memiliki tindakan anti-kolinergik dan, karena tindakan ini, pasien mungkin
merasa sulit untuk batuk sputa. Dengan demikian, lebih baik memulai
dengan anti-depresan yang kurang anti-kolinergik, seperti obat-obatan yang
menghambat pengambilan kembali serotonin secara selektif, sambil tetap
memperhatikan efek sampingnya.1
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17
12. Alexander AB, Miklich DR, Hershkoff H. The immediate effects of systematic
relaxation training on peak expiratory flow rates in asthmatic children.
Psychosom Med 1972;34:388-394.
13. Khan AU, Staerk M, Bonk C. Role of counter-conditioning in the treatment of
asthma. J Psychosom Res 1973;17:389-392.
14. Kusumadewi I. Faktor Psikologik yang Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h
Gangguan Psikosomatik) dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Ke-2. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015 : p310-16.
15. Guilliams T, Edwards L. Chronic Stress and The HPA Axis : Clinical
Assessment and Therapeutic Considerations. A Review of Natural &
Nutraceutical Therapies For Clinical Practice. Vol. 9, No. 2. 2010.
18